download makalah, skripsi, tesis dll. |
- TESIS ANALISIS KINERJA UNIT GAWAT DARURAT PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD
- TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
- TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT)
- TESIS PERANAN TEKNOLOGI INFORMASI SISTEM INFORMASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN
- TESIS HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN SIKAP GURU TERHADAP PEKERJAAN DENGAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU SMP
- TESIS KONTRIBUSI MOTIVASI DAN IKLIM KOMUNIKASI KELAS TERHADAP HASIL BELAJAR KIMIA
- TESIS KONTRIBUSI PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU
- TESIS KONTRIBUSI SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA PENGAWAS SEKOLAH DI BIDANG AKADEMIK TERHADAP MUTU PEMBELAJARAN
- TESIS STUDI TENTANG KEPUASAN SISWA DITINJAU DARI UNJUK KERJA GURU, FASILITAS PEMBELAJARAN DAN KESELAMATAN KERJA SISWA
- TESIS PENGARUH IMPLEMENTASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) TERHADAP BUDAYA KUALITAS
Posted: 17 Jun 2013 09:06 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0221) : TESIS ANALISIS KINERJA UNIT GAWAT DARURAT PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI RUMAH SAKIT) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (Sistem Kesehatan Nasional, 2009). Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan (UU No. 36 Tentang Kesehatan, 2009). Memasuki abad ke-21, Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis, diantaranya yaitu telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor industri, tak terkecuali juga di bidang kesehatan. Pertumbuhan tersebut diiringi dengan semakin ketatnya persaingan antar pemberi layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan telah berubah menjadi sesuatu yang bisa diperdagangkan. Rumah sakit berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasiennya, disertai dengan berbagai fasilitas dan peralatan kedokteran yang termodern dan terlengkap, guna menjadi rumah sakit yang terdepan dalam pemberi jasa pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan yang ada harus mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya keadaan sosial ekonomi masyarakat, serta adanya kemudahan di bidang transportasi dan komunikasi mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat berubah. Akibatnya masyarakat cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan (Jacobalis, 2000). Hal ini merupakan suatu tantangan, sehingga institusi pelayanan kesehatan membutuhkan strategi yang dapat menjawab perubahan-perubahan yang terjadi. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hams tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. (UU No. 44 Tentang Rumah Sakit, 2009). Berdirinya rumah sakit di tengah ketatnya kompetensi dalam globalisasi ekonomi sekarang rumah sakit ini, perlu peninjauan kembali sistem manajemen yang digunakan. Pada saat ini rumah sakit tidak lagi dipandang sebagai usaha sosial yang dapat dikelola dengan begitu saja, tetapi lebih merupakan suatu industri jasa (Kaplan dan Norton, 1996). Selama ini para manajer rumah sakit hanya mengukur keberhasilan rumah sakit dengan keberhasilan finansial saja. Risiko yang timbul dengan menggunakan ukuran finansial saja adalah tidak selalu memberikan gambaran yang akurat tentang arah organisasi dan dapat memimpin organisasi ke arah jangka pendek bukan jangka panjang. Oleh karena itu, untuk mengukur kinerja di dalam rumah sakit diperlukan sistem pengukuran kinerja yang tidak hanya mengukur aspek keuangan saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek non keuangan seperti kepuasan pelanggan, proses bisnis internal dan proses pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran kinerja ini disebut dengan balanced scorecard yang menawarkan suatu peta jalan yang sistematis dan komprehensif bagi organisasi-organisasi untuk menerjemahkan pernyataan visi dan misi mereka ke dalam sekumpulan ukuran kinerja yang saling berkaitan. Ukuran-ukuran ini tidak digunakan untuk mengendalikan perilaku tetapi untuk mengartikulasikan strategi organisasi, dan membantu menyesuaikan inisiatif individu, lintas departemen, organisasi, demi tercapainya sasaran bersama (Gaspersz, 2011). Walaupun pengukuran kinerja dengan menggunakan balanced scorecard lebih banyak digunakan di perusahaan-perusahaan bisnis yang menghasilkan barang atau produk, tetapi dapat juga diterapkan pada rumah sakit yang bergerak