download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI

Posted: 31 Jan 2015 03:44 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0303) : TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)



BAB II 
KAJIAN TEORETIS

A. Perilaku Kemandirian Anak Usia Dini 

1. Pengertian Kemandirian Anak

Kemandirian harus mulai dikenalkan kepada anak sedini mungkin. Dengan kemandirian akan menghindarkan anak dari sifat ketergantungan pada orang lain, dan yang terpenting adalah menumbuhkan keberanian dan motivasi pada anak untuk terus mengeksploitasi pengetahuan-pengetahuan baru.
Menurut Bachrudin Musthafa (2008 : 75) kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil pilihan dan menerima konsekuensi yang menyertainya. Kemandirian pada anak-anak mewujud ketika mereka menggunakan pikirannya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan : dari memilih perlengkapan belajar yang ingin digunakannya, memilih teman bermain, sampai hal-hal yang relatif lebih rumit dan menyertakan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang lebih serius.
Selanjutnya Musthafa menjelaskan bahwa tumbuhnya kemandirian pada anak-anak, bersamaan dengan munculnya rasa takut (kekuatiran) dalam berbagai bentuk dan intensitasnya yang berbeda-beda. Rasa takut (kekuatiran) dalam takarannya yang wajar dapat berfungsi sebagai "emosi perlindungan" (protective emotion) bagi anak-anak, yang memungkinkannya mengetahui kapan waktunya meminta perlindungan kepada orang dewasa atau orangtuanya.
Sedangkan menurut Syamsu Yusuf (2008 : 130) bahwa kemandirian (otonomi) merupakan karakteristik dari kepribadian yang sehat (healthy personality). Kemandirian individu tercermin dalam cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri, serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Megan Northrop, dalam Research Assistant, dan disunting oleh Stephen F. Duncan, Profesor, School of Family Life, Brigham Young University, menjelaskan : 
As children grow, they should be given more and more independence. At a young age children can select the clothes they wear, food they eat, places to sit, and other small decisions. Older children can have more of a say in choosing appropriate times to be at home, when and where to study, and which friends to associate with. The goal is to prepare children for the day they will leave their family and live without parental control. (www.foreverfamilies.net/xml/articles/teaching_children_self_regulation)
Berdasarkan pengertian di atas bahwa kemandirian adalah (a) kemampuan untuk menentukan pilihan, (b) berani memutuskan atas pilihannya sendiri, (c) bertanggungjawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya, (d) percaya diri, (e) mengarahkan diri, (f) mengembangkan diri (g) menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan (h) berani mengambil resiko atas pilihannya. Hal ini pada anak usia dini masih dalam tarap yang sangat sederhana tentunya, sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Dalam mendorong tumbuhnya kemandirian anak usia dini, orangtua dan guru perlu memberikan berbagai pilihan dan bila memungkinkan sekaligus memberikan gambaran kemungkinan konsekuensi yang menyertai pilihan yang diambilnya. Dalam konteks persekolahan atau Taman Kanak-kanak, ini aspirasi dan kemauan anak-anak pembelajar perlu didengar dan diakomodasi. Dalam konteks lingkungan keluarga di rumah, ini menuntut orangtua untuk lebih telaten dan sabar dengan cara memberikan berbagai pilihan dan membicarakannya secara seksama dengan anak-anak setiap kali mereka dihadapkan pada pembuatan keputusan-keputusan penting. Semua ini diharapkan agar anak dapat membuat keputusan secara mandiri dan belajar dari konsekuensi yang ditimbulkan keputusan yang diambilnya (Bachrudin Musthafa, 2008 : 75).

2. Ciri-ciri Kemandirian Anak

Anak yang mandiri adalah anak yang memiliki kepercayaan dan motivasi yang tinggi. Zimmerman (Tillman dan Weiss, 2000) mengatakan bahwa anak yang mandiri yaitu anak yang mempunyai kepercayaan diri dan motivasi intrinsik yang tinggi. Selain itu, Pintrich (1999) menekankan pentingnya integrasi komponen motivasi dan kognitif dalam kemandirian anak, sehingga dapat dikatakan bahwa menjadi anak yang mandiri tergantung pada kepercayaan terhadap diri sendiri dan motivasinya.
Ada beberapa ciri khas anak mandiri antara lain (1) mempunyai kecenderungan memecahkan masalah daripada berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah, (2) tidak takut mengambil risiko karena sudah mempertimbangkan baik buruknya, (3) percaya terhadap penilaian sendiri sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya atau minta bantuan, dan (4) mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap hidupnya (Tim Pustaka Familia, 2006 : 45).
Kasiram (1994) mengatakan anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.
Sylvia Rimm (2003 : 47) mengatakan bahwa untuk menumbuhkan percaya diri adalah "rasa senang melihat keberhasilan anak dan kekecewaan melihat sikap buruk mereka merupakan alat paling efektif dalam menerapkan disiplin pada anak. Orangtua yang realistis menyadari, ada kalanya mereka perlu meninggikan nada suara serta bersikap tegas dalam memberikan batasan kepada anak agar rasa percaya diri bisa tumbuh dalam diri anak".
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa ciri-ciri kemandirian adalah sebagai berikut : 
a. Kepercayaan pada diri sendiri
Anak yang memiliki kepercayaan diri lebih berani untuk melakukan sesuatu, menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya sendiri dan bertanggungjawab terhadap konsekuensi yang ditimbulkan karena pilihannya. Kepercayaan diri sangat terkait dengan kemandirian anak.
b. Motivasi intrinsik yang tinggi
Motivasi intrinsik adalah dorongan yang tumbuh dalam diri untuk melakukan sesuatu. Motivasi intrinsik biasanya lebih kuat dan abadi dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik walaupun kedua motivasi itu kadang berkurang kadang bertambah. Kekuatan yang datang dari dalam akan mampu menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
c. Mampu dan berani menentukan pilihan sendiri
Anak mandiri memiliki kemampuan dan keberanian dalam menentukan pilihan sendiri. Misalnya dalam memilih alat bermain atau alat belajar yang akan digunakannya.
d. Kreatif dan Inovatif
Kreatif dan inovatif pada anak Taman Kanak-kanak merupakan ciri anak yang memiliki kemandirian, seperti dalam melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak ketergantungan kepada orang lain dalam melakukan sesuatu, menyukai pada hal-hal yang baru yang semula dia belum tahu, dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru.
e. Bertanggungjawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya
Di dalam mengambil keputusan atau pilihan tentu ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri dia bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi tentu saja bagi anak TK tanggungjawab pada tarap yang wajar. Misalnya tidak menangis ketika salah mengambil alat mainan, dengan senang hati menggantinya dengan alat mainan yang lain yang diinginkannya.
f. Menyesuaikan diri dengan lingkungan
Lingkungan sekolah (TK) merupakan lingkungan baru bagi anak-anak. Sering kita menemukan anak menangis ketika pertama masuk sekolah karena mereka merasa asing dengan lingkungan di TK bahkan tidak sedikit anak yang ingin ditunggu oleh orangtuanya ketika sedang belajar. Anak yang memiliki kemandirian, dia akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
g. Tidak ketergantungan kepada orang lain
Anak mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan sesuatu tidak bergantung pada orang lain dan anak tahu kapan waktunya meminta bantuan orang lain, setelah anak berusaha melakukannya sendiri tetapi tidak mampu untuk mendapatkannya, baru anak meminta bantuan orang lain. Seperti mengambil alat mainan yang berada di tempat yang tidak terjangkau oleh anak.
3. Kiat Mengembangkan Kemandirian Anak
Mengembangkan kemandirian pada anak pada prinsipnya adalah dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Semakin banyak kesempatan maka anak akan semakin terampil mengembangkan skillnya sehingga lebih percaya diri. Menurut Ratri Sunar Astuti (2006 : 49) terdapat beberapa hal yang seharusnya dilakukan, yaitu : 
a. Anak-anak didorong agar mau melakukan sendiri kegiatan sehari-hari yang ia jalani seperti gosok gigi, makan sendiri, bersisir, berpakaian, dan lain sebagainya segera setelah mereka mampu melakukannya sendiri.
b. Anak diberi kesempatan sesekali mengambil keputusan sendiri, misalnya memilih baju yang akan dipakai.
c. Anak diberi kesempatan untuk bermain sendiri tanpa ditemani sehingga terlatih untuk mengembangkan ide dan berpikir untuk dirinya. Agar tidak terjadi kecelakaan maka atur ruangan tempat bermain anak sehingga tidak ada barang yang berbahaya.
d. Biarkan anak mengerjakan segala sesuatu sendiri walaupun sering membuat kesalahan 
e. Ketika bermain bersama bermainlah sesuai keinginan anak, jika anak tergantung pada kita maka beri dorongan untuk berinisiatif dan dukung keputusannya.
f. Dorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan idenya 
g. Latihlah anak untuk mensosialisasi, sehingga anak belajar menghadapi problem sosial yang lebih kompleks. Jika anak ragu-ragu atau takut cobalah menemaninya terlebih dahulu, sehingga anak tidak terpaksa.
h. Untuk anak yang lebih besar, mulai ajak anak untuk mengurus rumah misalnya menyiram tanaman, membersihkan meja, menyapu dan lain-lain.
i. Ketika anak mulai memahami konsep waktu dorong mereka untuk mengatur jadwal pribadinya, misalnya kapan akan belajar, bermain dan sebagainya. Orangtua bisa mendampingi dengan menanyakan alasan-alasan pengaturan waktunya.

