TUGAS KAMPUS: May 2009

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

THEORY OF PLANNED

THEORY OF PLANNED BEHAVIOR
AJZEN
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Theory of Planed Behavior (Teori Tingkah Laku yang direncanakan) diperkenalkan Ajzen (1985,1987), teori ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori sebelumnya yaitu reasoned action (tindakan beralasan). Teori ini menambahkan sebuah konstruk yaitu perceived behavior control atau control perilaku yang dipersepsi. Teori tingkah laku yang terencanakan adalah banyak perilaku tidak semuanya dibawah kontrol penuh individual sehingga perlu ditambahkan konsep kontrol perilaku yang dipersepsi.

Teori ini mengansumsi bahwa kontrol perilaku yang dipersepsi mempunyai implikasi motivisional terhadap minat-minat., selain itu adanya hubungan antara perilaku yang dipersepsi dengan perilaku. Suatu perilaku tidak ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga terdapat pada persepsi individu dan kenyakinan kontrol tersebut. Ajzen juga menambahakan faktor latar belakang pada teori ini.

B. MODEL THE PLAN OF BEHAVIOR


1. Background Factors (Latar Belakang)
Latar belakang atau Bacground Factors disini meliputi usia, jenis kelamin, suku, status social ekonomi, mood (suasana hati), sifat kepribadian, dan pengetahuannya dapat mempengarihi perilakunya. Disini dia memasukkan tiga faktor latar belakang, yakni Personal, Sosial, dan Informasi. Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu, sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi dan kecerdasan yang dimilikinya. Faktor Sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin, etnis, pendidikan dan agama. Faktor Informasi adalah pengalaman, pengetahuan dan ekspose pada media.

2. Behavioral Belief (Kenyakinan Perilaku)
Kepercayaan dari seseorang individu tentang konsekuensi dari perilaku tertentu. Konsep ini didasarkan pada kemungkinan subjektif bahwa perilaku akan menghasikan suatu hasil.

3. Attitude Toward Behavior (Sikap Terhadap Perilaku)
Penilaian positif atau negative dari perilaku tertentu. Hal ini ditentukan oleh hubungan kepercayaan terhadap perilaku dengan hasil dari berbagai perilaku dan sifat lainnya.

4. Normatif Bellief (Kenyakinan Normatif)
Disini adalah faktor lingkungan social yang berpengaruh terhadap individu, dan dapat mempengaruhi keputusannya.

5. Subjective Norm (Norma Subjective)
Sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya (Normative Belief). Fishbein & Ajzen (1975) menggunakan istilah motivation to comply untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak.

6. Kepercayaan Kontrol (Control Beliefs)
Kepercayaan dari seorang individu tentang adanya faktor yang dapat memfasilitasi atau menghalangi kinerja dari perilaku (Ajzen, 2001). Konsep kontrol terhadap perilaku yang konseptual berkaitan dengan kemanjuran sendiri.

7. Kontrol Perilaku yang Dipersepsi (Perceived Behavioral Control)
Individu yang dianggap memudahkan atau menghambat untuk melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 1988). Hal ini diasumsikan bahwa kontrol perilaku yang dipersepsi ditentukan oleh total set yang diperoleh dari kepercayaan kontrol.

8. Niat untuk melakukan perilaku (Intention)
Kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana bila dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya.

9. Behavior (Perilaku)
Kata seorang Ajzen, perilaku adalah fungsi dari niat yang kompatibel dan tanggapan dari perilaku dalam kontrol perilaku yang dipersepsi. Diharapkan efek moderat pada niat perilaku, yaitu niat baik menghasilkan perilaku hanya ketika kontrol perilaku yang dipersepsi kuat.

10. Kendali Tingkah Laku Nyata (Actual Behavioral)
Segala hal yang secara actual tersedia dalam membentuk kontrol perilaku dan perilaku itu sendiri, seperti dukungan dari orang lain, uang, keahlian, waktu, dan lain sebagainya.

Share


Theory of Reasoned action

Penggunaan Theory of Reasoned action
terhadap penundaan usia perkawinan pada mahasiswi
(usia 22-25 th)

A. Pendahuluan
Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status dari lajang menjadi seorang istri yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus sepanjang perkawinan. Individu yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam perkawinan.

Di Indonesia penundaan usia perkawinan banyak dijumpai di kota-kota besar terutama mereka yang berkonsentrasi pada kemajuan prestasi dalam karir dan pendidikan. Pendidikan dikatakan sebagai alternatif lain (terutama bagi gadis) dari melangsungkan perkawinan, sehingga sering digunakan alasan seseorang belum menikah karena “masih sekolah”, walaupun usianya sudah mencapai usia perkawinan
Penundaan usia perkawinan sampai pada usia dewasa dianggap banyak memberikan keuntungan bagi seorang individu. Perkawinan di usia dewasa akan menjamin kesehatan reproduksi ideal bagi wanita sehingga kematian ibu melahirkan dapat dihindari. Perkawinan di usia dewasa juga akan memberikan keuntungan dalam hal kesiapan psikologis dan sosial ekonomi.

Dikatakan bahwa meskipun usia tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya faktor yang bertanggung jawab dalam proporsi kegagalan perkawinan, akan tetapi terdapat indikasi bahwa perkawinan belia cacat sejak permulaan karena biasanya pasangan memasukinya dengan terburu-buru, setelah perkenalan yang singkat, dan seringkali tanpa pertimbangan matang mengenai realitas yang akan mereka hadapi setelah menikah. Oleh karena itu penundaan usia perkawinan banyak dianjurkan pada mereka yang belum memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan.

B. Kajian Teori
Penelitian ini mengaplikasikan model tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen dalam memahami intensi penundaan usia perkawinan (Ajzen, 1988). Berdasarkan model teori tindakan beralasan dijelaskan bahwa untuk melakukan penundaan usia perkawinan, ditentukan oleh adanya intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan atau tidak.

Ada dua komponen yang menjadi penentu intensi penundaan usia perkawinan,yaitu sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, dan norma subyektif yang diyakini oleh individu.

Sikap terhadap penundaan usia perkawinan terbentuk oleh keyakinan akan penundaan usia perkawinan, yang memuat dua aspek pokok, yaitu:

(1) Keyakinan akan hasil atau manfaat yang diperoleh dari penundaan usia perkawinan.
Keyakinan tersebut meliputi empat aspek yaitu; aspek kesiapan biologis, kesiapan psikologis, kesiapan sosial dan kesiapan ekonomi (Landis, 1963).

(2) Evaluasi terhadap setiap hasil yang diperoleh dari penundaan usia perkawinan.
Evaluasi terhadap hasil perilaku adalah merupakan penilaian dari individu terhadap aspek kesiapan biologis, kesiapan psikologis, kesiapan sosial dan kesiapan ekonomi sebagai hasil atau manfaat yang dapat diperoleh apabila individu melakukan penundaan usia perkawinan. Evaluasi atau penilaian bersifat menguntungkan atau tidak menguntungkan, menyenangkan atau tidak menyenangkan, berharga atau merugikan, baik atau tidak baik.
Semakin positif sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin kuat intensi individu tersebut untuk melakukan penundaan usia perkawinan, sebaliknya semakin negatif sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin lemah intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan.

Norma subyektif terbentuk dari keyakinan normatif yang terdiri dari dua aspek pokok, yaitu:

(1) Keyakinan akan harapan normatif referen terhadap penundaan usia perkawinan.
Keyakinan mengacu pada seberapa besar harapan-harapan yang dipersepsi oleh individu yang berkaitan dengan penundaan usia perkawinan, yang berasal dari orang-orang yang dianggap berpengaruh dan mempengaruhi individu (referen significant others) untuk melakukan penundaan usia perkawinan. Referen dalam hal ini adalah orang tua, saudara, teman, tetangga, tokoh agama dan tokoh masyarakat

(2) Motivasi untuk mematuhi setiap harapan normatif referen tersebut.
Motivasi mengacu pada seberapa besar motivasi dari individu untuk mematuhi harapan-harapan dari orang-orang yang dianggap penting tersebut. Semakin positif atau mendukung norma subyektif yang diyakini oleh individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin kuat intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan, sebaliknya semakin negatif norma subyektif yang diyakini oleh individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka akan semakin lemah intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan.

