download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


TESIS KINERJA PROFESIONAL GURU DALAM PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI PENGEMBANG KURIKULUM

Posted: 15 Oct 2011 11:04 PM PDT


(KODE : PASCSARJ-0121) : TESIS KINERJA PROFESIONAL GURU DALAM PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI PENGEMBANG KURIKULUM (PRODI : PENGEMBANGAN KURIKULUM)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni : (1) sarana gedung, (2) buku yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Demikian yang diungkapkan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancaranya dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tanggal 16 Agustus 2004. Dalam pada itu, dikemukakan bahwa "hanya 43% guru yang memenuhi syarat"; artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional. Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan. Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.
Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Mastarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Bangsa Indonesia bisa merdeka juga tidak terlepas dari peran pendidikan. Para pahlawan Pendidikan, seperti Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Mereka merintis pendidikan Nasional dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, dan secara bertahap meningkatkan pemahaman, kesadaran, serta kecerdasan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bangsa yang merdeka, dan berdaulat seperti sekarang ini.
Menyadari hal tersebut, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan, bangsa ini membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain didunia, bahkan dalam era kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai, dan sejahtera.
Persoalannya, pendidikan yang harus dikembangkan untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan, agar dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap dari negara lain, adalah pendidikan yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki visi, transparansi, dan pandangan jauh kedepan; yang tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut, sekarang banyak diabaikan, bahkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain; dari empat puluh tiga Negara, hampir dalam seluruh bidang kehidupan Indonesia berada urutan sepuluh terakhir. Index pengembangan sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 174 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 diantara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 diantara 47 negara pada tahun 2001. Sementara itu, hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post (3 september 2001) menunjukkan betapa rendahnya kualitas Pendidikan Indonesia disbanding Negara lain di Asia, bahkan berada dibawah Vietnam. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan HDI (Human Development Index) dan tingkat persaingan, perlu strategi perencanaan pembangunan pendidikan yang tepat dalam upaya mengembangkan SDM berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersanding dan bersaing dalam era globalisasi yang sedang kita masuki.
Tilaar (1994) mengemukakan tujuh masalah pokok sistem pendidikan Nasional yaitu :
- Menurunnya akhlak dan moral peserta didik
- Pemerataan kesempatan belajar
- Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan
- Status kelembagaan
- Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan
- Sumber daya yang belum profesional
Menghadapi hal tersebut diatas, perlu dilakukan penataan sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Pendidikan juga harus lebih mengedepankan kreativitas (creativity quotient) untuk menumbuhkan kemandirian dan aspek kewirausahaan dalam pribadi peserta didik.
Dalam kaitannya kondisi masyarakat, dapat disaksikan bahwa percepatan arus informasi, dan globalisasi telah mempengaruhi berbagai sendi kehidupan, bahkan telah mengikis nilai-nilai spritual, sehingga membuat masyarakat kehilangan identitas, serta terasing dari diri, lingkungan, dan nilai-nilai moral yang dianutnya. Disini, pendidikan dihadapkan pada masalah yang sangat mendasar. Disatu sisi, dituntut mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, agar menjadi wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disisi lain, kondisi masyarakat yang sedang sakit dan media massa yang sering menayangkan berbagai suasana kurang sehat, tidak menunjang terhadap pembentukan kualitas SDM yang diharapkan; bahkan akhir-akhir ini banyak tayangan media yang merupakan pembodohan massa, banyak program Televisi dan CD yang tidak sesuai dengan usia peserta didik padahal diperuntukkan bagi mereka, tidak sedikit tayangan yang bertentangan dengan ajaran agama, dan banyak pula program-program yang menyesatkan. Ini adalah tantangan berat terutama bagi perkembangan dunia pendidikan.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Soedijarto (1999) mendiagnosis berbagai faktor dan memberikan rekomendasi bagi pembaruan pendidikan yang relevan dengan tuntutan pembangunan, yang intinya berkesimpulan bahwa :
1) Pelaksanaan pendidikan belum secara terencana dan sistematik diperdayakan untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan pendidikan Nasional secara optimal
2) Pendidikan Nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasasi oleh IPTEK dan persaingan global belum sepenuhnya terlaksana
3) Pendidikan Nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditi yang mutunya mampu bersaiang dan mampu mengembangkan sistem perdagangan.
4) Pendidikan Nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan Indonesia yang Religius, berakhlak, berwatak ksatria dan patriotik.
5) Agar pendidikan Nasional benar-benar mampu melaksanakan fungsinya dan mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, perlu dikembangkan dan dilaksanakan program pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang dapat berfungsi sebagai lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, sikap dan akhlak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur serta demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Memahami uraian tersebut, diperlukan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (continuous quality inprovement). Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan Pendidikan tersebut telah digariskan pula dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu : (1) peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan, (2) relevansi pendidikan dengan pembangunan, (3) kualitas pendidikan, dan (4) efisiensi pengolahan pendidikan. Strategi tersebut jika dilaksanakan secara proposional dan profesional, maka akan dapat menyelesaikan berbagai masalah pendidikan. Paling tidak dapat mendekatkan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya.
Kebijakan dalam bidang pemerataan misalnya, dimaksudkan agar semua warga negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama untuk mengenyam dan mengikuti pendidikan yang berkualitas. Idealnya, warga negara yang tinggal di pedalaman dan daerah terpencil bisa memperoleh pendidikan gratis yang berkualitas seperti saudaranya yang ada di kota. Demikian halnya, warga negara yang miskin harus mendapatkan pendidikan yang sama kualitasnya dengan mereka yang kaya, sehingga pendidikan berkualiatas menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan kebijakan pemerataan pendidikan ini pada awalnya menunjukkan hasil yang cukup lumayan, seperti gerakan wajib belajar enam tahun yang dimulai pada tahun 1984, pada tahun 1994 diperluas menjadi sembilan tahun, dengan harapan semua warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan minimal setara dengan tamatan Sekolah Lnjutan Tingkat Pertama. Dilihat dari pemerataan akses, SD Impres yang dibangun secara melauas di seluruh nusantara telah memberikan kesempatan pendidikan yang merata. Jika pada akhir Pelita I 1969/1970 persentase anak usia 7-12 tahun yang bersekolah hanya sebesar 41,4%, maka sampai akhir Pelita V, angka partisipasi tersebut telah mencapai 93,49%. Hal tersebut merupakan suatu keberhasilan yang cukup menggembirakan, bahkan pada saat itu dianggap sebagai hasil yang monumental. Namun krisis yang berkempanjangan telah mengembalikan kondisi tersebut pada titik awal, bahkan lebih parah lagi, karena banyak anak-anak yang lebih suka turun ke jalan dari pada bersekolah dengan biaya mahal. Krisis yang berkempanjangan telah menurunkan kemampuan orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan bawah, yang berdampak meningkatnya jumlah angka putus sekolah. Padahal mereka juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pemerintah wajib mengupayakannya.
Kebijakan relevansi Pendidikan dititikberatkan pada keterkaitan dan kesepadanan antara materi yang di ajarkan di sekolah dengan kondisi dan kebutuhan lapangan. Perhatian terhadap masalah relevansi mulai nampak sejak digunakannya kurikulum 1984 dengan muatan lokal yang disispkan pada berbagai bidang study yang sesuai, dan hal ini lebih diintensifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum ini muatan lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang study, tetapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib maupun pilihan. Pengembangan kurikulum muatan lokal dimaksudkan terutama untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan pengembangan kurikulum sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan Nasional maupun pembangunan setempat, sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya.
Dalam Implementasi kurikulum 2004 selain melalui mata pelajaran muatan lokal, keterkaitan ini lebih ditekannkan lagi dengan pendekatan kompetensi (kurikulum berbasis kompetensi), melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sejalan dengan kebijakan sentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Melalui komptensi Dasar yang pengembangannya dilakukan oleh daerah dan sekolah, diharapkan peserta didik dapat menerapkan hasil pendidikan secara langsung untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas masyarakat, serta memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna.
Pemberian otonomi yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian Otonom ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada disekolah.
Kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam upaya dan pengembangan pendidikan di sekolah dasar, pemerintah mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah, sehingga beberapa sekolah yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus (3 sampai 8 sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti, dan lainnya meruapakan SD imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan dengan mengguanakan prinsip whole school development, yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah. Sedikitnya terdapat lima komponen yang diperhatikan, yaitu kegiatan pembelajaran, manajemen, buku dan sarana belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta partisipasi masyarakat, yang semuanya belum dapat dilakukan secara optimal.
Sejalan dengan urian diatas, berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dilakukan melalui berbagai pelatihan; seperti pelatihan model pembelajaran, pelatihan pembuatan alat peraga, pelatihan pengembangan silabus dan pelatihan pembuatan materi standar. Pembinaan dan pengembangan lain untuk mendukung pembelajaran yang efektif juga dilaksanakan, seperti manajemen kelas, manajemen sekolah, manajemen gugus, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Untuk sekolah-sekolah yang kurang terlayani (underserved schools), dilakukan pemberian bantuan khusus dalam rangka peningkatan kegiatan pembelajaran. Bahkan, untuk meningkatkan peluang peserta didik mengikuti pembelajaran secara optimal di sekolah, diadakan program "Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMT-AS), meskipun dalam pelaksanaannya masih dihadapi berbagai kendala, terutama berkaitan dengan model pelaksanaan berbentuk proyek, yang sering hanya menghambur-hamburkan dana, yang diperparah oleh sikap mental para pelaksananya. Upaya lain yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Bantuan ini berbentuk hibah yang langsung diberikan ke sekolah melalui rekening sekolah.
Dalam sistem pendidikan dan pengajaran peranan guru sangatlah strategis dalam upaya menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang hendak dicapai. Raka Joni dalam Seniawan dan Soedijarto, (1991 : 119) mengatakan, "secara makro tugas guru berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa". Lebih-lebih jika peranan guru dikaitkan dengan jenjang pendidikan dasar maka kita akan melihat betapa seorang guru akan menjadi faktor yang sangat penting dan strategis dalam meletakan fondasi bagi pengembangan sumber daya manusia, karena jenjang yang Iebih tinggi pada dasarnya akan mudah dikelola jika fondasi dasar siswa sudah kuat.
Menurut Sudjana (1989 : 1) "kurikulum diuntukan bagi siswa, melalui guru yang secara nyata memberi pengaruh kepada siswa pada saat terjadinya proses pengajaran". Mengingat peranan guru yang sentral dalam proses belajar mengajar, dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di sekolah itu sangat ditentukan oleh kualitas kemampuan guru, meskipun ada faktor lain yang terkait. Konsekuensinya, apabila kualitas proses pendidikan pada suatu jenjang pendidikan ditingkatkan maka kualitas kemampuan guru perlu ditingkatkan pula. Demikian juga sebaliknya, apabila kualitas pendidikan itu disinyalir kurang sesuai dengan harapan masyarakat, tentu yang lebih dulu mendapat tudingan adalah guru. Bahkan Natawidjaja (1992 : 11) mengungkapkan bahwa kritikan masyarakat terhadap kualitas guru yang tidak memadai dalam menyesuaikan dirinya terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam bidang pendidikan. Mewujudkan sosok pribadi guru yang sesuai dengan harapan masyarakat, dalam arti dapat berperan sebagai pendidik dan pengajar bukanlah pekerjaan yang mudah, akan merupakan pekerjaan yang sulit dan teramat sulit sudah barang tentu hal ini terkait dengan sejumlah aspek, baik yang melekat pada pribadi guru seperti aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Disamping hal-hal diluar guru seperti : Kurikukulum, sarana belajar, organisasi sekolah dan lainnya.
Mengingat demikian strategisnya peranan seorang guru dalam menghantarkan tujuan pendidikan, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesional. Hal ini ditegaskan oleh Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang perang yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga mempakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan, maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa penting nya untuk meningkatkan aktivitas, kreativitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena disini guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah. Simon dan Alexander (1980) telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang, dan menunjukkan adanya dua kunci penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didik; yaitu : jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru.. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki standar kemampuan profesional untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas.
Mulyasa (2008 : 13-14) mengatakan kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses guru dikatakan berahasil apabila mampu melibatkan sebagia besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Disamping itu, dapat dilihat dari gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik. Untuk memenuhi tuntutan tersebut diperlukan berbagai kompetensi pembelajaran.
Pengembangan kualitas guru merupakan suatu proses yang kompleks, dan melibatkan berbagai faktor yang saling terkait. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tidak hanya menuntut keterampilan teknik dari para ahli terhadap pengembangan kompetensi guru, tetapi harus pula dipahami berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru dalam mengembangkan berbagai aspek pendidikan dan pembelajaran. Hal tersebut lebih terfokus lagi dalam implementasi kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, dengan manajemen berbasis sekolah, dalam konteks desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah. Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara benar dan transparan dapat meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam pelaksanaan berbagai kebijakan diatas, guru dituntut untuk menjadi ahli penyebar informasi yang baik, karena tugas utamanya antara lain menyampaikan informasi kepada peserta didik. Guru juga berperan sebagai perencana (designer), pelaksana (implementer), dan penilai (evaluator) pembelajaran. Apabila pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi para peserta didik dengan penyediaan ilmu yang tepat dan latihan keterampilan yang mereka perlukan, haruslah ada ketergantungan terhadap materi standar yang efektif dan terorganisasi. Untuk itu diperlukan peran baru dari para guru, mereka dituntut memiliki keterampilan-keterampilan teknis yang memungkinkan untuk mengorganisasikan materi standar serta mengelolanya dalam pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik.
Dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, guru terutama berperan dalam mengembangkan materi standar dan membentuk kompetensi peserta didik. Sehubungan dengan itu, guru harus kreatif, profesional, dan menyenangkan. Guru harus kreatif dalam memilah dan memilih, serta mengembangkan materi standar sebagai bahan untuk membentuk kompetensi peserta didik. Guru harus profesional dalam membentuk kompetensi peserta didik sesuai dengan karakteristik individual masing-masing. Guru juga harus menyenangkan, tidak saja bagi peserta didik, tetapi juga bagi dirinya. Artinya, belajar dan pembelajaran harus menjadi makanan pokok guru sehari-hari, harus dicintai, agar dapat membentuk dan membangkitkan rasa cinta dan nafsu belajar peserta didik. Dalam kondisi dan perubahan yang bagaimanapun dahsyatnya, guru harus tetap guru; jangan terpengaruh oleh isu, dan jangan bertindak terburu-buru.
Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesinya secara layak dan bertanggungjawab (Usman : 1999 : 14). Sejalan dengan hal tersebut. Dahlan dalam makalah bahan diskusi Pelatihan Pengelolaan Madrasah Aliyah Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI tanggal 14-31 Mei 2000 di Griya Astuti Cisarua Bogor, mengungkapkan setidaknya ada sepuluh standar kemampuan dasar guru yaitu :
1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.
2. Pengelolaan program belajar mengajar
3. Pengelolaan Kelas
4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran
5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan
6. Pengelolaan interaksi belajar mengajar.
7. Penilaian prestasi siswa
8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan
9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10.Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
Standar kemampuan guru tersebut adalah merupakan modal yang penting dalam upaya melakukan proses pembelajaran yang mendukung bagi tercapainya tujuan yang ditetapkan. Kompotensi Guru yang dimilikinya sebagai pengembang kurikulum di sekolah sudah barang tentu ini merupakan modal penting dalam menciptakan situasi edukatif yang kondusif, sehingga diharapkan dengan modal kompetensi guru yang memadai siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Sebaliknya jika kompetensi guru sangat lemah dalam mengelola sistem kependidikan maka meskipun fasilitas di sekolah serba ada sangat sulit diharapkan hasil pendidikan tersebut dapat mecapai tujuan yang optimal. Bahkan dalam surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 26 tahun 1989 tentang angka kredit bagi jabatan guru dalam lingkungan Depdiknas, guru dituntut untuk senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya baik secara individu maupun secara bersama-sama. Lebih lanjut PP nomor 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan, fasal 31 mengungkapkan bahwa : Tenaga kepndidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa. Sukadi (2006), Tugas dan Peran Guru, mempakan suatu proses yang meliputi : mendidik, mengajar, dan melatih peserta didik. Mendidik berarti menemskan dan mengembangkan nilai-nikai hidup (efektif). Mengajar berarti menemskan dan mengembangkan Ilmu pengetahuan dan teknologi (kognitif), Adapun melatih berarti mengembangkan keterampilan para siswa (psikomotor).
Ketiga tugas guru tersebut harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dan tidak terpisah-pisah. Artinya, dalam melaksanakan tugas mengajar, seorang guru tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kehidupan dan keterampilan. Mereka mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak mengesampingkan niali-nilai penggunaan Ilmu dan teknologi tersebut. Demikian pula dalam melatih para siswa, seorang guru tidak bisa mengabaikan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Untuk melaksanakan ketiga tugas pokok tersebut, seorang guru dituntut mempunyai beberapa kemampuan sebagai berikut :
1. Berwawasan luas, menguasasi bidang ilmunya, dan mampu mentransfer serta menerangkan kembali kepada siswa
2. Mempunyai sikap dan tingkah laku (kepribadian) yang patut diteladani sesuai dengan nilai-nilai kehidupan (values) yang dianut masyarakat dan bangsa
3. Memiliki keterampilan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya
Peningkatan kualitas guru menuju kemampuan profesional guru adalah merupakan perwujudan dari upaya .meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Guru merupakan sosok manusia yang diberi amanat untuk membimbing dan mengarahkan generasi bangsa yang akan datang. Guru yang berkualitas dalam kinerjanya akan dapat mencerminkan nasib bangsa dan negara yang akan datang. Hal ini dengan asumsi bahwa jabatan apapun atau pekerjaan apapun pasti melalui proses pendidikan dan orang yang melakukan proses tersebut pasti selalu beriringan dengan sosok guru, karena kualitas pembelajaran akan berjalan dengan balk apabila guru mampu melakukannya.
Fenomena di lapangan menunjukan bahwa masih terdapat anggapan bahwa untuk menjadi guru, yang penting memiliki kemauan persoalan kemampuan pada gilirannya akan mengikuti. Anggapan tersebut sudah barang tentu kurang kondusif bagi pembinaan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas, peran dan fungsinya dalam menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang dikehendaki.
Ace Suryadi dari Balitbang Depdiknas yang dikutif oleh Usman (2001) menyatakan bahwa :
"Berbagai temuan penelitian menunjukan beberapa kekhawatiran jika guru-guru kita ternyata belum sepenuhnya menguasai kemampuan profesinya. Berdasarkan salah satu penelitian, penguasaan guru terhadap mata pelajaran memang masih berada di bawah standar yang diharapkan. Oleh karena itu maka tidaklah mengherankan jika guru belum dapat melaksanakan pekerjaannya secara profesional".
Sudah barang tentu guru yang masih Iemah kompetensi professionalnya akan sulit diharapkan tujuan pendidikan nasional akan tercapai. Sebagaimana tercantum dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Membicarakan perbaikan kurikulum, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sampai kepada Kriteria sumberdaya manusia yang diinginkan oleh usaha pendidikan maka semua pasti bermuara pada kualitas guru (Muhibinsyah, 1995 : 224). Dengan demikian maka dapat ditarik benang merah betapa urgennya posisi guru dalam dunia pendidikan.
Peran guru dalam mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas posisinya sangat menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembelajaran. Sukmadinata (1988 : 212) mengemukakan bahwa :
"Official curriculum merupakan kurikulum nyata yang dilaksanakan oleh sekolah atau kelas, suatu "reality". Kurikulum nyata atau actual curriculum merupakan implementasi dari official curriculum oleh guru di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), tetapi hasilnya sangat bergantung pada upaya yang dilakukan oleh guru dan juga murid dalam kelas (actual). Dengan demikian guru memegang peranan penting baik di dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum".
Kurikulum dapat dipahami, tidak hanya dokumen tertulis akan tetapi sebagai sebuah rencana pelajaran didalam ruangan kelas, dalam hal ini Beauchamp (1968 : 6) mengungkapkan bahwa "a curriculum is written document wich may contain many ingredients, but basically it is a plan for education of pupils during their enrollment in given school". Dengan demikian implementasi kurikulum dapat dikembangkan oleh guru dalam ruangan kelas sesuai dengan keadaan dan kebutuhan siswa atau peserta belajar.
Dengan demikian kinerja profesional dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum , dalam hal ini merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum di kelas yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Sejalan dengan hal tersebut Johnson (1978) Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, suatu kompetensi ditunjukan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggung jawabkan (rasional) dalam upaya mencapai suatu tujuan.
Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
Kompetensi Pribadi, guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus di-gugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya :
a. Kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya.
b. Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama.
c. Kemampuan untuk berprilaku sesuai dengan norma, antara dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat
d. Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya, sopan santun dan tata krama
e. Bersifat demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.
Kompetensi Profesional, adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan yang sangat penting, oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu , tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini di antaranya :
a. Kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, tujuan instmksional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran
b. Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan misalnya, paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar, dan lain sebagainya.
c. Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya.
d. Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran
e. Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar.
f. Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
g. Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran.
h. Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya, paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
i. Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
Kompetensi Sosial Kemasyarakatan. Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, yang meliputi :
a. Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomonikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional.
b. Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan.
c. Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok
Guru sebagai pengembang kurikulum dalam tulisan ini dipahami dalam pengertian mikro, yaitu mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas. Sejalan dengan hal ini Kusnandar (2007 : 42-43), ada beberapa paradigma baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini adalah sebagai berikut :
1. Tidak terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memperdayakan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas datang, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangkan potensi diri secara maksimal
2. Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model Pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan motivasi belajar peserta didik. Guru harus menguasai berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan.
3. Dominasi guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar-mengajar
4. Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi
5. Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu prefesi yang menyenangkan 6. Guru mengikuti perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini
7. Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi
8. Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik.
Beberapa hal tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa pada dasarnya peranan guru dalam ruangan kelas adalah merupakan hubungan antar pribadi. Dalam hal ini pula menunjukan bahwa proses belajar mengajar bukan hanya sekedar kegiatan instruksional akan tetapi juga merupakan perilaku guru yang secara utuh diserap oleh siswa.
Dengan demikian, guru dituntut selalu inovatif, kreatif, dan mampu mengimplementasikan sepuluh standar kemampuan dasar dalam upaya menghantarkan tujuan pendidikan secara optimal. Salah satunya melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar dengan pola komoniakasi multi trafic (multi trafic communication). Dalam pola komunikasi multi trafic ini, komonikasi terjadi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.
Dengan pola komonikasi seperti ini, antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa lainnya terjadi pertukaran (sharing) pengetahuan dan pengalaman sehingga proses belajar mengajar lebih bermakna.
Untuk menciptakan pola semacam ini, guru harus memiliki beberapa keterampilan sebagai berikut :
- Memiliki keterampilan bertanya yang meliputi : pertanyaan menggiring, pertanyaan untuk merangsang siswa berfikir dan mengemukakan gagasan, pertanyaan mengarahkan, dan pertanyaan yang bersifat mengendalikan arus komunikasi.
- Memiliki keterampilan memberikan reward dan bentuk-bentuk penghargaan atas pendapat, gagasan, dan pertanyaan siswa.
- Terampil dan memilih dan mempergunakan metode dan media pembelajaran yang mendukung terjadinya pola komonikasi multi trafic.
- Memiliki keterampilan memilih dan menyampaikan permasalahan yang dapat merangsang siswa mau berpikir dan melibatkan emosi dalam pembelajaran
- Memahami dan mampu menerapkan pola pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dengan segenap metode dan media yang mendukungnya.
Selain dengan cara-cara tersebut, keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dapat dirangsang dengan cara sebagai berikut :
- Memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk mengemukakan ide, gagasan, pendapat, komentar, saran, dan kritik yang membangun.
- Menciptakan suasana belajar mengajar yang terbuka (fair) dalam batas-batas yang wajar dan etis.
- Memberikan penghargaan atas keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dengan cara memberikan nilai tambah.
- Membangun rasa percaya diri siswa dihadapan teman-temannya.
- Mengurangi dominasi guru dalam proses pembelajaran.
Berangkat dari pemikiran diatas, maka terdapat suatu perkembangan di MTsN X Kota X menyangkut kinerja professional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum. Hal ini mengingat tiga Tahun terakhir MTsN X mengalami peningkatan UAN yang sangat signifikan. Selain itu juga guru MTsN tersebut tidak mengandalkan kewajibannya sebagai pengajar tetapi juga selalu melakukan mengayaan atau proses pembelajaran tambahan (Less).
Mengingat begitu pentingnya peningkatan kompetensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum khususnya dalam dimensi kegiatan, maka hal inilah yang menjadi landasan berfikir penulis untuk melakukan penelitian tentang kompentensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Kinerja professional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa guru adalah merupakan jabatan professional. Kinerja yang dimaksudkan disini adalah "performance yang berarti "the execution of an action". Wolf, (1997 : 851) dengan demikian kinerja di sini berarti pelaksanaan suatu kegiatan. Kinerja juga dapat diartikan sebagai penampilan kerja atau perilaku kerja yang mencerminkan hasil atau out put dari suatu proses
Pada dasarnya kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti; pendidik, terdidik, kurikulum dan lingkungan. Faktor— faktor tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan tidak bisa berdiri sendiri. Namun demikian pada penelitian ini penulis membatasi diri pada faktor guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Dalam pandangan Sudjana (1989 : 1) guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungannya dengan pengembangan kurikulum di sekolah. Dia harus mampu menterjemahkan, menjabarkan dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada anak didik melalui proses belajar mengajar. Dengan demikian dalam mengimplementasikan kurikulum yang ada di sekolah hendaknya guru tidak hanya sekedar melakukan proses pengajaran akan tetapi harus berupaya mengorientasikan bagaimana membuat siswa belajar. Guru sebagai pengembang kurikulum dipahami sebagai seorang yang senantiasa menciptakan situasi kelas yang kondusif serta mengembangkan segala sarana dan fasilitas yang ada menjadi bahan ajar yang efektif efisien serta terus menerus melakukan inovasi dalam mengembangkan materi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa serta berupaya untuk melakukan metode pengajaran yang bervariasi, sehingga siswa tidak merasa jenuh mengikuti proses belajar mengajar.
Berangkat dari hal tersebut, maka inti permasalahan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana kinerja profesional Guru sebagai Pengembang kurikulum dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya ?

