download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


TESIS HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS

Posted: 10 Nov 2014 07:23 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0277) : TESIS HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS (PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai kejadian luar biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen Kesehatan RI telah menyusun prioritas sasaran penanggulangan penyakit menular pada Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) tahun 2009-2014. Penyakit yang menjadi prioritas tersebut diantaranya adalah penyakit menular tertentu yang menjadi isu global seperti Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), Malaria, Kusta, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dan Filariasis. ADDS merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang memerlukan penanganan serius. Penyebab penyakit ini adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penurun kekebalan tubuh pada manusia yang menyebabkan tubuh mencapai masa AIDS. AIDS merupakan penyakit yang telah meluas hingga menjadi masalah internasional. Pertambahan kasus dan penyebaran yang cepat serta belum ditemukannya obat dan vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia akan perkembangan penyakit ini (Bappenas, 2009).
Menurut laporan tahunan terbaru badan PBB, UNAIDS (AIDS epidemic update 2009), jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS di dunia dalam delapan tahun terakhir mengalami penurunan hingga 17%, Sub Sahara Afrika 15%, Asia Timur 25% dan Asia Tenggara 10%. Hal ini menyatakan bahwa program-program pencegahan HIV yang gencar digalakkan oleh World Health Organization (WHO) dan UNAIDS telah berdampak signifikan. Walaupun mengalami penurunan, jumlah penderita HIV/AIDS di Sub Sahara Afrika dan negara berkembang tetap tinggi.
Asia merupakan wilayah dengan penduduk terinfeksi HIV terbesar kedua di dunia setelah Sub-Sahara Afrika. Berdasarkan data UNAIDS (2008), di Asia terdapat 4,7 juta orang terinfeksi HIV, dengan CFR 7,02%. Jumlah kasus baru 350.000 orang (7,44%) dengan 21.000 orang (6%) diantaranya adalah anak-anak.
Berdasarkan data SEARO (South East Asia Regional Office) tahun 2009, India, Indonesia, Myanmar, Nepal dan Thailand merupakan negara dengan penyebaran HIV/AIDS terbesar. Diperkirakan 2,3 juta penduduk di India menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa 0,34%. Di Myanmar diperkirakan 242.000 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,67%, dan 70.000 orang penduduk Nepal diperkirakan telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,5%. Di Thailand, diperkirakan 547.000 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 1,4%.
Di Indonesia berdasarkan data SEARO (2009), diperkirakan 270.000 orang menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,17% dan 28% diantaranya adalah perempuan. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui penggunaan narkoba suntikan atau IDU sebesar 40%, Wanita Pekerja Seks (WPS) 22%, pelanggan wanita pekerja seksual 16%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 4%, wanita dengan pasangan berisiko tinggi 17%, dan Narapidana serta anak-anak jalanan 1%. Secara keseluruhan, estimasi jumlah penderita HIV/AIDS di kawasan SEARO tahun 2009 mengalami penurunan namun epidemik HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan dengan cepat. Indonesia merupakan negara dengan peningkatan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia.
Berdasarkan Laporan Surveilans AIDS Kemenkes RI bulan April sampai dengan Juni 2011, diketahui 2.001 kasus AIDS, dengan proporsi pada laki-laki sebesar 64,9% (1.298 kasus) dan perempuan sebesar 54,2% (703 kasus). Menurut data Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI tahun 2011, jumlah kumulatif kasus AIDS sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 meningkat menjadi 29.879 kasus dengan total kematian 5.430 orang (CFR 18,17%). Prevalensi kasus AIDS nasional pada tahun 2011 adalah 12,45/100.000 penduduk, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua 157,02/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi terendah dilaporkan dari Provinsi Kalimantan Timur 0,39/100.000 penduduk, sementara Provinsi Riau berada pada urutan kesembilan dengan prevalensi 12,73/100.000 penduduk.
Lokasi prostitusi di Kecamatan X merupakan salah satu lokasi prostitusi yang terbesar di Kabupaten Y, dimana banyak mempekerjakan pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Tahun 2010 terdapat 98 orang PSK dan pada akhir Desember 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 108 PSK. Tetapi angka tersebut bukanlah suatu angka yang pasti, dikarenakan adanya kesulitan untuk dapat mengumpulkan data yang tepat dan akurat serta tingginya turn over PSK dari satu kota ke kota lain. Pada tahun 2011 telah dilakukan pemeriksaan serosurvey pada 47 PSK di lokasi tersebut, dari hasil pemeriksaan ditemukan 3 sampel menderita HIV/AIDS (Subdin P2PL Dinkes Y, 2011).
Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti, PSK yang bekerja di lokasi prostitusi di Kecamatan X tersebut berpotensi terkena penyakit AIDS. Di samping tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah, pengetahuan mereka tentang penyakit HIV/AIDS juga masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya anggapan bahwa penyakit HIV/AIDS hanya menular pada kaum homoseksual saja. Di samping itu PSK juga beranggapan bahwa penyakit HIV/AIDS timbul setelah adanya gejala-gejala seperti rasa sakit sewaktu buang air kecil, dan gatal-gatal pada kemaluan. Salah satu PSK juga mengakui bahwa pada saat melakukan aktivitas seksualnya tidak menggunakan alat pengaman yaitu kondom.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka prevalensi HIV/AIDS di Kecamatan X adalah dengan mencegah terjadinya penularan oleh penderita AIDS, dan dukungan dari petugas kesehatan dalam pencegahan penularan virus HIV melalui pemberian informasi berupa konseling bagi menderita HIV. Menurut Notoatmodjo (2007), adanya informasi tentang kesehatan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang kesehatan.
Allport dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa dalam menentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan tindakan yang baik pula.
Adanya pengetahuan tentang HIV/AIDS maka muncullah sikap yang berupa kesadaran dan niat untuk melakukan pencegahan penularan HIV, misalnya dengan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. Green dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan dalam hal ini tindakan terhadap penggunaan kondom pria salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan (faktor predisposisi). Didukung pula dengan penjelasan menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan domain kognitif yang sangat penting terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, maka apa yang dipelajari antara lain perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan maka tidak akan berlangsung lama. Hal ini berarti jika semakin baik pengetahuan seseorang mengenai HIV/AIDS, maka mempengaruhi tindakan untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks.