TESIS STRATEGI PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BAHASA TERPADU DENGAN TEKNIK PARAFRASE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI DAN MENULIS PUISI

Posted: 31 Jan 2015 03:41 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0302) : TESIS STRATEGI PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BAHASA TERPADU DENGAN TEKNIK PARAFRASE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI DAN MENULIS PUISI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)



BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pembelajaran Keterampilan Bahasa Terpadu 

1. Pembelajaran Terpadu

a. Pengertian Pembelajaran Terpadu

Pembelajaran terpadu (integrated learning), sebenarnya disebut juga pembelajaran tematik yang biasanya diterapkan pada kelas rendah di sekolah dasar. Dengan demikian batasan pembelajaran terpadu sama dengan batasan pembelajaran tematik.
Strategi pembelajaran terpadu adalah kegiatan belajar mengajar dengan memadukan materi beberapa mata pelajaran dalam satu topik (Ali, 2007 : 153). Jadi strategi pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang memadukan materi beberapa mata pelajaran dalam satu topik. Pendekatan terpadu atau integrated adalah rancangan kebijaksanaan pengajaran bahasa dengan menyajikan bahan-bahan pelajaran secara terpadu, yaitu dengan menyatukan, menghubungkan, atau mengaitkan bahan pelajaran sehingga tidak ada yang berdiri sendiri atau terpisah-pisah.
Beberapa pengertian dari pembelajaran terpadu yang dikemukakan oleh beberapa orang pakar pembelajaran terpadu di antaranya : 
1) Menurut Cohen dan Manion dan Brand (Fogarti 1991 : 16), terdapat beberapa kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu topik lintas bidang studi membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. sedangkan pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasi secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core/center of interest);
2) Menurut Prabowo (2000 : 2), pembelajaran terpadu adalah suatu proses pembelajaran dengan melibatkan/mengkaitkan berbagai bidang studi. Dan ada dua pengertian yang perlu dikemukakan untuk menghilangkan kerancuan dari pengertian pembelajaran terpadu di atas, yaitu konsep pembelajaran terpadu dan Bahasa Indonesia terpadu. Menurut Prabowo (2000 : 2), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi. Pendekatan belajar mengajar seperti ini diharapkan akan dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak didik kita. Arti bermakna di sini dalam pembelajaran terpadu diharapkan anak akan memperoleh pemahaman terhadap konsep-konsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami.
Dengan demikian, pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik (Developmentally Appropriate Practical). Pendekatan yang berangkat dari teori pembelajaran sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak.
Langkah awal dalam melaksanakan pembelajaran terpadu adalah pemilihan/pengembangan topik atau tema. Dalam langkah awal ini guru mengajak anak didiknya untuk bersama-sama memilih dan mengembangkan topik tersebut. Dengan demikian anak didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan pembuatan keputusan.
Pembelajaran dengan menggunakan strategi terpadu ini diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas pendidikan dasar, terutama untuk mencegah gejala penjejalan kurikulum dalam proses pembelajaran di sekolah. Dampak negatif dari penjejalan kurikulum akan berakibat buruk terhadap perkembangan anak. Hal tersebut terlihat dengan dituntutnya anak untuk mengerjakan berbagai tugas yang melebihi kapasitas dan kebutuhan mereka. Mereka kurang mendapat kesempatan untuk belajar, untuk membaca dan sebagainya. Di samping itu mereka akan kehilangan pengalaman pembelajaran alamiah langsung, pengalaman sensorik dari dunia mereka yang akan membentuk dasar kemampuan pembelajaran abstrak (Prabowo, 2000 : 3). Pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa ciri yaitu : berpusat pada anak (student centered), proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung, serta pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas. Di samping itu pembelajaran terpadu menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam satu proses pembelajaran. Kecuali mempunyai sifat luwes, pembelajaran terpadu juga memberikan hasil yang dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
Pembelajaran terpadu memiliki kelebihan sebagai berikut :
1) Pengalaman dan kegiatan belajar anak relevan dengan tingkat perkembangannya.
2) Kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
3) Kegiatan belajar bermakna bagi anak, sehingga hasilnya dapat bertahan lama.
4) Keterampilan berpikir anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu.
5) Kegiatan belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai dengan lingkungan anak.
6) Keterampilan sosial anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu.
Keterampilan sosial ini antara lain adalah : kerja sama, komunikasi, dan mau mendengarkan pendapat orang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pembelajaran terpadu mempunyai kelebihan yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam membantu anak didiknya berkembang sesuai dengan taraf perkembangan intelektualnya. Meskipun demikian strategi pembelajaran terpadu ini masih mengandung keterbatasan-keterbatasan. Salah satu keterbatasan yang menonjol dari pembelajaran terpadu adalah pada faktor evaluasi. Pembelajaran terpadu menuntut diadakannya evaluasi tidak hanya pada produk, tetapi juga pada proses. Evaluasi pembelajaran terpadu tidak hanya berorientasi pada dampak instruksional dari proses pembelajaran, tetapi juga pada proses dampak pengiring dari proses pembelajaran tersebut. Dengan demikian pembelajaran terpadu menuntut adanya teknik evaluasi yang banyak ragamnya.
Oleh karenanya tugas guru menjadi lebih banyak (Prabowo, 2000 : 4). Dalam Prabowo juga dikatakan bahwa dari kalangan pendidik terdapat berbagai pendapat yang intinya menyatakan bahwa penerapan pendekatan pembelajaran terpadu akan banyak menimbulkan masalah dan tugas guru menjadi semakin membengkak. Masalah yang menonjol adalah tentang penyesuaian pola penerapan dan hasil pembelajaran terpadu dikaitkan dengan kurikulum yang sedang berlaku. Dalam mengatasi masalah ini, pada tahap awal dapat dilakukan dengan memeriksa isi kurikulum dalam satu semester secara fleksibel. Artinya materi dalam satu semester tersebut dapat diatur urutan pembelajarannya, asal cakupannya tetap tercapai. Berangkat dari pokok pemikiran tersebut di atas, maka sebelum merancang pembelajaran terpadu, hendaknya guru mengumpulkan dan menyusun seluruh standar kompetensi dan kompetensi dasar dari semua bidang studi dalam satu semester, kemudian dilanjutkan dengan proses perancangan pembelajaran terpadu.
Prabowo juga mengatakan bahwa pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa ciri yaitu : (1) berpusat pada siswa (student centered), (2) proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung, serta (3) pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas. Dari beberapa ciri pembelajaran terpadu di atas, menunjukkan bahwa model pembelajaran terpadu adalah sejalan dengan beberapa aliran pendidikan modern yaitu termasuk dalam aliran pendidikan progresivisme. Aliran pendidikan progresivisme memandang pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru dan pada bahan ajar. Tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, serta untuk membuat anak lebih efektif dalam memecahkan berbagai problem yang disajikan dalam konteks pengalaman (experience) pada umumnya.
Tujuan pendidikan aliran progresivisme adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan seharusnya dapat mengembangkan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak. Kurikulum pendidikan progresif adalah kurikulum yang mengakomodasi pengalaman-pengalaman (atau kegiatan) belajar yang diminati oleh setiap siswa (experience curriculum). Sedangkan metode pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