C. Pertanyan Penelitian
Berdasarkan inti permasalahan dalam penelitian, maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja profesional guru dalam :
a. Perencanaan pembelajaran ?
b. Pelaksanaaan pembelajaran ?
c. Evaluasi pembelajaran ?
2. Apa saja yang mempengaruhi kinerja profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum ?
3. Bagaimana hubungan kinerja guru dan hasil belajar siswa ?

D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menemukan 2 manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat teoritis.
Guru profesional sudah terbentang dalam UU No. 14/2005 tentang Guru & Dosen. Pda Bab 1 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama (pokok) mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan pada Bab 1 pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Guru profesional, adalah guru memegang peranan penting terhadap keberhasilan implementasi kurikulum KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksanakan kurikulum di dalam kelas. Gurulah gerda terdepan dalam implementasi kurikulum. Guru adalah kurikulum berjalan. Sebaik apa pun kurikulum dan sistim pendidikan yang ada, tanpa didukung mutu guru yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia. Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di bidang kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan peningkatan mutu guru, semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang dinginkan (Kusnandar, Kompas, 2 Oktober 2006)
Oleh karena itu, keberadaan guru yang profesional tidak bisa ditawar-tawar lagi. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dapat menunjang tugasnya. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi soaial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU nomor 14 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 2).
Pandangan yang dikembangkan oleh Havighurst (peneliti Amerika serikat) dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yang dimaksud adalah tugas yang secara nyata harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sesuai dengan tingkat perkembangan yang dituntut oleh lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya anak/individu tersebut akan mengalami masalah. Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang sederhana menuju kearah yang lebih kompleks
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap perkembangan kurikulum pendidikan Indonesia. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaannya. Impilikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
- Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya
- Disamping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak disekolah, disediakan pula pelajaran-pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak
- Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak-anak yang berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi kejenjang pendidikan berikutnya
- Kurikulum menurut tujuanya mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
Teori Yang dikemukakan para ahli tokoh pendidikan ini diharapkan menjadi bahan kajian lebih lanjut dalam pengembangan kompetensi professional guru guna melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum yang pada gilirannya diharapkan dapat menuju pelaksanaan proses belajar mengajar yang optimal.
2. Manfaat praktis.
Setelah penelitian ini selesai diharapkan dapat memberikan sumbangan yang kongkrit bagi upaya peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan pada tingkat dasar, terutama kualitas guru dalam mengembangkan kurikulum di sekolah.
Secara spesifik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Kepala sekolah
Dengan mengungkapkan data empiris diharapkan kepala sekolah dapat membuat rencana dan strategi pengembangan sistem pendidikan yang sesuai dengan keadaan dan kemampuan lingkungan sekolahnya, baik yang menyangkut sistem rekruitmen guru maupun upaya berkelanjutan dalam memberdayakan dan meningkatkan kinerja guru.
b. Guru.
Guru yang merupakan ujung tombak dalam upaya menghantarkan tujuan pendidikan diharapkan selalu berupaya meningkatkan kualitas profesinya dengan terus melakukan introspeksi baik yang menyangkut kualitas teknis maupun kualitas sosial. Sehingga ferformance guru akan sesuai dengan tuntutan profesinya.
c. Siswa
Siswa yang merupakan subyek dan obyek pendidikan akan memperoleh pelayanan pembelajaran yang optimal. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika kinerja guru dapat dilaksanakan secara baik maka pelayanan kepada siswa pun akan menjadi baik.
d. Bagi Departemen Agama hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan bahan-bahan untuk kemudian dipertimbangkan dalam mengola dan mengambil kebijakan pendidikan khususnya yang berhubungan upaya meningkatkan profesionalisme guru
e. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan literature pensinkronan masalah yang akan diteliti berkaitan dengan kinerja profesinal guru.