Pengetahuan tentang HIV dan pencegahannya merupakan prasyarat penting untuk menerapkan perilaku sehat. Meskipun sebagian besar generasi muda (usia 15-24 tahun) di negara ini pernah mendengar tentang HIV/AIDS, tetapi diketahui bahwa dari 95% target yang ditetapkan PBB, ternyata hanya 14,7% laki-laki menikah dan sekitar 9,5% perempuan menikah yang memiliki pengetahuan komprehensif dan benar mengenai AIDS. Sedangkan pada kelompok yang belum menikah, angka ini bahkan sangat rendah yakni 1,4% pada laki-laki yang belum menikah dan 2,6% pada perempuan yang belum menikah (Bappenas, 2009).
Berdasarkan berbagai permasalahan yang diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perilaku dan sosiodemografi terhadap upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

B. Permasalahan
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Y dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Y.
2. Bagi akademik, dapat memberikan tambahan literatur mengenai perilaku pekerja seks komersial (PSK) dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.
3. Bagi penulis, sebagai pengembangan ilmu yang didapat di perkuliahan terutama yang berhubungan dengan perilaku pekerja seks komersial (PSK)dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN TUGAS PEMERINTAHAN DESA

Posted: 10 Nov 2014 07:18 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0276) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN TUGAS PEMERINTAHAN DESA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka pembangunan yang dilaksanakan dengan menggunakan paradigma pemberdayaan sangat diperlukan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan di desa, kelurahan, dan kecamatan.
Untuk mewujudkan pemberdayaan, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat perlu didukung oleh pengelolaan pembangunan yang partisipatif. Pada tatanan pemerintahan diperlukan perilaku pemerintahan yang jujur, terbuka, bertanggung jawab dan demokrasi, sedangkan pada tatanan masyarakat perlu dikembangkan mekanisme yang memberikan peluang peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bagi kepentingan bersama.
Pembangunan wilayah pedesaan tidak terlepas dari peran serta dari seluruh masyarakat pedesaan, sehingga kinerja seorang kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa harus dapat menjalankan tugas pokok memimpin dan mengkoordinasikan pemerintah desa dalam melaksanakan sebagian urusan rumah tangga desa, melakukan pembinaan dan pembangunan masyarakat, dan membina perekonomian desa. Namun dalam kenyataannya menunjukkan bahwa penilaian kinerja kepala desa oleh masyarakat dalam memberikan pelayanan serba lamban, lambat, dan berbelit-belit serta formalitas.
Masyarakat yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang semakin membutuhkan aparatur pemerintah yang profesional. Seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan yang semakin kompleks serta pelayanan yang semakin baik, cepat, dan tepat. Aparatur pemerintah yang berada ditengah-tengah masyarakat dinamis tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan berbagai pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Terjadinya pemekaran wilayah di Indonesia, khususnya di beberapa kabupaten, menyebabkan terjadinya perubahan sistem dan struktur kepemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Untuk menghadapi perubahan tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten X berkewajiban meningkatkan kemampuan aparatur pemerintahannya di berbagai bidang, antara lain peningkatan kemampuan SDM seperti keahlian, pengetahuan dan ketrampilan dengan melalui pendidikan, pelatihan, kursus, magang, seminar/diskusi dan lain-lain.
Pemerintahan Kabupaten X dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas SDM, sudah melaksanakan pelatihan penjenjangan dan pelatihan teknis Pemerintahan Desa sebagai aplikasi dari Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2001 tentang peningkatan aparatur pemerintahan dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang pemerintahan desa, yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan aparatur pemerintahan desa. Pelatihan tersebut dilakukan secara bertahap baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat kecamatan. Harapan dari terlaksananya program pendidikan dan pelatihan tersebut adalah dapat meningkatkan kinerja kepala desa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparatur pemerintah di desa.
Salah satu upaya yang telah dilakukan Pemerintahan Kabupaten X pada tahun 2006 yang lalu adalah menyerahkan sepeda motor dinas kepada 34 (tiga puluh empat) kepala desa dan 11 (sebelas) staf kecamatan. Tujuan diberikannya sepeda motor dinas kepada para kepala desa tersebut sebagai upaya meningkatkan motivasi, kinerja dan pelayanan kepada masyarakat dengan tujuan diharapkan dapat mendukung dan membantu Pemerintahan Kabupaten X dalam mempercepat proses pembangunan. Dengan pemberian sepeda motor dinas ini, hendaknya dibarengi dengan peningkatan kinerja, misalnya pemungutan pajak bumi dan bangunan dari masyarakat menjadi lebih proaktif.
Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para pimpinan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering para pimpinan atau manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga organisasi/instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan-kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda-tanda peringatan adanya kinerja yang merosot.
Pada dasarnya kinerja kepala desa tidak cukup hanya dengan peningkatan pendidikan dan pelatihan saja, tetapi bisa juga dilakukan melalui peningkatan motivasi kepada mereka. Timbulnya motivasi pada diri seseorang tentu oleh adanya suatu kebutuhan hidupnya baik itu kebutuhan primer maupun kebutuhan sekundernya. Jika kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, maka seseorang akan giat bekerja sehingga kinerja dapat meningkat.
