KRITERIA-KRITERIA INDUSTRI DI INDONESIA
• KRITERIA INDUSTRI KECILProfil Industri Kecil
Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia ;
• Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp 200 juta (Sudisman & Sari, 1996: 5). Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasrakan jumlah pekerjanya, yaitu:
1. industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang.
2. industri kecil dengan pekerja 5-19 orang.
3. industri menengah dengan pekerja 20-99 orang.
4. industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250).
Kendati beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta
memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya.
• TENTANG INDUSTRI KECIL DI INDONESIA
Data BPS (1994) menunjukkan hingga saat ini jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15, 635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.
Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir.
Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusahaan kecil sebanyak sebanyak 124.990, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris; 4,7 persen tergolong perusahaan perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7persen yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi).
Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga (ISIC33) masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sangat sedikit sekali yaitu kurang dari 1%. Tabel 2 menunjukkan bahwa industri kecil dan rumah tangga (IKRT) memiliki peranan yang cukup besar dalam industri manufaktur dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nilai tambah pada tahun 1990.
Dari total unit usaha manufaktur di Indonesia sebanyak 1,524 juta, ternyata 99,2 persen merupakan unit usaha IKRT. IKRT, dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang, mampu menyediakan kesempatan kerja sebesar 67,3 persen dari total kesempatan kerja. Kendati demikian, sumbangan nilai tambah IKRT terhadap industri manufaktur hanya sebesar 17,8 persen. Banyaknya jumlah orang yang bekerja pada IKRT memperlihatkan betapa pentingnya peranan IKRT dalam membantu memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan.
Meneg Koperasi dan UKM
Usaha Kecil (Undang-Undang No.9/1995 tentang Usaha Kecil)
Aset lebih kecil dari Rp.200 Juta diluar tanah dan bangunan. Omzet tahunan lebih kecil dari Rp.1 milyar. Dimiliki oleh orang Indonesia independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah, besar. Boleh berbadan hukum, boleh tidak.
• MENGAPA INDUSTRI KECIL PERLU DIKEMBANGKAN?
Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai upaya deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi perekonomian.Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan kecil dan menengah; bahkan justru perusahaan besar dan konglomeratlah yang mendapat keuntungan. Studi empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skla kecil, sedang, dan besar, namun justru perusahaan skala konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang, yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kuncoro & Abimanyu, 1995).
Dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga (IKRT) setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, IKRT menyerapbanyak tenaga kerja. Kecenderungan menerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak IKRT juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi karena lokasinya banyak di pedesaan, pertumbuhan IKRT akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di pedesaan (Simatupang, et al., 1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, IKRT jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di perdesaan, peran penting IKRT memberikan tambahan pendapatan (Sandee et al., 1994), merupakan pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin (Weijland, 1999).
• KRITERIA INDUSTRI MENENGAH
Pengertian Industri menengah
Industri sedang atau industri menengah Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 20-99 orang.
Usaha Menengah (Inpres 10/1999) Aset Rp.200 Juta - Rp.10 milyar
Usaha Menengah
(SK Dir BI No.30/45/Dir/UK tgl 5 Jan 1997)
Aset lebih kecil dari Rp.5 milyar untuk sektor industri. Aset lebih kecil dari Rp.600 juta diluar tanah dan bangunan untuk sektor non-industri manufacturing. Omzet tahunan lebih kecil dari Rp.3 milyar.
Segmen Menengah
Skala usaha mulai besar Telah ada struktur organisasi dan delegasi wewenang untuk pengambilan keputusan Administrasi keuangan pada umumnya tertib dan mulai akura ttelah ada pembagian dalam manajemen, Direktur keuangan biasanya mendapat tanggung jawab dalam melakkukan kebijakan pembiayaan perusahaan.
• TENTANG INDUSTRI MENENGAH DI INDONESIA
Perusahaan menengah yang membutuhkan modal investasi antara Rp. 350 juta sampai 1.500 juta. Jumlah perusahaan industri segmen pasar ini, di Indonesia sekitar 1.500 unit usaha. Hampir semua perusahaan sudah mempunyai hubungan dengan bank. Sebagian besar dari perusahaan memerlukan dana untuk memperluas kapasitas produksi maupun modernisasi alat produksinya.