TESIS EFEKTIVITAS KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM SISWA (STUDI KASUS SMA X)

Posted: 15 Oct 2011 11:01 PM PDT


(KODE : PASCSARJ-0120) : TESIS EFEKTIVITAS KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM SISWA (STUDI KASUS SMA X) (PRODI : BIMBINGAN KONSELING)




BAB I
PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan pelaporan penelitian membahas tentang latar belakang masalah yang menjadi titik tolak penelitian yaitu permasalahan self esteem pada siswa dan alasan peneliti menggunakan konseling Analisis Transaksional sebagai pendekatan untuk memperbaiki self esteem siswa. Selanjutnya bab ini juga membahas fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, asumsi, populasi, sampel, dan lokasi yang dipilih peneliti.

A. Latar Belakang Masalah
Self esteem diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan sebutan "harga diri", tetapi untuk menghindari pendangkalan makna, peneliti akan lebih sering menggunakan istilah "self esteem" dari pada istilah "harga diri", karena self esteem bukan sekedar membahas tentang sejauhmana takaran harga diri seorang manusia dihadapan manusia yang lain, tetapi maknanya lebih dalam dan lebih luas dari sebutan "harga diri", karena self esteem bermuara pada keyakinan dan mindset/po\a pikir, keyakinan seorang individu akan keberhargaan dirinya sehingga menimbulkan perasaan berharga dan layak untuk dihargai sebagai seorang pribadi. Dari keyakinan tentang keberhargaan dirinya, akan memunculkan perasaan berharga, kemudian akan bersikap dan berperilaku menuju keberhargaan yang diyakininya.
Seorang individu yang tampan/cantik, berprestasi, memiliki limpahan harta benda, berhasil menduduki jabatan yang prestisius, populer, dll, tidak serta merta dikatakan memiliki self esteem yang positif apabila individu tersebut melakukan atau mencapai semua itu dengan cara-cara yang tidak "fair". Keberhasilan atau kesuksesan seorang individu dalam sebuah pencapaian hidup hanya merupakan serpihan-serpihan kecil dari sebuah kerangka utuh bernama "self esteem ".
Terdapat dua kategori self esteem, yaitu self esteem positif (harga diri yang tinggi) dan self esteem negatif (harga diri yang rendah). Self esteem positif biasanya termanifestasikan pada saat individu mendapatkan penghargaan, menang dalam sebuah perlombaan, dapat memecahkan masalah yang rumit, berada pada posisi yang strategis secara sosial, memiliki kedudukan, mencapai puncak karir, memiliki kecantikan atau ketampanan, memiliki kekayaan atau kekuasaan, memiliki kemampuan dan keterampilan yang bisa dibanggakan. Intinya, individu akan merasa memiliki harga diri apabila mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Self esteem negatif biasanya muncul pada saat individu dihina dan direndahkan, hasil karya yang tidak diapresiasi oleh orang lain, menderita kebangkrutan, tidak mendapat pengakuan, dikucilkan dan ditolak secara sosial, memiliki cacat fisik, gagal dalam sebuah pencapaian, dan lain-lain. Secara umum Self esteem positif menguntungkan karena mengacu pada evaluasi diri, sedangkan Self esteem negatif menimbulkan perasaan negatif yang merugikan diri.
Remaja yang sedang dalam pencarian jati diri sering salah dalam memaknai harga diri dan mendapatkan porsi terbesar dari permasalahan yang diakibatkan oleh self esteem negatif. Untuk mendapatkan pengakuan sosial dari teman sebayanya, remaja sering terjebak dalam perilaku delinquency (kenakalan) yang malah menurunkan harga dirinya sendiri. Seperti menjadi pelacur karena ingin berpakaian bagus dan memiliki HP bam, mencontek untuk mendapatkan nilai bagus, merokok dan mencoba minuman keras karena khawatir dicap sebagai remaja yang tidak gaul, melakukan tindakan agresif untuk menunjukan otoritas dan eksistensi diri, seperti pemalakan dan tawuran.
Fenomena lain adanya remaja putri yang tergila-gila dengan penampilan dan menganggap dirinya berharga apabila memiliki tubuh langsing dan kulit putih, pada akhirnya melakukan berbagai macam cara demi untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal yang diimpikan, misalnya dengan melakukan diet ketat yang tidak sehat, mengkonsumsi obat pelangsing dan menggunakan kosmetika yang membahayakan dirinya. Sebagaimana hasil penelitian William, et al. (1993) yang menyimpulkan bahwa remaja yang memiliki self esteem negatif tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya. Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan Wadden (2002) yang menyebutkan remaja dengan self esstem negatif menderita penyakit kelainan makan, seperti bulimia dan anorexia.
Self esteem positif memainkan peranan yang penting dalam kehidupan individu. Tetapi yang perlu dicermati adalah self esteem negatif (harga diri yang rendah), karena akan menimbulkan kecemasan dan perasaan tidak nyaman. Fuller dalam risetnya (http : //mentalhealth.samsha.gov/publications/allpubs/sma-3715/things.asp) menyebutkan beberapa konsekuensi yang muncul akibat harga diri rendah (Low self esteem), yaitu : munculnya kecemasan (anxiety), mudah stress, merasa hampa dan kesepian, meningkatkan resiko depresi, mengalami permasalahan dalam relationship, disfungsi sexual. Herer & Holzapfel (1993), menggambarkan pengaruh self esteem negatif yang dapat merusak prestasi akademik dan karir, ketidaktercapaian, meningkatkan resiko terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol.
Individu yang memiliki gambaran self esteem negatif sering merasa bahwa dirinya tidak kompeten, tidak cantik/tampan dan tidak berarti, memiliki pandangan bahwa dirinya tidak layak untuk dicintai, tidak pintar, tidak sanggup melanjutkan hidup, merasa tertekan dan tidak berdaya, selalu berpikir gagal sebelum mencoba, mudah sekali putus asa dan menyerah. Hasil penelitian Roese dan Pennington (2002) menyimpulkan bahwa individu yang memiliki self esteem negatif sering menerima sikap diskriminatif dari orang yang ada di sekitarnya.
Sebaliknya individu yang memiliki gambaran self esteem positif, diyakini memiliki kehidupan yang lebih bahagia, kepribadian yang menarik, merasa diri lebih populer dan bangga dengan semua ketercapaian dalam hidupnya. Self esteem yang tinggi merupakan bagian dari ego yang sehat. Ego biasa didefinisikan sebagai identitas, individualitas, pusat kesadaran, jiwa atau diri. Dengan kata lain, harga diri diperlukan sebagai pertanda jiwa yang sehat. Individu yang memiliki self esteem positif percaya bahwa dalam dirinya terdapat nilai-nilai dan potensi yang unik lagi berharga. Memiliki keyakinan bahwa dirinya penting dan merupakan bagian dari kehidupan ini. Optimisme secara sederhana dipandang sebagai keterampilan kognitif untuk memberi makna baik atau buruk pada lingkungan, sedangkan self esteem merupakan cara individu memberi makna baik atau buruk pada dirinya. Hal ini akan menghasilkan daya gerak yang luar biasa yang mendorong manusia untuk mengusahakan yang terbaik, sehingga mampu mempersembahkan karya terbaik sepanjang hidupnya.
Self esteem juga berhubungan erat dengan faktor kepribadian dan faktor fsikologis dalam penyalahgunaan NAPZA (Shield, 1976; Jessor dan Jessor, 1977; Wienfield, dkk, 1989; Brook dan Brook, 1990; Hawaii, 1991). Faktor kepribadian ini dapat dibedakan menjadi aspek intrapersonal, interpersonal dan kognitif (Olson, dkk, dalam Brown&Lent,1992). Aspek intrapersonal yang diidentifikasi berperan penting dalam penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah rendahnya harga diri remaja (Gorsuch dan Butter, 1976 : Sield, 1976). Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa remaja dengan harga diri rendah merasa dirinya terasing, tertekan dan kurang memiliki keberanian untuk berbuat sesuatu. Mereka cenderung lebih cemas, mudah depresi, pesimis akan masa depannya dan mudah gagal. Selanjutnya remaja dengan ciri-ciri tersebut mudah mendapat pengaruh dari lingkungannya untuk mengkonsumsi NAPZA.
Remaja yang memiliki harga diri rendah memilih menggunakan NAPZA sebagai sarana untuk mengembalikan kestabilan emosinya, sehingga menimbulkan rasa aman pada diri mereka. Hal ini terbukti pada penelitian tes Skager dan Kerst (1989) menyimpulkan bahwa remaja yang menggunakan mariyuana merasakan perubahan positif pada harga dirinya. Demikian juga pada pemakai kokain merasa meningkat dalam keyakinan diri dan hubungan sosialnya ketika dalam keadaan memakai. Individu yang memiliki self esteem positif, umumnya merasa lebih bahagia, bebas dari simptom psikosomatis, sukses dan adaptif dalam situasi yang dapat menimbulkan stres (Brehm dan Kassin, 1990).
Sigal dan Gould (dalam Brehm dan Kassin, 1990) menggambarkan individu yang memiliki self esteem positif akan selalu termotivasi untuk berperilaku baik, termasuk tidak melibatkan diri dalam penyalahgunaan NAPZA karena memahami efek negatif zat tersebut yang dapat merusak kehidupannya.
Pentingnya pemenuhan kebutuhan harga diri individu, khususnya pada kalangan remaja, terkait erat dengan pengaruh dan dampak self esteem negatif. Karena remaja akan mengalami kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya, merasa inferior dan canggung. Namun apabila kebutuhan harga diri mereka dapat terpenuhi secara memadai, kemungkinan remaja akan memperoleh kesuksesan dalam lingkungan sosialnya, tampil dengan kayakinan diri (self-confidence) dan merasa dirinya memiliki nilai. (Jordan et. al. 1979).
Gambaran hasil riset yang telah disampaikan, menjelaskan tentang pentingnya penanganan atau bantuan pada siswa yang memiliki self esteem negatif. Sehingga diperlukan perhatian dan penanganan khusus dari tenaga pengajar, serta konselor. Penanganan yang ada tersebut harus mampu menetralisir berbagai penyebab self esteem negatif dan mengembangkannya menjadi self esteem positif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan Konseling Analisis Transaksional. Sebagai salah satu teknik psikoterapi dalam konseling.
Analisis Transaksional merupakan satu pendekatan psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. Analisis transaksional dapat dipergunakan dalam konseling individual, tetapi lebih diutamakan untuk konseling kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian, tujuan dan arah proses konseling dikembangkan sendiri oleh konseli, dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru untuk kemajuan hidupnya sendiri. Gringkers mengemukakan pandangannya bahwa hakikat hidup manusia selalu ditempatkan dalam interaksi dan interrelasi sebagai dasar bagi pertumbuhan dirinya.
Analisis Transaksional digunakan untuk menganalisis atau menemukan pola mana saja yang berperan dalam sulit atau mudahnya proses transaksi/komunikasi. Analisis transaksional mengikuti teori psikoanalisis Sigmund Freud dan penemuan kerja otak dari Broca dan W. Penfield antara aktivitas otak dan perilaku manusia. Menurut Penfield, otak manusia sejak bayi sudah mampu merekam berjuta-juta pengalaman tentang perasaan, pandangan, sikap, perilaku, dan lain-lain. Pengalaman yang tertanam sejak bayi hingga dewasa ini untuk selanjutnya disebut sebagai egostate.
Berne mengelompokkan rekaman pengalaman tersebut menjadi kelompok pesan-pesan norma Orang Tua (egostate Orang Tua) dan kelompok reaksi perasaan Anak (egostate Anak). Kedua egostate tersebut dalam keseharian berebut untuk tampil dalam proses komunikasi. Sulit untuk melepaskan diri sepenuhnya dari kedua egostate tersebut, apalagi egostate tersebut sebenarnya adalah rekaman perbendaharaan mengenai berbagai cara yang individu lakukan dalam menghadapi/menyelesaikan masalah, entah itu berhasil atau tidak. Berne menawarkan alternatif cara untuk menyadari egostate tersebut untuk mengontrol dan mengendalikannya sepenuhnya. Egostate tersebut adalah egostate dewasa. Individu yang sehat adalah mereka yang mampu menggunakan egostatenya sesuai dengan situasi dan kondisi, yaitu ketika egostate dewasa dalam posisi dominan sehingga mampu memilih egostate mana yang sesuai dengan situasi tertentu. Egostate orang tua adalah bahasa tentang nilai-nilai, egostate dewasa adalah bahasa logika dan rasionalitas, sedangkan egostate anak adalah bahasa emosi.
Terdapat beberapa alasan, kenapa konseling analisis transaksional dipilih oleh penulis sebagai salah satu pendekatan untuk memperbaiki self esteem.
1. Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan, melainkan merupakan serangkaian putusan dan pilihan.
2. Analisis Transaksional menekankan aspek-aspek kognitif rasioanl behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya yang keliru.
3. Analisis Transaksional merupakan terapi kontraktual dan desisional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh konseli yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi.
4. Analisis Transaksional fokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh konseli dan menekankan kemampuan konseli untuk membuat putusan-putusan baru yang lebih sesuai.
5. Analisis Transaksional memandang bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
6. Analisis Transaksional merupakan metode rasional yang dapat menganalisis dan memahami pikiran, perasaan, dan perilaku orang, dengan berbasiskan teori psikologis yang mudah dipahami.
7. Analisis Transaksional merupakan teknik konseling yang berkaitan dengan beragam budaya dan merupakan teknik konseling yang efektif, psikologi informasi dan psikiatri berbasis komunikasi manusia. Sehingga transaksi antarpribadi yang kompleks dapat dengan mudah dipahami.
8. Analisis Transaksional merupakan psikologi sosial dan metode komunikasi.
Teori yang menguraikan bagaimana cara mengembangkan dan memperlakukan diri sendiri, bagaimana berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, menawarkan saran dan intervensi yang memungkinkan individu untuk berubah dan berkembang.