Kinerja kepala desa sebagai aparatur pemerintahan desa khususnya yang ada di Kabupaten X tentu dipengaruhi oleh kebutuhan seperti yang dimaksud di atas, dan mereka akan bekerja keras jika pekerjaannya itu dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Disamping faktor motivasi juga faktor pengalaman kerja sebagai kepala desa akan ikut mempengaruhi prestasi kerja (kinerja) dalam pelaksanaan tugas kepemerintahan desanya. Seorang kepala desa yang sudah lama bekerja sebagai kepala desa akan lebih berpengalaman dibandingkan dengan yang baru bekerja sebagai kepala desa, dan dengan pengalaman tersebut ia akan mudah melaksanakan tugas kesehariannya sebagai aparatur pemerintahan desa.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut : 
a. Sejauhmana faktor pendidikan, pelatihan, motivasi, dan pengalaman kerja berpengaruh terhadap kinerja kepala desa dalam pelaksanaan tugas pemerintahan desa di Kabupaten X ?
b. Bagaimana kinerja kepala desa sebelum dan sesudah terjadinya pemekaran wilayah di Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor pendidikan, pelatihan, motivasi, dan pengalaman kerja terhadap kinerja kepala desa dalam pelaksanaan tugas pemerintahan desa di Kabupaten X.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis kinerja kepala desa sebelum dan sesudah terjadinya pemekaran wilayah di Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
a. Sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi pemerintah daerah di Kabupaten X dalam upaya peningkatan kinerja kepala desa dalam pelaksanaan tugas pemerintahan desa di masa mendatang.
b. Sebagai menambah khasanah dan memperkaya penelitian ilmiah di Sekolah Pascasarjana, khususnya di Program Studi Magister Ilmu Manajemen.
c. Sebagai menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, khususnya mengenai kinerja kepala desa sebagai aparatur pemerintahan desa.
d. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji masalah yang sama di masa mendatang.

TESIS ANALISIS PENGARUH SISTEM PENGGAJIAN (REMUNERASI) BERBASIS KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI BEA CUKAI

Posted: 10 Nov 2014 06:58 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0275) : TESIS ANALISIS PENGARUH SISTEM PENGGAJIAN (REMUNERASI) BERBASIS KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI BEA CUKAI (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tentang pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya organisasi untuk mencapai tujuannya.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat keberhasilan organisasi adalah dengan cara melihat hasil penilaian kinerja. Sasaran yang menjadi obyek penilaian kinerja adalah kecakapan, kemampuan pegawai dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas yang di evaluasi dengan menggunakan tolok ukur tertentu secara obyektif dan dilakukan secara berkala. Dari hasil penilaian dapat dilihat kinerja organisasi yang dicerminkan oleh kinerja pegawai atau dengan kata lain, kinerja merupakan hasil kerja konkret yang dapat diamati dan diukur.
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean X merupakan salah satu instansi pemerintah di lingkungan Departemen Keuangan yang tengah berbenah dalam rangka memperbaiki kinerjanya. Usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan kinerja KPPBC Tipe Madya Pabean X seiring dengan reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh Departemen Keuangan meliputi 4 (empat) pilar utama, yaitu : penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, peningkatan sumber daya manusia dan perbaikan remunerasi.
Penataan organisasi di KPPBC Tipe Madya Pabean X dimulai sejak diresmikannya Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai X yang semula Tipe A1 menjadi Tipe Madya oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada tanggal 24 Desember 2008. Penataan organisasi dimaksud ditandai dengan ditambahnya 2 (dua) unit baru. Pertama; Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi yang mempunyai tugas melakukan bimbingan, konsultasi dan layanan informasi di bidang Kepabeanan dan Cukai. Kedua, Seksi Kepatuhan Internal yang mempunyai tugas melakukan monitoring dan pengawasan pelaksanaan tugas dibidang pengawasan, administrasi, dan pelayanan Kepabeanan dan Cukai.
Penyempurnaan proses bisnis di KPPBC Tipe Madya Pabean X diarahkan untuk menghasilkan proses bisnis yang akuntabel dan transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat dan ringkas. Untuk itu KPPBC Tipe Madya Pabean menyusun Standar Pelayanan Publik (SPP) yang rinci dan dapat menggambarkan setiap jenis keluaran pekerjaan secara komprehensif, melakukan analisis dan evaluasi jabatan untuk memperoleh gambaran rinci mengenai tugas yang dilakukan oleh setiap jabatan, serta melakukan analisis beban kerja untuk dapat memperoleh informasi mengenai waktu dan jumlah pejabat yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Dengan ketiga langkah tersebut KPPBC Tipe Madya Pabean X diharapkan mampu memberikan layanan prima kepada publik, yaitu layanan yang terukur dan pasti dalam hal waktu penyelesaian, persyaratan administrasi yang harus dipenuhi, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di KPPBC Tipe Madya Pabean X terus dilakukan dengan pemberian pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi. Pendidikan maupun Pelatihan dimaksud adalah dengan memberikan program pelatihan rutin bulanan berupa Program Pembinaan Keterampilan Pegawai (P2KP) kepada pegawai yang dianggap belum menguasai suatu bidang tugas tertentu (kompetensi tugas) maupun berupa sosialisasi peraturan-peraturan baru yang berkaitan dengan peraturan Kepabeanan dan Cukai, baik yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan maupun oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Selain pelatihan untuk meningkatkan keterampilan teknis (hard skill), pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean X juga diberikan pelatihan untuk pengembangan diri (soft skill) seperti pelatihan tentang motivasi dengan mengundang pembicara dari luar organisasi.
Perbaikan remunerasi juga telah diberlakukan di KPPBC Tipe Madya Pabean X mulai bulan Juli 2007, yaitu sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 290/KMK.01/2007 tentang Besaran Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) sedangkan untuk Gaji Pokok masih mengacu pada sistem lama sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Perubahan Kesebelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil dimana besaran gaji pokok ditentukan berdasarkan Golongan, Pangkat, dan Masa Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS).
TKPKN diberikan kepada pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean X berdasarkan peringkat jabatan yang telah ditentukan. Nilai TKPKN bagi pegawai pelaksana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 190/PMK.01/2008 tentang Pedoman Penetapan, Evaluasi, Penilaian, Kenaikan dan Penurunan Jabatan dan Peringkat Bagi Pemangku Jabatan Pelaksana di lingkungan Departemen Keuangan.
Peringkat jabatan pegawai pelaksana ditentukan berdasarkan kompetensi teknis pegawai pelaksana tersebut yang meliputi kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan yang terkait dengan bidang tugas pekerjaannya. Yang menjadi indikator dalam program penilaian yaitu Pelaksanaan pekerjaan; Perilaku dan sikap terhadap pekerjaan dan disiplin kehadiran. Hasil dari program penilaian terhadap pegawai akan dijadikan dasar untuk merekomendasikan pegawai agar dinaikkan peringkat jabatannya, sama pada peringkat jabatannya, atau diturunkan peringkat jabatannya. Dalam pelaksanaannya proses penilaian ini masih mengalami beberapa kesulitan terutama dalam memberikan skor yang sesuai kepada pegawai yang dinilai, faktor subyektivitas masih dominan dalam penentuan skor penilaian.