• KRITERIA INDUSTRI BESAR
Pengertian Industri besar
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 100 orang atau lebih.
• industri besar dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. modal yang digunakan besar, bisa berasal dari pemerintah, swasta nasional, patungan atau modal asing;
2. menggunakan mesin-mesin modern dalam produksinya, tenaga kerja yang digunakan merupakan tenaga kerja terdidik. Yang termasuk industri besar adalah industri kertas, industri pengolahan kayu, industri otomotif dan lain-lain
• TENTANG INDUSTRI BESAR DI INDONESIA
Kebijakan atau strategi pembangunan yang kita anut selama ini lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi untuk melakukan akumulasi faktor-faktor ekonomi.
Yaitu pertumbuhan industri skala besar dengan harapan bahwa pelaku industri skala besar bisa melakukan kegiatan usaha secara menguntungkan.
Namun, kebijakan itu mengabaikan perkembangan usaha kecil, usaha rakyat. Usaha rakyat diminta bersabar dengan harapan surplus yang diperoleh usaha besar akan diakumulasikan dan diwujudkan dalam dana tabungan untuk kegiatan investasi. Surplus yang diperoleh usaha besar tadinya diharapkan akan mengalir ke kantung-kantung perbankan. Dan perbankan akan menyalurkannya ke sektor usaha kecil untuk kegiatan investasi yang dilakukan pengusaha kecil, selanjutnya diharapkan bisa menggerakkan roda ekonomi pada lapisan bawah.
Dengan strategi pertumbuhan ini diharapkan akan terjadi tetesan ke bawah (trickle down effect) dari usaha besar kepada ekonomi rakyat (usaha kecil). Konsepsi tersebut ternyata tidak teruji oleh sejarah. Perjalanan sejarah kita tidak mengarah kepada kondisi semacam itu. Memang betul terjadi akumulasi oleh kelompok usaha besar namun tidak ada saving (tabungan) yang memungkinkan tersedianya dana untuk investasi.
Kenapa demikian? Karena banyak diantara pengusaha besar lebih tertarik menginvestasikan dananya dalam bentuk asset yang aman, baik dalam bentu fisik seperti mobil atau properti maupun dalam simpanan dolar di luar negeri yang dianggap paling aman sehingga terjadilah capital flight (pelarian modal ke luar negeri). Akibatnya investasi yang diharapkan mengalir ke rakyat banyak tidak terjadi. Inilah fenomena yang berlangsung selama ini sehingga output dari perjalanan panjang sejarah pembangunan ekonomi kita berakhir dengan ketimpangan ekonomi yang sangat mengenaskan dan menjadikan kemiskinan struktural terus menerus berlangsung.
Usaha baru yang cukup besar dimana diharapkan mereka ini berasal dari sektor modern/besar dan terkena PHK kemudian menerjuni usaha mandiri. Dengan demikian mereka ini disertai kualitas SDM yang lebih baik dan bahkan mempunyai permodalan sendiri, karena sebagian dari mereka ini berasal dari sektor keuangan/perbankan. Ditengah krisis industri skala besar dihadapkan pada kenyataan menghadapi kesulitan untuk beroperasi, sementara perusahaan-perusaan kecil tetap berjalan seperti biasa. Bahkan beberapa sektor usaha kecil justru mendapat keuntungan besar akibat depresiasi rupiah terhadap dollar.
Sumber dana sektor usaha besar sebagian diperoleh dari pinjaman luar negeri, sehingga penurunan nilai Rupiah terhadap Dollar mempengaruhi peningkatan biaya bunga yang ditanggung perusahaan.
Industri besar mempunyai keunggulan dan kemapanan dari sisi modal, teknologi dan pasar, maka proses sinergi yang terjadi bukan dalam bentuk mitra bisnis sejajar melainkan tidak lebih dari supplier dan pelanggan. Industri besar biasanya menerapkan aturan baku dalam kualitas. Hal ini sebenarnya sebuah kewajaran mengingat pentingnya menjaga kualitas. Namun demikian, UKM sering kali mengalami kesulitan dalam memenuhi standar tersebut.