B. Fokus Penelitian
Penelitian ini diarahkan untuk mengungkapkan permasalahan self esteem siswa dan melakukan pengkajian secara lebih mendalam dan menyeluruh terhadap efektivitas layanan konseling di sekolah menggunakan pendekatan konseling Analisis Transaksional. Dari penelitian ini diharapkan dapat tersusunnya suatu model pendekatan konseling Analisis Transaksional terhadap siswa yang memiliki permasalahan self esteem. Dari penelitian ini diharapkan siswa dapat mengenali kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, memandang dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan layak untuk disejajarkan dengan orang lain.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang dan fokus masalah, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Seperti apa gambaran self esteem pada siswa SMAN X Kabupaten X?
2. Apa yang menjadi latar belakang munculnya permasalahan self esteem pada siswa SMAN X Kabupaten X?
3. Apakah konseling Analisis Transaksional dapat memperbaiki self esteem siswa SMAN X Kabupaten X?

D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model konseling untuk meningkatkan self esteem siswa melalui pendekatan konseling Analisis Transaksional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memperoleh gambaran secara umum tentang self esteem siswa SMAN X Kabupaten X.
2. Memperoleh data emprik tentang penyebab atau latar belakang siswa yang memiliki permasalahan self esteem negatif di SMAN X Kabupaten X.
3. Menguji efektivitas konseling Analisis Transaksional terhadap siswa SMAN X yang memiliki permasalahan self esteem.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada siswa mengenai self esteem positif. Sehingga siswa dapat mengenal lebih dalam tentang dirinya, memiliki gambaran bagaimana seharusnya memberi penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan pribadi dan dapat mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.
2. Bagi sekolah
Bagi sekolah penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atau jalan keluar dalam upaya mengembangkan potensi dan memandirikan siswa
3. Bagi guru Bimbingan dan Konseling dan pihak lainnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada guru Bimbingan dan Konseling tentang permasalah self esteem yang dialami siswa di SMAN X Kabupaten X. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu strategi bagi guru Bimbingan dan Konseling di SMAN X Kabupaten X dalam memberikan layanan konseling terutama dalam meningkatkan self esteem negatif menjadi self esteem positif.
4. Bagi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan (alternatif pemecahan masalah) bagi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten X sebagai pengambil kebijakan dalam upaya membantu siswa berkembang dengan kondisi kejiwaan yang sehat di Sekolah Menegah Atas.
5. Bagi akademisi dan para peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi serta kajian bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

F. Asumsi Penelitian
1. Self esteem diyakini menjadi akar masalah disfungsi sosial individu dan merupakan aspek kepribadian yang paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta penentuan tujuan hidup. (Nathaniel Branden, 1994 : 5-12).
2. Self esteem sebagai variabel independen yang kuat (kondisi, penyebab, faktor) dalam asal-usul masalah utama sosial. (Smelser, 1989)
3. Self esteem negatif dapat menimbulkan kecemasan (anxiety), mudah stress, merasa hampa dan kesepian, meningkatkan resiko depresi, mengalami permasalahan dalam relationship, dan disfungsi sexual. (Fuller, http://mentalhealth.samsha.gov/publications/allpubs/sma-3715/things.asp).
4. Konseling Analisis Transaksional dipandang sebagai salah satu pendekatan yang cocok untuk memperbaiki self esteem, karena menekankan aspek-aspek kognitif rasioanal behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya yang lebih sesuai. (Gerald Corey, 2009).

TESIS EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (R-SMA-BI)

Posted: 15 Oct 2011 11:00 PM PDT


(KODE : PASCSARJ-0119) : TESIS EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (R-SMA-BI) (STUDI KASUS DI SMAN X) (PRODI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Konteks Penelitian
SMA Negeri X sebagai salah satu sekolah dengan keunggulan layanan pendidikan terbaik di kabupaten Y. Hal ini bisa dilihat dari trend pendaftar ketika Penerimaan Siswa Baru (PSB) dari tahun ketahun.Sudah berperan aktif dalam mempersiapkan sumberdaya manusia yang mempunyai keunggulan global dengan cara merintis pengembangan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SMA-BI).
Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMA Negeri X diselenggarakan dengan landasan :
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 4 : "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus".
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 50 ayat 3 : "Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional".
3. Surat Keputusan Direktorat Pembinaan SMA Dirjen Mandikdasmen Depdiknas nomor : 697/C4/MN/2007 tentang Penetapan Penyelenggara Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (SMABI).
4. Surat Diretorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 622/C4/MN/2007 tangal 29 Juni 2007 perihal keikutsertaan SMAN X pada worshop penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional.
5. Pernyataan dukungan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat cq Kasubdis Dikmenti melalui surat nomor 008/82-Dikmenti/2007.
6. Pernyataan dukungan penyelenggaraan program rintisan SBI dari komite SMA Negeri X nomor : 004/Komite-SMA.BE/2007.
Penunjukan dari pemerintah baik pusat maupun daerah dan dukungan komite sekolah adalah suatu penghargaan yang cukup prestise yang besar bagi sekolah. Sebab tidak semua sekolah mendapatkan kesempatan tersebut, bahkan hanya satu-satunya sekolah di kabupaten Y yang memiliki kesempatan dari 25 SMA Negeri dan 74 SMA Swasta yang ditunjuk menjadi sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SMA-BI). Penunjukan itu bukan tanpa alasan bagi pemerintah sebab nama besar SMA Negeri X dengan prestasinya, baik akademik maupun non akademik di tingkat kabupaten maupun propinsi sudah sering diraihnya. Misalnya dalam prestasi keikutsertaan pada olimpiade MIPA, bahasa Inggris, seni, olahraga, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Berdasarkan hasil studi awal melalui observasi penunjukan itu menjadi tantangan yang sangat berat bagi sekolah, sebab penunjukan itu tidak didasarkan pada studi kelayakan yang ketat dan akurat yang merujuk pada standar yang harus dipenuhi oleh R-SMA-BI. Sebagaimana syarat yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan R-SMA-BI, sebagaimana dalam panduan penyelenggaraan R SMA BI yaitu : bebarapa syarat sudah terpenuhi namun ada yang belum terpenuhi. Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Sekolah menengah atas negeri atau swasta yang telah memenuhi standar Nasional dan terakrediatasi A.
2. Kepala sekolah memenuhi standar nasional pendidikan berkompeten dalam pengelolaaan manajemen mutu pendidikan serta mampu mengoperasikan komputer dan dapat berkompetensi dalam bahasa inggris
3. Memiliki tenaga pengajar, fisika, kimia, biologi, matematika dan mata pelajaran lainnyayang berkompeten dalam menggunakan ICT dan pengantar bahasa Inggris.
4. Tersedia sarana prasarana yang memenuhi standar untuk menunjang proses pembelajaran bertaraf internasional. Antara lain :
a. Memiliki tiga laboratorium IPA (Fisika, Kimia, Biologi)
b. Memiliki perpustakaan yang memadai
c. Memiliki laboratorium komputer
d. Tersedia akses internet
e. Memiliki Web sekolah
f. Memiliki kultur sekolah yang kondusif (bersih, bebas asap rokok, bebas kekerasan, indah dan rindang)
5. Memiliki dana yang cukup untuk membiayai pengembangan program rintisan SMA bertaraf internasional.
6. Penyelenggaraan sekolah dalam satu shift (tidak double shift)
7. Jumlah rombongan belajar pada satu satuan pendidikan minimal 9 (sembilan) atau setara dengan 288 siswa.
8. Memiliki lahan minimal 10.000m2.
9. Memiliki jalan akses masuk yang mudah dilalui oleh kendaraan roda empat
Merujuk buku panduan tantangan yang dihadapi oleh SMA Negri X ini antara lain adalah :
Pertama, Masih lemahnya kemampuan guru menyusun kurikulum sekolah menyebabkan terbatasnya ketersediaan dokumentasi kurikulum panduan pelaksanaan kegiatan pembelajaran (kurikulum sekolah) secara lengkap untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negarayang demokratis serta bertanggung jawab.
Kedua, kurangnya alat penunjang sarana prasarana pendidikan seperti buku pegangan guru, buku pegangan siswa dan buku referensi lainnya termasuk kelengkapan laboratorium, baik laboratorium IPA, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, laboratorium IPS, pusat pengembangan akhlak mulia, kebun botani dan multimedia berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran yang sangat berat untuk mencapai sekolah yang unggul dan mandiri. Pesatnya perkembangan media masa elektronik dan media cetak selain mengandung dampak positip dalam meningkatkan pengetahuan juga berdampak negatip yang dapat mempengaruhi moralitas yang tidak sesuai dengan moral bangsa, sehingga perlu dijaga moralitasnya dengan baik .
Ketiga, Kondisi guru dalam penguasaan teknologi informasi berdasarkan angket yang dialakukan oleh sekolah adalah 75% guru SMAN X masih kurang mengenal dengan baik terhadap teknologi informatika, 20% mengenal teknologi informatika dengan baik dan 5% menguasai informatika dengan baik.
Keempat, rendahnya penghasilan orangtua dalam mendukung pelaksanaan program kurikulum dalam menjadikan SMA Negeri X sebagai sekolah yang unggul dalam prestasi dan berbudaya untuk menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berlandaskan nilai-nilai religius, kultural dan berwawasan lingkungan sangatlah berat membutuhkan kemampuan guru untuk mendorong peserta didik menjadi mandiri dan bangga terhadap bangsanya,
Kelima, beratnya beban kurikulum yang harus ditempuh oleh siswa karena banyaknya mata pelajaran yang harus diterima siswa. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan dalam mensiasati kesulitan siswa, sehingga siswa tidak merasa terlalu berat dalam menyelesaikan pembelajaran.
Dari uraian di atas nampak jelas ada ketidak sesuaian antara konsep penyelenggaraan R SMA BI dengan kenyataan di lapangan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat masalah ini menjadi bahan atau obyek penelitian. Sebab esensi dari kebijakan penyelenggaraan R SMA BI adalah untuk peningkatan mutu pendidikan supaya bisa bersaing di tingkat internasional. Akan tetapi dalam proses peningkatan mutu pendidikan itu harus berdasarkan pada konsep atau terori yang jelas dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau akademis. Seperti yang dikemukakan oleh Husaini Usman ada tiga faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. .Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Kedua pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Dengan kata lain bahwa kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan seringkali tidak dapat dipikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat; Ketiga peran serta masyarakat khususnya orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim.
Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya mutu lulusan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah merupakan permasalahan pendidikan yang harus segera dicarikan solusi.
Merujuk Tilaar bahwa pengelolaan Pendidikan Nasional mengemukakan bahwa "manajemen sistem pendidikan nasional merupakan suatu proses sosial yang direkayasa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional secara efektif dan efisien dengan mengikutsertakan, kerjasama dan partisipasi seluruh masyarakat, dan dari sinilah konsep MBS lahir. MBS merupakan suatu model kebijakan yang ditempuh oleh pendididkan Indoneia pada maing-masing satuan pendidikan sehingga tercermin MBS sebagai model manajemen pendidikan yang otonomi, lebih besar kepada sekolah memberikan fleksibiitas (keluwesan) kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung setakeholders untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Menyimak gambaran proses penyelenggaraan R SMA BI di SMA Negeri X maka penulis tertraik untuk diangkat menjadi kajian dalam bentuk penelitian, Oleh sebab tesis ini diberi judul EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) (Studi Kasus di SMA Negeri X Kabupaten Y)

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka Peneliti memfokuskan penelitian ini
pada evaluasi kesiapan sekolah untuk menjadi Sekolah yang Bertaraf Internasional (R-SMA-BI). Fokus tersebut dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut :
1. Perubahan apa yang penting dilakukan SMA Negeri X dalam upaya menuju RSMABI.?
2. Bagaimankah tingkat ketercapaian program R-SMA-BI di SMA Negeri X?
3. Faktor apa yang menjadi hambatan program R-SMA-BI di SMA Negeri X?
4. Bagaimankah Strategi SMA Negeri X dalam mempercepat pencapaian SBI?

C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan fokus Penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan perubahan yang dilakukan oleh SMA Negri X untuk menuju sekolah yang bertaraf internasional
2. Mendeskripsikan tingkat ketercapaian RSMABI di SMA Negeri X
3. Mendeskripsikan berbagai hambatan Implementasi standar SBI di SMA Negeri X
4. Mendeskripsikan strategi SMA Negeri X dalam mempercepat pencapaian SBI

D. Manfaat Penelitian
Sebagai suatu kegiatan, maka sudah barang tentu penulisan ini mempuyai kegunan. Adapun kegunaannya sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu tambahan hazanah ilmu pengetahuan khususnya yang menyangkut tentang penyelenggaraan manajemen rintisan sekolah bertaraf internasional
2. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian mengenai pentingnya manajemen penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasiona (RSBI) dalam meningkatkan mutu pendidikan.
b. Kegunaan Praktis
1. Penelitian ini akan dapat memberikan konstribusi bagi lembaga yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal.
2. Menjadi sumber informasi bagi peneliti lain dari sernua pihak yang berkepentingan.
3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi pengelola pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
c. Kegunaan bagi Peneliti.
1. Menmabah ilmu dan pengalaman penulis dalam mengembangkan R-SMA-BI
2. Menumbuhkan motivasi dalam keikutsertaan peneliti dalam mengembangkan R-SMA-BI di SMA Negeri X.
3. Untuk menyelesaikan studi MPI.

E. Sitimatika Pembahasan
Dalam penulisan tesis ini penulis menyusun sistematika pembahsan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang, konteks penelitian, fokus masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, originalitas penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan.
Bab II. Kajian Pustaka, yang berisi kajian teori yang berkaitan dengan, Konsep tenatang penyelenggaraan R SMA BI. Evaluasi Rintisan Sekolah Bertarap Internasional (R-SMA-BI),teori tentang evaluasi dan teori dan kebijakan Standar Nasional Pendidikan.
Bab III. Metode penelitian yang berisi tantang, pendekatan dan jenis penelitian, Data dan sumber data, metode, Strategi pengurupulan data, analisis data dan pengecekan keabsahan temuan.
Bab. IV. Papaparan data dan hasil temuan, yang meliputi, Perubahan yang telah dilakukan sekolah dalam upaya menuju R-SMA-BI, Tingkat Ketercapaian R-SMA-BI di SMA Negeri X, Hambatan yang dihadapai dalam penyelenggaraan R-SMA-BI dan perumusan strategis dalam mempercepat ketercapaian Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Bab V. Pembahsan hasil Penelitian, yang meliputi, Pembahasan perubahan yang telah dilakukan sekolah dalam upaya menuju R-SMA-BI, Analisis tingkat Ketercapaian R-SMA-BI di SMA Negeri X, Pembahasan hambatan yang dihadapai dalam penyelenggaraan R-SMA-BI dan Perumusan strategis dalam mempercepat ketercapaian Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Bab VI. Kesimpulan dan Saran-Saran.yang meliputi perubahan yang penting dilakukan, tingkat ketercapaian standar R-SMA-BI, Faktor yang menjadi penghambat dan strategi sekolah dalam mempercepat pencapaian SBI. Adapun saran-saran ditujukan kepada manajemen sekolah, komite sekolah dan pemerintah kabupaten Y.