dalam usaha jasa. John R Griffith & John G King dalam Journal of Healthcare Management edisi Jan/Feb 2000 dan Chee W. Chow et.al. dalam jurnal yang sama edisi Mei 1998 menganjurkan balanced scorecard untuk digunakan dalam organisasi kesehatan yaitu rumah sakit. Pelayanan Kesehatan X merupakan institusi pelayanan kesehatan berbasis pelayanan mutu prima dan kepuasan pelanggan/pasien, menjadi tempat pilihan peneliti untuk melakukan analisis kinerja, khususnya di Unit Gawat Darurat. Unit Gawat Darurat merupakan pelayanan di depan yang harus dilayani dengan cepat dan profesional. Kegiatan pelayanan terhadap pasien berjalan terus menerus selama 24 jam dengan kedatangan pasien dan dengan berbagai tingkat kegawatan. Dalam penatalaksanaan rujukan di rumah sakit, seleksi dilakukan di Unit Gawat Darurat maupun di Unit Rawat Jalan, untuk selanjutnya penderita disalurkan ke instalasi yang dirujuk (Djojodibroto, 1997). Data dari Pelayanan Kesehatan X pada tahun 2008-2010 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah kunjungan pasien ke Unit Gawat Darurat, dilihat berturut-turut dari tahun 2008, 2009 dan 2010 : 20667 pasien, 20515 pasien dan 18827 pasien, dimana hampir 50% pasien Rawat Inap berasal dari Unit Gawat Darurat. Dilihat dari perspektif pemasukan pasien, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X. Pada tahun 2010, di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X terjadi revisi tarif paket UGD dan selain itu dilakukan efisiensi ketenagaan untuk mengurangi pengeluaran biaya UGD, karena sumber pengeluaran terbesar adalah untuk sumber daya manusia yaitu mencapai 40% dari pengeluaran yang ada. Cost Recovery Rate (CRR) Unit Gawat Darurat dari tahun 2008-2010 mengalami penurunan, meskipun masih diatas 100%, hal ini menunjukkan bahwa perbandingan penerimaan dengan pengeluaran yang semakin menurun. Pelayanan Kesehatan X termasuk rumah sakit non profit, namun demikian mereka tetap concern terhadap masalah keuangan, dimana profit yang diperoleh akan dapat merangsang peningkatan investasi sebagai pengembangan Pelayanan Kesehatan X. Di tengah maraknya dibangun Rumah Sakit-Rumah Sakit baru yang modern dan berorientasi profit di kota ini, tidaklah mudah bagi Pelayanan Kesehatan X untuk mempertahankan visi dan misinya. Masyarakat dihadapkan kepada berbagai pilihan alternatif untuk berobat. Oleh karena itu, untuk menjadikan Unit Gawat Darurat sebagai andalan sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, diperlukan kinerja rumah sakit yang baik yang akan menuntun pada suatu kerangka kerja yang strategis yang tepat dan dapat memicu keunggulan berkompetisi secara sehat di era globalisasi ini, maka Unit Gawat Darurat sebagai suatu unit diukur kinerjanya dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard. Dengan memakai pendekatan balanced scorecard, maka kinerja Unit Gawat Darurat dapat dievaluasi dari empat perspektif, yaitu aspek keuangan, aspek pelanggan, aspek proses bisnis internal dan aspek pembelajaran dan pertumbuhan, yang selanjutnya dapat menjadi bahan masukan dalam perencanaan strategic Pelayanan Kesehatan X. Selain itu, belum pernah dilakukan evaluasi kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X dengan menggunakan konsep balanced scorecard. B. Rumusan Masalah Dilihat dari perspektif pemasukan pasien dan untuk menjadikan Unit Gawat Darurat sebagai andalan sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, diperlukan kinerja rumah sakit yang baik yang akan menuntun pada suatu kerangka kerja yang strategis yang tepat dan dapat memicu keunggulan berkompetisi secara sehat di era globalisasi ini. Selain itu, berdasarkan fakta yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka dapat ditemukan bahwa belum adanya bentuk penilaian analisis kinerja dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X. C. Pertanyaan Penelitian a. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif keuangan ? b. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif pelanggan ? c. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif proses bisnis internal ? d. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ? D. Tujuan penelitian a. Tujuan Umum Mengetahui kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X dengan pendekatan balanced scorecard. b. Tujuan Khusus 1. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif keuangan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X 2. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif pelanggan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X 3. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif proses bisnis internal di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X 4. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Aplikatif Bagi Rumah Sakit Dapat mengetahui gambaran kinerja rumah sakit dengan pendekatan balanced scorecard sehingga diharapkan pihak manajemen rumah sakit mendapat masukan dan dapat sebagai indikator pemantauan rutin mutu pelayanan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X. 2. Manfaat Aplikatif Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan ilmu dan wawasan, juga pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapat selama belajar di Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit (KARS). 3. Manfaat Aplikatif Bagi Peneliti Dapat memperoleh pengalaman penelitian yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan pekerjaan di masa mendatang dan merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Master Administrasi Rumah Sakit. |
Posted: 17 Jun 2013 09:03 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0220) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank berfungsi sebagai perantara keuangan atau financial intermediary dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Bank menghimpun simpanan uang masyarakat (dana pihak ketiga). Kemudian uang atau dana tersebut dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit dengan pengenaan suku bunga tertentu. Penyaluran kredit merupakan fungsi utama dari bank dan merupakan sumber pendapatan yang utama pada umumnya. Pendapatan ini diperoleh dari spread suku bunga simpanan dan kredit yang dikenakan oleh bank. Penentuan spread ini tergantung dari pihak bank dan target marketnya (Kurniawan, 2004). Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak. Lembaga keuangan Islam termasuk perbankan menjadi intermediasi keuangan dengan cara yang sangat berbeda dari bank konvensional, karena ia sangat menonjolkan skema Profit and Loss Sharing (PLS) dalam pembiayaan dan investasi perdagangan. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah, perkembangan bank syariah, dipandang dari sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha, masih belum memuaskan. Oleh karena itu pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong perkembangan bank syariah di Indonesia. Menurut laporan Bank Indonesia, jumlah bank syariah yang beroperasi sejak 1998 meningkat cukup signifikan. Pada 1998 bank umum syariah baru sebuah, kantor cabang 10, kantor cabang pembantu sebuah, dan kantor kas yang sudah beroperasi 19. Selama tahun 2008 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengalami penambahan 2 Bank Umum Syariah (BUS) 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 17 BPRS, sehingga pada akhir 2008 terdapat 5 BUS, 27 UUS dan 131 BPRS. Sejalan dengan hal tersebut, jaringan kantor bank syariah, termasuk layanan syariah juga menunjukkan peningkatan menjadi 953 kantor dan 1.470 layanan syariah. Perkembangan kuantitas kelembagaan perbankan syariah dari tahun ke tahun terlihat sangat pesat dan diharapkan dengan perkembangan ini pelayanan perbankan syariah dalam berpartisipasi dalam perekonomian nasional akan makin besar. Pertumbuhan Aset Bank Syariah. DPK Bank Syariah, DPK Bank Konvensional dan perkembangan tingkat suku bunga. Perkembangan di tahun 2007 semakin mempertegas korelasi negatif antara fluktuasi tingkat suku bunga perbankan dengan fluktuasi DPK perbankan syariah. Artinya kondisi suku bunga yang meningkat akan menekan pertumbuhan DPK (termasuk aset) perbankan syariah begitu pula sebaliknya, jika suku bunga cenderung turun DPK bank syariah akan meningkat karena nisbah bagi hasil yang lebih kompetitif dibandingkan suku bunga perbankan secara umum. Kinerja ekonomi sektor riil mempengaruhi secara positif perkembangan industri perbankan syariah, misalnya kecenderungan penurunan inflasi mendorong peningkatan aset perbankan syariah. Dalam hal penyaluran dana, tahun 2007 industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan sebesar 36,7 persen) dibandingkan dengan perbankan nasional yang mengalami pertumbuhan sebesar 17,8 persen, dengan posisi pangsa pembiayaan terhadap perbankan secara nasional mencapai 2,8 persen. Pertumbuhan pembiayaan ini relatif masih mendekati angka proyeksi berdasarkan yang diperhitungkan pada akhir tahun lalu. Pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah pada dasarnya juga merupakan respon dari membaiknya sektor ekonomi riil yang didorong oleh semakin kondusifnya tingkat suku bunga. Namun kecenderungan turunnya suku bunga pembiayaan ini perlu dicermati. Dalam kondisi di mana profil nasabah pembiayaan bank syariah masih sensitif terhadap pergerakan suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, maka penurunan suku bunga kredit akan menimbulkan tekanan bagi perbankan syariah. Pada semester kedua mengakhiri tahun 2008, pertumbuhan aset industri perbankan syariah cenderung mengalami perlambatan terutama sejak triwulan kedua, meskipun menunjukkan pertumbuhan aset yang positif. Terpuruknya ekonomi dunia akibat krisis keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat dan ketatnya kredit/likuiditas global yang semakin serius pada semester akhir 2008 mempengaruhi indikator-indikator makro ekonomi Indonesia, seperti nilai tukar, suku bunga dan kinerja pasar modal. Kondisi tersebut ditengarai sebagai penyebab perlambatan aktifitas ekonomi riil domestik Indonesia. Selanjutnya pengaruh tersebut relatif menyebabkan perlambatan pertumbuhan di industri perbankan syariah di Indonesia, meskipun tidak separah industri keuangan secara umum. Kondisi global tersebut mengakibatkan iklim investasi yang belum kondusif, meningkatnya inflasi, penurunan daya beli masyarakat dan biaya ekonomi yang cukup tinggi. Dengan adanya beberapa kondisi makro tersebut menyebabkan terjadinya perlambatan indikator secara mikro di perbankan, seperti pertumbuhan Dana Pihak Ketiga yang melambat, meningkatnya margin dan persentase nisbah pembiayaan seiring dengan meningkatnya laju inflasi, sehingga berdampak pula terhadap pengetatan penyaluran pembiayaan terutama sejak Triwulan ke tiga tahun 2008. Sementara itu penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan keempat tahun 2007 atau menjadi 42,05 persen pada triwulan keempat tahun 2008, meskipun kondisi di tahun 2008 tersebut mengalami perlambatan sejak posisi pada Triwulan ke II sebesar 51 persen. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp 38,19 triliun. Pertumbuhan jumlah pembiayaan yang tidak didukung dengan pertumbuhan DPK secara signifikan menyebabkan financing to deposit ratio (FDR) mencapai level diatas 104 persen pada tahun pelaporan. Seiring dengan pertumbuhan pembiayaan, juga diikuti oleh peningkatan kualitas pembiayaan perbankan syariah dari seluruh portfolio pembiayaan pada tahun 2008. Peningkatan kualitas ini tercermin dari penurunan persentase non performing financing (NPF) gross pada tahun 2008, dimana pada posisi tahun 2007 NPF perbankan syariah mencapai 4,07 persen. Penurunan NPF tersebut disebabkan oleh proses restrukturisasi, write off dan pengambil alihan pembiayaan oleh Bank lain (take over). Prestasi tersebut harus selalu diupayakan untuk selalu dipertahankan dan terus ditingkatkan sejalan dengan perbaikan kualitas ekposur dalam sistem perbankan secara nasional. Kualitas pembiayaan perbankan syariah mampu dijaga dalam rasio yang relatif rendah. Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) pada tahun laporan turun menjadi 3,95 persen. Peningkatan pembiayaan pada produk berbasis bagi hasil, khususnya dengan akad musyarakah, yang berisiko lebih tinggi dan krisis keuangan global tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan syariah. Rasio NPF dapat dijaga dalam kisaran yang rendah di bawah 5 persen. Seiring penggantian SWBI dengan SBIS, posisi penempatan perbankan syariah pada OPT Syariah terus menurun. Terdapat 2 (dua) faktor penyebab fenomena tersebut yaitu penyesuaian (adjustment) yang dilakukan oleh perbankan syariah dalam pengelolaan likuiditas dan pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Penutupan SWBI yang sebelumnya tersedia setiap hari menyebabkan berubahnya pola ketersediaan (pasokan) likuiditas harian dari SWBI jatuh tempo, sementara lelang SBIS hanya dilakukan secara mingguan dengan tenor 1 (satu) bulan. Hal ini mendorong perbankan syariah untuk memelihara excess reserve dengan jumlah lebih besar yang tercermin dari peningkatan jumlah excess reserve dari rata-rata Rp 276,7 miliar (sebelum penutupan SWBI) menjadi Rp 690,4 miliar (setelah penutupan SWBI). Selain itu, pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang dimulai antara akhir kuartal I dan awal kuartal II menyebabkan pemeliharaan alat-alat likuid (termasuk SBIS) cenderung menurun. Meski demikian, menyimak kondisi sekarang