Hukum Shalat Jama'ah | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

Hukum Shalat Jama'ah



Dalil-dalil tersebut di atas dan dari dalil-dalil lain, para ulama menarik kesimpulan hukum yang berbeda mengenai shalat jama'ah dalam shalat-shalat fardlu. Pendapat mereka terbagi dalam empat kategori :


1. Shalat jama'ah sebagai syarat sahnya shalat.
Pendapat ini dikemukakan di antaranya oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Mereka menandaskan bahwa shalat fardlu tidak sah bila tidak dikerjakan secara bejama'ah. Kewajiban ini berlaku bagi setiap individu kecuali karena adanya udzur yang menghalanginya untuk menunaikan shalat secara berjama'ah. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :

I. Hukum Shalat Jama'ah
Dalil-dalil tersebut di atas dan dari dalil-dalil lain, para ulama menarik kesimpulan hukum yang berbeda mengenai shalat jama'ah dalam shalat-shalat fardlu. Pendapat mereka terbagi dalam empat kategori :

1. Shalat jama'ah sebagai syarat sahnya shalat.
Pendapat ini dikemukakan di antaranya oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Mereka menandaskan bahwa shalat fardlu tidak sah bila tidak dikerjakan secara bejama'ah. Kewajiban ini berlaku bagi setiap individu kecuali karena adanya udzur yang menghalanginya untuk menunaikan shalat secara berjama'ah. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
"Barang siapa mendengar panggilan (adzan) tetapi tidak mau datang (ke masjid untuk shalat berjama'ah) tanpa udzur, maka shalatnya (secara sendiran) tidak mempunyai arti apa-apa" (HR. Ibn Hibban, Ad-Daruquthni, Sbn Majah, dan Al-Hakim).

Kata "la shalata" (tidak ada shalat) dalam hadits di atas ditafsirkan dengan "la tasbihbu ash-shalat" (tidak sah shalatnya). Di samping itu, mereka juga berargumen dengan sabda Rasulullah SAW:
"Demi Allah yang jiwaku berada do/am kekuasaan-Nya, saya bermaksud hendak menyuruh orang-orang mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang menyerukan adzan, lalu menyuruh seseorang pula untuk menjadi imam bagi segenap orang. Maka akan saya datangi orang-orang yang tidak ikut berjama'ah dan akan saya bakar rumah-rumah mereka" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

2. Hukum shalat jama'ah adalah fardlu 'ain.
Ini merupakan pendapat sejumlah sahabat, di antaranya Abdullah bin Mas'ud dan Abu Musa Al-Asy'ari; juga pendapat mayoritas ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Aisyah RA berkata: "Barang siapa mendengar seruan adzan namun tidak menyambutnya, berarti ia tidak menghendaki kebaikan dan enggan menerimanya". Sementara Atha' mengemukakan bahwa shalat fardlu berjama'ah adalah kewajiban yang harus ditegakkan. Bila seseorang mendengar seruan adzan, wajib baginya memenuhi panggilan itu.
Berdasarkan keterangan di atas, bila seorang muslim meninggalkan (tidak melakukan) jama'ah di dalam shalat fardlunya, ia dianggap berdosa tetapi shalatnya tetap sah. Adapun dalil-dalil yang di kedepankan oleh pendukung pendapat ini adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 43 :
"Dirikanlah shalat, bayarlah zakat, dan ruku'lah bersama orong-orong yang ruku'".

Ayat tersebut di atas berisi perintah untuk melakukan ruku' (shalat) bersama-sama, yaitu secara berjama'ah. Sementara di dalam kaidah ushul fiqh, perintah merupakan sarana untuk mewajibkan suatu pekerjaan. Dan ternyata, perintah untuk melaksanakan shalat jama'ah tidak hanya dalam kondisi normal, bahkan dalam keadaan darurat perang pun Allah SWT, tetap memerintahkan pelaksanaan shalat dengan berjama'ah, meskipun dengan tata cara khusus, sebagaimana yang termaktub dalam QS. An-Nisa: 102 :

"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan raka'at), maka hendaklah mereka pindah dan belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu mereka shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang yang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu".

Dalam kaitannya dengan ayat di atas, Ibnu Mundzir mengatakan bahwa perintah Allah SWT untuk melaksanakan shalat jama'ah dalam keadaan berperang menunjukkan bahwa pelaksanaan shalat jama'ah dalam kondisi aman dan normal menjadi "lebih" wajib.