Berbagai pelatihan yang pernah diikuti pegawai juga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan peringkat jabatan. Jenis pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti pegawai KPPBC X selama periode 2009 antara lain : Pelatihan Pengawasan Lintas Batas Tumbuhan dan Satwa Liar, DTSS Sarana Pengangkut, Pelatihan Penggunaan Identifier Refrigerant, dan jenis-jenis pelatihan lainnya. Sertifikasi hasil pelatihan tersebut menjadi bahan pertimbangan pejabat penilai dalam menentukan peringkat jabatan pegawai pelaksana. Namun tidak semua pegawai memiliki kesempatan yang sama dalam program pelatihan dimaksud karena keterbatasan anggaran dan fasilitas yang tersedia.
Berdasarkan beberapa permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di atas, penulis sangat tertarik untuk membuat suatu penelitian tentang si stem remunerasi berbasis kompetensi yang telah diterapkan di KPPBC Tipe Madya Pabean X di mana penilaian berbasis kompetensi (Competency Based Assessment) dan pelatihan berbasis kompetensi (Competency Based Training) sangat menentukan dalam penentuan peringkat jabatan pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean X. Dalam penelitian ini subyek dibatasi hanya untuk pegawai pelaksana di lingkungan KPPBC Tipe Madya Pabean X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Sejauhmana pengaruh sistem penggajian (remunerasi) yang berupa program penilaian dan program pelatihan berbasis kompetensi terhadap kinerja pegawai pelaksana di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean X ?
2. Sejauhmana perbedaan kinerja antara pegawai pemangku jabatan pelaksana administrasi dengan pegawai pemangku jabatan pelaksana pemeriksa di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean X dengan diterapkannya sistem penggajian (remunerasi) berbasis kompetensi ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh sistem penggajian (remunerasi) yang berupa program penilaian dan program pelatihan berbasis kompetensi terhadap kinerja pegawai pelaksana di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean X.
2. Untuk mengetahui perbedaan kinerja antara pegawai pelaksana administrasi dengan pegawai pelaksana pemeriksa di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Bagi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean X dapat dipakai sebagai salah satu cara dalam melakukan penyempurnaan sistem penggajian yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia dengan pendekatan terhadap kompetensi individu dan aspirasi pegawai, sehingga dapat diterapkan model penggajian (remunerasi) yang sesuai dengan kondisi organisasi.
2. Bagi Sekolah Pascasarjana untuk mengembangkan studi kepustakaan dan sebagai bahan penelitian selanjutnya mengenai analisis pengaruh penerapan sistem remunerasi berbasis kompetensi terhadap kinerja pegawai.
3. Bagi peneliti sebagai sarana menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan terutama dalam hal penggajian (remunerasi) dan kompetensi serta kaitannya dengan pengembangan sumber daya manusia, juga untuk memperluas wawasan tentang model terutama dalam hal mengembangkan model penggajian berbasis kompetensi terhadap pegawai.
4. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya terutama yang berminat untuk meneliti tentang sistem penggajian yang lebih baik di masa mendatang. 

TESIS ANALISIS PENGARUH PELATIHAN DAN DISIPLIN TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN KOMPETENSI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

Posted: 10 Nov 2014 06:54 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0274) : TESIS ANALISIS PENGARUH PELATIHAN DAN DISIPLIN TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN KOMPETENSI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar. Keberhasilan pencapaian tujuan organisasi sangat dipengaruhi oleh peran dan kinerja para anggotanya. Keberhasilan pencapaian kinerja organisasi merupakan hasil dari kinerja individu dalam organisasi. Jika kinerja individu dalam organisasi baik maka kinerja organisasi akan baik. Oleh karena itu setiap organisasi pemerintah dituntut untuk dapat mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM) dan bagaimana sumber daya manusia dikelola.
Pengelolaan sumber daya manusia pada organisasi Pemerintah tidak lepas dari faktor pegawai yang diharapkan dapat berprestasi sebaik mungkin demi mencapai tujuan organisasi. Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai SDM yang berada di Pemerintahan, turut bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan nasional sehingga kedudukan dan peran PNS sangat penting sebagai pelaksana dari usaha kegiatan Pemerintah dalam rangka pembangunan. Untuk itu peningkatan kinerja aparatur merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
SDM mempunyai peranan penting bagi organisasi karena sumberdaya manusia sebagai pengelola sistem, agar sistem ini tetap berjalan, tentu dalam pengelolaannya harus memperhatikan aspek-aspek penting seperti kompetensi, pelatihan, dan disiplin serta tingkat kenyamanan bekerja sehingga pegawai yang bersangkutan dapat terdorong untuk memberikan segala kemampuan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh organisasi. SDM dengan kinerja yang baik maka pada akhirnya akan menghasilkan kinerja organisasi yang baik.
Kompetensi menjelaskan apa yang dilakukan pegawai di tempat kerja pada berbagai tingkatan dan memerinci standar masing-masing tingkatan, mengidentifikasi karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan individual yang memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara efektif sehingga mencapai standar kualitas profesional dalam bekerja dan menghasilkan kinerja yang baik (Wibowo, 2009). Kompetensi pegawai dapat tercapai dengan cara memberikan pelatihan kepada pegawai yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaannya dan tujuan organisasi.
Pelatihan merupakan salah satu faktor yang membentuk kinerja seseorang. Dalam suatu organisasi perlu melibatkan sumber daya manusianya (pegawainya) pada aktifitas pelatihan. Pelatihan diharapkan dapat mencapai hasil lain dari pada memodifikasi perilaku pegawai dalam bekerja. Pelatihan adalah jantung dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja (Mondy, 2008).