C. Hasil dan Pembahasan
Sebagian besar subyek penelitian memiliki sikap yang positif terhadap penundaan usia perkawinan (77,5%). Hal ini berarti mereka memiliki keyakinan yang tinggi bahwa penundaan usia perkawinan akan memberikan keuntungan bagi mereka, baik keuntungan dari segi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Penundaan perkawinan akan memberikan waktu lebih banyak bagi mereka untuk membentuk identitas pribadi sebagai individu yang matang secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Landis (1963) yang mengatakan bahwa penundaan atau pendewasaan usia perkawinan akan mempengaruhi kesiapan individu terutama kesiapan psikologis, sosial dan ekonomi, dalam memasuki kehidupan perkawinan yang berarti juga akan meningkatkan stabilitas perkawinan sehingga kegagalan perkawinan dapat dihindari (Landis, 1963). Semua bentuk kesiapan ini mendukung individu untuk dapat menjalankan peran baru dalam keluarga yang akan dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras, stabil dan individu dapat merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak.
Kesiapan biologis menjadi salah satu pertimbangan penting subyek penelitian dalam menunda perkawinan. Kesiapan biologis mengacu kepada kematangan seksual yang dimilki individu sehingga mampu mendapatkan keturunan dan siap menerima konsekuensi sebagai orang tua (hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak).

Kesiapan psikologis menjadi alasan kedua subyek penelitian untuk menunda perkawinan. Kesiapan psikologis diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami atau istri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-masing dalam rumah tangga, dan tidak memilki kecemasan yang berlebihan terhadap perkawinan, akan tetapi menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang wajar untuk dijalani. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis bahwa individu yang siap secara psikologis untuk menikah akan bersikap flexibel dan adaptif dalam menjalin hubungan dengan orang lain, memandang pernikahan sebagai sebuah fase dalam kehidupan yang akan dapat mendatangkan berbagai persoalan baru yang tentunya memerlukan tanggung jawab lebih besar (Landis, 1963).

Perkawinan bukan hanya hubungan antara dua pribadi, akan tetapi juga merupakan suatu lembaga sosial yang diatur oleh masyarakat yang beradab untuk menjaga dan memberi perlindungan bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam masyarakat tersebut, serta untuk menjamin stabilitas dan kelangsungan kelompok masyarakat itu sendiri. Banyaknya peraturan-peraturan dan larangan-larangan sosial bagi sebuah perkawinan membuktikan adanya perhatian yang besar dari masyarakat untuk sebuah perkawinan yang akan terjadi. Keuntungan dari perkawinan yang dilakukan oleh individu yang siap secara psikologis adalah mereka akan menyadari implikasi dari sebuah perkawinan dan menyadari arti dari perkawinan bagi kehidupannya. Oleh karena itu kesiapan psikologis sangat diperlukan dalam memasuki kehidupan perkawinan agar individu siap dan mampu menghadapi berbagai masalah yang timbul dengan cara yang bijak, tidak mudah bimbang dan putus asa.

Kesiapan secara sosial juga merupakan pertimbangan penting bagi penetapan waktu perkawinan. Subyek penelitian berkeyakinan bahwa menunda perkawinan akan memberi manfaat dalam meningkatkan kesiapan individu dalam menjalankan status baru dalam masyarakat sebagai suami atau istri dengan segala konsekuensinya, serta bersedia untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan budaya yang berlainan.

Kartono (1987) mengatakan kesiapan secara sosial diperlukan karena akan membawa seseorang dari masa yang kekanak-kanakan penuh egosentrisme kepada akseptuasi sepenuhnya dari pertanggungjawaban sebagai manusia dewasa ditengah masyarakat, sehingga mampu melakukan adaptasi sosial, dan mampu mengintegrasikan diri di tengah masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa integrasi sosial perlu dipelajari oleh setiap individu, karena sangat esensial bagi setiap bentuk hubungan dan interrelasi diri di tengah masyarakat, khususnya untuk interrelasi yang sangat intim dalam bentuk perkawinan.
Selain kesiapan secara sosial, kesiapan ekonomi juga dianggap merupakan manfaat yang akan diperoleh subyek penelitian dari menunda perkawinan. Kesiapan ekonomi berarti individu mampu untuk mandiri, memiliki mata pencaharian yang mantap sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, dan tidak lagi bergantung pada orang tua. Kesiapan ekonomi juga berarti adanya kemampuan merencanakan dan mengelola keuangan dengan baik.

Individu yang menikah pada usia muda akan cenderung bergantung pada orangtua secara finansial maupun emosional. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia dewasa akan membuat orangtua yakin bahwa anak-anak mereka cukup mampu bertanggung jawab pada perkawinannnya dan tidak akan terlalu ikut campur pada permasalahan yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan perkawinan mereka. Hal ini juga dapat mengurangi friksi yang mungkin terjadi dengan keluarga pasangan (Laswell, 1987).

Norma subyektif yang diyakini oleh sebagian besar subyek penelitian berada dalam kategori tinggi (50,5%) dan sangat tinggi (22%). Hal ini berarti subyek penelitian memiliki keyakinan bahwa orang-orang penting dalam kehidupan mereka (significant others) menyarankan untuk menunda usia perkawinan, dan subyek penelitian memiliki motivasi yang besar untuk mematuhinya.

Perkawinan pada masyarakat Indonesia tidak hanya berhubungan atau melibatkan pasangan yang akan melakukan perkawinan, akan tetapi sekaligus juga merupakan perkawinan “dua keluarga”. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Malhotra (1997) yang menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua dalam keputusan penetapan waktu perkawinan anak-anaknya tetap berlangsung, meskipun mereka bebas memilih pasangannya sendiri seperti yang terjadi di Indonesia, Srilangka, China ,Taiwan dan Jepang. Dukungan significant others yang tinggi pada penundaan usia perkawinan disebabkan karena mereka menyadari bahwa persiapan yang lebih matang terutama dari segi kesiapan psikologis, sosial dan ekonomi diperlukan untuk menjamin kelangsungan masa depan sebuah perkawinan. Sarwono (1997) mengatakan bahwa penundaan usia perkawinan dapat disebabkan karena norma sosial semakin lama menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk dilangsungkannya sebuah perkawinan, yakni pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental dan lain-lain (Sarwono, 1997).

Secara teoritis norma sosial terhadap perkawinan merupakan perwujudan sikap anggota masyarakat terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Otani (1991) mengelompokkan tiga jenis sikap masyarakat terhadap perkawinan sebagai berikut:

1. Sikap masyarakat yang menganggap bahwa perkawinan merupakan suatu masa yang mutlak harus dilakukan dan sedapat mungkin dilakukan sebelum mencapai umur tertentu. Masyarakat yang memiliki sikap demikian, pada umumnya menerima perkawinan yang diatur oleh orangtua.

2. Sikap masyarakat yang mengaggap bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang penting dan jika diperbolehkan akan dilakukan sebelum mencapai umur tertentu. Golongan masyarakat ini cenderung menunda perkawinan sampai dirasa mantap untuk memasuki kehidupan perkawinan.

3. Sikap masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan lebih penting daripada perkawinan. Masyarakat pada golongan ini cenderung untuk melakukan perkawinan terlambat, bahkan sebagian besar memilih untuk tidak melakukan perkawinan (Ontani, 1991: 475-487).