dengan share bank syariah masih relatif kecil dibandingkan bank konvensional, tentunya peran ideal bank dan lembaga keuangan syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas belum akan begitu terasa. Dalam kondisi seperti ini, salah satu elemen pokok dalam sistem ekonomi Islam, yaitu pemerintah (regulator), perlu mengambil alih dan memegang peranan kunci perekonomian dengan didukung oleh kalangan perbankan syariah itu sendiri. Dari sisi lain prestasi yang perlu dicatat, selama ini bank syariah dapat menjalankan fungsi intermediasi perbankan yang lebih besar. Artinya, proses dan keterlibatan dalam pembiayaan dan pembinaan nasabah lebih intens dibanding dengan bank konvensional. Menurut data statistik BI di beberapa media menunjukkan peranan intermediasi bank konvensional lebih rendah. Ini bisa dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) bank konvensional yang hanya sekitar 50 persen, sedangkan rata-rata LDR atau FDR (Financing to Deposit Ratio) bank syariah melebihi 100 persen. Angka LDR bank syariah yang tinggi akhir-akhir ini bisa diartikan bahwa bank syariah lebih mampu mendorong angka percepatan perputaran uang dan investasi yang diharapkan dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hanya dari segi jumlah pembiayaan masih rendah. Di tahun 2008, Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen (semula 6,8 persen). Pertumbuhan 6,4 persen tersebut terutama diharapkan dari pertumbuhan investasi. Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tersebut, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Kondisi pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sektor riil banyak dipengaruhi oleh besarnya dana masyakat yang mampu diserap dalam bentuk tabungan. Perbankan syariah sempat terhambat perkembangannya karena kebijakan BI Rate yang tinggi selama periode 2005-2006. Kebijakan office channeling menjadi andalan BI mengakselerasi perbankan syariah ke depan. Berbagai tantangan berat dihadapi industri perbankan syariah nasional sepanjang 2006, khususnya berkaitan dengan kondisi makro ekonomi yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat suku bunga dan inflasi. Meski demikian, perbankan syariah berhasil mempertahankan pertumbuhan asetnya 12,92 persen dari akhir 2005 hingga Agustus 2006 atau melebihi laju pertumbuhan industri perbankan nasional yang 5,55 persen. Namun, proyeksi pangsa aset perbankan syariah menjadi 1,70 persen pada akhir 2006 tampaknya tidak mudah tercapai. Pasalnya, hingga Agustus 2006 baru tercapai 1,55 persen atau senilai Rp 23,58 triliun. Artinya, sepanjang 2006, ruang gerak perbankan syariah dalam mengembangkan usahanya mengalami keterbatasan, terutama dalam pengumpulan dana pihak ketiga (DPK). Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut diatas adalah langkah Bank Indonesia (BI) yang terpaksa memperketat kebijakan moneternya ditandai dengan BI Rate yang tinggi sejak tahun lalu hingga saat ini. Akibat kebijakan tersebut, risiko displacement (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional) meningkat. Terbukti, DPK perbankan syariah sempat menurun pada Januari dan Februari 2006. Di sisi lain, sejak BI mengeluarkan kebijakan office channeling (OC), tampaknya DPK perbankan syariah juga mulai menggeliat kembali. Menurut data Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang dikeluarkan Direktorat Perbankan Syariah BI per Agustus 2006, DPK perbankan syariah hingga Agustus 2006 meningkat menjadi Rp 17,11 triliun atau tumbuh 9,82% dari posisi DPK per Desember 2005. Kebijakan dan strategi pengembangan perbankan syariah dari Bank Indonesia tahun 2007 difokuskan pada upaya mempercepat peningkatan kapasitas pelayanan perbankan syariah. Upaya ini akan dilakukan dari sisi penawaran dan permintaan guna mencapai target pangsa 5 persen dari total volume perbankan nasional diakhir tahun 2008 dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Dari sisi penawaran, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk memperkuat struktur kelembagaan dan efisiensi perbankan syariah, sehingga dapat meningkatkan daya saing dan mampu meredam berbagai kejutan ekonomi yang terjadi. Dari sisi permintaan, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk dapat memperluas pangsa pasar perbankan syariah di tengah masyarakat, sehingga peran perbankan syariah dalam mendorong proses intermediasi perbankan dan penciptaan stabilitas sistematik semakin signifikan. Melihat hal diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia yang perkembangannya makin cepat dengan demikian layak untuk diteliti. Jika tidak ada penelitian tentangnya dikhawatirkan pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia ke masyarakat yang sangat penting berkontribusi bagi perekonomian ini ketika terjadi problem, kendala yang menghambat penyaluran perbankan syariah tidak dapat diketahui apa penyebab sebenarnya, sehingga tidak mampu untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi masalah yang ada. Berdasarkan kepentingan di atas maka perlu penelitian dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia. Diharapkan dengan penelitian ini semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengannya dapat memanfaatkan hasil yang sebesar-besarnya. Penelitian ini dijadikan sebagai tesis dengan judul : "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyaluran Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia" B. Perumusan Masalah Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia dalam meningkatkan penyaluran pembiayaan syariah di Indonesia makin optimal sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak pada pembangunan nasional diantaranya adalah : 1. RUU perbankan syariah yang telah mengalami perubahan status menjadi UU perbankan syariah yaitu undang-undang No. 21 tahun 2008 yang berpengaruh pada Bank Indonesia yang melakukan beberapa revisi peraturan agar dapat disesuaikan dengan undang-undang sehingga kedudukan perbankan syariah lebih kuat secara legal (www.bi.go.id. 2008) 2. Dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/7/PBI/2007 tanggal 04 Mei 2007 tentang perubahan atas peraturan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Bank umum dimana salah satunya mengatur tentang penyempurnaan pengembangan jaringan Bank syariah melalui Office Channeling sehingga perbankan konvensional dapat melayani transaksi syariah (www.bi.go.id. 2007) 3. Adanya dorongan dari Bank Indonesia yang mempermudah dan memperbanyak layanan syariah, memperbanyak pembukaan kantor cabang, termasuk konversi dari unit syariah menjadi bank syariah serta meringankan modal pendirian bank syariah (www.bi.go.id. 2008). 4. Akan adanya draf undang-undang mengenai perbankan syariah dimana kata-kata jual beli dihilangkan dan diganti dengan pembiayaan dengan aset murabahah sehingga efek pengenaan PPN dapat dihilangkan. Hal ini akan memberikan manfaat bagi para nasabah agar terhindar dari pajak berganda dimana posisi ini secara tidak langsung akan kembali meningkatkan pembiayaan yang akan diberikan oleh perbankan syariah (www.pajakonline.com, tanggal 27 Oktober 2008). 5. (Annual Meeting DPS, 14 Agustus 2007) Kebijakan dan inisiatif strategis untuk pengembangan jangka panjang industri perbankan syariah secara sistematis telah dijabarkan dalam 'Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia' dan Kebijakan dan Program Akselerasi 2007-2008 lebih difokuskan pada pencapaian target kuantitatif melalui terobosan paket kebijakan dan program inisiatif yang dapat memberikan perubahan pertumbuhan aset secara signifikan (lompatan besar) dalam jangka pendek. Sasaran kebijakan dan program akselerasi 2007-2008 itu adalah : a) Mendorong pertumbuhan dari sisi supply dan demand secara seimbang b) Memperkuat permodalan, manajemen dan SDM bank syariah c) Mengoptimalkan peranan pemerintah (otoritas fiskal) dan BI (otoritas perbankan & moneter) sebagai penggerak pertumbuhan d) Melibatkan seluruh stakeholder perbankan syariah untuk berpartisipasi aktif dalam program akselerasi sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Berdasarkan berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut diatas pemerintah dan Bank Indonesia telah menetapkan program akselerasi perbankan syariah dengan menargetkan penyaluran pembiayaan Perbankan Syariah sebesar Rp. 68,95 Triliun di tahun 2008 namun pembiayaan yang mampu disalurkan realisasinya hanya mencapai Rp. 38,195 Triliun Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah dalam tesis ini adalah belum mampunya perbankan syariah mencapai target penyaluran pembiayaan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di tahun 2008. Sehingga perlu penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penyaluran pembiayaan perbankan syariah di Indonesia agar bisa dipakai oleh pihak yang berwenang sebagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan guna mendorong perbankan syariah khususnya dalam penyaluran pembiayaan agar lebih optimal dan sesuai target yang ditetapkan. Berdasarkan rumusan masalah di atas, dalam tesis ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia ? 