Ibnu Qayyim menjelaskan ke-fardlu 'ain-an shalat jama'ah dari ayat tersebut sebagai berikut. Pengulangan perintah untuk masuk dalam shalat jama'ah bagi kelompok kedua ("maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang yolonsan yang kedua yang belum shalat, lalu mereka shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata") menjadi dalil bahwa shalat jama'ah hukumnya fardlu 'ain, karena Allah tidak menggugurkan kewajiban shalat jama'ah bagi kelompok kedua. Apabila hukum shalat jama'ah adalah sunnah, maka kelompok pertama bisa udzur karena takut, sedangkan bila hukumnya fardlu kifayah, niscaya kelompok kedua gugur kewajiban mengerjakannya karena sudah dikerjakan oleh kelompok pertama.

3. Hukum shalat jama'ah adalah fardlu kifayah.
Pendapat ini sering dinisbahkan kepada Imam Syafi'i dan Abu Hanifah. Adapun yang dimaksud derigan hukum fardlu kifayah di sini adalah bila orang yang menunaikan shalat jama'ah telah memadai maka gugurlah dosa orang-orang yang tidak mengerjakannya. Akan tetapi, apabila tidak ada yang menegakkan shalat jama'ah ini, maka semua muslim yang berada di wilayah tersebut berdosa semuanya. Hal ini disebabkan karena shalat jama'ah, menurut pendapat mereka, adalah salah satu syiar agama yang harus ditegakkan. Dalil yang biasa mereka kemukakan adalah sabda Nabi SAW:

"Apabila berkumpul tiga orang di suatu desa atau lokasi, kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat jama'ah, berarti setan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu berjama'ah, karena sesunssuhnya segala hanya akan memangsa domba yang terpisah dari kelompoknya". (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa'i)

4. Hukum shalat jama'ah adalah sunnah mu'akkadah.
Pendapat seperti ini banyak dipegangi oleh ulama madzhab Hanafi dan Maliki. Asy-Syaukani mengatakan, pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa shalat jama'ah itu hukumnya sunnah mu'akkadah yang tidak lepas dari perintah melaksanakannya selagi memungkinkan. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah SAW :
"Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat". (HR. Al-Bukhan dan Muslim)

Hadits ini hanya mengungkapkan tentang keutamaan shalat jama'ah dibandingkan dengan shatat sendirian, sehingga menjadi dasar bahwa shalat jama'ah itu lebih baik dan sangat dianjurkan pelaksanaannya (sunnah mu'akkadah/sunnah yang dikuatkan), tetapi tidak sampai pada taraf wajib atau harus dilaksanakan dengan konsekuensi dosa bagi yang meninggalkannya.

Satu riwayat menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan serombongan utusan yang datang kepadanya agar mengerjakan shalat, dan beliau tidak memerintahkan untuk mengerjakannya secara berjama'ah. Dan menurut Asy-Syaukani, sesuai dengan kaidah hukum "menunda penjelasan pada saat dibutuhkan itu tidak diperbolehkan", maka dalil-dalil yang menentukan kewajiban shalat jama'ah mengharuskan adanya takwil.

Hikmah Shalat Jama'ah
Suatu hal yang pasti, bahwa untuk dapat hidup dengan kehidupan yang baik, manusia membutuhkan faktor moral yang mampu mengekang kecenderungan liarnya dan mampu mencegah dirinya dari sikap patuh terhadap tabiat hewaninya. Tidak diragukan lagi, shalatlah yang akan mendorong manusia agar terbebas dari nafsu hayawaniyyah dan syaithaniyyah untuk selanjutnya menghiasi dirinya dengan perilaku yang berdasar pada moralitas llahiyah. Karena logikanya, orang yang menjalankan shalat secara baik dan konsisten akan merasa dirinya selalu dekat dengan Allah SWT. Kedekatan ini akan menumbuhkan kesadaran bahwa Allah selalu bersamanya dan mengawasi segala aktivitasnya. Sehingga dengan demikian akan muncul kendali internal pada dirinya untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah. Hal ini sangat relevan dengan firman-Nya bahwa sesungguhnya shalat mencegah seseorang dari perilaku keji dan munkar.
"...dan tegakkanlah shalat, karena shalat itu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar". (QS. Al-Ankabuf.45)