Berdasarkan penggolongan sikap masyarakat di atas terlihat bahwa referen atau orang-orang yang dianggap penting oleh subyek penelitian termasuk dalam golongan kedua. Hal ini sesuai dengan pendapat Otani yang mengatakan bahwa, masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan dan dengan status sosial menengah keatas termasuk dalam golongan kedua.

Mereka memiliki keyakinan bahwa perkawinan merupakan sebuah fenomena yang universal, artinya secara cepat atau lambat seseorang akan melangsungkan perkawinan, hanya saja penetapan waktu perkawinan menuntut persyaratan yang semakin tinggi, terutama kesiapan psikologis dan sosial ekonomi. Sebagian besar subyek penelitian memiliki intensi penundaan usia perkawinan dalam kategori tinggi (48,%5) dan sangat tinggi (24,5%) disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

1. Seluruh subyek penelitian masih berstatus mahasiswa sehingga masalah perkawinan belum menjadi masalah yang mendesak untuk dipikirkan. Prioritas utama subyek penelitian adalah menyelesaikan kuliah dan meraih prestasi sebaik-baiknya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manning dan Singarimbun (2000) yang menunjukkan bahwa pendidikan memang memberi andil yang cukup besar terhadap penundaan usia perkawinan. Semakin tinggi pendidikan yang diraih seorang individu, maka semakin tinggi pula usia kawin individu tersebut. Individu yang memiliki pendidikan tinggi akan mengalokasikan waktu yang lebih panjang untuk mengenyam pendidikan.

2. Seluruh subyek penelitian belum bekerja, sehingga mereka belum memiliki kemandirian secara ekonomis untuk menuju kehidupan perkawinan. Perkawinan mensyaratkan adanya kemandirian secara ekonomis dari pasangan, sehingga ketergantungan secara ekonomis pada orang lain merupakan sesuatu hal yang tabu dan sedapat mungkin harus dihindari

3. Usia subyek penelitian juga merupakan faktor yang menyebabkan tingginya intensi untuk melakukan penundaan usia perkawinan. Usia yang muda saat memasuki perkawinan biasanya berkaitan dengan ketidaksiapan secara sosial, psikologis, dan ekonomis. Lebih muda usia kawin berarti besar peluang untuk tidak stabilnya sebuah perkawinan, sehingga penundaan atau pendewasaan usia perkawinan merupakan sebuah hal yang wajar dan biasa untuk dilakukan.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sikap terhadap penundaan usia perkawinan, norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian berada dalam kategori tinggi. Pada model perilaku beralasan dijelaskan, jika sikap terhadap perilaku dan norma subyektif tinggi, maka intensi untuk menampilkan perilaku juga akan tinggi. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Becker (Openheirmen, 1988) yang mengatakan bahwa penundaan perkawinan akan terjadi pada pria dan wanita, jika terdapat utility yang lebih besar yang akan diperoleh pria dan wanita tersebut daripada jika mereka tidak melakukan penundaan perkawinan. Hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan, menandakan subyek penelitian meyakini bahwa mereka akan mendapatkan utility yang lebih besar jika melakukan penundaan usia perkawinan.

Norma subyektif yang diyakini oleh subyek penelitian berpengaruh secara positif terhadap intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Seperti telah dijelaskan pada dasar teori, bahwa pembagian fase kehidupan seorang individu kebanyakan mempunyai sifat normatif (Monk, 1999). Walaupun tidak selalu mutlak demikian, namun masih sering dipakai sebagai standar tingkah laku bagi individu. Hal ini sesuai dengan kecenderungan masyarakat untuk selalu berusaha memperoleh standar tingkah laku. Tingginya dukungan normatif untuk melakukan penundaan usia perkawinan yang diyakini oleh subyek penelitian, menyebabkan intensi untuk melakukan penundaan usia perkawinan menjadi tinggi. Dalam masyarakat maju, usia memang tidak selalu menjadi standar tingkah laku, terutama pada masa sesudah remaja, namun fenomena “social o’clock” belum sepenuhnya hilang. Masyarakat masih menaruh pengharapan tertentu mengenai tingkah laku yang sesuai untuk usia-usia tertentu. Pengharapan masyarakat ini kemudian diinternalisasikan oleh individu, dan mempengaruhi keputusannya dalam berperilaku tertentu.

D. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada korelasi positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti bahwa semakin positif sikap subyek penelitian terhadap penundaan usia perkawinan, maka akan semakin kuat intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sebaliknya, semakin rendah sikap subyek penelitian terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin lemah intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sumbangan efektif sikap terhadap penundaan usia perkawinan sebesar 12,8% terhadap intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti sikap terhadap penundaan usia perkawinan memiliki mempunyai peran yang cukup besar terhadap penundaan usia perkawinan.

2. Ada korelasi positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti semakin positif norma subyektif, maka semakin kuat intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sebaliknya, semakin negatif norma subyektif, maka semakin lemah pula intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sumbangan efektif norma subyektif sebesar 47% terhadap intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti norma subyektif berperan besar terhadap peningkatan intensi penundaan usia perkawinan.

Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Mengingat besarnya peran dari norma subyektif terhadap intensi penundaan usia perkawinan, maka bagi instansi yang memiliki program pendewasaan usia perkawinan hendaknya memberikan perhatian utama terhadap opini dari referen subyek yang dijadikan target program pendewasaan usia perkawinan.

2. Sosialisasi pendewasaan usia perkawinan pada subyek yang menjadi target program pendewasaan usia perkawinan, hendaknya difokuskan pada pengubahan sikap yang lebih favorable terhadap penundaan usia perkawinan

3. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti penundaan usia perkawinan, hendaknya mempertimbangkan faktor lain dari pemilihan subyek, misalnya; jenis kelamin (pria dan wanita), tempat tinggal (desa dan kota) dan status (menikah dan belum menikah) untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang penundaan usia perkawinan.


Share


MANAJEMEN PELATIHAN

MANAJEMEN PELATIHAN KANKER SERVIKS

A. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PELATIHAN
1. PENGERTIAN KANKER SERVIKS
Kanker serviks (kanker leher rahim) adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher rahim. Kanker serviks merupakan kanker yang sering dijumpai di Indonesia baik di antara kanker pada perempuan dan pada semua jenis kanker.

Kejadiannya hampir 27% di antara penyakit kanker di Indonesia. Namun demikian lebih dari 70% penderita datang memeriksakan diri dalam stadium lanjut, sehingga banyak menyebabkan kematian karena terlambat ditemukan dan diobati.
Di mana Letak Leher Rahim? Leher rahim adalah bagian bawah rahim yang menonjol ke dalam kelamin wanita. Di tempat ini sering terjadi kanker yang disebut kanker serviks. Bagaimana Gejalanya? Kanker serviks pada stadium dini sering tidak menunjukkan gejala atau tanda-tandanya yang khas, bahkan tidak ada gejala sama sekali.
Gejala yang sering timbul pada stadium lanjut antara lain adalah:
- Pendarahan sesudah melakukan hubungan intim.
- Keluar keputihan atau cairan encer dari kelamin wanita.
- Pendarahan sesudah mati haid (menopause).
- Pada tahap lanjut dapat keluar cairan kekuning-kuningan, berbau atau bercampur darah, nyeri panggul atau tidak dapat buang air kecil.
Apakah penyebabnya? Lebih dari 95 % kanker serviks berkaitan erat dengan infeksi HPV (Human Papiloma Virus) yang dapat ditularkan melalui aktivitas seksual. Saat ini sudah terdapat vaksin untuk mencegah infeksi HPV khususnya tipe 16 dan tipe 18 yang diperkirakan menjadi penyebab 70% kasus kanker serviks di Asia.
Apa saja yang menjadi faktor resikonya? Beberapa faktor risiko terkena kanker serviks antara lain:
- Mulai melakukan hubungan seksual pada usia muda.
- Sering berganti-ganti pasangan seksual.
- Sering menderita infeksi di daerah kelamin.
- Melahirkan banyak anak.
- Kebiasaan merokok (risiko dua kali lebih besar).
- Defisiensi vitamin A, C, E.