TESIS ANALISIS PENGUKURAN RISIKO OPERASIONAL BANK X DENGAN METODE LOSS DISTRIBUTION APPROACH

Posted: 15 Oct 2011 10:58 PM PDT


(KODE : PASCSARJ-0118) : TESIS ANALISIS PENGUKURAN RISIKO OPERASIONAL BANK X DENGAN METODE LOSS DISTRIBUTION APPROACH (PRODI : MAGISTER MANAJEMEN)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Situasi lingkungan internal dan eksternal perbankan saat ini yang belum kondusif terutama dengan munculnya krisis ekonomi dunia yang dimulai sejak bulan Oktober tahun 2008 mengakibatkan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan sehingga meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola Bank yang sehat (Good Corporate Governance) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi pengawasan aktif pengurus bank, kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi, dan pengendalian risiko, serta sistem pengendalian internal.
Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Untuk dapat menerapkan proses manajemen risiko, maka pada tahap awal bank harus secara tepat mengidentifikasi risiko dengan cara mengenal dan memahami seluruh risiko yang sudah ada (inherent risks) maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis baru bank, termasuk risiko yang bersumber dari perusahaan terkait dan afiliasi lainnya.
Secara umum terdapat 8 (delapan) jenis risiko yang dihadapi oleh perbankan yaitu : Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Strategik dan Risiko Kepatuhan (PBI No.5/8/2003 tanggal 19 Mei 2003). Berbeda dengan risiko pasar dan risiko kredit, risiko operasional merupakan tipe risiko yang paling 'tua' tetapi paling sedikit dipahami dibandingkan dengan dua risiko di atas. Risiko operasional juga mempunyai karakteristik yang unik karena tidak terkait dengan ekspektasi tingkat pengembalian (return) namun terjadi secara alamiah yang muncul sebagai akibat dari aktivitas bisnisnya. Pengelolaan risiko operasional ini sejak lama telah dilakukan antara lain dengan cara dengan memperbaiki sistem, prosedur atau proses, memberikan training kepada karyawan dan lainnya.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan risiko operasional perbankan dapat mengakibatkan kerugian bahkan kebangkrutan suatu bank seperti yang terjadi pada kasus Baring Bank. Beberapa kasus juga terjadi di industri perbankan di dalam negeri, baik bank BUMN maupun bank swasta yang menyebabkan kerugian tidak hanya pada bank tersebut dan nasabahnya namun bisa juga menyebabkan kerugian ekonomi secara menyeluruh (systemic risk).
Basel II (lembaga yang mengatur perbankan internasional) mendefinisikan risiko operasional sebagai risiko yang timbul karena kegagalan dari proses internal, manusia, sistem, atau dari kejadian eksternal. Dalam Basel ini juga diatur mengenai model perhitungan standar dan internal. Pendekatan standar umumnya mendapatkan hasil perhitungan modal (capital charge) yang relatif lebih besar dibanding pendekatan internal. Untuk itu setiap bank didorong oleh otoritas atau pengawas perbankan untuk mencari pendekatan internal. Salah satu pendekatan internal yang dipakai dalam karya akhir ini adalah melalui pendekatan Advanced Measurement Approach (AMA) yang membutuhkan data historis (Loss Event Database) mengenai kejadian kerugian operasional. Dengan database tersebut, maka bank dapat membuat suatu model kuantifikasi risiko operasional sehingga proyeksi capital charge dapat menggambarkan estimasi kerugian yang sesungguhnya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap manajemen risiko operasional Bank X ditemukan bahwa bahwa proses kuantifikasi risiko operasional Bank X belum benar dari sisi kualitas (memilih pendekatan model terbaik) maupun dari sisi kuantitas (mendapat hasil perhitungan capital charge terbaik). Model kuantifikasi yang kurang tepat dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah (mis-leading) dan dapat mengakibatkan hasil penggambaran economic value yang kurang akurat yang pada akhirnya berdampak terhadap modal bank.
Karya akhir ini akan diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut ini :
1. Bagaimana cara menentukan model estimasi probabilitas frequency of loss yang tepat dalam perhitungan risiko operasional di Bank X
2. Bagaimana cara menentukan model estimasi probabilitas severity of loss yang tepat dalam perhitungan risiko operasional di Bank X
3. Bagaimana cara menentukan model loss distribution yang tepat dalam perhitungan risiko operasional di Bank X
4. Bagaimana cara menghitung besarnya potensi kerugian operasional dengan pendekatan Value at Risk (OpVaR) untuk mendapatkan capital charge yang terbaik

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Bank X dapat menentukan model estimasi probabilitas frequency of loss yang tepat dalam perhitungan risiko operasional.
2. Bank X dapat menentukan model estimasi probabilitas severity of loss yang tepat dalam perhitungan risiko operasional.
3. Bank X dapat menentukan pendekatan loss distribution yang tepat dalam manajemen risiko operasional dengan metode aggregasi (aggregation method).
4. Bank X dapat menghitung besarnya potensi kerugian operasional dengan pendekatan Value at Risk (OpVaR) untuk mendapatkan capital charge yang terbaik.

1.4 Batasan Penelitian
Penulis membatasi penelitian dengan berusaha mencapai kualitas penelitian yang dapat menjawab tujuan penelitian di atas. Adapun pembatasan penelitian dilakukan pada beberapa ruang lingkup antara lain :
1. Loss Event Database yang digunakan merupakan actual loss yang diperoleh berdasarkan hasil temuan Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR) di beberapa cabang.
2. Loss Event Database dalam penelitian ini dibatasi hanya pada 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya risiko operasional yaitu : people, system dan process. Sedangkan faktor eksternal dan faktor lainnya tidak dimasukkan karena keterbatasan data.
3. Lingkup perusahaan yang digunakan dalam penelitian adalah Bank X yang terlibat dalam industri perbankan
4. Penggunaan Aggregation Method untuk menghasikan Loss Distribution untuk mendapatkan nilai Operational Value at Risk (OpVaR) yang terbaik.

1.5 Kerangka Pemikiran
Masalah dalam karya akhir ini yaitu perhitungan risiko operasional Bank X yang belum benar dari sisi kualitas (memilih pendekatan model terbaik) maupun dari sisi kuantitas (mendapat hasil perhitungan capital charge terbaik). Masalah ini akan diselesaikan dengan mendapatkan hasil pengukuran risiko operasional dengan loss distribution approach-Aggregation Model. Pendekatan di atas merupakan bagian Advanced Measurement Approach (AMA) atau model internal yang bisa dikembangkan oleh perusahaan.
Model pengukuran risiko operasional yang diberikan oleh Bassel Committee menunjukkan perbandingan antara besarnya alokasi modal yang dihitung tiap-tiap metode dan tingkat kompleksitas perhitungannya. Ternyata pendekatan AMA yang meliputi : Internal Measurement Approach, Loss Distribution Approach, Scoreboard menghasilkan alokasi modal terendah dengan tingkat kompleksitas tertinggi dibandingkan dengan Basic Indicator Approach (BIA) dan Standardized Approach (SA). Dengan perbandingan ini dapat diestimasi bahwa hasil perhitungan dengan loss distribution approach-Aggregation Model akan memberikan hasil perhitungan capital charge yang lebih baik.
Pendekatan AMA ini lebih menekankan pada analisis kerugian operasional. Karena itu, bagi perusahaan yang ingin menerapkan harus mempunyai database kerugian operasional sekurang-kurangnya dua tahun sampai dengan lima tahun dengan menggunakan teknologi tinggi untuk membuat model. Kemudian data-data tersebut diolah dengan membuat model estimasi frequency of loss dan severity of loss. Hasil estimasi keduanya dilakukan uji Goodness of Fit dan akhirnya dilakukan backtesting dengan loglikelihood ratio. Semua hasil perhitungan dan pengujian yang cukup kompleks akan dapat menghasilkan besarnya nilai potensi kerugian operasional dengan pendekatan Value at Risk (OpVaR) untuk mendapatkan capital charge yang terbaik.

1.6 Manfaat Penelitian
Karya akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Menyediakan berbagai alternatif solusi melalui beberapa metode yang ditawarkan, sehingga diperoleh pendekatan internal terbaik.
2. Dengan memperoleh cara dan nilai perhitungan Operational Value at Risk (OpVaR) sebagai batasan maksimal jumlah kerugian yang dapat ditolerir, maka manajemen bank dapat mengambil langkah-langkah selanjutnya dalam memitigasi risiko.
3. Bank X juga dapat memperoleh nilai modal (capital charge) yang lebih realistis dibanding hasil perhitungan dengan pendekatan standar.

1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya akhir dibagi dalam 5 (lima) bab dengan masing-masing pembahasan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, kerangka pemikiran, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Literatur
Bab ini menerangkan antara lain mengenai Risiko Operasional, Konsep Manajemen Risiko Operasional, Pengukuran Risiko Operasional, Distribusi Probabilitas, Loss Distribution Approach Aggregation Method dengan perhitungan Operational Value at Risk (OpVaR)-nya. Pada bagian akhir juga dibahas mengenai backtesting dengan Looklikehood Ratio untuk memvalidasi model yang diperoleh.
Bab III Data dan Metodologi Penelitian
Bab ini menerangkan mengenai berbagai data yang diperlukan dan cara memperolehnya sebagai dasar analisa dan serangkaian proses pengolahan data sesuai dengan metode yang telah diuraikan dalam landasan teori. Bab ini juga menjelaskan tentang gambaran umum dari perusahaan dimana penelitian dilakukan.
Bab IV Analisis dan Pembahasan
Bab ini menjelaskan tentang cara pengukuran risiko operasional dengan menggunakan Aggregation Method setelah dilakukan uji Goodness of Fit atas data yang telah dikumpulkan. Pada bagian akhir juga digambarkan impact financial terhadap perusahaan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini membahas kesimpulan berdasarkan hasil-hasil perhitungan dengan berbagai metodenya serta memberikan saran-saran untuk mengembangkan penelitian.

TESIS ANALISIS PENGARUH EFEKTIVITAS SISTEM INFORMASI, PERILAKU KARYAWAN DAN KUALITAS ALAT TAKSIR TERHADAP RISIKO OPERASIONAL DI PERUM PEGADAIAN KANTOR WILAYAH X