b. Model pembelajaran terpadu

Adapun model-model pembelajaran terpadu sebagaimana yang dikemukakan oleh Fogarty (1991) yaitu sebanyak sepuluh model pembelajaran terpadu.
Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut adalah : 
1) The Fragmented Model (Model Fragmen)
Yaitu model pembelajaran konvensional yang terpisah secara mata pelajaran atau model tradisional yang memisahkan secara diskrit masing-masing mata pelajaran. Keterpaduan model ini harus tercapai ketika satu satuan waktu telah ditempuh, misalnya pada satu semester. Keuntungan pembelajaran model ini adalah siswa menguasai secara penuh satu kemampuan tertentu untuk tiap mata pelajaran, ia ahli dan terampil dalam bidang tertentu. Sedangkan kekurangannya adalah ia belajar hanya pada tempat dan sumber belajar dan kurang mampu membuat hubungan atau integrasi dengan konsep sejenis.
2) The Connected Model (Model Terhubung)
Yaitu dalam setiap mata pelajaran berisi konten yang berkaitan antara topik dengan topik dan konsep dengan konsep dalam satu mata pelajaran. Model ini penekanannya terletak pada perlu adanya integrasi inter bidang studi itu sendiri. Keuntungan yang diperoleh dalam model connected ini adalah adanya hubungan antar ide-ide dalam satu mata pelajaran, anak akan memperoleh gambaran yang lebih jelas dan luas dari konsep yang dijelaskan dan siswa diberi kesempatan untuk melakukan pendalaman, tinjauan, memperbaiki dan mengasimilasi gagasan secara bertahap. Kekurangan dalam model ini, model ini belum memberikan gambaran yang menyeluruh karena belum menggabungkan bidang-bidang pengembangan/mata pelajaran lain.
3) The Nested Model (Model Tersarang)
Yaitu model pembelajaran terpadu yang merupakan pengintegrasian kurikulum dalam satu disiplin ilmu dengan memfokuskan pada sejumlah keterampilan belajar yang ingin dilatihkan oleh guru kepada siswa dalam satu unit pembelajaran untuk ketercapaian materi pelajaran (content) yang meliputi keterampilan berfikir (thinking skill), keterampilan sosial (social skill), dan keterampilan mengorganisir (organizing skill), (Fogarty, 1991). Kelebihan model ini yaitu guru dapat memadukan beberapa keterampilan sekaligus dalam pembelajaran satu mata pelajaran, memberikan perhatian pada berbagai bidang penting dalam satu saat sehingga tidak memerlukan penambahan waktu dan guru dapat memadukan kurikulum secara luas. Kekurangannya adalah apabila tanpa perencanaan yang matang memadukan beberapa keterampilan yang menjadi target dalam suatu pembelajaran akan berdampak pada siswa dimana prioritas pelajaran menjadi kabur.

TESIS EFEKTIFITAS PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER MODEL TUTORIAL TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA MAPEL GEOGRAFI SMA

Posted: 31 Jan 2015 03:38 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0301) : TESIS EFEKTIFITAS PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER MODEL TUTORIAL TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA MAPEL GEOGRAFI SMA (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN GEOGRAFI)



BAB II 
KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Belajar dan Pembelajaran 

1. Konsep Belajar

Konsep belajar (learning) sebagai suatu upaya atau proses perubahan perilaku seseorang sebagai akibat interaksi peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Salah satu tanda seseorang telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan nilai sikap (afektif). Dengan demikian belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikannya kepada orang lain (Pidarta, 2000 : 197). Dengan demikian belajar menuntut adanya perubahan yang relatif permanen pada pengetahuan atau perilaku seseorang karena pengalaman (Mayer, 1982 : 1040 dalam Seels & Richey, 2000 : 13).
Belajar merupakan suatu proses pribadi yang tidak harus dan atau merupakan akibat kegiatan mengajar. Guru melakukan kegiatan mengajar tidak selalu diikuti terjadinya kegiatan belajar pada peserta didik. Sebaliknya, peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar tanpa harus ada guru yang mengajar. Namun, dalam kegiatan belajar peserta didik ini ada kegiatan membelajarkan, yaitu misalnya yang dilakukan oleh penulis bahan ajar, atau pengembang paket belajar dan sebagainya (Miarso, 2004 : 553-554).
Dalam kegiatan pembelajaran ini tentu saja tidak dapat dilakukan sembarangan, tetapi harus menggunakan teori-teori dan prinsip-prinsip belajar tertentu agar bisa bertindak secara tepat. Artinya teori-teori dan prinsip-prinsip belajar ini diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Ada banyak teori-teori belajar, setiap teori belajar memiliki konsep atau prinsip-prinsip sendiri tentang belajar yang mempengaruhi bentuk atau model penerapannya dalam kegiatan pembelajaran (Suciati & Irawan, 2001 : 2). Meskipun banyak teori belajar, namun ada kesamaan umum dalam mendefinisikan belajar. Empat rujukan yang terkandung dalam definisi belajar adalah : a) adanya perubahan atau kemampuan baru; b) perubahan atau kemampuan baru itu tidak berlangsung sesaat, tetapi menetap dan dapat disimpan (permanen); c) perubahan atau kemampuan baru itu terjadi karena ada usaha; dan d) perubahan atau kemampuan baru tidak hanya timbul karena faktor pertumbuhan (Miarso, 2004 : 550-551).