PENYAKIT KANKER SERVIKS

Kanker serviks (kanker leher rahim) adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher rahim. Kanker serviks merupakan kanker yang sering dijumpai di Indonesia baik di antara kanker pada perempuan dan pada semua jenis kanker.
Kejadiannya hampir 27% di antara penyakit kanker di Indonesia. Namun demikian lebih dari 70% penderita datang memeriksakan diri dalam stadium lanjut, sehingga banyak menyebabkan kematian karena terlambat ditemukan dan diobati.
Di mana Letak Leher Rahim? Leher rahim adalah bagian bawah rahim yang menonjol ke dalam kelamin wanita. Di tempat ini sering terjadi kanker yang disebut kanker serviks. Bagaimana Gejalanya? Kanker serviks pada stadium dini sering tidak menunjukkan gejala atau tanda-tandanya yang khas, bahkan tidak ada gejala sama sekali.
Gejala yang sering timbul pada stadium lanjut antara lain adalah:
- Pendarahan sesudah melakukan hubungan intim.
- Keluar keputihan atau cairan encer dari kelamin wanita.
- Pendarahan sesudah mati haid (menopause).
- Pada tahap lanjut dapat keluar cairan kekuning-kuningan, berbau atau bercampur darah, nyeri panggul atau tidak dapat buang air kecil.
Apakah penyebabnya? Lebih dari 95 % kanker serviks berkaitan erat dengan infeksi HPV (Human Papiloma Virus) yang dapat ditularkan melalui aktivitas seksual. Saat ini sudah terdapat vaksin untuk mencegah infeksi HPV khususnya tipe 16 dan tipe 18 yang diperkirakan menjadi penyebab 70% kasus kanker serviks di Asia.
Apa saja yang menjadi faktor resikonya? Beberapa faktor risiko terkena kanker serviks antara lain:
- Mulai melakukan hubungan seksual pada usia muda.
- Sering berganti-ganti pasangan seksual.
- Sering menderita infeksi di daerah kelamin.
- Melahirkan banyak anak.
- Kebiasaan merokok (risiko dua kali lebih besar).
- Defisiensi vitamin A, C, E.

PAP SMEAR / IVA
Kanker serviks dapat dikenali pada tahap pra kanker, yaitu dengan cara melakukan antara lain pemeriksaan SKRINING, artinya melakukan pemeriksaan tanpa menunggu keluhan. Beberapa medote skrining telah dikenal, yaitu antara lain: PAP SMEAR dan IVA. PAP SMEAR Kanker serviks dimulai dari tahap pra kanker. Jika kanker dapat ditemukan pada tahap awal ini, akan dapat disembuhkan dengan sempurna.
Pemeriksaan PAP SMEAR Adalah cara untuk mendeteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit dengan biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Kapan melakukannya? Pemeriksaan PAP SMEAR dilakukan kapan saja, kecuali pada masa haid atau sesudah petunjuk dokter. Bagi perempuan yang sudah menikah atau sudah melakukan hubungan seksual, lakukanlah pemeriksaan PAP SMEAR setahun sekali. Segera mungkin melakukan pemeriksaan PAP SMEAR dan jangan menunggu sampai timbul gejala.
Bagaimana pemeriksaan dilakukan? Pemeriksaan PAP SMEAR dilakukan di atas kursi periksa kandungan oleh dokter atau bidan yang sudah dilatih, dengan menggunakan alat untuk membantu membuka kelamin wanita. Ujung leher diusap dengan spatula untuk mengambil cairan yang mengandung sel-sel dinding leher rahim. Usapan ini kemudian diperiksa jenis sel-selnya di bawah mikrosop. Apabila hasil pemeriksaan posirif (terdapat sel-sel yang tidak normal), harus segera dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan pengobatan oleh dokter ahli kandungan.

KESIMPULAN
Kanker serviks (kanker leher rahim) adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher rahim. Gejala yang sering timbul pada stadium lanjut antara lain adalah:
- Pendarahan sesudah melakukan hubungan intim.
- Keluar keputihan atau cairan encer dari kelamin wanita.
- Pendarahan sesudah mati haid (menopause).
- Pada tahap lanjut dapat keluar cairan kekuning-kuningan, berbau atau bercampur darah, nyeri panggul atau tidak dapat buang air kecil.

B. SARAN
Pesan yang perlu diingat:
- Untuk melakukan skrining kanker serviks, jangan sampai menunggu adanya keluhan.
- Datanglah ke tempat periksa untuk pemeriksaan PAP SMEAR/IVA
- Jika ditemukan kelainan pra kanker ikutilah pesan petugas/dokter. Apabila perlu pengobatan, jangan ditunda. Karena pada tahap ini tingkat kesembuhannya hampir 100%.


Share


Analisis Observasi

Analisis Hasil Observasi Pasien
Terhadap pelayanan perawat

Pasien yang saya berikan kuisioner bernama Nurul yang berumur 19 tahun ini bertempat tinggal di Srondol Kulon. Beliau berpendidikan terakhir SLTP dan sekarang bekerja sebagai pegawai Swasta yang berpenghasilan perbulan 500 ribu -1 juta.
Beliau masuk di RSUD menggunakan pembayaran Jamsostek.

Berikut hasi dari observasi terhadap Nurul :
A. Aspek Penampilan Fisik
1. Perawat mengenakan serangan saat melayani pasien.
- Pasien merasa puas pada saat pembayaran perawat mengenakan seragam.
2. perawat berpenampilan rapi saat melayani pasien.
- pasien merasa puas karena perawat berpakaian rapi.
3. perawat berpenampilan bersih saat melayani pasien.
- pasien merasa puas apabila perawat berpenampilan bersih karena pasien berpiliran bahwa kebersihan merupakan aspek yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan.
4. Perawat mempunyai penampilan yang meyakinkan/
- Pasien merasa puas, karena penampilan yang meyakinkan merupakan kepuasan sendiri bagi pasien.

B. Aspek kemampuan / kehandalan pelayanan yang akurat.
1. Perawat mampu memberikan kesan pertama yang baik.
- pasien merasa puas, karena kesan pertama yang diberikan membuat pasien percaya terhadap perawat.
2. Perawat tidak melakukan kesalahan saat melayani pasien.
- Pasien merasa puas, karena pada pada saat pelayanan kesehatan, perawat tidak melakukan kesalahan.
3. Perawat terampil dalam melakukan tindakan keperawatan.
- pasien merasa puas, karena perawat terampil dalam melakukan tindakan keperawatan.
4. perawat menginformasikan setiap tindakan yang dilakukan.
- pasien merasa puas, karena setiap perawat yang datang untuk melakukan pelayanan kesehatan menginformasikan tindakan yang akan ia lakukan.
5. Perawat ikut bertanggung jawab atas tindakan keperawatan yang telah dilakukan kepada pasien.
- pasien merasa puas karena perawat memang ikut bertanggungjawab atas apa yang dia lakukan.
6. perawat melakukan tindakan keperawatan dengan baik.
- pasien merasa puas terhadap tindakan keperawatan yang baik.