Posted: 15 Oct 2011 10:57 PM PDT


(KODE : PASCSARJ-0117) : TESIS ANALISIS PENGARUH EFEKTIVITAS SISTEM INFORMASI, PERILAKU KARYAWAN DAN KUALITAS ALAT TAKSIR TERHADAP RISIKO OPERASIONAL DI PERUM PEGADAIAN KANTOR WILAYAH X (PRODI : MAGISTER MANAJEMEN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Setiap insititusi komersil atau perusahaan selalu menghendaki rasa aman dari kekurangan atau terhindar dari segala macam bentuk risiko operasional dan berusaha melindungi diri dari kejadian-kejadian yang dapat mengancam kinerjanya. Kinerja operasional dapat terancam atau mengalami kerugian akibat berbagai kejadian. Risiko adalah sama dengan ketidakpastian akan terjadinya suatu kejadian yang dapat menimbulkan masalah dan peluang baik bagi organisasi perusahaan, pemerintah maupun perorangan dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak perusahaan yang menganalisis risiko operasionalnya dan dikelola secara sadar, akan tetapi tidak sedikit pula perusahaan yang kadang-kadang mengabaikannya dan tidak menyadari akibatnya. Pegadaian sebagai salah satu BUMN berstatus Perusahaan Umum (Perum)-sesuai kutipan dari Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2000-menjalankan misinya melalui pelayanan penyaluran kredit dengan jaminan gadai dan fidusia kepada masyarakat terutama golongan kecil dan menengah, baik untuk UMKM yang berstatus formal maupun informal. Perum Pegadaian sebagai lembaga yang bergerak di bidang jasa keuangan selama lebih kurang 108 tahun telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah risiko operasional yang membayangi perusahaan yang dapat merugikan perusahaan secara materi maupun non materi.
Dari hasil analisa laporan keuangan yang bersumber dari laporan keuangan tahunan (annual report) sepanjang tiga tahun berturut-turut mulai dari tahun 2006, 2007 dan 2008, ditemukan bahwa perusahaan mengalami rasio pertumbuhan laba usaha (operating income) yang menurun secara berturut-turut dimulai pada tahun 2006 sebesar 54,67% dan menurun menjadi 36,05% pada tahun 2007 hingga 34,50% pada tahun 2008. Salah satu dari sekian banyak indikasi yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah meningkatnya risiko operasional perusahaan, selain dari risiko kredit, risiko pasar dan risiko reputasi.
Risiko operasional Perum Pegadaian dapat berasal dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor pemicu dari lingkungan eksternal antara lain dapat disebabkan oleh dampak menurunnya daya beli masyarakat akibat puncak resesi ekonomi global yang terjadi di Indonesia di penghujung tahun 2008 sebagai imbas krisis di Amerika Serikat maupun semakin menjamurnya bisnis gadai yang saat ini telah marak dilakukan oleh para pesaing yang juga mulai menawarkan jasa sejenis. Sedangkan untuk faktor pemicu internal bisa diakibatkan dari hal sistem teknologi informasi yang dipakai perusahaan selama ini yang masih kurang efektif dan berpotensi meningkatkan risiko operasional perusahaan. Keberadaan perangkat lunak yang masih konvensional dengan konsep basis data yang terdistribusi, mampu menciptakan peluang-peluang kerawanan terhadap aksi kecurangan yang dilakukan oleh karyawan. Hal yang lain, seperti lambatnya penanganan permasalahan pada perangkat keras oleh divisi yang berwenang (Divisi Teknologi Informasi) juga dapat menghambat operasional. Begitu pula dengan keterbatasan jalur internet yang tidak layak sebagai alat komunikasi dan pengiriman data pada setiap kantor pelayanan (outlet), juga bisa menciptakan risiko-risiko operasional tertentu. Secara garis besar, implementasi sistem informasi pada Perum Pegadaian sebagai alat operasional masih kurang efektif dan berpotensi terhadap peningkatan risiko operasional.
Faktor pemicu risiko operasional dari faktor internal yang lain, bisa diindikasikan dari pola perilaku karyawan Perum Pegadaian yang berjumlah 7.806 orang (data divisi SDM Perum Pegadaian Kantor Pusat per 3 Januari 2010). Bermacam-macamnya sifat dan sikap karyawan yang ada dapat melatarbelakangi tindakan kecurangan dan indisipliner yang dapat menimbulkan potensi kerugian serta menambah level risiko operasional perusahaan.
Sedangkan faktor pemicu risiko operasional Perum Pegadaian berikutnya dapat dinilai dari minimnya kua alat taksir sebagai ralatan kerja utama. Padahal alat taksir inilah fungsi utama dari keberadaan setiap unit pelayanan Perum Pegadaian. Peralatan taksir yang tidak memadai dapat menimbulkan risiko yang seharusnya dihindari seperti kemasukan barang emas palsu, uang palsu atau lainnya. Sebagaimana telah termaktub dalam program kerja pertumbuhan outlet Perum Pegadaian, pencapaian jumlah outlet yang dibuka beberapa tahun terakhir tidak diimbangi oleh ketersediaan alat taksir yang tidak memadai dalam hal jumlah maupun kualitasnya.
Faktor-faktor penyebab tersebut perlu mendapat perhatian khusus dari perusahaan, karena faktor efektivitas sistem informasi, perilaku karyawan dan kualitas alat taksir dapat mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap risiko operasional di Perum Pegadaian, yang akhirnya akan menentukan baik atau buruknya kinerja operasional.
Batasan-batasan risiko operasional untuk dihindari yang telah termaktub dalam Pedoman Operasional Kantor Cabang (POKC) juga seakan-akan diabaikan oleh sebagian besar karyawan karena banyak yang tidak memahaminya sebagai landasan dalam bekerja. Padahal pemahaman terhadap hal ini akan dapat menurunkan frekuensi terjadinya hal-hal yang buruk (likelihood) dan kerugian (impact) yang ada pada operasional Perum Pegadaian khususnya di Kantor Cabang.
Dari uraian di atas, Perum Pegadaian dituntut agar lebih meningkatkan risk awareness, perbaikan proses internal secara berkelanjutan dan lebih memahami eksposur risiko operasional pa setiap unit kerja. esionalisme Perum Pegadaian dalam segala aspek diusahakan untuk mendukung kebijaksanaan perusahaan terutama dalam peningkatan kualitas manajemen risiko agar risiko operasional dapat diminimalisir sehingga mengurangi dampak dari akibat negatifnya.
Mengingat semakin pentingnya risk awareness risiko operasional bagi tujuan organisasi dan sesuai dengan permasalahan serta obyek penelitian, maka penulis mencoba mengemukakan dalam penelitian ini dengan judul "Analisis Pengaruh Efektivitas Sistem Informasi, Perilaku Karyawan dan Kualitas Alat Taksir Terhadap Risiko Operasional di Perum Pegadaian Kantor Wilayah X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan kondisi latar belakang tersebut maka strategi peningkatan risk awareness terhadap risiko operasional menjadi sesuatu hal yang menjadi prioritas utama pada Perum Pegadaian. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, identifikasi masalah yang dapat dipaparkan adalah sebagai berikut :
1. Dampak menurunnya daya beli masyarakat akibat puncak resesi ekonomi global yang terjadi di Indonesia di penghujung tahun 2008 dapat menyebabkan rasio pertumbuhan laba usaha perusahaan turun.
2. Semakin menjamurnya bisnis gadai yang saat ini telah marak dilakukan oleh para pesaing menjadi rintangan baru bagi perusahaan untuk meningkatkan laba usaha perusahaan.
3. Eksistensi perangkat lunak (software) yang tidak terintegrasi (tidak online) dan tersebar secara terdistribusi pada setiap kantor pelayanan dapat meningkatkan risiko operasional.
4. Teknologi basis data yang dipakai pada perangkat lunak masih rentan terhadap keamanan data dan dapat menimbulkan risiko operasional seperti kecurangan yang dilakukan oleh karyawan.
5. Perangkat keras yang mengalami kerusakan dan tidak cepat ditanggapi oleh karyawan bagian TI (Teknologi Informasi) dapat menghambat operasional dan menambah potensi risiko kerugian perusahaan.
6. Keterbatasan jaringan internet (network) dan buruknya jalur data pada setiap kantor pelayanan unit Perum Pegadaian dapat meningkatkan risiko operasional.
7. Perilaku karyawan yang tidak disiplin terhadap aturan perusahaan berpotensi merugikan perusahaan dan menaikkan level risiko operasional.
8. Kualitas SDM yang tidak maksimal disertai dengan minimnya pengetahuan dibalik risiko operasional yang ada dapat memperbesar akibat (impact) dari risiko yang dapat dimungkinkan untuk timbul.
9. Minimnya alat taksir sebagai peralatan kerja utama yang dibutuhkan untuk mendukung operasional pelayanan Perum Pegadaian dapat meningkatkan derajat risiko operasional.
10. Proses bisnis yang tidak sesuai dengan Pedoman Operasional Kantor Cabang dapat berakibat pada naiknya risiko operasional.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Kantor Perum Pegadaian Kantor Wilayah X dengan pertimbangan biaya dan waktu serta lokasi yang cukup strategis. Agar lebih terarah, maka pembatasan masalah penelitian ini hanya mencakup pada faktor internal penyebab risiko operasional yaitu Efektivitas Sistem Informasi, Perilaku Karyawan dan Kualitas Alat Taksir sebagai masalah utama penelitian.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian la belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh Efektivitas Sistem Informasi terhadap Risiko Operasional Perum Pegadaian Kantor Wilayah X?
2. Apakah terdapat pengaruh Perilaku Karyawan terhadap Risiko Operasional Perum Pegadaian Kantor Wilayah X?
3. Apakah terdapat pengaruh Kualitas Alat Taksir terhadap Risiko Operasional Perum Pegadaian Kantor Wilayah X?
4. Apakah terdapat pengaruh Efektivitas Sistem Informasi, Perilaku Karyawan dan Kualitas Alat Taksir secara simultan terhadap Risiko Operasional Perum Pegadaian Kantor Wilayah X?
5. Diantara ketiga variabel tersebut diatas, manakah yang memiliki pengaruh paling dominan terhadap risiko operasional Perum Pegadaian Kantor Wilayah X?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis risiko operasional Perum Pegadaian Kantor Wilayah X baik dalam pengaruh individual maupun secara bersama-sama (Efektivitas Sistem Informasi, Perilaku Karyawan dan Kualitas Alat Taksir terhadap Risiko Operasional).
2. Untuk mengetahui salah satu dari ketiga variabel manakah yang paling dominan terhadap risiko operasional Perum Pegadaian Kantor Wilayah X.
Sedangkan kegunaan penelitian ini, antara lain :
1. Diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang manajemen risiko, di samping untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam hal pengelolaan risiko yang ditawarkan kepada perusahaan.
2. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi Perum Pegadaian Kantor Wilayah X terutama dalam hal pengelolaan risiko dalam hubungannya dengan kegiatan operasional.
3. Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya hasil penelitian dan bahan referensi bagi Program Pasca Sarjana Universitas X, khususnya konsentrasi Sistem Informasi Manajemen.
4. Sebagai bahan informasi bagi para pembaca, pemerhati bidang Sistem Informasi Manajemen dan Manajemen Risiko serta sekaligus sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

TESIS PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN BLUD X

Posted: 15 Oct 2011 10:56 PM PDT


(KODE : PASCSARJ-0116) : TESIS PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN BLUD X (PRODI : MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK)




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan suatu komitmen internasional dalam meningkatkan pembangunan di berbagai negara. Komitmen ini menjadi suatu acuan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyusun rencana pembangunan. Terdapat delapan tujuan dari ditetapkannya MDGs (BPK, 2009). Pembangunan dibidang kesehatan termasuk di antara kedelapan tujuan yang ingin dicapai tersebut. Kedelapan tujuan MDGs tersebut, yaitu :
(i) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem;
(ii) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
(iii) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
(iv) Menurunkan angka kematian anak;
(v) Meningkatkan kesehatan ibu;
(vi) Memberantas HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya;
(vii) Memastikan kelestarian lingkungan;
(viii) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Seperti terlihat di atas, tujuan ke (iv) sampai dengan (vi) merupakan tujuan yang langsung berkaitan dengan bidang kesehatan. Menurunkan angka kematian anak harus dicapai melalui peningkatan kesehatan anak. Semakin sehat seorang anak, semakin kecil peluang untuk meninggal dini. Peningkatan kesehatan ibu, di samping berkaitan dengan semakin kecil peluang para ibu meninggal ketika melahirkan, juga semakin besar peluang untuk melahirkan anak-anak yang sehat, yang akan berusia panjang. Memberantas HIV, AIDS, malaria dsb (penyakit-penyakit menular) berkaitan dengan upaya untuk mencegah kematian secara masal.
Penyediaan pelayanan kesehatan, baik oleh pihak swasta maupun pemerintah, merupakan salah satu bagian dari pembangunan dibidang kesehatan. Karena pelayanan kesehatan ini di Indonesia kini masih jauh dari kebutuhan untuk mencapai tujuan MDGs tadi maka penyediaannya mesti didorong (Saraswati, 2009).
Data BPS tahun 2009, hingga bulan Maret, mencatat bahwa sebanyak 32,5 juta penduduk Indonesia adalah miskin. Semua penduduk miskin ini tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan secara memadai. Kemiskinan (rendahnya pendapatan) menyebabkan mereka tidak mampu membiayai seluruh ongkos yang diperlukan untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang diperlukan. Para penduduk miskin ini, apabila mereka sakit, seringkali lebih memilih pengobatan alternatif yang murah (dukun) daripada ke tempat-tempat pelayanan kesehatan yang formal; atau berusaha mengobati sendiri dengan membeli obat-obat tradisional ataupun illegal, yang tidak diuji oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (www.bps.go.id). Menurut data BPS tahun 2008, sebanyak 65,59% penduduk melakukan pengobatan sendiri dan sebanyak 22,26% menggunakan obat tradisonal.
Kondisi seperti yang dikemukakan ini membuat pemerintah Indonesia memandang perlu untuk memberi subsidi kesehatan bagi mereka yang miskin. Pada tahun 2009 subsidi itu dianggarkan sekitar Rp 4,5 trilliun. Tahun 2010 direncanakan subsidi ini akan berjumlah sekitar Rp 4,6 trilliun. Alokasi tersebut untuk pembiayaan Jamkesmas bagi 76,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin yang masuk kuota pemerintah pusat (Antara, 2010). Sedangkan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin yang tidak masuk kedalam kuota Jamkesmas pemerintah pusat ditanggung pemerintah daerah melalui program-program Jamkesda.
Komitmen pemerintah untuk memberi subsidi pelayanan kesehatan bagi mereka (masyarakat) yang miskin --yang seringkali disingkat dengan sebutan "maskin" diwujudkan melalui berbagai program. Puskesmas dan rumah sakit secara langsung ditunjuk oleh pemerintah sebagai agen utama bagi pemberi pelayanan kesehatan kepada maskin itu.
Program pemberian subsidi pelayanan kesehatan untuk maskin tersebut bermula pada tahun 1998-2001, yaitu melalui Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Program ini kemudian dilanjutkan dengan program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) pada tahun 2001-2002. Selanjutnya pada tahun 2002-2004 program PDPSE-BK ini diubah menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM-BK). Pada periode ini dilaksanakan pula uji coba Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) di tiga provinsi dan 13 kabupaten. Pada akhir tahun 2004, dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (SK Menkes RI) No. 1241/Menkes/SK/XI/2004 Tanggal 12 November 2004, diberlakukan program baru yaitu Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT. Askes (persero) merupakan lembaga keuangan yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana penyalur dana program PJKMM. PT. Askes (persero) mengelola sepenuhnya dana penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi maskin, baik untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS.
Sebagaimana dikemukakan oleh BPK (2009), sejumlah permasalahan telah muncul dalam pengelolaan PJKMM ini. Permasalahan tersebut antara lain : terjadinya perbedaan data jumlah maskin yang dicatat oleh BPS dengan data maskin yang sebenarnya di tiap daerah, minimnya SDM PT. Askes (persero), minimnya biaya operasional dan manajemen di Puskesmas, dll. Adanya permasalahan-permasalahan ini membuat pemerintah kemudian merubah lagi mekanisme penyelenggaraan program pemberian subsidi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (BPK, 2009).
Penyelenggaraan PJKMM, sebagaimana yang dikemukakan di atas, dikelola dengan mekanisme asuransi. Dengan kata lain pembayaran klaim dan verifikasi dilakukan oleh PT. Askes. Sehingga program ini kemudian dikenal dengan nama program Askeskin. Program ini berjalan hingga hingga tahun 2007. Pada tahun 2008, setelah pemerintah mengetahui adanya permasalahan-permasalahan di atas, PT Askes (persero) tidak lagi secara penuh mengelola dana penyelenggaraan program ini. Menurut keterangan pemerintah, hal ini untuk mengatasi keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang ada pada PT.Askes (persero), terutama untuk memonitor pelaksanaan program (BPK, 2009). Terjadi pemisahan fungsi antara fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran. Pemisahan fungsi ini diimplementasikan dengan menempatkan tenaga verifikator disetiap RS. Program ini selanjutnya disebut dengan Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sumber dana Jamkesmas berasal dari APBN dan APBD.
Pada tahun 2009, provinsi Bali menerima luncuran dana Jamkesmas sebesar Rp 75,4 miliar. Dana tersebut dialokasikan kepada RS yang ada di kabupaten maupun kota di provinsi Bali (8 kabupaten dan 1 kota). Sampai dengan bulan November 2009, artinya setelah 9 bulan bulan provinsi ini menerima luncuran dana, sebesar Rp 62,9 miliar belum juga dilaporkan dan dipertanggungjawabkan (Rekapitulasi Laporan Klaim Jamkesmas, November 2009). Menurut Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2009 penggunaan dana harus dilaporkan oleh tim pengelola Jamkesmas Povinsi kepada Departemen Kesehatan adalah setiap tanggal 20 bulan berjalan. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan dana yang diterimanya maka sebesar 83,4% dana tersebut belum dilaporkan dan dipertanggungjawabkan. Angka ini relatif lebih besar di bandingkan dengan daerah lain seperti : Jatim (58,7%), Jateng (61,6%), Jabar (49,1%).
Menurut hasil evaluasi kinerja yang dilakukan secara tahunan oleh rumah sakit tahun 2009, ditemukan empat kelemahan terkait organisasi dan SDM di BLUD X ini (RBA BLUD X, 2010). Keempat kelemahan yang diungkapkan dalam RBA tersebut adalah : (i) jumlah tenaga kurang memadai khususnya perawat, (ii) tingkat ketrampilan staf masih kurang, (iii) disiplin pegawai masih kurang dan (iv) komitmen staf belum optimal. Kelemahan tersebut telah mempengaruhi kinerja BLUD X (termasuk mutu pelayanan). Berdasarkan Rencana Bisnis dan Anggaran BLUD X 2010, peningkatan mutu pelayanan akan menjadi target yang utama. Untuk menempuh target itu maka : peningkatan kompetensi SDM -melalui pendidikan dan latihan—akan dilakukan; selain itu juga sistem pelayanan dengan ukuran standar pelayanan minimum akan diterapkan; dan sarana serta prasarana medis dan non medis akan ditingkatkan ketersediaannya maupun pemeliharaannya.
Informasi tentang kurang memadainya pelayanan kesehatan BLUD X sering diberitakan di media masa, terutama media lokal. Pelayanan yang kurang memadai ini bukan hanya dirasakan oleh pasien peserta (penerima) program Jamkesmas saja, tetapi juga pada pasien non-Jamkesmas. Ketua Fraksi Demokrat DPRD X, dalam harian Radar tanggal 28 November 2009, menyatakan bahwa sarana, fasilitas dan SDM BLUD X memang masih kurang. Kemudian juga salah satu anggota Komisi D DPRD X, sebagaimana dimuat Antara tanggal 12 Januari 2010, menyatakan bahwa BLUD X belum mampu memberikan pelayanan maksimal. Akibatnya, munculah keluhan-keluhan warga (pasien).
Hasil polling yang dilakukan secara online oleh BLUD X pun menunjukkan bahwa sebesar 54% responden menganggap pelayanan BLUD X masih belum sesuai dengan keinginan (www.Xkota.go.id). Sementara studi Razak (2007), meskipun dua tahun telah lewat, menyimpulkan bahwa waktu tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan terlalu lama.
Berdasarkan prioritas BLUD X dan informasi dari berbagai sumber diatas, maka penting untuk diketahui aspek-aspek apa saja yang harus diatasi untuk meningkatkan mutu pelayanan RSUD X. Menurut konsep SERVQUAL yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry terdapat lima determinan (dimensi) kualitas pelayanan terkait dengan persepsi pelanggan. Kelima dimensi tersebut adalah (Rosjid, 1997) :
(i) Tangible, atau bukti langsung yang bisa dilihat dan dirasakan oleh pelanggan, sperti keadaan gedung dan fasilitas.
(ii) Reliability, kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara handal dan akurat.
(iii) Responsiveness, kemauan dan daya tanggap untuk selalu siap membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat.
(iv) Assurance, jaminan pengetahuan dan kemampuan petugas, keamanan, kesopanan dan dapat dipercaya.
(v) Emphaty, perhatian secara pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan.
Kelima dimensi tersebut merupakan variabel mutu pelayanan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan (pasien). Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan ekspektasi dan persepsi pasien atas kelima dimensi tersebut. Dengan demikian dapat diketahui dimensi-dimensi mana saja yang menimbulkan kepuasan maupun ketidakpuasan pasien dalam pelayanan. Informasi yang didapat juga digunakan untuk menentukan dimensi mana yang perlu dikoreksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang hendak dikaji adalah :
1. Bagaimanakah kualitas pelayanan kesehatan BLUD X menurut pasien Jamkesmas?
2. Aspek-aspek apa saja yang menyebabkan pasien merasa kualitas pelayanan BLUD X tidak memuaskan?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui persepsi pasien terhadap masing-masing determinan kualitas pelayanan (kelima dimensi SERVQUAL).
2. Mengetahui dimensi apa yang perlu segera diperbaiki oleh RSUD X untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dimensi-dimensi mana saja yang masih kurang dalam pemberian pelayanan kesehatan oleh RSUD X.
2. Menentukan langkah perbaikan yang diperlukan berdasarkan informasi gap yang diperoleh.