Tidak terpenuhinya standar PNS ini disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya, PNS tidak ditempatkan sesuai kemampuan. Terlebih, banyak pula PNS tidak mengikuti pelatihan meski Pemerintah sudah membuat program khusus secara berkala. Azwar juga mengatakan kebanyakan PNS saat ini kurang memiliki inisiatif dan hanya menunggu perintah atasan. 
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya banyak pegawai yang masih belum menguasai bidang pekerjaannya, Pelatihan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk peningkatan kemampuan individu bagi kepentingan jabatan saat ini dengan sasaran pencapaian kinerja jangka pendek. Dalam kenyataannya masih banyak instansi yang salah mengikutsertakan pegawainya dalam program pelatihan. Sudah menjadi suatu fenomena umum di negeri ini, bahwa hampir seluruh unsur pimpinan pemerintahan senantiasa meletakan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pada urutan teratas dari program kerjanya. Namun, dalam implementasinya, pengembangan SDM ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan tidak terpenuhinya anggaran dalam hal pengembangan SDM yang hasilnya baru akan terlihat beberapa puluh tahun kemudian. Hal yang banyak menjadi penyebab antara lain (1) ketiadaan PNS yang dapat memenuhi persyaratan untuk mengikuti diklat tersebut, (2) ketergantungan pimpinan unit yang sangat tinggi terhadap staf, (3) penunjukan staf untuk mengikuti diklat dilakukan secara subyektif atau tanpa kriteria yang jelas, (4) Instansi tidak memiliki program pengembangan staf yang terstruktur, (5) pasifnya para pengelola diklat dan atau kepegawaian di dalam mencari informasi diklat gelar dan non gelar dengan beasiswa dari luar instansinya (Priatna, 2013).
Kabupaten X merupakan daerah otonom baru hasil pemekaran dari Kabupaten Y. Kabupaten ini didirikan pada tahun 2009 yang terdiri dari 5 kecamatan, 2 Kelurahan dan 54 desa. Sebagai daerah pemekaran bam percepatan pembangunan daerah hanya dapat dicapai apabila roda Pemerintahan dapat berjalan dengan baik sehingga program dan tujuan pembangunan daerah dapat tercapai secara maksimal dengan mengandalkan potensi sumber daya manusia yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Aparatur Pemerintah yang menggerakkan roda Pemerintahan tersebut.
Aparatur Pemerintah semakin dituntut memberikan pelayanan prima. Pelayanan Prima dari Pemerintah ditujukan kepada masyarakat, Departemen atau Lembaga Pemerintah, Non-Departemen atau Pemerintah Daerah Tingkat I dan II juga memberikan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan, baik secara internal maupun eksternal untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Pelayanan prima dapat tercapai apabila SDM yaitu PNS dapat diandalkan yang dapat bekerja secara profesional dan memiliki kinerja yang baik.
Sekretariat Daerah Kabupaten X (Setdakab) merupakan salah satu Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) yang ada di Kabupaten X. Setdakab mempunyai tugas dan kewajiban membantu Bupati dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan/Desa, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah, pembinaan administrasi dan Aparatur Pemerintah Daerah, dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati.
Dalam melaksanakan program Setdakab tersebut dibutuhkan SDM yang kompeten di bidangnya agar kinerja Setdakab dapat tercapai secara optimal. Banyak permasalahan manajemen Pemerintahan yang belum sepenuhnya teratasi, permasalahan manajemen Pemerintahan tersebut antara lain : masih rendahnya kinerja aparatur di lembaga Pemerintahan (Manajemen Kepegawaian Negara, 2010). Rendahnya kinerja aparatur merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi Setdakab saat ini. Hal ini disebabkan karena saat ini Setdakab dihadapkan pada kondisi keterbatasan kualitas SDM dan sarana prasarana yang masih sangat terbatas. (LAKIP Setdakab, 2012).
Pencapaian kinerja Setdakab masih belum optimal karena masih terdapat program/kegiatan yang realisasinya masih belum tercapai sesuai dengan target yang ditetapkan. Kinerja Setdakab merupakan hasil dari seluruh kinerja bagian yang terdapat dalam Setdakab. Kinerja bagian merupakan hasil dari setiap kinerja pegawai yang berada di dalamnya yang telah diberikan tugas dan tanggung jawab. Oleh karena itu kinerja pegawai Setdakab secara keseluruhan akan tercermin dari hasil pencapaian kinerja Setdakab dalam melaksanakan program kegiatan yang telah ditetapkan.
Keseluruhan pelaksanaan kegiatan dari program kerja Setdakab X tahun 2012 direalisasikan lebih kurang 57,25%. Berhasil atau tidaknya pencapaian kinerja Setdakab tidak terlepas dari kinerja SDM yang terdapat di dalamnya yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) Setdakab (LAKIP Setdakab, 2012).
SDM yang handal adalah SDM yang memiliki kualitas, jujur, kompeten, profesional, berani dan konsisten. SDM yang dibutuhkan adalah yang handal/profesional, yaitu memiliki kemampuan pengetahuan teknis di bidangnya (Halide, 2010). Kehandalan berkaitan dengan kapasitas dan kualitas pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya. Kompetensi menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan : pasal 1 (10), "Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan".
Masalah yang dihadapi oleh Setdakab adalah masih sedikit PNS yang berkualitas yang ditandai dengan sedikitnya jumlah PNS yang kompeten yang mengakibatkan kurang maksimalnya kualitas kerja pegawai. Kompeten adalah keterampilan dan kemampuan yang diperlukan seseorang yang ditunjukkan oleh kemampuannya untuk dengan konsisten memberikan tingkat kinerja yang memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan spesifik. PNS yang kurang kompeten terlihat dari kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan pegawai di bidangnya seperti kurangnya ketekunan mengikuti perkembangan ilmu yang dikuasai, kurangnya kemampuan pegawai dalam menerapkan ilmu yang dikuasai, kurangnya sikap ketaatan dan menghargai dalam melaksanakan tugas, dan kurangnya rasa tanggung jawab. Semua hal tersebut dapat menyebabkan hasil kerja menjadi tidak efektif dan efisien .