C. Aspek Daya Tangkap
1. Perawat cepat dalam memberikan tidnakan keperawatan.
- Pasien merasa puas karena perawatan yang melakukan tindakan keperawatan cepat.
2. Perawat siap terhadap kebutuhan pasien.
- pasien merasa puas karena apabila pasien membutuhkan sesuatu maka perawat akan segera mengatasi kebutuhan tersebut.
3. Perawat tepat dalam memberikan kebutuhan pasien.
- Pasien merasa puas karena perawat tepat dalam memberikan kebutuhan pasien.
4. Perawat tanggap jika dibutuhkan oleh pasien
- pasien merasa puas karena perawat selalu tanggap dan selalu ada apabila pasien membutuhkan bantuan.

D. Aspek Jaminan
1. Pasien yakin bahwa perawat adalah orang yang bisa dipercaya dalam melakukan tindakan keperawatan.
- Pasien merasa puas karena perawat merupakan orang yang bisa dipercaya.
2. Perawat tidak bingung dalam melakukan pelayanan
- Pasien merasa tidak puas, karena selama ia membutuhkan bantuan, perawat bingung dalam melayani pasien tersebut.
3. Perawat Membuat Pasien Merasa Aman
- Pasien merasa puas, karena pasien merasakan rasa aman bersama perawat tanpa adanya dokter.
4. Perawat membuat pasien merasa tenang
- pasien merasa puas, karena perawat membuat pasien merasa tenang.
5. Perawat Sopan dengan Pasien
- pasien merasa puas, karena setiap melakukan tindakan keperawatan perawat sopan terhadap pasien.

E. Aspek Empati
1. Perawat memahami kebutuhan pasien
- pasien merasa puas, karena perawat memahami kebutuhan pasien.
2. perawat mengerti kesulitan pasien
- pasien merasa puas, karena perawat mengerti kesulitan pasien.
3. perawat tidak mengabaikan pasien
- pasien merasa puas, karena pasien merasa tidak diabaikan oleh perawat.
4. perawat memberikan perhatian penuh kepada pasien.
- pasien merasa puas, karena pasien merasa diberikan perhatian dari perawat selama melakukan tindakan keperawatan.
5. perawat tidak membedakan antara pasien yang satu dengan pasien yang lain
- Pasien merasa puas, karena pasien merasa tidak dibeda-bedakan antara pasien yang satu dengan pasien yang lainnya. Selama perawat memberikan tindakan keperawatan.

Analisis Hasil Observasi Perawat
Perawat yang saya berikan kuisioner bernama Fitria Wulandari berusia 25 tahun, ia merupakan perawat perempuan yang berpenampilan antara 1 juta – 2 juta, ia bekerja di RSUD Ungaran selama 2 tahun dengan jabatan perawat pelaksana yang ditanggung jawaban kepada Bp. Bambang. S.Kes.
Fitria Wulandari, Amd beralamat di Ungaran.

Berikut hasil Observasi bersama perawat :
1. Pelayanan yang baik untuk pasien adalah pelayanan yang cepat tanggap dan sopan, kualitas pelayanan di RSUD Ungaran adalah kualitas yang cukup baik dan mungkin pelayanan yang lebih ramah dan penanganan pasien agar lebih cepat.
2. Pasien merasa stress mungkin stres akibat dari penyakitnya sendiri dan perawat dalam memenangkannya mungkin dengan cara memberi minum dan menyuruh pasien agar mengambil nafas dalam-dalam.
3. Sebagai perawat merasakan senang, apabila pasien yang ditangani sembuh karena itu salah satu dari slogan “Kesembuhan dan kepuasan pasien adalah kebahagiaan kami”.
4. Perawat berusaha semaksimal mungkin dalam melayani pasien.
5. Fisik yang baik, sopan, dan bersih. Dokter dan perawat mengenakan seragam yang bersih dan rapi.


Share


PROPOSAL METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS PERILAKU VOICE SEBAGAI MODERATOR HUBUNGAN ANTARA KETIDAKPUASAN KERJA DAN KREATIVITAS

I. Latar Belakang
Penelitian tentang konstrak ketidakpuasan kerja pengaruhnya terhadap variabel lain realatif masih sedikit dilakukan. Selama ini para peneliti lebih mendalami tentang konstrak kepuasan kerja terhadap variabel lain seperti kinerja, komitmen. Motivasi dan sebagainya. Orang lebih familiar dengan istilah kepasan kerja. Asumsi dalam teori dan penelitian tenang kepuasan kerja menyatakan bahwa pada tingkat kepuasan kerja tinggi secara positif mengkontribusi pada efektivitas organisasi dan kesejahteraan pekerja, sebaliknya pada saat tingkat kepuasan kerja rendah akan menghambat efektivitas organisasi dan anggota-anggotanya. Dalam era yang menekankan pada tututan perubahan. Kreativitas dan inovasi organisasi, khususnya inisiatif pekerja, maka tidak selamanya ketidakpusan kerja dianggap menjadi penghambat bagi efektivitas organisasi.
Hal ini berarti bahwa anggota organisasi yang tidak merasa puas dengan pekerjaannya. Pada dasarnya menghendaki adanya perubahan / tidak menyetujui adanya status quo. Keadaan status quo diorganisasi menunjukkan kevakuman dalam segala perilaku yang menginginkan adanya perubahan. Perubahan dianggap akan mengganggu efektifitas organisasi ketidakpuasan kerja dapat menjadi awal munculnya perubahan ketika mereka yang tidak merasa puas menghadirkan cara-cara baru untuk memperbaiki kondisi sekarang. Konsisten dengan alasan tersebut, sejumlah penulis menyarankan bahwa ketidakpuasan kerja sesungguhnya memiliki dampak positif terhadap efektivitas organisasi dengan merubah situasi kerja sekarang dengan menghadirk
an cara-cara baru yang lebih baik. Dari sinilah proses kreativitas akan munul. Dengan demikian sangat mungkin bahwa ketidakpuasan kerja dalam kondisi tertentu dapat menyebabkan munculnya kreativitas yang menguntungkan organisasi. Namun masih sangat sedikit diketahui kondisi-kondisi yang menyebabkan konsekuensi fungsional yan gmengasilkan ketidakpuasan kerja akan selalu menyababkan munculnya kreativitas, bahkan dapat terjadi bahwa ketidakpuasan kerja mengakibatkan terjadinya Turn Over. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi yang mendasari adanya ketidakpuasan kerja yang mengakibatkan munculnya kreativitas. Indentifikasi kondisi ini penting dengan alasan ketidakpuasan kerja memotivasi tumbuhnya perubahan organisasi melalui ide-ide kreatif untuk perbaikan. Hal ini terjadi pada kondisi dimana ketidakpuasan kerja dapat mengakibatkan mereka berhenti / keluar dari organisasi.

II. Rumusan Masalah
Ketidakpuasan kerja dapat menjadikan seseorang untuk bertindak positif. Yaitu tetap diorganisasi dengan melakukan perbaikan. Inilah yang disebut dengan voice. Ketika perilaku voice muncul maka akan menciptakan ide / cara baru. Disinilah kreativitas akan tumbuh diorganisasi. Agar ketidakpuasan kerja memunculkan kreativitas maka organisasi harus mengakomodasi pekerja yang memiliki perilaku voice. Penelitian yang dilakukan oleh Zhou dan George, (2001) telah mendukung bukti empiris bahwa pada kondisi lingkungan tertentu, yaitu pekerja yang menunjukkan bahwa komitmen kontinuan, umpan balik dari rekan kerja. Dorongan dan bantuan rekan kerja dan dukungan organisasi terpersepsi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap terhadap hubungan antara ketidakpuasan kerja terhadap kreatifitas selain untuk variabel moderator tersebut juga ditambahkan variabel moderator lain, yaitu dukungan dari supervisor. Menyatakan bahwa dukungan supervisor memiliki pengaruh signifikan terhadap kreativitas. Penambahan variable tersebut sesuai dengan yang disarankan dalam penelitian zzhou dan geroge (2001)

III. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menguji hubungan ketidakpuaan kerja terhadap kreativitas
2. Menguji modrasi komitmen kontinuean dan umpan balik dari rekan kerja secara bersama-sama pada hubungan antara ketidakpuasan kerja terhadap kreatifitas
3. Menguji moderasi komitmen kontinuean serta dukungan dan bantuan rekan kerja secara bersama-sama pada hubungan antara ketidakpuasan kerja terhadap kreativitas
4. Menguji moderasi komitmen kontinuan dan dukungan organisasi terpersepsi secara bersama-sama pada hubungan antar ketidakpuasan kerja terhadap kreativias

IV. Manfaat
Kreativitas menjadi faktor penting didalam organisasi, terutama pada kondisi dimana organisasi menghadapi lingkungan yang kompetitif. Manfaat inisiatif dan implementasi dari ide kreatif meningkatkan kemampuan organisasi untuk merespon peluang yang ada. Peningkatan kinerja kreatif dari pekerja merupakan suatu keharusan jika organisasi ingin mencapai keunggulan kompetitifnya (Amabile, 1998). Oleh karena itu topik bahasan dalam studi ini adalah kreativitas dalam keterkaitannya dengan faktor lain.

V. Tinjauan Pustaka
- George, JM 8 Zhou, J, (2002). Undrstanding when bad moods poste creativity and good ones don’t : the role of context oand clarity of feelings. Journal of applied psychology, 87 (4), 687.697
- George, Jm 8 Zhou, J (2002) when openess to experience and conscientiousness are related to creative ban

VI. Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari keempat hipotesis yang diajukan tak ada yang signifikan sebagai moderasi hubungan antara ketidak puasan kerja dan kreativitas. Prediksi kreativitas dengan menggunakan variabel independent (ketidakpuasan kerja) tidak didukung dalam penelitian kerja. Demikian jugta diprediksi terhadap kretivitas dengan menggunakan ketidakpuasan kerja dan dua variabel moderator (komitmen kotinuan dan variabel konseptual) secara bersama-sama ternyata tak ada yang didukung.

VII. Kerangka Konseptual
Ketidakpuasan kerja dapat menjadikan seseorang untuk bertindak positif. Yaitu tetap diorganisasi dengan melakukan perbaikan. Inilah yang disebut dengan voice. Ketika perilaku voice muncul, maka akan menciptakan ide/cara baru. Disinilah kreativitas akan tumbuh diorganisasi. Agar ketidakpuasan kerja memunculkan kreativitas, maka organisasi harus mengakomodasi pekerja yang memiliki perilaku voice. Penelitian yang dilakukan oleh Zou dan George (2001), telah mendukung bukti empiris bahwa dalam kondisi lingkungan tertentu, yaitu pekerja yang menunjukan bahwa komitmen kontinuean (kontinuance komitment). Umpan balik dari rekan kerja (usefull feed back from coworker), dorongan dan bantuan rekan kerja (coworker herlping and support from coworker), dan dukungan organisasi (expersepsi/perceived organizational support) mempunyai pengaruh yang signifikan antara ketidakpuasan kerja terhadap kreativitas.
VIII. Kesimpulan, Keterbatasan, Saran
Dalam kesimpulan sudah sepenuhnnya menggambarkan dari keseluruhan penelitian semua hipotesis sudah dipaparkan jelas keterbatasan dan saran yang dipaparkan telah jelas


Share


DISCUSSION

CHAPTER IV
DISCUSSION

In this chapter, the writer analyzes the capitalist’s domination found in Shirley Jackson’s The Lottery. This story highlights the phenomena of the capitalist society that has successfully maintained the lottery as its “tradition” which is under the control of capitalist. The writer elaborates all things dealing with capitalist into four sub chapters to answer the statement of the problems.

4.1 General Description of Character in Jackson’s The Lottery
There several characters that are discussed in this sub chapter. They are Mr. Joe Summers, Mr. Graves, Mr. Martin and Mrs. Tessie Hutchinson.

4.1.1 Mr. Joe Summers
Mr. Joe Summers is the main character of the story, because his character is the most dominant than other character. He is the one of the leaders who is important in the town. He is joyful man that has big coal factory that most of the workers are the villagers in the village. Although he is a rich man, his happiness is not complete because he does not have children and his wife is carping.
Mr. Joe Summers likes wearing a clean white shirt and blue jeans. He is not too tall and little fat. He wears blue jeans in order to convince the villagers that he is just an ordinary person. He also wears a clean white shirt, a garment which is more appropriate to his high class. He wears both because he will elaborate the capitalist and the villagers. It can be seen in the following statement:

Mr. Summers was very good at all this; in his clean white shirt and blue jeans with one hand resting carelessly on the black box he seemed very proper and important as he talked interminably to Mr. Graves and the Martins (1948: 2).

He is a well respected man in the town because of his honesty and politeness. It is described when he is waited with polite expression while Mrs. Dunbar answered his question. This quotation below shows how politeness he is to the villagers:

Mr. Summers consulted his list. "Clyde Dunbar." he said. "That's right. He's broke his leg, hasn't he? Who's drawing for him?" "Me. I guess," a woman said and Mr. Summers turned to look at her. "Wife draws for her husband." Mr. Summers said. "Don't you have a grown boy to do it for you, Janey?" Although Mr. Summers and everyone else in the village knew the answer perfectly well, it was the business of the official of the lottery to ask such questions formally. Mr. Summers waited with an expression of polite interest while Mrs. Dunbar answered. Mr. Summers waited with an expression of polite interest while Mrs. Dunbar answered (1948: 2).

Mr. Joe Summers is a person who invests capital in a coal business. He is the one who has accumulated capital. He dominates the villagers that are made up of workers of labors. The marxist critics point out is how Mr. Joe Summers who would have been one of the wealthier citizens, leads the lottery with money controling the people activities.
He has round character because he has more than one side characteristic. He is friendly to the villagers but he also devotes the villagers’ activities like he does not only carry the lottery. He also conducts many other events in the town such as the square dance, the teen club and the Halloween program. He is also a static character because he does not show any change of development of his nature character. He does not develop from the beginning until the end of the story. He still dominates the civil activity until the end of the story. He has a big power in the town. He has leisure time and money to allow him to do other than work to earn a living. He is also the head of administrations in the lottery. This shows that he has capital control to the villagers. It can be seen in the following passage:


Share


REVIEW OF RELATED LITERATURE

CHAPTER III
REVIEW OF RELATED LITERATURE

The writer discusses some theories that are relevant to the topic. Those theories cover intrinsic aspects and extrinsic aspects.

3.1 Intrinsic Elements
This sub-chapter discusses the structural elements of literature, namely character, conflict and setting. Those elements are described according to several modes of assumption by some literary critics which are useful for further analysis.

3.1.1 Character
Character is an important element in literary works for it makes the story happens. “As in real life, we can see what a fictional character is like from his actions, his speech, his physical appearance, and his environment; in addition we can see what he is like from what others say about him and from how the behaving toward him”. The following classifications of character were taken from http://hrsbstaff.andnet.nscarenglamjale/elemts.html.

a. Round and Flat
Round characters are so detailed that they seem real. Protagonists are normally round characters, though notable exceptions exist. Antagonists are often rounding as well, though comedic villains may be almost farcically flat. A flat character is distinguished by its lack of detail. Though the description of a flat character may be detailed, the character itself barely has detail and usually just follows one characteristic. A number of stereotypical, or "stock" characters, has developed throughout the history.

b. Dynamic and Static
A dynamic character is the one who changes significantly during the course of the story. Changes considered qualifying a character as dynamic including changes in insight or understanding, changes in commitment, and changes in values. In contrast, a static character does not undergo significant change. Whether round or flat, their personalities remain essentially stable throughout the course of the story. This is commonly done with secondary characters in order to let them serve as thematic or plot elements. Supporting characters and major characters other than the protagonist are generally static, though exceptions do occur. A non-fictional character is a character that actually exists or existed in history, though their exploits in the story may differ from their historical activities.