a. Teori-teori Belajar

Ada beberapa teori belajar yang melandasi pelaksanaan pembelajaran di kelas, yaitu : 
1) Teori Belajar Behaviorisme
Menurut teori behaviorisme, manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya yang akan memberikan pengalaman-pengalaman belajar. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang terjadi karena adanya stimulasi dan respon yang diamati. Seseorang dianggap telah belajar apabila mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Menurut teori behaviorisme manipulasi lingkungan sangat penting agar dapat diperoleh perubahan tingkah laku yang diharapkan.
Menurut pandangan behaviorisme, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindera dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus dan Respons (S-R). Skinner dengan teori operant conditioning menjelaskan belajar sebagaimana yang dikutip oleh Bell-Gredler (1986 : 80) adalah : 
In Skinner's view, learning is behavior. As the subject learns, responses increase and when unlearning occurs, the rate of responding fall (Skinner, 1950). Learning is therefore formally defined as a change in the likelihood or probability of response. Probability or responding is difficult to measure. Therefore, Skinner suggests that learning should be measured by the rate of frequency of responding.
Menurut pandangan Skinner belajar merupakan respon (tingkah laku) yang baru. Pada dasarnya respon yang baru itu sama pengertiannya dengan tingkah laku (pengetahuan, sikap, keterampilan) yang baru. Respon itu terjadi bila siswa belajar dan tidak akan terjadi bila tidak ada proses belajar dan belajar dapat diukur melalaui laju atau frekwensi respon yang diberikan siswa.
Menurut Gagne (1985 : 2) belajar ialah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar terus menerus, bukan hanya disebabkan proses pertumbuhan saja. Perubahan dalam belajar itu sendiri adalah perubahan perilaku, dan kesimpulan seseorang belajar dapat dilihat dengan membandingkan tingkah laku sebelum dan setelah adanya pembelajaran. Perubahan tingkah laku dimaksud adalah penambahan kapabilitas dari beberapa tipe performance. Dengan demikian belajar itu menghasilkan berbagai macam tingkah laku yang berbeda-beda, seperti pengetahuan, sikap, keterampilan, kemampuan, informasi, dan nilai. Berbagai macam tingkah laku yang berbeda-beda inilah yang disebut dengan kapabilitas sebagai hasil belajar.
Untuk mencapai perubahan tingkah laku, perlu diterapkan prinsip-prinsip teori behaviorisme dalam sistem pembelajaran di kelas. Menurut Hartley & Davies (1978) dalam Soekamto (1992 : 23) bahwa prinsip-prinsip tersebut mencakup : 1) proses belajar dapat terjadi dengan baik bila peserta didik ikut terlibat aktif di dalamnya; 2) materi pembelajaran disusun dalam urutan yang logis supaya peserta didik mudah mempelajarinya dan dapat memberikan respons yang diberikannya telah benar; 3) setiap kali peserta didik memberikan respon yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement).
Adapun langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori behaviorisme, dalam merancang kegiatan pembelajaran, adalah : a) menentukan tujuan pembelajaran; b) menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behavior) peserta didik; c) menentukan materi pembelajaran; d) memecah materi pembelajaran menjadi bagian-bagian kecil, meliputi pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik dan sebagainya; e) menyajikan materi pembelajaran; f) memberikan stimulus, g) mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik; h) memberikan penguatan (reinforcement) yang berupa penguatan positif atau penguatan negatif, atau hukuman; i) memberikan stimulasi baru; j) mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik; k) memberikan penguatan lanjutan atau hukuman; dan m) evaluasi hasil belajar (Suciati & Irawan, 2001 : 31-32).
2) Teori Belajar Kognitif
Kelompok teori kognitif beranggapan bahwa belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkah laku sangat dipengaruhi oleh persepsi berpikir internal yang terjadi selama proses belajar. Menurut pandangan kognitif belajar sebagai perubahan perilaku peserta didik terbentuk bukan karena hubungan stimulus dan respons, akan tetapi lebih disebabkan dorongan dad dalam atau oleh pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh siswa (Sanjaya, 2005 : 94).
Prinsip-prinsip teori kognitif, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang selalu dapat dilihat sebagai tingkah laku. Teori ini menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dalam konteks situasi secara keseluruhan. Dengan demikian, belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks dan mementingkan proses belajar. Yang termasuk dalam ke kelompok teori ini adalah teori perkembangan Piaget, teori kognitif Bruner, teori belajar bermakna Ausubel dan lain-lain.
a) Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetika yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin kompleks dan ini memungkinkan kemampuannya meningkat (Traves dalam Soekamto, 1992 : 28). Oleh karena itu, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umumya. Penjenjangan ini bersifat hierarki yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umumya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu di luar kemampuan kognitifnya.
Ada empat tahap perkembangan kognitif anak, yaitu : a) tahap sensorik motorik yang bersifat internal (0-2 tahun); b) tahap pre operasional (2-6 tahun); c) tahap operasional kongkret (6-12 tahun); dan d) tahap formal yang bersifat internal (12-18 tahun).
Perkembangan intelektual seseorang menunjukkan bahwa semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Oleh karena itu, para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program-program pembelajaran harus dapat memahami tahap-tahap perkembangan kognitif peserta didiknya sehingga dapat merancang, melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Dengan kata lain dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan kesiapan dan kematangan peserta didik.
Teori schemata memandang bahwa proses pembelajaran sebagai perolehan pengetahuan baru dalam diri seseorang dengan cara mengaitkannya dengan struktur kognitif yang sudah ada (Warsita, 2008 : 70). Schemata adalah unit dasar perkembangan intelektual. Maka hasil belajar merupakan hasil dari pengorganisasian struktur kognitif yang baru, merupakan integrasi antara pengetahuan yang lama dengan yang baru. Struktur kognitif yang baru akan menjadi dasar pada kegiatan belajar berikutnya. Artinya, setiap saat kita memperoleh informasi, diidentifikasi, diproses, dan disimpan dengan baik/lebih lama sehingga dapat mengembangkan kemampuan dalam mengklasifikasi objek. Aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran perlu menggunakan media atau alat peraga dan sumber belajar lain.
Menurut Piaget, secara garis besar langkah-langkah pembelajar dalam merancang pembelajaran adalah : 1) menentukan tujuan pembelajaran; 2) memilih materi pembelajaran; 3) menentukan topik-topik yang dapat dipelajari peserta didik secara aktif; 4) menentukan dan merancang kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan topik; 5) mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreativitas dan cara berpikir peserta didik; dan 6) melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik (Suciati & Irawan, 2001 : 37).
Aplikasi praktisnya dalam pembelajaran menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, proses asimilasi (informasi lama disatukan atau diintegrasikan sehingga menyatu dengan informasi baru) dan akomodasi (mengubah atau membentuk) pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.

TESIS ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS IV SD

Posted: 31 Jan 2015 03:34 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0300) : TESIS ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS IV SD (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN IPA)



BAB II 
LANDASAN TEORITIS

A. Karakter

Perlunya pendidikan karakter tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 33 dinyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan adalah pengembangan karakter siswa.
Beberapa orang mempunyai definisi yang sarna tentang pengertian karakter. Menurut Megawangi, Aziz, Musfiroh, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kamus Poerwadarminta, Pusat Bahasa Depdiknas, dan Fattah karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Menurut mereka karakter seseorang akan terbentuk bila dilakukan suatu pembiasaan yang terus menerus sehingga menjadi ciri khas atau kepribadian seseorang. Thomas Lickona (1991) juga mendukung pengertian di atas yaitu bahwa "karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya". Sedangkan menurut Aristoteles karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Karakter merupakan kekuatan untuk bertahan di masa sulit. Karakter yang baik diketahui melalui respon yang benar ketika mengalami tekanan, tantangan, dan kesulitan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa karakter adalah tabiat atau kebiasaan seseorang yang melekat sangat kuat dan sulit untuk dihilangkan dan akan tercermin dalam sikap hidupnya ketika menghadapi permasalahan kehidupan. 
Tetapi walaupun karakter ini melekat sangat kuat pada diri seseorang, karakter tetap dapat berubah jika diberikan suatu kebiasaan yang baru dalam lingkungan yang baru pula. Kebiasaan yang dilakukan secara berulang dan didahului oleh kesadaran dan pemahaman maka akan menjadi karakter seseorang. Karakter seseorang dapat dibangun dan dibentuk. Pembangunan dan pembentukan karakter seseorang tidak dapat disamakan antara satu individu dengan individu yang lain, ada yang membutuhkan waktu yang cepat, tapi ada juga yang membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan kesadaran bahwa karakter itu adalah sesuatu yang sulit diubah, maka sebaiknya karakter seseorang itu dibangun dan dibentuk dari usia dini.
Dari semua pengertian yang sudah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku seseorang sehingga menjadi ciri khas individu tersebut untuk hidup dan bersosialisasi, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibat dari keputusan yang dibuatnya.