1.5 Sistematika Penulisan
Tesis ini akan tersusun dalam lima bab. Hal-hal yang akan diuraikan dalam masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, lingkup penelitian dan sistematika penyajian.
Bab II : Penilaian Kualitas Jasa (Pelayanan) : Tinjauan Literatur
Bab kedua berisi teori-teori yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.
Bab III : Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Meningkatkan Akses Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin
Bab ketiga berisi tentang berbagai kebijakan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap maskin. Dalam bab ini juga akan dipaparkan perihal perkembangan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD X.
Bab IV : Persepsi Pasien Jamkesmas Terhadap Pelayanan BLUD X
Bab keempat akan menguraikan analisa dan evaluasi data. Analisa tersebut mencakup pemberian skor berdasarkan kuisioner. Analisa juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan (gap) antara persepsi dan ekspektasi pasien.
Bab V : Penutup
Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang diperlukan dalam upaya mengatasi gap yang terjadi. Dalam bab ini juga disebutkan mengenai keterbatasan studi.

TESIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENYUSUNAN RENCANA KERJA ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DENGAN PENDEKATAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI DEPARTEMEN KEUANGAN

Posted: 15 Oct 2011 10:54 PM PDT


(KODE : PASCSARJ-0115) : TESIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENYUSUNAN RENCANA KERJA ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DENGAN PENDEKATAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI DEPARTEMEN KEUANGAN (PRODI : ADMINISTRASI PUBLIK)