3.1.2 Conflict
In literary work, conflict is a application that moves to climax before it reaches the resolution of conflict that to be the ending of the story. Ban and friends (1973: 384) say that conflict is a clash between characters, between a character and his environment, within himself, a clash of forces in the universe, even struggle for meaning on the past of the rider. The following classifications of conflict are taken from http://fiction writing.about.com/odgloosary/g/conflict.htm:

a. Man against Man
It is conflicts that pit one person against another.

b. Man against Circumstances
It is the leading character struggles against fate, or the circumstances of life facing by him/her.

c. Man against Society
The values and customs by which everyone else lives are being challenged. The character may come to an untimely end as a result of his or her own convictions. The character may, on the other hand, bring others around to a sympathetic point of view, or it may be decided that society was right after all.

d. Man against Himself/Herself
It is he who leads character to struggle with himself/herself; with his/her own soul, ideas of right or wrong, physical limitations, choices, etc.

Often, more than one kind of conflict is taking place at the same time. In every case, however, the existence of conflict enhances the reader’s understanding of a character and creates the suspense and interest that make you want to continue reading.

3.1.3 Setting
Setting is not only about place and time, sometimes, in a certain degree; setting colors and shapes the story. Connolly as cited by Koesnobroto (1988: 79) describes setting as a sense “the time, place and which concrete the situation of the narrative, the web of environment in which character and their destinies.” Setting refers to condition or total environment where the characters live and socialize. Setting is also situation not only a place where the action happens but also an image of weather and social condition, so the readers easily image the situation of the fiction where and when the story happen.
The following classifications of setting are taken from http://fiction writing.about.com/odgloosary/g/settingt.htm:

a. Setting of Place
It shows geographical location, where the story takes a place.

b. Setting of Time
It tells when the story takes place, like historical period, time of day, year, etc.

c. Setting of Weather
It describes the conditions of the story, like rainy, sunny, stormy, etc.

d. Setting of Social Conditions
It describes what the daily life of the characters is like. The story contains local color like writing that focuses on the speech, dress, mannerisms, customs, etc. of a particular place.

e. Setting of Mood or Atmosphere
It is about feeling is created at the beginning of the story like bright and cheerful or dark and frightening.


3.2 Extrinsic Elements
Extrinsic elements are the outside of literary work, but they influence the construction or organism system of literary work. In other words, it can be stated that the elements influence the story of literary work, but they are not part of them. The extrinsic elements that support the analysis on the next chapter are Marxist theory, capitalist and ideology of capitalist.

3.2.1 Marxist Theories
Marxism is a set of social, economic, cultural understanding of the nature of reality, society and the individual, and political ideas in which its followers believe it will enable them to interpret and, more importantly, change their world. It is direct at social change; Marxist wants to analyze social relation in order to change them, after what they see as the gross injustices and inequalities create by capitalist economic relation. Marxist explains in detail to change the world from a place of bigotry, hatred, and conflict due to class struggle into classless society where wealth, opportunity, and education are accessible for all people. Mandel (2006: Viii) declares that marxism born from unbalanced life consequence economic capitalist system; the rich people are rich progressively and the poor man is poor progressively.
Marxism is both the theory and the political practice derived from the work of Karl Marx and Friedrich Engels. There are many theoretical and practical differences among the various forms of Marxism, the most forms of Marxism taken from http://www.google.com/gwt/n?clientmarxism.attention.ac.id/:

a. an attention to the material conditions of people's lives, and social relations among people
b. belief that people's consciousness of the conditions of their life reflects these material conditions and relations
c. an understanding of class in terms of differing relations of production, and as a particular position within such relations
d. an understanding of material conditions and social relations as historically malleable
e. a view of history according to which class struggle, the evolving conflict between classes with opposing interests, structures each historical period and drives historical change
f. a sympathy for the working class or proletariat
g. and a belief that the ultimate interests of workers best match those of humanity in general.
The main points of contention among Marxists are the degree to which they are committed to a workers' revolution as the means of achieving human emancipation and enlightenment, and the actual mechanism through which such a revolution might occur and succeed. Marxism is correctly but not exhaustively described as a variety of Socialism being by far the variety for which there is the most historical experience (citation needed) both as a revolutionary movement and as the basis of actual governments.

Marxist has two aspects, namely dialectical materialism and historical materialism. The dialectical part of dialectical materialism comes from Greek idea on dialogue which means to argue. The dialectical materialism, the core beliefs of Marxism is developed through Marx’s The German ideology in 1845. In this work, as quoted by Blessler (1999: 212), Marx declares that “consciousness does not determine life: life determines consciousness.” It means that human’s define themselves. They do not shape their consciousness through some spiritual entity or means but through daily living are formed in everyday discourse in the language of real life.
The second aspect is historical materialism. This term refers to the science of history, or the science of the development of societies. Historical materialism shows that history or social change occurs via human’s force, not because of God, destiny, or some unknown non-human forces. Historical materialism is materialist because it deals with the way human have created material culture such as tools, objects, the material things have formed the basis of historical change.

As quoted by Blessler (1999: 212), Marx cites four historical periods that were developed by these forces: feudalism, capitalism, socialism and communism. Under feudalism the ruling class is the nobility, under capitalism is capitalist, under socialism is the proletariat and under the socialism it is a classless society under which the state will wither anyway. Further explained, Marx views capitalism as a mode of production, one that exploits workers.
Marxism’s methodology is dynamic process of a text and culture. It means that a proper critique of a text cannot be separated from the culture in which the text evolved.

As quoted by Useem (1963: 169), culture has been defined in a number of ways, but most simply, as the learned and shared behavior of a community of interacting human beings. Culture consists of patterns, explicit and implicit, of and for behavior acquired and transmitted by symbols, constituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of traditional (i.e. historically derived and selected) ideas and especially their attached values; culture systems may, on the one hand, be considered as products of action, and on the other as conditioning elements of further action. Culture also generally refers to patterns of human activity and the symbolic structures that give such activities significance and importance. Cultures can be understood as systems of symbols and meanings that even their creators contest, that lack fixed boundaries, that are constantly in flux, and that interact and compete with one another. So culture can be defined as all the ways of life including arts, beliefs and institutions of a population that are passed down from generation to generation. Culture has been called the way of life for an entire society. As such, it includes codes of manners, dress, language, religion, rituals, norms of behavior such as law and morality, and systems of belief as well as the art.

Marxist also has tight corelation with tradition of the society. as quoted by Olin (1895: 23), a tradition is a practice, custom, or story that is memorized and passed down from generation to generation, originally without the need for a writing system. Tools to aid this process include poetic devices such as rhyme and alliteration. The stories thus preserved are also referred to as tradition, or as part of an oral tradition.

A Marxist theory seeks to expose the dominant class, to demonstrate how the bourgeoisie’s (capitalist) ideology controls and oppresses the working class, and to highlight the elements of society which are affected by such oppressions. Below is the elaboration of capitalist.

3.2.2 Capitalist
Capitalist literally means a person who invests capital in a business. As excerpted by Samekto (2005: 10), Lodge suggests that capitalist is one who has accumulated capital. He provides capital for employment in enterprise. Meanwhile, capitalism is kind of belief that the most wicked of men will do the most wicked of things for the greatest good of everyone. Capitalist is a system which favors the existence of capitalist. While, Samekto (2005:11), gives two definition of capitalism. The first is to mention is that capitalism as the social system which is based upon private ownership of the means of production. The second is that capitalism as the only politic economic system which is based on the doctrine of individual right.