B. Pendidikan Karakter

Terdapat beberapa pengertian tentang pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, tanggung jawab, kecerdasan, kepedulian, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperoleh dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan hidupnya. Menurut Thomas Lickona (1991) pendidikan karakter adalah "pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan". Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dasar pendidikan karakter sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak, karena usia ini akan menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya di masa yang akan datang. 
Maka pendidikan karakter sebaiknya dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak dalam menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Daniel Coleman, 1999). Dalam pendidikan karakter terdapat 3 komponen karakter yang baik yaitu (1) moral knowing (pengetahuan tentang moral) yang terdiri dari moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking (perspektif), moral reasoning (penalaran moral), decision making (pengambilan keputusan), self-knowledge (pengetahuan diri); (2) Moral feeling (perasaan tentang moral), yang terdiri dari conscience (hati nurani), self-esteem (penghargaan diri), empathy (empati), loving the good (menyukai kebaikan), self-control (penguasaan diri), humility (kerendahan hati); dan (3) Moral action (tindakan moral), yang terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan (Lickona, 1991). Di sini terlihat bahwa makin lengkap komponen moral dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh. 
Keterkaitan antara nilai-nilai perilaku dalam komponen-komponen moral karakter di atas terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, dan kebangsaan akan membentuk suatu karakter manusia yang baik. Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai.
Megawangi (2004) menyampaikan sembilan perilaku pembentukan karakter dalam pendidikan yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu : 
"... pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan".
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode pengetahuan yang baik, perasaan sayang, dan perbuatan baik. Pengetahuan yang baik bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah memperoleh pengetahuan yang baik maka harus ditumbuhkan perasaan sayang, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi suatu kebutuhan yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. 
Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka perbuatan baik itu akan berubah menjadi kebiasaan. Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. 
Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

TESIS UPAYA PEMBINAAN KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANI MELALUI KELOMPOK KERJA GURU (KKG)

Posted: 31 Jan 2015 03:31 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0299) : TESIS UPAYA PEMBINAAN KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANI MELALUI KELOMPOK KERJA GURU (KKG) (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN OLAHRAGA)



BAB II 
KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini dipaparkan landasan teoritis yang merupakan kerangka konseptual teori, menyangkut konsep-konsep yang berkaitan dengan kegiatan kompetensi guru pendidikan jasmani. 

A. Manajemen Pendidikan Jasmani

1. Pengertian Manajemen

Apakah sebenarnya manajemen itu? Kata manajemen berasal dari bahasa inggris, management yang dikembangkan dari kata to manage, yang artinya mengatur/mengelola. Kata manage itu sendiri berasal dari Italia Maneggio yang diadopsi dari bahasa latin managiare, yang berasal dari kata manus yang artinya tangan. Konsep manajemen tidaklah mudah untuk didefinisikan (Endang Hermawan, 2010 : 230). Apabila kita membuat suatu pembatasan atau definisi tentang manajemen dapatlah dikemukakan sebagai tersebut. "bekerja dengan orang-orang untuk mencapai tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penyusunan personalia (staffing) pengarahan dan kepemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling).
Istilah administrasi dan manajemen yang saling berganti digunakan, meskipun tidak begitu mengganggu dalam pemahaman tentang makna dan substansinya, namun memerlukan penelusuran tentang hakikat konsepnya. Demikian juga cakupan isi dan esensinya. Kecenderungan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa istilah manajemen lebih sering digunakan dengan konotasi makna yang lebih spesifik. Sebagai satu sub disiplin yang baru tumbuh, seperti dalam perkembangannya yang cukup pesat di Eropa, manajemen olahraga (sport management) menunjukkan peranan penting dalam pengelolaan kegiatan Penjas dan olahraga (Husdarta, 2009 : 35).
Bentuk kegiatan yang jika dilaksanakan secara terlembaga, yang melibatkan sejumlah personal dan memanfaatkan sumber daya, maka unsur manajemen memegang peranan penting. Kata kunci di sini adalah manajemen dibutuhkan karena kita selalu berhadapan dengan tantangan berupa kelangkaan sumber daya. Tidak ada sumber daya yang berlebihan, lebih-lebih untuk kondisi Penjas dan olahraga di Indonesia.
Fungsi utama manajemen di sini adalah untuk mengoptimalkan efisiensi, sekaligus efektivitas pembinaan. Kedua istilah ini terkait langsung dengan sasaran dan tujuan pembinaan. Sangat besar peluang bahwa pembinaan itu berlangsung dalam keadaan efisiensi yang amat rendah; jika bukan sebagai pemborosan. Fungsi manajemen juga terkait dengan kesehatan organisasi. Organisasi yang sehat, tercermin dari kultur dan produktivitasnya. Organisasi memiliki budaya yang menjadi pondasi perilaku, dan budaya itu berakar, antara pada sistem nilai yang berlaku.
Dalam konteks penyelenggaraan Penjas di sekolah atau lembaga lainnya yang relatif dikembangkan dalam skala kecil, masalah manajemennya memang seperti tidak begitu kompleks. Makin besar organisasi, makin kompleks kelangsungan fungsi manajemennya. Konsep intinya adalah : 
a. Manajemen berfungsi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas program
b. Istilah manajemen dan administrasi diartikan sama, namun lebih disukai untuk menggunakan istilah manajemen.
c. Manajemen merupakan sebuah proses yang melibatkan aspek perencanaan pengorganisasian, kepemimpinan, dan evaluasi.

2. Proses Manajemen

Dari sudut pandang yang berbeda kita dapat merumuskan definisi administrasi/manajemen yang berbeda dengan rumusan di atas. Manajemen itu, tidak lain adalah proses kelangsungan fungsi yang meliputi : perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan (leading), dan evaluasi.
a. Perencanaan
Perencanaan adalah penentuan lebih dulu tujuan yang ingin dicapai dan
alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Perencanaan itu mencakup apa yang akan dilakukan, bagaimana melakukan, dan siapa yang akan melakukannya. Karena selalu ada gap antara apa yang telah dicapai dan apa yang dituju, maka evaluasi dibutuhkan.
Perencanaan itu selalu berawal dengan perumusan tujuan. Apa yang kita inginkan dari hasil pembinaan Penjas dan olahraga? Tujuan itu dapat mencakup liputan yang luas, seperti aspek ekonomi, layanan, dan dimensi sosial organisasi. Dalam konteks Penjas misalnya, tentu tujuan program mengacu pada tujuan sekolah yang selaras dengan tujuan pendidikan. Namun demikian, tentu ada pula tujuan yang bersifat kelembagaan seperti untuk meningkatkan citra suatu sekolah di masyarakat.
Perencanaan dalam penelitian ini mencakup perencanaan pembinaan kompetensi guru Penjas yang dilakukan oleh (1) KKG, (2) kepala sekolah, (3) pengawas, dan (4) UPTD.
Pengembangan dari perencanaan tersebut, yang dilakukan oleh UPTD, kepala sekolah dan pengawas yaitu melalui supervisi, Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) dan penataran (in service training).
b. Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah menciptakan hubungan antara aktivitas yang akan dikerjakan; personal yang akan melakukannya dan faktor fisik yang dibutuhkan. Untuk mengkoordinasi sumber-sumber yang tersedia, administrator mendesain sebuah struktur formal dari tugas dan kewenangan yang akan mendorong tercapainya tujuan dengan efisien dan efektif. Tujuan utama dari pengorganisasian itu adalah membagi tugas/pekerjaan yang akan dilaksanakan, menentukan kelompok kerja, menata jenjang kesenangan, dan menyeimbangkan otoritas dan tanggung jawab.
Organisasi itu sendiri adalah sebuah pengertian abstrak yang mencerminkan himpunan sejumlah orang yang bersepakat untuk bekerja sama dan memiliki komitmen untuk mencapai tujuan. Tujuan itu, dicapai melalui gabungan kompetensi dan keahlian, gabungan dari pola hubungan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab. Kesemuanya ditata dalam satu jaringan, "siapa melaksanakan untuk tujuan apa" Administrator berfungsi untuk mengendalikan kesemuanya itu untuk, mencapai tujuan dengan menggunakan sumber yang tersedia sehemat mungkin.
Organisasi itu, ibarat sebuah organisme atau tanaman. Mula-mula tumbuh dari kecambah yang kemudian bertambah besar dan berkembang, hingga mencapai puncak kematangan. Pada masa itu ia berbuah, organisasi itu produktif, yang mampu menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan. Nanti pada suatu masa ada saatnya terjadi kemunduran. Seperti pohon, terjadi pelapukan. Organisasi itu sudah payah, sakit-sakitan dan tidak produktif lagi.
Banyak organisasi olahraga yang merana perkembangannya, lambat mencapai kematangan, bahkan ada yang tidak tumbuh, setelah terbentuk kepengurusan, karena beberapa sebab seperti tidak ada program, kepemimpinan yang lemah, partisipasi anggota yang longgar, di antaranya karena tidak ada komitmen untuk melaksanakan tugas.
c. Kepemimpinan
Fungsi manajemen itu, pada intinya adalah kepemimpinan. Dalam kepemimpinan terkandung beberapa aspek penting yaitu membuat keputusan, mengarahkan, membangkitkan motivasi. Jiwanya adalah memberikan arahan, tuntunan dan pengendalian terhadap perilaku personal anggota organisasi.
Pengalaman menunjukkan, kepemimpinan yang dimaksud, menjadi kunci bagi pencapaian keberhasilan; kepemimpinan yang lemah karena berbagai sebab seperti rendah kompetensi dalam bidang yang ditangani, lemah dalam keterampilan sosial dan komunikasi, semuanya tidak akan membawa kemajuan bagi organisasinya. Banyak program macet karena kepemimpinan yang lemah. Atmosfir pengajaran menjadi tidak sehat dan kondusif karena kepemimpinan yang tidak sesuai.
d. Evaluasi
Dalam kegiatan apapun akan selalu ada penyimpangan dan kesenjangan antara apa yang direncanakan dan hasil yang diperoleh. Gap itu perlu ditelaah dan dicari penyebabnya. Proses penentuan sebab dan faktor yang menimbulkan kesenjangan antara rencana dan hasil, termasuk proses pelaksanaan, disebut evaluasi dalam konteks pengelolaan suatu program. Penyebab terjadinya kesenjangan itu bisa karena faktor personal yang kurang cakap, lemah motivasi, atau memiliki sikap negatif terhadap suatu objek. Semua kelemahan itu merupakan hambatan yang di antaranya dapat terjadi pada penyelenggaraan pembaharuan. Keputusan inovatif itu memang berawal pada tingkat pemimpin organisasi.