Kompetensi merupakan salah satu masalah kehandalan SDM yang dialami Setdakab yaitu masih kurangnya pengetahuan, keterampilan dan sikap pegawai yang dapat mendukung tujuan instansi. Selain itu penempatan PNS pada struktur organisasi dan tata kerja belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini ditandai dengan kenyataan bahwa masih banyak terdapat bidang atau bagian pekerjaan yang belum terpenuhi penempatan pegawai pada bidang dan sub bidang yang ada. Selain itu faktor latar belakang pendidikan dan penguasaan tugas belum sepenuhnya dijadikan dasar pertimbangan dalam proses penempatan.
Dalam meningkatkan kinerja pegawai salah satu kegiatan yang dilakukan organisasi yaitu dengan memberikan pelatihan tepat sasaran dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta untuk meningkatkan kemampuan/kompetensi pegawai, yang mengarah pada kepentingan organisasi dengan meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kualitas pelaksanaan tugas yang dilakukan, semangat kerjasama dan tanggung jawab. Pelatihan pegawai merupakan kegiatan pokok sebuah organisasi dalam mengembangkan pegawainya dalam rangka pengembangan organisasi. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Pada Bab I ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) ditetapkan bahwa pendidikan dan pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil adalah proses penyelenggaraan belajar dan mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Pegawai Negeri Sipil.
Pelatihan sebagai bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktek dari pada teori, yang meliputi pengertian physical skill, social skill, managerial skill dan Iain-lain. 
Pegawai telah diikut sertakan dalam pelatihan dalam rangka meningkatkan kinerja pada bidang pekerjaan masing-masing. Berdasarkan pengamatan di lapangan pelatihan yang telah diikuti belum terlihat hasilnya karena masih banyak terkendala dalam menerapkan hasil dari pelatihan pada bidang pekerjaan masing-masing. Hal ini terlihat dari pegawai tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik sesuai dengan target yang telah ditetapkan, masih banyak waktu yang tersita hanya untuk memperbaiki kesalahan pekerjaan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Dalam meningkatkan kinerja pegawai, selain dari diadakannya pelatihan maka salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui penerapan disiplin. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab pegawai terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 2 dan pasal 3 telah diatur secara jelas kewajiban dan larangan yang harus ditaati oleh setiap pegawai negeri sipil. Disiplin sebagai sikap dan tingkah laku pegawai yang mencerminkan tingkat kepatuhan atau ketaatannya pada berbagai ketentuan yang berlaku dan tindakan korektif terhadap pelanggaran atas ketentuan atau standar yang telah ditetapkan.
Menurut Flippo (2001) dijelaskan tentang masalah kepegawaian yang menyangkut dengan kedisiplinan yaitu diantaranya tingginya tingkat absensi dan tingginya tingkat keterlambatan jam kerja. Jika tingkat absensinya tinggi maka kemungkinan kinerja pegawai juga rendah dan target yang diharapkan sulit tercapai, tingginya tingkat ketidakhadiran mencapai diatas 10% dari total jumlah pegawai, mengakibatkan banyak kegiatan menjadi terhambat dan berpengaruh terhadap kinerja pegawai secara keseluruhan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dalam penerapan disiplin, masih ditemukannya pegawai yang kurang menggunakan waktu secara baik. Hal ini dilihat dari masih adanya pegawai hadir lewat dari waktu yang ditentukan misalnya seharusnya jam masuk kantor adalah pukul 08.00 WIB pagi tetapi hadir pukul 09.00 WIB pagi, sementara makan siang dan istirahat pukul 13.00-14.00 WIB tetapi pada kenyataannya masih ditemukannya pegawai yang kembali ke kantor pukul 15.00 WIB. Apel pagi yang tidak diikuti dan sebagian pegawai tidak melapor apabila tidak masuk kerja.
Tingkat ketidakhadiran tinggi karena mencapai atau sama dengan 10%, Hal ini sejalan dengan pendapat Flippo (2001) yang menyatakan tingginya tingkat ketidakhadiran mencapai diatas 10% dari total jumlah pegawai maka pekerjaan jadi terganggu yang mengakibatkan banyak kegiatan menjadi terhambat dan berpengaruh terhadap kinerja pegawai secara keseluruhan. Banyak pegawai yang tidak mematuhi peraturan disiplin yang diterapkan. 
Berdasarkan hasil pra-survey di lapangan pada aspek sikap pegawai masih ditemukannya pegawai yang tidak menyelesaikan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya, kurangnya kerjasama tim dalam pekerjaan dimana diantara pegawai masih saling bergantung terhadap pegawai lainnya terhadap suatu pekerjaan, ditemukannya egoisme pegawai dalam mengerjakan pekerjaan, yaitu perbedaan tahun masuk kerja dan tingkat golongan mengakibatkan pegawai yang ada merasa lebih senior atau lebih baik sehingga kerja sama maupun koordinasi yang diharapkan diantara pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan tidak terjalin dengan baik, kurangnya penghargaan terhadap pegawai yang bekerja dengan baik yaitu tidak adanya penghargaan atau promosi terhadap pegawai yang bekerja dengan baik, tepat waktu yang mengakibatkan pegawai merasa usaha yang dilakukan tidak dihargai karena sama dengan pegawai yang sama sekali tidak menyelesaikan pekerjaannya, rendahnya pemahaman pegawai terhadap tugas-tugas yang diemban dan masih rendahnya inisiatif pegawai dalam bekerja yang terkesan selalu menunggu petunjuk dari atasan.
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "ANALISIS PENGARUH PELATIHAN DAN DISIPLIN TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN KOMPETENSI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Apakah pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kompetensi PNS Setdakab Kabupaten X ?
2. Apakah disiplin berpengaruh positif dan signifikan terhadap kompetensi PNS Setdakab Kabupaten X ?
3. Apakah kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja PNS Setdakab Kabupaten X ?
4. Apakah pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja PNS Setdakab Kabupaten X ?
5. Apakah disiplin berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja PNS Setdakab Kabupaten X ?
6. Apakah pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja PNS melalui variabel kompetensi di Setdakab Kabupaten X ?
7. Apakah disiplin berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja PNS melalui variabel kompetensi Setdakab Kabupaten X ?.