The capitalist (bourgeois), dominates the proletariat which is made up of workers of labors. The dominant class implements their occupying ideology either consciously or unconsciously on the proletariat. The capitalist and their ideology entrap the working classis and oppress them in every area of their lives. Marx (1867: 763) states that the capitalist monopolizing all advantages of the process of transformation causes a mass of misery, oppression, slavery, degradation, and exploitation.

In capitalist society, Marx as quoted by Blessler (1999: 213) declares that such an ideology leads of fragmentation and alienation of the proletariats (workers). Due to the division of labor within the capitalist society, workers do not have contact any longer with the entire process of producing, distributing, and consuming material goods. Individuals are cut off from the full value of their work as well as from each other, each performing discrete functional roles assigned to him or her by the bourgeoisie.

In improving condition of production, the capitalist purchases the worker’s labor. Marx (1867: 557) sates that capitalist production separates labor power from the means of labor. It shows the exploitation of labor and continuously forces the labor to sell his power in order to live, and enables the capitalist to purchase labor power in order to enrich himself. Capitalism involves the advance of capital through the purchase commodities in the form of money, not the change of commodities. Money in the fact is a negative factor that estranges the worker from the result of his labor and prevents people to realize their potentially. Capitalist also transform the purchase into other commodities which can command a higher price, and thus yield a profit. Marx (1867: 197) further states:

The process of production, considered on the hand. The unity of the labor process and the process of creating value is production of commodities; considered other hand, as the unity of labor process of producing surplus value, it is the capitalist process of production of commodities.
The capitalist to whom workers must sell their “labor power”, or ability to do work, in return for wage, own these means. Capitalism is based on the exploitation of the working class by the owner of capital (factories, machinery, and working capital), who’s profits come from difference between the wages of the labor and the value of the product. Marx (1894: 259) states that profit is the motive power of capitalist production. Things are produced only as long they can be product with a profit. Weber, in Samekto (2005: 13), with the same intention, state that capitalism closely deals with the pursuit of profit. Robinson (http://plato.standford.edu/entries/marx/) picks out two aspect of particular note. First, Marx’s opinion is about the disharmony of interest between workers and capitalist. Workers struggle to get better wages and increase the economical condition, while capitalist attempt to take greater profits. Second, Marx’s assumption is about equilibrium in the market. Marx states that there is no any long run tendency to balance in the market, and his description of the mechanisms which underlie the trade cycle of boom and bust. Marx (1849: 220) support this idea by stating that the most favorable situation for the working class does not eliminate the contradiction between their interest and those of bourgeois (capitalist) no matter in the situation may improve the material condition of the worker.

The capitalist (bourgeois) and the worker are significant matters of capitalism that can never be separated. A simpler way to saying this is that if there is a capitalist, there must be worker. These two sides are opposite in the case of the means of production. The capitalist also force their idea or ideology on the workers. This ideology is called ideology of capitalism which is further elaborated below.

3.2.3 Ideology of Capitalist
The ideology is used by community where people live together in pluralism to become a foundation of life. Marxism ideology is related to the economic base (economic production) and superstructure. Capitalism as one of social step in Marxism, the ideology served is called hegemony. According to Gramsci, as quoted by Blessler, the bourgeoisie establish and maintain what he calls hegemony. They control economic base and thereby established all the elements that make up superstructure. Thus, they gain the sponaneous accolades of the working class. As the dominant class, they enjoy the prestige of the masses and control the ideology (a term often used synonymously with hegemony).

CAPITALIST’S DOMINATION




Share


FARMAKOLOGI

MAKALAH
FARMAKOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah kesehatan.

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.

Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun. Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.


BAB II
PEMBAHASAN

Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.

Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.2,4

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.2,3

2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
• Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
• Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

• PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
• Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
• Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
• Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.

2. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

PENGOBATAN
• pembedahan operasi apendisitis
Apendisitis akut diobati dengan pembedahan, yaitu dengan mengangkat apendiks. Pembedahan dapat dilakukan dengan cara konvensional yaitu irisan kecil di bagian perut kanan bawah, atau dengan menggunakan laparoskopi, yang membutuhkan tiga atau empat irisan kecil.
Pada pembedahan, apendiks hampir selalu diangkat, bahkan jika dijumpai ternyata apendiks dalam keadaan normal. Hal ini dilakukan agar nyeri perut kanan bawah di masa akan datang tidak lagi ditujukan pada apendisitis.

Pemulihan setelah operasi apendiktomi konvensional biasanya berlangsung beberapa minggu. Pasien biasanya diberikan obat pereda nyeri dan diminta untuk membatasi aktifitas fisik. Sedangkan pemulihan setelah apendiktomi dengan laparoskopi biasanya berlangsung lebih cepat, tetapi membatasi aktifitas berat tetapi diperlukan, yaitu kurang lebih 4 sampai 6 minggu setelah pembedahan.

Sebagian besar pasien yang sembuh dari apendisitis akan kembali normal seperti sedia kali. Jarang sekali pembedahan apendisitis menyebabkan berbagai kelainan yang menyebabkan pasien perlu merubah pola makan, latihan, atau gaya hidupnya.


BAB III
MACAM-MACAM OBAT APENDIKSITIS
Hasil penelitian menunjukkan obat yang digunakan pada kasus apendisitis akut adalah antibiotika, analgetika, terapi cairan, antiulser dan antiemetika.

• Antibiotika
Jenis antibiotika yang digunakan pasien apendisitis akut adalah sefalosporin generasi III (sefotaksim dan seftriakson), sefalosporin generasi IV (sefpirom), metronidazol, aminoglikosida (gentamisin), penisilin (ampisilin), dan karbapenem (meropenem). Pada saat KRS antibiotika yang paling banyak digunakan adalah siprofloksasin.

• Analgetika
Jenis analgetika yang digunakan adalah ketorolak trometamin, metamizol Na, dan tramadol HCl. Dosis obat yang digunakan semuanya sesuai dengan pustaka dengan rute pemberian iv dan per oral pada saat KRS.
• Terapi Cairan
• Antiulser
• Antiemetika
Efektivitas obat pada kasus apendsitis akut ditunjukkan dengan penurunan leukosit, LED, dan intensitas nyeri serta tidak didapatkan infeksi luka operasi (ILO). Problem obat pada kasus apendisitis akut hanya ditemukan pada satu pasien yaitu reaksi alergi (hipersensitifitas) terhadap sefotaksim.

Pembedahan Operasi Apendisitis
Apendisitis akut diobati dengan pembedahan, yaitu dengan mengangkat apendiks. Pembedahan dapat dilakukan dengan cara konvensional yaitu irisan kecil di bagian perut kanan bawah, atau dengan menggunakan laparoskopi, yang membutuhkan tiga atau empat irisan kecil.
Pada pembedahan, apendiks hampir selalu diangkat, bahkan jika dijumpai ternyata apendiks dalam keadaan normal. Hal ini dilakukan agar nyeri perut kanan bawah di masa akan datang tidak lagi ditujukan pada apendisitis.

Pemulihan setelah operasi apendiktomi konvensional biasanya berlangsung beberapa minggu. Pasien biasanya diberikan obat pereda nyeri dan diminta untuk membatasi aktifitas fisik. Sedangkan pemulihan setelah apendiktomi dengan laparoskopi biasanya berlangsung lebih cepat, tetapi membatasi aktifitas berat tetapi diperlukan, yaitu kurang lebih 4 sampai 6 minggu setelah pembedahan.

Sebagian besar pasien yang sembuh dari apendisitis akan kembali normal seperti sedia kali. Jarang sekali pembedahan apendisitis menyebabkan berbagai kelainan yang menyebabkan pasien perlu merubah pola makan, latihan, atau gaya hidupnya.


Share


Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template