TESIS EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN BERBASIS WEB UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK MAPEL TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Posted: 31 Jan 2015 03:31 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0298) : TESIS EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN BERBASIS WEB UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK MAPEL TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (PROGRAM STUDI : PENGEMBANGAN KURIKULUM)



BAB II 
LANDASAN TEORITIS

Dalam Bab ini akan di bahas sejumlah teori yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis web. Teori-teori tersebut bertujuan untuk menjelaskan konsep pembelajaran berbasis web yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran TIK di SMP. Dengan mengetahui hal itu maka peneliti mengkaji hal-hal yang terkandung dalam pembelajaran seperti dibawah ini. 

A. Hakekat Pembelajaran 

1. Definisi Pembelajaran

Pembelajaran merupakan proses dasar dari pendidikan, dari sanalah lingkup terkecil secara formal yang menentukan dunia pendidikan berjalan baik atau tidak. Pembelajaran merupakan suatu proses menciptakan kondisi yang kondusif agar terjadi interaksi komunikasi belajar mengajar antara guru, peserta didik, dan komponen pembelajaran lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Hamalik (2003 : 30) mengatakan bahwa "Pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran". Kemudian Sudjana (2004 : 28) mengemukakan tentang pengertian pembelajaran bahwa : 
Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan.
Dari pernyataan di atas, pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu proses interaksi komunikasi antara sumber belajar, guru dan siswa. Interaksi komunikasi itu dilakukan baik secara langsung dalam kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung dengan menggunakan media, dimana sebelumnya telah menentukan model pembelajaran yang akan diterapkan tentunya. Hakikat pembelajaran di atas haruslah terdapat di dalam setiap komponen pembelajaran termasuk pembelajaran berbasis web yang akan diimplementasikan. Dalam Rusman dkk (2011 : 17) menyatakan bahwa : 
Siswa jangan selalu dianggap sebagai subjek belajar yang tidak tahu apa-apa. Ia memiliki latar belakang, minat, dan kebutuhan, serta kemampuan yang berbeda. Peranan guru tidak hanya terbatas sebagai pengajar (penyampai ilmu pengetahuan), tetapi juga sebagai pembimbing, pengembang, dan pengelola kegiatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi kegiatan belajar siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Komponen Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran merupakan hasil integrasi dari beberapa komponen yang memiliki fungsi tersendiri dengan maksud agar ketercapaian tujuan pembelajaran dapat terpenuhi. Kemudian Rusman dkk (2011 : 41) mengemukakan komponen pembelajaran sebagai berikut : 
ciri utama dari kegiatan pembelajaran adalah adanya interaksi. interaksi yang terjadi antara si belajar dengan lingkungan belajarnya, baik itu dengan guru, teman-temannya, tutor, media pembelajaran, dan atau sumber-sumber belajar yang lain. Sedangkan ciri-ciri lainnya dari pembelajaran ini berkaitan dengan komponen-komponen pembelajaran itu sendiri. Dimana di dalam pembelajaran akan terdapat komponen-komponen sebagai berikut; tujuan, materi/bahan ajar, metode dan media, evaluasi, anak didik/siswa, dan adanya pendidik/guru.
Sebagai sebuah sistem, masing-masing komponen tersebut membentuk sebuah integritas atau satu kesatuan yang utuh. Masing-masing komponen saling berinteraksi yaitu saling berhubungan secara aktif dan saling mempengaruhi. Misalnya dalam menentukan bahan pembelajaran merujuk pada tujuan yang telah ditentukan, serta bagaimana materi itu disampaikan akan menggunakan strategi yang tepat yang didukung oleh media yang sesuai. Dalam menentukan evaluasi pembelajaran akan merujuk pada tujuan pembelajaran, bahan yang disediakan media dan strategi yang digunakan, begitu juga dengan komponen yang lainnya saling bergantung (interdependensi) dan saling menerobos (interpenetrasi).
Penjelasan mengenai komponen-komponen pembelajaran di atas adalah sebagai berikut : 
a. Tujuan, tujuan pendidikan sendiri adalah untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dengan kata lain, pendidikan merupakan peran sentral dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia.
b. Sumber Belajar, diartikan segala bentuk atau segala sesuatu yang ada di luar diri seseorang yang bisa digunakan untuk membuat atau memudahkan terjadinya proses belajar pada diri sendiri atau peserta didik, apapun bentuknya, apapun bendanya, asal bisa digunakan untuk memudahkan proses belajar, maka benda itu bisa dikatakan sebagai sumber belajar.
c. Strategi Pembelajaran, adalah tipe pendekatan yang spesifik untuk menyampaikan informasi, dan kegiatan yang mendukung penyelesaian tujuan khusus. Strategi pembelajaran pada hakikatnya merupakan penerapan prinsip-prinsip psikologi dan prinsip-prinsip pendidikan bagi perkembangan siswa.
d. Media Pembelajaran, merupakan salah satu alat untuk mempertinggi proses interaksi guru dengan siswa dan interaksi siswa dengan lingkungan dan sebagai alat bantu mengajar dapat menunjang penggunaan metode mengajar yang digunakan oleh guru dalam proses belajar. 
e. Evaluasi Pembelajaran, merupakan alat indikator untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Evaluasi bukan hanya sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, dan terarah berdasarkan tujuan yang jelas. Komponen pembelajaran adalah penentu dari keberhasilan proses pembelajaran. Komponen-komponen tersebut memiliki fungsi masing-masing dalam setiap perannya dalam proses pembelajaran.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AKSELERASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FIQH PADA MAPEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP

Posted: 31 Jan 2015 03:24 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0297) : TESIS PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AKSELERASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FIQH PADA MAPEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP (PROGRAM STUDI : PENGEMBANGAN KURIKULUM)



BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Pembelajaran

Pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan. Di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen utama pembelajaran, yaitu, isi atau materi pelajaran dan siswa. Interaksi antara ketiga komponen utama melibatkan sarana dan prasarana, seperti metode, media, dan penataan lingkungan tempat belajar, sehingga tercipta suatu proses pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Donald, Mac (dalam Zais, 1976 : 10), bahwa pembelajaran merupakan subsistem dari sistem yang saling berinteraksi, yaitu mengajar, belajar, pembelajaran, dan kurikulum.
Dalam proses pembelajaran, terjadi kegiatan belajar dan mengajar. Menurut Ali (2000 : 13), mengajar pada hakekatnya merupakan upaya guru dalam memberikan kemungkinan kepada siswa agar terjadi proses belajar. Sebagaimana menurut Gagne, dalam Sanjaya, Wina (2008 : 213) : "Instruction is a set of even which affect learners in such a way that learning is facilitated". Maksudnya bahwa hal yang terpenting dalam mengajar bukan upaya guru menyampaikan bahan, tetapi bagaimana siswa secara aktif dapat mempelajari bahan sesuai tujuan.
Menurut Ramayulis (2001 : 72), terdapat unsur-unsur substansial kegiatan pengajaran, yakni meliputi : (a) Pengajaran adalah upaya pemindahan pengetahuan; (b) Pemindahan pengetahuan dilakukan seseorang yang mempunyai pengetahuan (pengajar) kepada orang lain yang belum mengetahui (pelajar) melalui suatu proses belajar dan mengajar.
Pengetahuan yang dipindahkan diperoleh dari dua sumber, sumber Ilahi dan sumber manusiawi. Kedua jenis pengetahuan ini saling melengkapi dan pada hakikatnya, keduanya berasal dari Allah yang menciptakan manusia dan memberinya berbagai potensi untuk bisa memahami dan memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang berasal dari sumber Ilahi ialah pengetahuan yang datang langsung dari Allah melalui wahyu-Nya. Adapun pengetahuan yang berasal dari sumber manusiawi ialah pengetahuan yang dipelajari manusia dari berbagai pengalaman pribadinya dalam kehidupan, juga dalam usahanya dalam menelaah dan memecahkan berbagi problem yang dihadapinya, atau melalui pendidikan dan pengajaran serta penelitian ilmiah (Usman Najati, 1986 : 30).
Belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap. Perubahan itu bersifat konstan dan berbekas (Winkel, 1999 : 53), sedangkan menurut Gagne, dkk. (1992 : 6), belajar adalah suatu perubahan tingkah laku manusia atau kemampuan yang dapat dipelihara dari proses hubungan internal dan eksternal dalam situasi belajar yang bukan berasal dari proses pertumbuhan. Orang tidak belajar dalam arti umum tetapi selalu dalam arti perubahan tingkah laku khusus yang dapat diamati. Perubahan telah terjadi, apabila membandingkan tingkah laku individu sebelum ia tempatkan dalam situasi belajar dengan tingkah laku yang dapat diperlihatkan olehnya sesudah belajar.
Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan berbagai sumber untuk belajar Pembelajaran dapat melibatkan dua pihak yaitu siswa sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator. Yang terpenting dalam kegiatan pembelajaran adalah terjadinya proses belajar (learning process), sebab sesuatu dikatakan hasil belajar kalau memenuhi beberapa ciri berikut : (1) Belajar sifatnya disadari, dalam hal ini siswa merasa bahwa dirinya sedang belajar, timbul dalam dirinya motivasi-motivasi untuk memiliki pengetahuan yang diharapkan sehingga tahapan-tahapan dalam belajar sampai pengetahuan itu dimiliki secara permanen (retensi) betul-betul disadari sepenuhnya. (2) Hasil belajar diperoleh dengan adanya proses. Dalam hal ini pengetahuan diperoleh tidak secara spontanitas, instant, namun bertahap (sequential). Seorang anak bisa membaca tentu tidak diperoleh hanya dalam waktu sesaat namun berproses cukup lama, kemampuan membaca diawali dengan kemampuan mengeja, mengenal huruf, kata dan kalimat. Seseorang yang tiba-tiba mampu memiliki kecakapan misalnya berlari dengan kecepatan tinggi akibat doping, bukanlah hasil dari kegiatan belajar, namun efek dari obat atau zat kimia yang dikonsumsinya. (3) Belajar membutuhkan interaksi, khususnya interaksi yang sifatnya manusiawi. Seorang siswa akan lebih cepat memiliki pengetahuan karena bantuan dari guru, pelatih atau instruktur. Dalam hal ini terjadi komunikasi dua arah antara siswa dan guru.

B. Model-Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Model pembelajaran merupakan suatu rencana mengajar yang memperhatikan pola pembelajaran tertentu, hal ini sesuai dengan pendapat Briggs (1978 : 23) yang menjelaskan model adalah "Seperangkat prosedur dan berurutan untuk mewujudkan suatu proses", dengan demikian model pembelajaran adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dengan pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran sehingga menunjukkan adanya perolehan, penguasaan, hasil, proses atau fungsi belajar bagi peserta belajar.
Joyce (2000 : 28) mengemukakan ada empat rumpun model pembelajaran yakni : (1) rumpun model interaksi sosial, yang lebih berorientasi pada kemampuan memecahkan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. (2) Model pemprosesan informasi, yakni rumpun pembelajaran yang lebih berorientasi pada penguasaan disiplin ilmu. (3) Model pengembangan pribadi, rumpun model ini lebih berorientasi pada pengembangan kepribadian peserta belajar, dan (4) Model behaviorisme yakni model yang berorientasi pada perubahan perilaku.
Berdasarkan kajian yang penulis lakukan terhadap beberapa model pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran pendidikan agama Islam, diantaranya adalah : model classroom meeting, cooperative learning, integrated learning, constructive learning, inquiry learning, quantum learning, dan pembelajaran akselerasi (accelerated learning). Pembahasan lebih lanjut terhadap model-model tersebut, disajikan pada bagian berikut ini : 

a. Model Classroom Meeting

Ahli yang menyusun model ini adalah William Glasser. Menurut Glasser dalam Moejiono (1991/1992 : 155) sekolah umumnya berhasil membina prilaku ilmiah, meskipun demikian adakalanya sekolah gagal membina kehangatan hubungan antar pribadi. Kehangatan hubungan pribadi bermanfaat bagi keberhasilan belajar, agar sekolah dapat membina kehangatan hubungan antar pribadi, maka dipersyaratkan : (a) guru memiliki rasa keterlibatan yang mendalam, (b) guru dan siswa harus berani menghadapi realitas, dan berani menolak prilaku yang tidak bertanggung jawab, dan (c) siswa mau belajar cara-cara berperilaku yang lebih baik. Agar siswa dapat membina kehangatan hubungan antara pribadi, guru perlu menggunakan strategi mengajar yang khusus. Karakteristik PAI salah satunya adalah untuk menghantarkan peserta didik agar memiliki kepribadian yang hangat, tegas dan santun, maka model pembelajaran ini dapat dipertimbangkan.