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pelatihan terhadap kompetensi PNS Setdakab Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh disiplin terhadap kompetensi PNS Setdakab Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kompetensi terhadap kinerja PNS Setdakab Kabupaten X.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pelatihan terhadap kinerja PNS Setdakab Kabupaten X.
5. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh disiplin terhadap kinerja PNS Setdakab Kabupaten X.
6. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pelatihan terhadap kinerja PNS melalui variabel kompetensi di Setdakab Kabupaten X.
7. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh disiplin terhadap kinerja PNS melalui variabel kompetensi di Setdakab Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan, referensi dan bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan dan strategi bagi Dinas Setdakab Kabupaten X dalam upaya peningkatan kinerja pegawai
2. Sebagai tambahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana .
3. Sebagai tambahan dan memperluas pengetahuan bagi peneliti dalam bidang manajemen sumber daya manusia, khususnya mengenai kompetensi, pelatihan dan disiplin yang berkaitan dengan kinerja.

TESIS EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERORIENTASI PROBLEM SOLVING DIKEMAS DALAM CD INTERAKTIF DIDASARI ANALISIS SWOT MATERI DIMENSI TIGA

Posted: 10 Nov 2014 06:49 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0273) : TESIS EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERORIENTASI PROBLEM SOLVING DIKEMAS DALAM CD INTERAKTIF DIDASARI ANALISIS SWOT MATERI DIMENSI TIGA (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN MATEMATIKA)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mutu pendidikan di Indonesia masih cenderung rendah terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, khususnya siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini dapat diketahui dari kriteria Kelulusan Ujian Nasional untuk tingkat SMA yaitu : 1) Peserta ujian nasional dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan ujian nasional sebagai berikut : a) memiliki nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai < 4,25. b) memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai mata pelajaran lainnya yang diujikan pada ujian nasional masing-masing minimal 6,00. 2) Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau satuan pendidikan dapat menentukan standar kelulusan ujian nasional lebih tinggi dari kriteria butir 1.
Masalah lain pendidikan di Indonesia yaitu kurangnya kepedulian semua pihak dalam rangka mengupayakan peningkatan mutu hasil belajar. Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik, dan pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (UU RI No. 20, 2003). Sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dilakukan oleh semua pihak namun sampai sekarang masih dominan dilakukan oleh pemerintah, baik yang berkenaan dengan peningkatan mutu guru, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan maupun penyempurnaan kurikulum dan proses pembelajaran. Permasalahan yang muncul di SMA Negeri X selama ini adalah : 
1. Rendahnya prestasi belajar matematika.
2. Siswa kurang aktif dalam mengikuti pelajaran.
3. Dari data inventaris barang menunjukkan rendahnya sumber daya pendidikan terutama sarana dan prasarana pendidikan.
4. Data Penerimaan Peserta Didik dari 2 tahun terakhir ini tidak pernah memenuhi daya tampung dan dari cacatan guru BK/BP terhadap permasalahan putra-putrinya di sekolah kurang mendapat perhatian yang serius hal ini merupakan contoh kecil yang menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan relatif rendah.
5. Sebagian guru masih menggunakan pola pembelajaran konvensional yang mengakibatkan pembelajaran matematika kurang menarik bagi siswa sehingga siswa kurang bersemangat, malas, bahkan terdapat siswa yang sama sekali tidak tertarik dengan pembelajaran matematika.
6. Guru dimungkinkan belum melakukan kegiatan analisis SWOT di dalam pengambilan keputusan mengenai serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dimensi tiga merupakan bagian dari matematika yang diasumsikan korelasinya cukup banyak dengan bagian ilmu matematika lainnya yaitu aljabar, geometri, trigonometri dan vektor. Dimensi tiga banyak mempelajari tentang titik, garis, bidang, luas, volum, jarak, sudut, irisan suatu bidang. Dimensi tiga sangat berguna untuk teknik mesin, elektro, bangunan gedung, sebagai contoh untuk membuat suku cadang kendaraan bermotor, mesin listrik, dinamo, turbin pembangkit listrik tenaga air, konstruksi bangunan gedung, yang pada umumnya memerlukan gambar ruang.
Siswa kelas X SMA Negeri X merasakan pelajaran dimensi tiga sebagai mata pelajaran yang sulit karena adanya hitungan, rumus yang harus dihafalkan dan siswa harus dapat mengaplikasikan dengan dunia nyata. Banyak siswa tidak bisa mengikuti materi yang diberikan guru dengan metode ceramah di depan kelas karena banyak istilah, simbol, maupun gambar bangun ruang yang sulit diintegrasikan dalam dunia nyata. Karena merasa sulit, kadang merasa tidak bisa berbuat apa-apa terhadap materi dimensi tiga dan mungkin rendah diri atau frustasi. Metode mengajar guru yang kurang relevan dengan materi semakin membuat dimensi tiga menjadi pelajaran yang sulit dimengerti. Dengan demikian perlu mengubah kerangka berfikir/paradigma atau pola metode belajar dimensi tiga dari paradigma mengajar ke paradigma pembelajaran.
Pada rambu-rambu kurikulum mata pelajaran matematika disebutkan bahwa untuk mengajarkan konsep matematika dapat dimulai dengan masalah yang sesuai dengan situasi nyata (contextual problem). Disebutkan pula, ada dua kemampuan untuk mendukung keterampilan hidup (life-skill) yang terkait dengan matematika sebagai alat untuk memecahkan masalah (problem solving) dan komunikasi matematika. Dua kemampuan ini dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ditetapkan sebagai kemampuan yang hendak dicapai (Depdiknas, 2003).
Penerapan kurikulum berkaitan dengan bahan yang diajarkan, peranan guru, peranan siswa, sumber belajar dan proses pembelajaran. Pada dasarnya, semua model atau pendekatan dan strategi belajar apapun dapat diterapkan sepanjang model, pendekatan atau strategi itu memberdayakan siswa.
Dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran matematika di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA), pemerintah berupaya untuk menemukan solusi penanganan pembelajaran yang cocok dengan keadaan di Indonesia. Melalui berbagai penelitian pendidikan diharapkan menemukan model atau strategi pembelajaran yang cocok dengan materi yang diajarkan. Upaya ini tidak hanya diambil dari dalam negeri saja tetapi juga dari luar negeri misalnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kurikulum ini disadur dari Australia. Hal ini dilakukan oleh karena model pembelajaran tersebut telah memberikan hasil berupa peningkatan mutu pendidikan pada negara yang telah menggunakannya. Menurut Depdiknas 2003, bahwa penjabaran kurikulum diserahkan sepenuhnya kepada sekolah atau guru, sehingga guru dituntut profesionalisme di bidangnya termasuk dalam menentukan model pembelajaran.
Efektivitas pembelajaran dapat dicapai secara optimal apabila pelaku pendidik mampu memanfaatkan pendidikan yang ada di sekolah, menganalisa, dan mampu memahami kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunity), dan ancaman (Threat) yang dimiliki oleh sekolah, proses tersebut dinamakan sebagai analisis SWOT. Analisis SWOT sebagai dasar untuk melangkah menuju pembelajaran yang efektif. Oleh karena efektivitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh perilaku pendidik dan perilaku peserta didik. Perilaku pendidik yang efektif, antara lain, mengajar dengan jelas, menggunakan variasi metode pembelajaran, menggunakan variasi sumber belajar, antusiasme, memberdayakan peserta didik, menggunakan konteks (lingkungan) sebagai sarana pembelajaran, menggunakan jenis penugasan, dan pertanyaan yang membangkitkan daya pikir dan keingintahuan : sedangkan perilaku peserta didik mencakup antara lain motivasi/semangat belajar, keseriusan, perhatian, pencatatan, pertanyaan, senang melakukan latihan, dan sikap belajar yang positif.
Selain itu untuk mengatasi kesulitan peserta didik proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pengajaran interaktif multimedia. Perkembangan penggunaan istilah teknologi pendidikan ini melalui 3 fase atau tiga kategori : 
1. Penggunaan Audio Visual Aids atau AVA di kelas untuk memperjelas informasi dan merangsang berfikir.
2. Penggunaan bahan-bahan terprogram.
3. Terakhir, penggunaan komputer dalam pendidikan (Ali, 2004; 63).
Dari ketiga fase di atas dunia pendidikan saat ini sudah memasuki fase yang ke tiga yaitu penggunaan komputer. Seorang guru yang memberikan pelajarannya dengan bantuan multimedia bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang situasi-situasi dalam kehidupan nyata, meminta contoh-contoh dari para siswanya untuk menjelaskan bagaimana konsep dan teori itu berlaku dalam situasi tertentu. Dengan cara ini pelajaran yang membosankan menjadi hidup dan memperkaya, dan kapasitas belajar sang siswa menjadi sangat ditingkatkan. (Saputra, 2003 : 41).
Keberhasilan guru dalam menampilkan suatu model pembelajaran, pada akhirnya bergantung pada sikap mental dan upaya guru itu sendiri. Konservatifisme guru (berpegang pada satu gaya tertentu saja) maupun kreativitas (selalu mencari cara bentuk gaya mengajar) menyebabkan guru dapat menampilkan model, pendekatan atau strategi belajar mengajar secara lebih efektif dan efisien (Ali, 2004 : 66). Dengan SWOT, pembelajaran menjadi efektif kalau pembelajaran dikemas dalam CD interaktif, CD diberikan sebelum pembelajaran untuk dipelajari secara mandiri. Hasil belajar siswa melalui belajar mandiri di-review pada saat tatap muka di kelas sehingga keaktifan siswa muncul. Untuk memantapkan pemahaman siswa pada materi yang dipelajari diterapkan model pembelajaran berorientasi problem solving disini siswa dituntut menemukan formula-formula dalam menyelesaikan masalah secara mandiri. Model pembelajaran yang dimaksud itu adalah model pembelajaran yang didasari analisis SWOT berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif, yaitu model pembelajaran yang diharapkan mampu menumbuhkan keaktifan siswa dan keterampilan proses sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah keaktifan siswa, keterampilan proses dan prestasi belajar pada pembelajaran matematika berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT pada materi dimensi tiga dapat mencapai tuntas belajar ?
2. Apakah terdapat pengaruh dan seberapa besar pengaruh keaktifan siswa terhadap prestasi belajar matematika berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT pada materi dimensi tiga ?
3. Apakah terdapat pengaruh dan seberapa besar pengaruh keterampilan proses siswa terhadap prestasi belajar matematika berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT pada materi dimensi tiga ?
4. Apakah terdapat pengaruh dan seberapa besar pengaruh keaktifan siswa dan keterampilan proses secara bersama-sama terhadap prestasi belajar matematika berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD didasari analisis SWOT interaktif pada materi dimensi tiga ?
5. Apakah prestasi belajar siswa pada model pembelajaran matematika berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT lebih baik dari pada prestasi belajar siswa dengan pembelajaran konvensional pada materi dimensi tiga ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pencapaian ketuntasan belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT pada materi dimensi tiga.
2. Untuk mengetahui pengaruh dan seberapa besar pengaruh keaktifan siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT pada materi dimensi tiga.
3. Untuk mengetahui pengaruh dan seberapa besar pengaruh keterampilan proses siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT pada materi dimensi tiga.
4. Untuk mengetahui pengaruh dan seberapa besar pengaruh keaktifan siswa dan keterampilan proses secara bersama-sama terhadap prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT pada materi dimensi tiga. 
5. Untuk mengetahui prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika berorientasi Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT dengan pembelajaran konvensional pada materi dimensi tiga.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi : 
1. Siswa, dapat tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan, siswa dapat lebih menyerap materi yang berupa pengetahuan sehingga prestasi belajarnya menjadi lebih baik.
2. Guru, diperolehnya suatu pendekatan pembelajaran yang lebih efektif pada pembelajaran matematika khususnya materi dimensi tiga.
3. Sekolah, diperoleh masukan yang baik dalam rangka perbaikan proses pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
4. Kurikulum, diperolehnya masukan tentang model pembelajaran Problem Solving dikemas dalam CD interaktif didasari analisis SWOT yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan proses dan prestasi belajar siswa.

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template