• KRITERIA INDUSTRI MIKRO
Pengertian industri Mikro
Usaha Mikro Pekerja lebih kecil dari 20 orang, termasuk tenaga kerja yang tidak dibayar
• Usaha Mikro
(SK Dir BI No.31/24/KEP/DIR tgl 5 Mei 1998) Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. Dimiliki keluarga. Sumberdaya lokal dan teknologi sederhana. Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry.
• TENTANG INDUSTRI MIKRO DI INDONESIA
Industri skala mikro di Indonesia merupakan kegiatan usaha non-formal yang sangatsignifikan jumlahnya dibandingkan dengan usaha skala kecil, menengah, dan besar. Menurut International Finance Corporation (IFC)-World Bank, usaha mikro adalah usaha yang melibatkan jumlah tenaga kerja sampai 10 orang dengan total asset dan penjualan tahunan masing-masing sampai US$100.000. Pengertian usaha skala mikro menurut World Bank tersebut memang belum bisa diadopsi oleh Indonesia karena secara finansial kisaran usaha mikro tersebut tergolong sangat tinggi.
Selain itu, usaha mikro di Indonesia sebagian besar tidak berbadan hukum dan secaraumum sulit untuk mengetahui data keuangan. BPS melaporkan bahwa pada tahun 2000 tercatat 15 juta usaha yang tidak berbadan hukum. Sedangkan menurut data Kementrian Koperasi dan UKM bahwa pada tahun 2004 di Indonesia jumlah usaha skala mikro 41,8 juta, usaha kecil tercatat sebesar 0,588 juta dan usaha menengah 0,062 juta dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat 58 juta orang.Jumlah tersebut adalah 99,8 persen dari total usaha di Indonesia dengan pesentase tenaga kerja sebasar 99,6 dari total tenaga kerja. Tetapi dilihat dari produktifitasnya, kontribusi skala mikro dan kecil relative tertinggal dibandingkan usaha menengah apalagi usaha besar.
Terlepas dari masalah perbedaan definisi dan data keuangan, pemberdayaan usaha skalamikro di Indonesia merupakan salah satu alternatif kebijakan yang strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama dikaitkan dengan arah kebijakan perekonomian yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan serta pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Salah satu program kebijakan pemerintah dan atau sebagai lembaga donor yang minimal memberikan dukungan terhadap pemberian penjaman atau pembiayaan kepada usaha skala kecil atau masyarakat miskin, yang dikenal dengan micro-finance atau menurut istilah di kalangan perbankan, disebut juga sebagai kredit usaha mikro. Kredit usaha mikro adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha mikro, baiklangsung maupun tidak langsung, yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk miskin atau mendekati miskin dengan kriteria penduduk miskin menurut Bank Indonesia dengan plafon kredit maksimal sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Salah satu pihak yang mempunyai posisi strategis dalam pemberdayaan usaha skalamikro adalah lembaga keuangan mikro (Micro-Finance Institution, yang selanjutnyadisingkat MFI). Selama ini MFI merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang bergerak khusus di sektor usaha skala mikro. Padahal secara fungsional MFI sama saja dengan lembaga keuangan lainnya seperti bank, modal ventura, atau lembaga pembiayaan lainnya.
Posisi MFI di Indonesia menjadi sentral karena sampai saat ini bank atau lembagakeuangan formal belum “melirik” usaha skala mikro atau usaha non-formal yang relatif masih dimarginalkan. Sebagai lembaga yang profit oriented, sebagian besar bank atau lembaga keuangan formal lainnya masih menganggap skala mikro merupakan segmen pasar yang tidak bankable atau kalaupun disentuh bank hanya sebatas kewajiban sosial yang tergantung desakan pemerintah. Mengingat kekhususan pangsa pasarnya, MFI mempunyai karakteristik yang relatif berbeda jika dibandingkan dengan lembaga keuangan formal. CGAP-World bank sendiri pada tahun 2003 telah mendefinisikan beberapa istilah, rasio, dan penyesuaian mengenai aspek keuangan yang khusus untuk keuangan mikro.