TESIS PENGEMBANGAN MULTIMEDIA BERBASIS KOMPUTER MODEL SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAPEL TIK SISWA SMP

Posted: 31 Jan 2015 03:20 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0296) : TESIS PENGEMBANGAN MULTIMEDIA BERBASIS KOMPUTER MODEL SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAPEL TIK SISWA SMP (PROGRAM STUDI : PENGEMBANGAN KURIKULUM)



BAB II 
KAJIAN TEORITIS

A. Media Pembelajaran

Media pembelajaran memberikan manfaat yang besar bagi dunia pendidikan. Namun demikian, sebagian orang masih bertanya-tanya tentang definisi, kedudukan, manfaat, dan berbagai hal tentang media tersebut. Untuk itu, berikut ini akan dijelaskan tentang definisi, kedudukan, klasifikasi manfaat, prinsip penggunaan media dalam pembelajaran.

1. Pengertian Media Pembelajaran

Sanjaya dalam buku "Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan" (2009 : 163) menjelaskan kata media berlaku untuk berbagai kegiatan atau usaha, seperti media dalam menyampaikan pesan, media pengantar magnet atau panas dalam bidang teknik. Istilah media digunakan juga dalam bidang pengajaran atau pendidikan sehingga istilahnya menjadi media pendidikan atau media pembelajaran.
Media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam proses belajar mengajar yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak untuk mencapai proses dan hasil pembelajaran secara efektif dan efisien, serta tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai dengan mudah (Rohana, 1997 : 4).
Munadi (2008 : 7) mengungkapkan bahwa media pembelajaran dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif.
Secara umum, ada dua konsep atau definisi media pendidikan atau media pembelajaran. Rossi dan Bridle (1966 : 3) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah buku dan sebagainya. Menurut Rossi alat-alat seperti radio dan televisi kalau digunakan dan diprogramkan untuk pendidikan maka merupakan media pembelajaran.
Namun demikian media bukan hanya berupa alat dan bahan saja, akan tetapi hal-hal yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan. Gerlach dan Ely (1980 : 244) menyatakan "A medium, conceived is any person, material or even that establish condition which enable the learner to acquire knowledge, skill and attitude." Menurut Gerlach secara umum media itu meliputi orang, bahan, peralatan, atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Jadi dalam pengertian ini media bukan hanya alat perantara seperti TV, radio, slide, bahan cetakan tetapi meliputi orang atau manusia sebagai sumber belajar atau juga berupa kegiatan semacam diskusi, seminar, karya wisata, simulasi dan lain sebagainya yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, mengubah sikap siswa, simulasi untuk menambah ketrampilan.
Dari dua pengertian di atas, Sanjaya (2009) menyimpulkan bahwa tampak pengertian kedua yang di kemukakan Gerlach lebih luas dibandingkan dengan pengertian yang pertama.
Pendapat lain mengemukakan bahwa media pengajaran meliputi perangkat keras atau (hardware) dan perangkat lunak (software). Hardware adalah alat yang dapat mengantarkan pesan seperti overhead projector, radio, televisi, dan sebagainya. Sedangkan software adalah isi program yang mengandung pesan seperti informasi yang terdapat pada transparansi atau buku dan bahan-bahan cetakan lainnya, cerita yang terkandung dalam film atau materi yang disuguhkan dalam bentuk bagan, grafik, diagram dan lain sebagainya.
Menurut Heinick, dkk. (1986) mendefinisikan media adalah sesuatu yang membawa informasi antara sumber (source) dan penerima (receiver) informasi. Sedangkan Hamalik (2007) mendefinisikan media sebagai teknik yang digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Dengan demikian yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah suatu "alat, sarana" (cetak elektronik) yang dipergunakan untuk menghubungkan siswa dengan substansi bahan ajar yang bertujuan mengoptimalkan pencapaian kompetensi hasil belajar.

2. Kedudukan Media Dalam Pembelajaran

Kedudukan media dalam pembelajaran sangatlah penting bahkan sejajar dengan metode pembelajaran, karena metode yang digunakan dalam proses pembelajaran akan menuntut media yang disesuaikan dengan kondisi dalam pembelajaran, baik materi, karakteristik siswa dan bahkan jumlah siswa (kelompok besar, kecil atau individual).

PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN TERHADAP PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE SISWA

Posted: 31 Jan 2015 03:06 AM PST

(KODE : PASCSARJ-0295) : TESIS PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN TERHADAP PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE SISWA (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)



BAB II
KERANGKA TEORI

A. Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan


1. Sejarah dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan, secara formal, diawali dengan munculnya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962. Di dalam Kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan digunakan secara bertukar-pakai. Misalnya dalam kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang digunakan sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan Civics. Di dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan konstitusi termasuk UUD NRI 1945, sedangkan di dalam kurikulum SMA 1968 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara berisikan materi terutama berkenaan dengan UUD NRI 1945 (Somantri, 2001 : 285; Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 70). Selanjutnya dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan kurikulum 1975 (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 70).
Jika melihat perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di atas, maka substansi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada periode-periode di atas bertumpu pada falsafah negara Pancasila dan doktrin-doktrin politik kontemporer. Namun demikian, apabila disimak lebih dalam terdapat perbedaan dalam cara mengejawantahkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Pancasila sealur dengan orientasi dan kepentingan politik masing-masing rezim. Orientasi dan kepentingan politik rezim penguasa telah mewarnai arah, isi, misi, dan implementasi Pendidikan Kewarganegaraan pada zamannya masing-masing. Implikasinya dapat dilihat dari pendekatan pedagogisnya, yakni Pendidikan Kewarganegaraan yang cenderung bersifat dogmatis-doktriner dengan tekanan yang terlalu berlebihan pada proses penanaman nilai (Wahab, 2006 : 61; Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 97).
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 37 dinyatakan bahwa : "Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan tinggi". Penjelasan pasal 37 ayat (1) Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini berarti bahwa Pendidikan Kewarganegaraan di berbagai jenjang pendidikan harus tetap ditingkatkan dan dikembangkan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan mewujudkan warga negara yang berjiwa patriotisme dan dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Pendidikan Kewarganegaraan yang diajarkan pada tingkat persekolahan mempunyai peranan penting yang strategis, di antaranya adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik untuk dapat melaksanakan dengan baik apa yang menjadi hak-hak dan kewajibannya. 
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan paradigma dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, seiring dengan munculnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mencantumkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk : "... berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma baru mengusung tujuan utama mengembangkan "civic competences" yakni civic knowledge (pengetahuan dan wawasan kewarganegaraan), civic disposition (nilai, komitmen, dan sikap kewarganegaraan), dan civic skills (perangkat keterampilan intelektual, sosial, dan personal kewarganegaraan) yang seyogyanya dikuasai oleh setiap individu warga negara (Winataputra, 2001 : 317-318). Ketiga komponen tersebut secara konseptual dan teoretik sejak tahun 1994 telah diajukan oleh Center for Civic Education dalam National Standards for Civics and Government (Branson, 1999 : 8-25), akan tetapi baru lebih banyak terakomodir dalam Kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi. Hal ini bisa dilihat pada pengertian, tujuan dan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam perangkat Kurikulum 2006.
Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Depdiknas (2006 : 49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut :
a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Ruang lingkup Civic Education (Sumantri, 1975 : 33), antara lain : (a) Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah; (b) Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis dan (c) Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat objektif hidup bernegara. Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi : Hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi : Tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan- peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.
c. Hak asasi manusia meliputi : Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d. Kebutuhan warga negara meliputi : Hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.
e. Konstitusi negara meliputi : Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f. Kekuasaan dan Politik, meliputi : Pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
g. Pancasila meliputi : Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
h. Globalisasi meliputi : Globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
Dari uraian di atas, nampak bahwa komponen yang hendak dikembangkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah komponen civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), komponen civic skills (keterampilan berpikir kritis, rasional, kreatif dan keterampilan berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara), civic disposition (berkembang demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat Indonesia, dan berinteraksi dengan bangsa lain di era globalisasi). Hal ini mengindikasikan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu diharapkan bermakna bagi kehidupan siswa.

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template