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pada masa periode Hindia Belanda ketentuan-ketentuan yang terkait dengan Pengelolaan Keuangan Negara tentang pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara mengacu kepada Indische Comptabiliteits Wet (ICW) dan Regelen voor he Administratief Beheer (RAB). ICW lebih kurang merupakan ketentuan yang mengatur tentang tata pembukuan yang harus dilakukan oleh para pejabat yang melakukan pengurusan keuangan baik di tingkat Departemen Keuangan maupun di Departemen teknis, dan secara khusus mengatur kewenangan di sisi kebendaharaan. Pencatatan atau pembukuan yang didasarkan pada ketentuan ICW diharapkan akan mampu menghindari penggelapan/penipuan yang berhubungan dengan keuangan (financial fraud) yang mungkin dilakukan oleh para pejabat pada saat itu. Mengacu kepada perkembangan konsepsi pengelolaan keuangan yang baik, pada tahun 1933 ditetapkanlah RAB yang mengatur sebagian kewenangan pengelolaan keuangan, khususnya dibidang pengelolaan administratif yang ada ditangan para administrator atau yang lebih dikenal dengan kewenangan otorisasi dan ordonansering.
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 membawa perubahan yang signifikan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu lahirnya lembaga politik, terutama lembaga Legislatif, sebagai kelengkapan sebuah negara dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Aspek pengelolaan keuangan negara mulai mendapat porsi sebagaimana diharapkan dalam setiap negara. Sejak saat itu, APBN merupakan kesepakatan antara dua pihak yaitu pihak Eksekutif dan Legislatif dalam sistem politik, yang pada hakekatnya merupakan rencana kerja pemerintah yang dimanifestasikan dalam bentuk angka/uang. Gagasan ini pun walau tidak secara rinci dinyatakan, dituangkan dalam UUD 45 Pasal 23 ayat (1).
Aspek pengelolaan keuangan negara sejak kemerdekaan mengalami suatu perubahan yang sangat mendasar, sedangkan aspek administratif yang terkait dengan pelaksanaan anggaran tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Konsep dasar pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara, khususnya pada pembagian kewenangan antara para pejabat pengelola anggaran dalam kelompok pengelolaan administratif terdiri dari kewenangan otorisasi dan kewenangan ordanansering, serta kewenangan pengelolaan kebendaharaan7 tetap dipertahankan. Berbagai ketentuan yang mengatur mengenai pengelolaan tersebut, seperti ICW, RAB dan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) yang mengatur tentang tugas dan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta ketentuan turunan lainnya dimungkinkan untuk digunakan melalui Aturan Peralihan UUD 45. Dalam konsep pembagian kewenangan yang dikembangkan, Departemen teknis hanya memiliki sebagian kewenangan pengelolaan administratif, yaitu kewenangan otorisasi, sedangkan Departemen Keuangan memegang kewenangan pengelolaan administratif lainnya yaitu kewenangan ordonansering, disamping juga memegang kewenangan pengelolaan kebendaharaan. Pembiasan terhadap konsep dasar yang tidak diikuti dengan perubahan ketentuan dasar selama ini telah menimbulkan ketidaksesuaian (mismatch) dalam implementasinya, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakkonsistenan berbagai ketentuan yang dikeluarkan kementerian keuangan dalam pengelolaan keuangan negara.
Konsekuensi dari Fenomena Global atau Global phenomenon sebagai akibat dari adanya tuntutan demokratisasi adalah mengedepankan pentingnya aspek transparansi dan akuntabilitas pada bidang pemerintahan dan politik, termasuk pula pada bidang pengelolaan keuangan negara. Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara yang dimotori oleh Komite Penyempurnaan Manajemen Keuangan (KPMK) Departemen Keuangan dimulai dengan meletakkan landasan hukum (legal basis) dalam bentuk Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, yang pada hakekatnya melakukan pembenahan pada dua aspek pengelolaan keuangan negara sekaligus, yaitu aspek politis dan aspek administratif. Paket perundang-undang bidang Keuangan Negara mencakup Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan, Peraturan Pemerintah Nomor 20 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Peraturan Pemerintah Nomor 21 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Pembenahan aspek pengelolaan keuangan negara, yang difokuskan pada pengaturan hubungan hukum antar lembaga Legislatif dan lembaga Eksekutif dalam penetapan UU APBN dituangkan dalam UU Nomor 17 tahun 2003 dan UU Nomor 15 tahun 2004 tersebut. Dalam UU Nomor 17 dimaksud antara lain memperjelas peran lembaga Legislatif maupun Eksekutif dalam penyusunan dan penetapan APBN menjadi UU, kejelasan peran tersebut merupakan suatu keharusan untuk dapat menjamin terselenggaranya transparansi di bidang penganggaran. Sementara itu pengaturan hubungan hukum antar instansi dalam lembaga Eksekutif dalam rangka pelaksanaan UU APBN yang merupakan aspek administratif pengelolaan keuangan negara dituangkan dalam UU Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.
Lahirnya berbagai Undang-undang dan peraturan tersebut telah menjadikan perubahan yang mendasar dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Perubahan pertama diawali dengan pola pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya menekankan pada Public Financial Administration (Pengadministrasian Keuangan Negara) menjadi Public Financial Management (Pengelolaan Keuangan Negara). Perubahan-perubahan yang terjadi pada pengelolaan keuangan negara adalah perubahan dalam hal perencanaan dan penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, termasuk akuntansi dan pelaporannya, serta sampai dengan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara oleh pemeriksa eksternal (BPK). Perubahan-perubahan tersebut didorong oleh beberapa faktor antara lain perubahan yang berlangsung begitu cepat di bidang politik, desentralisasi, dan berbagai tantangan pembangunan yang dihadapi pemerintah, yang membutuhkan dukungan sistem penganggaran yang lebih responsif, yang dapat memfasilitasi upaya memenuhi tuntutan peningkatan kinerja dalam artian dampak pembangunan, kualitas layanan efisiensi pemanfataan sumberdaya.
Secara umum Pemerintah Republik Indonesia melakukan reformasi dibidang penganggaran (Budget Reform) yang meliputi reformasi struktur penganggaran (Budget Structure Reform) dan reformasi proses penganggaran (Budget Process Reform). Reformasi struktur penganggaran dilakukan pemerintah dengan (a) merubah penggunaan penganggaran ganda (dual budgeting) dengan penganggaran terpadu (unified budgeting), (b) menyusun dan menetapkan anggaran yang ditegaskan dengan prinsip anggaran kinerja, serta (c) struktur anggaran sesuai dengan manual Statistik Keuangan Pemerintah atau Government Finance Statistics (GFS).
Perubahan dalam hal perencanaan dan penyusunan anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang dan peraturan terkait lainnya ditetapkan bahwa dalam rangka penyusunan rancangan APBN, dan khususnya yang terkait dengan penyusunan rancangan belanja kementerian negara/lembaga, seluruh Menteri atau Pimpinan lembaga dalam kabinet selaku pengguna anggaran atau pengguna barang menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tahun berikutnya. Rencana Kerja dan Anggaran yang disusun Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai dan disertai prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun, yang selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang selanjutnya disebut RKA-KL adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu Kementerian Negara/Lembaga yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis Kementerian Negara/lembaga yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.
RKA-KL terdiri dari rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga dan anggaran yang diperlukan, didalam rencana kerja tersebut diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, keluaran yang diharapkan, sedangkan dalam anggaran yang diperlukan dimaksud diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan Kementerian Negara /Lembaga yang bersangkutan. RKA-KL disusun dengan beberapa pendekatan yaitu Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, Penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja.
Pendekatan penganggaran terpadu diperlukan sebagai bagian dari reformasi keuangan, mengingat selama lebih dari 32 tahun Pemerintah telah menyelenggarakan anggaran yang terpisah antara pengeluaran Rutin dan Pengeluaran pembangunan atau dikenal dengan sistem "dual budget" untuk mendanai Belanja Pemerintah Pusat. Maksud dari pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas rutin pemerintahan dan kegiatan operasional pemerintah pusat, didalamnya meliputi (i) Belanja Pegawai, (ii) Belanja Barang, (iii) Pembayaran bunga atas utang dalam negeri dan utang luar negeri, (iv) Pembayaran subsidi dan (v) pengeluaran rutin lainnya.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang dibebankan pada anggaran belanja pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan sasaran pembangunan nasional, baik sasaran fisik maupun non fisik, didalamnya terdapat jenis belanja (i) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah yang berasal dari dana dalam negeri dan luar negeri dalam bentuk pinjaman program dan (ii) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pinjaman proyek, yang pendanaannya bersumber dari luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek. Pemisahan ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan akan pentingnya pembangunan yang berkaitan dengan slogan pembangunan yang dicanangkan Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
Dual Budget pada awalnya digunakan pemerintah untuk memisahkan kegiatan yang bersifat konsumtif dengan kegiatan produktif, pemisahan ini sebenarnya akan memudahkan pemerintah dalam menyusun rencana pendanaan kedepan. Pemerintah berharap, pengeluaran-pengeluaran yang bersifat pembangunan dapat diprediksikan output dan outcome yang diperoleh sehingga sebagian dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan operasional, namun dalam pelaksanaannya prinsip dual budget mengalami distorsi yang pada akhirnya memunculkan peluang penyalagunaan keuangan negara. Kelemahan-kelemahan sistem dual budget adalah pertama, pemanfataan anggaran untuk pengeluaran rutin dengan anggaran untuk mendanai pengeluaran pembangunan sering tercampur, sehingga terjadi tumpang tindih atau duplikasi pembiayaan. Kedua, efek dari duplikasi pendanaan menyebabkan sulitnya mengukur kinerja kegiatan, terutama bila dikaitkan antara cost dan benefit nya atau input dengan output, sehingga tolok ukur kesuksesan suatu kegiatan tidak dapat ditetapkan secara aktual dan pasti. Ketiga, sulitnya menilai tingkat kesuksesan suatu kegiatan berdampak psikologis bagi penyelenggara negara, dimana muncul mainframe anggaran harus dihabiskan yang menyebabkan perilaku peyelenggara anggaran yang cenderung menghabiskan
anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang kurang prioritas. Keempat, sistem dual budget menyebabkan dualisme dalam menentukan perkiraan Mata Anggaran Keluaran (MAK). Hal ini dimungkinkan karena untuk satu jenis belanja dapat memiliki MAK yang masuk kriteria Pengeluaran Rutin dan juga MAK yang dalam kategori Pengeluaran Pembangunan. Kelima, Proyek yang mendapat dana dari Pengeluaran Pembangunan bersifat sementara namun secara entitas akuntansi diperlakukan sama seperti satuan kerja (satker). Keenam, dampak perlakuan dari perlakuan sebagaimana diuraikan pada point kelima, menyulitkan pemerintah untuk mencari keterkaitan antara output/outcome yang dicapai oleh proyek tersebut dengan penganggaran organisasi sehingga memungkinkan timbulnya inefisiensi pembiayaan kegiatan pemerintah. Ketujuh, dualisme atau perbedaan yang ada antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan dapat mengalihkan fokus dari kinerja secara keseluruhan.
Dalam sistem anggaran terpadu, Pemerintah tidak lagi memisahkan pendanaan kegiatan kedalam pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Keunggulan-keunggulan melalui sistem anggaran terpadu tersebut adalah pertama, pengintegrasian jenis pengeluaran rutin dan pembangunan, maka distorsi pembiayaan yang muncul pada sistem "dual budget" dapat dihindarkan. Kedua, dalam jangka panjang, dengan asumsi man behind the system nya memiliki performance dan berintegritas tinggi karena mendorong terciptanya transparansi penganggaran. Ketiga, penganggaran terpadu memudahkan penyusunan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Keempat, tujuan dan indikator kinerja Kementerian Negara/Lembaga dapat diperjelas. Kelima, dapat menghindarkan Pemerintah dalam mengalokasikan anggaran yang terbatas pada kegiatan atau proyek yang kurang bermanfaat dan tingkat prioritasnya rendah. Keenam, dalam menyusun perkiraan MAK, kasus dualisme seperti dalam sistem dual budget dapat dihindarkan. Ketujuh, sistem anggaran terpadu dengan medium term expenditure framework akan menjaga kesinambungan kegiatan yang tahun jamak (multi years). Kedelapan, Pengawasan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban, pengintegrasian anggaran rutin dan anggaran pembangunan akan menjadi mudah dilaksanakan dan lebih intens.
Pendekatan penganggaran terpadu harus diwujudkan terlebih dahulu karena merupakan unsur yang paling mendasar bagi pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah. Dengan adanya pendekatan penganggaran terpadu tersebut diharapkan dapat mewujudkan diantaranya yaitu satuan kerja sebagai satu-satunya entitas akuntansi yang bertanggung jawab terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya, alokasi dana untuk kegiatan dasar/operasional organisasi mendukung kegiatan penunjang dan prioritas dalam rangka pelaksanaan fungsi, program dan kegiatan satuan kerja yang bersangkutan, adanya akun standar untuk jenis belanja dipastikan tidak ada duplikasi penggunaannya, sehingga satu jenis belanja hanya untuk satu jenis pengeluaran tertentu. Berikut disampaikan diagram perubahan format penganggaran dual budget menjadi unified budget dalam Dokumen Anggaran (Budget Documents) sebagai berikut :
Pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah perlu dilaksanakan pula dalam penganggaran, hal tersebut mengingat proses penganggaran selama ini dilaksanakan secara tahunan untuk menyusun kebutuhan anggaran bagi implementasi kebijakan selama satu tahun anggaran. Perspektif tahunan menyebabkan proses penganggaran hanya memberi fokus perhatian terhadap kebutuhan dana untuk implementasi kebijakan pada tahun yang bersangkutan, dan kurang atau hampir tidak memberi perhatian terhadap kebutuhan dana untuk mendukung kelanjutan rantai implementasi kebijakan tersebut di tahun-tahun berikutnya.
Perspektif tahunan mengandung beberapa kelemahan, pertama, penganggaran cenderung kurang disiplin dalam mengkaitkan alokasi anggaran dengan kebijakan. Biaya yang dibutuhkan pada tahun-tahun mendatang bagi kebijakan yang diputuskan sekarang sering tidak diketahui secara akurat, bahkan penetapan prioritas suatu kebijakan serta implikasi kegiatannya (assignment of priority to a certain policy and its implied activities) tidak secara eksplisit terkait dengan pemetaan dalam horison yang lebih panjang, yang sangat relevan bagi kebijakan dan kegiatan yang implementasinya membutuhkan lebih dari satu tahun anggaran (multi years activity). Perbedaan persepsi mengenai relevansi dan pentingnya suatu kebijakan yang disebabkan oleh perbedaan perspektif atau horison waktu berpotensi menyebabkan inefisiensi alokasi anggaran. Kedua, persepktif tahunan tidak bisa memberikan tingkat kepastian ketersediaan anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang pelaksanaannya membutuhkan lebih dari satu tahun anggaran. Ketidak pastian tersebut akan berpotensi menurunkan kinerja kebijakan dan kegiatan yang bersangkutan, dan berpotensi menimbulkan inefisiensi operasional (operational inefficiency). Ketiga, penganggaran tahunan secara teori memulai proses dari titik nol setiap awal siklus anggaran. Proses politik yang terjadi dalam penyusunan anggaran tahunan seperti ini bila dikombinasikan dengan ketidakpastian dukungan anggaran bagi kegiatan multi years, akan berpotensi mempengaruhi disiplin fiskal. Hal ini bisa terjadi karena persepsi mengenai terbatasnya dana bagi kebijakan-kebijakan baru tidak mengemuka karena pada dasarnya dana yang tersedia belum terikat sama sekali dengan komitmen untuk membiayai kebijakan yang telah diputuskan tahun-tahun sebelumnya dan yang masih perlu kelanjutan atas implementasinya.
Perkembangan di berbagai belahan dunia menunjukan bahwa pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah bekerja lebih efektif dalam memfasilitasi upaya menghubungkan kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)/Medium Term Expenditure Framework (MTEF) adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
Konsep KPJM merupakan strategi reformasi fiskal yang diterapkan oleh banyak lembaga multinasional, utamanya Bank Dunia, yang secara resmi menyakini bahwa akan meningkatkan disiplin fiskal, memperkuat dan mempertajam efektivitas alokasi anggaran dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sebuah kebijakan. Berikut dapat diilustrasikan dalam diagram perubahan format penganggaran yang sebelumnya menggunakan perspektif tahunan menjadi perspektif jangka menengah dalam Dokumen Anggaran (Budget Documents) sebagai berikut :
Selanjutnya pendekatan penganggaran berbasis kinerja merupakan penyusunan anggaran yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Indikator kinerja (performance indicator) dan sasaran (targets) merupakan bagian dari sistem penganggaran berbasis kinerja dalam rangka mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya dan memperkuat proses pengambilan keputusan.
Penerapan anggaran berdasarkan kinerja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pelaksanaan penyempurnaan lainnya dibidang manajemen keuangan, yang bertujuan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik serta efektifitas dari rencana kerja yang ditetapkan. Dalam penyempurnaan manajemen keuangan tersebut hal yang paling mendasar adalah adanya kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi kementerian negara/lembaga dalam mengelola program dan kegiatan yang ada dalam lingkup kerjanya dimana penganggaran berdasarkan kinerja akan sangat membantu dalam penerapannya.
Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan sistem tradisional dimana anggaran disusun berdasarkan line item. Penganggaran berbasis kinerja pada dasarnya bertujuan meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan antara beban kerja dan kegiatan terhadap biaya, dimana akan mendorong pengalokasian anggaran kepada program dan kegiatan yang lebih prioritas. Sistem ini terutama berusaha untuk menghubungkan antara keluaran (outputs) dengan hasil (outcomes) yang disertai dengan penekanan terhadap efektifitas dan efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.
Dengan adanya pendekatan penganggaran berbasis kinerja tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu teridentifikasinya ouput dan outcome yang dihasilkan dari setiap program (aktivitas) dan pelayanan yang dilakukan, diketahuinya dengan jelas target tingkat pencapaian output dan outcome, terkaitnya biaya atau input yang dikorbankan dengan hasil yang diinginkan dan proses perencanaan strategis yang sebelumnya dilakukan, diketahuinya urutan prioritas untuk setiap jenis pengeluaran yang dilakukan oleh unit kerja, setiap unitnya atau satuan kerja dapat diminta pertanggungjawaban atas hasil yang dicapainya.
Dalam pengamatan pendahuluan terhadap pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja, dan untuk mendukung memperoleh gambaran awal mengenai pelaksanaan kebijakan tersebut, telah dilakukan wawancara pendahuluan kepada anggota tim perancang salah satu paket perundang-undangan, seperti yang diungkapan oleh Tim Kelompok Kerja penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Kerja dan Anggaran Instansi Pemerintah, yang melalui ketua Tim Kelompok Kerja tersebut diungkapkan bahwa :
"Sebetulnya lampiran yang digunakan pada PP 21/2004 kami sadari betul sebagai langkah antara (untuk mengisi masa transisi) dalam rangka penyusunan RAPBN TA 2005, oleh karena itu masih kental penggunaan sistem lama (input based budgeting). Pada saat penyusunan RPP sebetulnya diharapkan akan dilakukan penyempurnaan secara bertahap dan diharapkan pada TA 2008 sudah menggunakan sistem yang sesuai dengan amanat UU No. 17/2003 dan PP 21/2004. Sayang ternyata sampai sekarang belum ada perubahan yang berarti terhadap lampiran-lampiran dan petunjuk teknisnya."
sementara itu oleh anggota sekretariat tim juga diungkapkan hal sebagai berikut :
"pemisahan secara jelas dan tegas antara perencanaan dan penganggaran sebagaimana dimaksudkan dalam ide awal pengaturan melalui peraturan pemerintah tersebut tidak terlaksana dalam pelaksanaannya, hal tersebut terlihat bahwa masih adanya pemisahan anggaran dimana sampai dengan saat ini dikenal istilah belanja mengikat dan belanja tidak mengikat24 yang mengakibatkan penerapan unified budget menjadi sia-sia, dan secara tidak langsung sulit mengukur serta menghubungkan/mengkaitkan penganggaran dan kinerja yang dilakukan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga."
Sementara itu juga dilakukan pengamatan pendahuluan kepada pihak sebagai pelaksana kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga itu sendiri seperti yang diungkapkan oleh kepala bagian penganggaran Biro Perencanaan dan Keuangan, Departemen Keuangan, yang berkewenangan terhadap perencanaan penganggaran semua unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan, dalam wawancara pendahuluan dikatakan sebagai berikut :
"harapannya tentunya semuanya ingin baik-baik saja (maksudnya mengenai pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja), namun harus kembali kepada teorinya, dimana penganggaran berbasis kinerja penekanannya kepada output bahkan lebih jauh kepada outcomes baru dananya mengikuti, hal ini tidak sederhana mengingat keterbatasan anggaran sehingga perlu adanya penyesuaian-penyesuaian target. Pendefinisian pengukuran dan formulasi kinerja tidak secara jelas diatur, dan lebih jauh pengukuran hasilnya pun (outcomes) juga tidak jelas karena variabelnya begitu luas sehingga model penganggaran berbasis kinerja pun menjadi tidak jelas. Hambatan kelembagaan antara Bappenas sebagai perencana (planning) dan Direkorat Jenderal Anggaran sebagai penganggaran (budgeting) masih menjadi kendala, masing-masing masih mempunyai kewenangan daerah abu-abu (grey area) sehingga saling tumpang tindih. Untuk itu diperlukan pembentukan suatu tim kerja yang betul-betul concern terhadap penganggaran berbasis kinerja, mandiri (independent) serta mampu menggerakan secara nasional semua kementerian negara/lembaga, agar maksud dari kebijakan tersebut dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan."
Berdasarkan pengamatan dan wawancara pendahuluan serta uraian-uraian diatas, kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan anggaran terpadu dan pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) telah dapat diterapkan dan dilaksanakan secara bertahap (meskipun masih menyisakan beberapa permasalahan), selanjutnya pelaksanaan kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 17 tahun 2003 dan PP nomor 21 tahun 2004 tersebut sampai dengan saat ini telah dikembangkan format penganggaran sebagai hasil dari kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja, dimana sebagai percontohan (piloting) telah dikembangkan untuk 6 (enam) Kementerian Negara/Lembaga yaitu Departemen Keuangan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan Bappenas, dikatakan piloting karena format penganggaran yang dihasilkan dari kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja tersebut bukan merupakan dokumen anggaran sebagai dokumen pelaksanaan anggaran melainkan hanya bersifat sebagai percontohan. Format penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja yang dikembangkan di masing-masing 6 (enam) Kementerian Negara/Lembaga tersebut diatas berbeda satu dengan yang lainnya karena dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsinya. Khusus untuk format penganggaran yang dikembangkan di Departemen Keuangan adalah mengembangkan format yang telah mengakomodasi keterkaitan yang erat antara output kegiatan dan sasaran program serta kepastian penanggungjawab keberhasilan sebuah program.
Format penganggaran dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja sebagai suatu hasil dari pelaksanaan kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga atau 'piloting' yang dikembangkan untuk Departemen Keuangan tersebut menarik untuk dilakukan pengamatan dan pengkajian mulai dari awal penganggaran sampai dengan penerapannya, dan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai anggaran berbasis kinerja itu sendiri dengan membandingkannya teori performance budgeting dan kaitannya dengan negara-negara di dunia yang telah berhasil menerapkan dan mengaplikasikan performance based budgeting dalam sistem pengelolaan keuangan di negaranya.

1.2. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, pertanyaan yang muncul dan menjadi fokus perhatian adalah "Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja di Departemen Keuangan?".

1.3. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan pertanyaan penelitian sebagaimana disebutkan diatas, maka tujuan penelitian adalah mendeskripsikan dan menganalisa pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja di Departemen Keuangan.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat mengungkapkan dan menganalisa hambatan atau kendala dalam pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja dengan mencoba menghubungkan dengan teori dan konsep-konsep yang ada, yang selanjutnya diharapkan di masa mendatang dapat menjadi acuan atau bahkan menjadi inspirasi kajian yang lebih mendalam dan lebih mendetil.
Penelitian yang dilakukan juga diharapkan dapat memunculkan beberapa saran ataupun rekomendasi yang dapat dipertimbangkan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia khususnya kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk menuju penganggaran yang sehat, dapat dipercaya (credible) dan berkelanjutan (sustainable).

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template