Di sisi lain, secara psikologis, bila ruh manusia tidak connect dengan Penciptanya, maka akan terlihat gejala kegelisahan, kegundahan, dan ketidak-tenteraman dalam menjalani segala aktivitas kehidupannya, lebih-lebih saat dia dihadapkan pada satu permasalahan yang sulit. Sementara shalat membuka peluang kepada seseorang untuk menyadari kelemahannya sebagai makhluk sekaligus juga sarana mengadukan segala permasalahan hidup ini kepada Yang Menciptakan hidup itu. Dengan shalat, jiwa manusia akan merasakan hembusan semangat optimisme dan ketenteraman, karena perasaan selalu dekat dengan Tuhan.
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa keburukan ia mengeluh, dan apabila ia mendapat kebaikan ia menjadi kikir; kecuali mereka yang mendirikan shalat, yaitu mereka yans melakukan shalat dengan konsisten". (QS. Al-Ma'arij: 19-23)

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Insallah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram". (QS. At-Ra'd: 28)

Shalat yang dikehendaki bukanlah semata-mata sejumlah bacaan yang diucapkan oleh lisan dan sejumlah gerakan yang dilakukan oleh anggota badan, tetapi lebih dan itu, yang harus diperhatikan juga adalah perhatian pikiran orang yang sedang menjalankan shalat itu, kedudukan hatinya, dan upaya "menghadirkan" keagungan Allah seolah-olah ada dihadapannya.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah: 45 :
"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orong-orang yang khusyu". (QS. Al-Baqarah: 45)

Orang yang khusyu' adalah orang yang tunduk dan hatinya didominasi oleh rasa cemas dan harap dikala merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Dengan demikian, dia akan mendisiplinkan semua anggota tubuhnya dan tidak terpecah konsentrasinya dari segala hal yang telah ditentukan di dalam shalat. Dalam kehidupan sehari-hari, kekhusyu'an ini akan menjadi instrumen untuk mengembangkan kemampuan diri dalam memusatkan pikiran dan fokus perhatian yang akan berdampak pada keberhasilan hidup, karena akal manusia akan memunculkan kemampuan yang menakjubkan bila dapat difokuskan pada suatu objek secara kuat dan tajam. Disebutkan dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya beruntunglah (sukseslah) orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orong yang khusyu' dalam sholat mereka". (Q.S. At-Mu'minun: 1-2)

Shalat jama'ah diharapkan juga memberikan pendidikan sosial yang terarah dan menjadi sekolah kemanusiaan yang tinggi dalam satu sistem yang teratur. Keakuan seorang Muslim harus lebur secara konseptual bersama "aku" lainnya, sehingga komunitas Muslim menjelma sebagaimana yang digambarkan Nabi SAW, bagaikan satu jasad yang seluruh anggota ikut merasakan derita bila salah satu organnya sakit. Bahkan lebih luas lagi, kesadaran kebersamaan tersebut bukan hanya mencakup sesama Muslim tetapi menyentuh umat manusia secara keseluruhan.
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam". (QS. At-Anbiya':107)

Kesadaran ini didasarkan atas prinsip bahwa pada hakikatnya seluruh manusia adalah satu kesatuan, sehingga menghasilkan solidaritas kemanusiaan yang tinggi dan kepekaan sosial yang dalam. Tidak merasakan apapun kecuali derita umat manusia, dan tidak akan berupaya kecuali mewujudkan kesejahteraan manusia.

Dalam pelaksanakan shalat berjama'ah, terkandung pendidikan berorganisasi. Di sana ada keteraturan, kerapian, dan kedisiplinan. Ada pula yang berkedudukan sebagai imam (pemimpin) dan makmum (yang dipimpin) yang berarti adanya tuntunan untuk patuh pada pimpinan dan diharapkan masing-masing sadar dengan posisinya serta tahu tugas yang diembannya. Jadi, shalat jama'ah mengajarkan kepada kita bagaimana berorganisasi yang baik, yang intinya adalah patuh pimpinan dan taat aturan. Dengan demikian umat Muslim akan menjelma menjadi satu komunitas yang solid, kuat, dan disegani Rasulullah SAW telah bersabda:
"Apabila berkumpul tiga orang di suatu desa atau lokasi, kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat jama'ah, berarti setan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu berjama'ah, karena sesungguhnya srigala hanya akan memangsa domba yang terpisah dari kelompoknya". (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa'i)

Tatacara Pelaksanaan Shalat Jama'ah
Filsafat dan Hikmah Thaharah  
Hikmah Thaharah
Dasar Thaharah 


Share


Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template