Salah satu sifat usaha mikro adalah kemampuannya untuk beradaptasi terhadapperubahan kondisi perekonomian dunia dibandingkan dengan perusahaan besar, oleh karenanya usaha mikro akan cenderung lebih diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomim yang dinamis. Lingkungan terbaik untuk pengembangan bisnis usaha mikro adalah suatu lingkungan dimana pasar untuk input dan output berfungsi secara efektif dalam menyediakan berbagai jasa yang memungkinkan pertumbuhan bisnis. Dalam lingkungan ini, pemerintah seyogyanya terfokus pada fungsi intinya secara efisien dari pada membuat distorsi dalam pasar . Pengalaman baru diberbagai negara industri menunjukan bawa kebijakan deregulasi telah berhasil mendorong pertumbuhan lapangan kerja, lingkungan yang kondusif dan kompetitif bagi usaha mikro yang berperan sebagai motorpengerak penyesuaian dan perubahan struktural.
• PENGEMBANGAN INDUSTRI MIKRO.
Kebijakan pengembangan industri mikro yang efektif hendaknya dilakukan secara
lebih luas dan terpadu, bukan hanya sekedar membuat daftar program dukungan finansia dan teknis yang berdiri sendiri tanpa adanya kaitan antara satu dengan yang lain Kebijakan pengembangan industri mikro memerlukan pengkajian dan reorientasi peran pemerintah dalam banyak aspek. Kebijakan pemerintah yang baik merupakan salah satu isu sentral dalam pengembangan industri usaha mikro yang berkesinambungan, untuk itu perlu penyempurnaan kebijakan pengembangan usaha mikro oleh pemerintah Pengaturan pemerintah dan implementasinya sangat mempengaruhi akses usaha mikro Ketidakpastian hukum akan membuat distorsi dalam pengambilan keputusan akan menyulitkan pengembangan usaha mikro terutama dalam menghadapi pasar yang berkembang dengan dinamis.
Langkah-langkah khusus untuk mempromosikan industri mikro hanya akan merupakan hal yang semu saja jika tidak dilakukan secara terpadu. Ada beberapa bidang kebijakan prioritas yang perlu dilakukan perbaikan antara lain; penciptaan dan pemeliharaan stabilitas ekonomi makro, reformasi sistim peradilan, serta alih peran penting dalam pengembangan usaha kecil..
Pemerintah dalam mengembangkan usaha mikro perlu menerapkan kebijakan dan program secara transfaran dan bertanggung jawab. Stimulasi yang diberikan untuk meningkatkan daya saing secara teknis maupun finansial dinilai tidak dapat langsung mengatasi hambatan-hambatan eksternal maupun internal yang dialami oleh sebagian besar atau bahkan seluruh usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia. Sebaiknya peran pemerintah adalah menciptakan insentif dan iklim yang kondusif agar usaha mikro mampu menghadapi persaingan. Secara praktis, hal ini berarti membangkitkan upaya untuk menghilangkan monopoli dan menghapuskan berbagai hambatan perdagangan dalam negeri dan internasional. Dengan meningkatnya peluang bisnis dan akses kepada sumberdaya produktif akan meningkatkan daya saing dan kemampuan berwiraswasta. Instrumen pengaturan juga perlu melihat pada standarisasi dan sertifikasi, serta piranti tidak langsung seperti peningkatan akses informasi dan pelatihan yang relevan.
Pengembangan usaha mikro secara terpadu untuk meningkatkan daya saing dan akses usaha mikro ke sumberdaya produktif perlu dilakukan melalui kebijakan bidang: pengembangan infrastuktur, pembangunan daerah, komunikasi serta angkutan, riset terapan dan pendidikan, promosi, perdagangan dan investasi. Otonomi daerah juga menyebabkan peran dan tugas pemerintah kabupaten/kota dan propinsi lebih meningkat , sehingga masih perlu kajian lebih lanjut untuk melihat labih jauh tentang peran dan fungsi pemerintah pusat dan daerah untuk mengetahui batas peran dan fungsi masing-masing serta mencegah terciptanya peraturan yang menghambat perdagangan antar daerah. Disamping itu penyediaan informasi yang konsisten, komprehensif dan terintegrasi untuk pengambilan kebijakan politik dan bisnis masih perlu ditingkatkan.
Share
0 komentar:
Post a Comment