2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah ? C. Batasan Masalah Dalam penelitian ini pengambilan data di lakukan hanya untuk kurun waktu Maret 2004-April 2009. Variabel yang diteliti pun hanya dibatasi pada variabel : indikator kebijakan perbankan syariah secara nasional, indikator kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia, yang diduga memiliki pengaruh terhadap penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia di luar BPRS. D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan Syariah di Indonesia. 2. Untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia. |
TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT) Posted: 17 Jun 2013 09:00 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0219) : TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT) (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin, pengurus (amil) zakat para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk (usaha) di jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Ayat di atas jelas berbicara tentang kelompok yang ditetapkan oleh Allah sebagai yang berhak mendapat dana zakat. Zakat berdasarkan ayat di atas dapat dikatakan sebagai jaminan sosial bagi kelompok yang sangat membutuhkan bantuan materi. Jadi, zakat merupakan ibadah yang mempunyai peran strategis dalam konteks ekonomi keumatan yang akan memberikan dampak kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang banyak. Menurut al-Shaukani dalam kitab tafsirnya Fath al-Qadir, ayat di atas telah merinci pihak yang harus mendapat bantuan keuangan, yang berasal dari zakat berdasarkan skala prioritas, dari kelompok yang sangat membutuhkan, yaitu faqir dan seterusnya kelompok yang dikategorikan miskin dalam memenuhi kebutuhan asasi mereka. Apabila kebutuhan primer mereka telah terpenuhi, maka untuk selanjutnya zakat berperan untuk mengangkat dan meningkatkan taraf hidup mereka pada standar kehidupan yang layak, seperti yang dialami oleh kelompok muzakki. Sebagai mustahiq, tentunya mereka tidak ingin selamanya menjadi orang yang tangannya di bawah terus menerus, tetapi mereka berharap untuk menjadi kelompok muzakki di masa mendatang. Di sinilah peran zakat dalam konteks memberdayakan kelompok mustahiq) agar tercipta kemakmuran dan kesejahteraan yang merata. Pembicaraan tentang zakat tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang konsep harta menurut al-Qur'an, terutama kefahaman tentang konsep kepemilikan yang akan meringankan si pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian hartanya sesuai dengan ketentuan pemilik hakiki yaitu Allah swt. sebagaimana firman-Nya : "Dan berikanlah kepada mereka dari harta Allah yang dikaruniakan kepadamu" Kemudian Allah mengizinkan manusia untuk menguasai harta tersebut, dengan cara-cara yang telah ditetapkan. Jika manusia mendapatkan atau menguasai harta tersebut dengan mengabaikan aturan Allah, maka ia pada hakikatnya tidak berhak untuk memilikinya. Inilah konsep kepemilikan dalam Islam yang membedakan dengan konsep kepemilikan dalam aturan lain, sehingga harus disadari betul bahwa pada harta yang dimiliki seseorang, ada kewajiban yang ditetapkan oleh Allah, dan hak orang lain yang bersifat melekat pada harta tersebut. Secara empiris, kesejahteraan sebuah negara karena zakat terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Meskipun beliau hanya memerintah selama 22 bulan karena meninggal dunia, negara menjadi sangat makmur, yaitu dengan pemerintahan yang bersih dan jujur, dan zakat ditangani dengan baik. Kala itu negara yang cukup luas hampir sepertiga dunia, tidak ada yang berhak menerima zakat, karena semua penduduk muslim sudah menjadi muzakki. Itulah pertama kali ada istilah zakat ditransfer ke negeri lain, karena tidak ada lagi yang patut disantuni. Jelas keberhasilan khalifah Umar bin Abdul Aziz pada saat itu tidak hanya dengan menggunakan zakat dalam arti harfiah materiil semata, tetapi merupakan kebijakan yang memberikan perhatian yang tinggi pada pengelolaan zakat. Zakat pada kepemimpinan beliau dijadikan tolok ukur akan kesejahteraan masyarakat, baik jumlah orang yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat. Berbeda dengan tolok ukur lain yang cenderung bias. Tolak ukur zakat sebagai pengatur kesejahteraan benar-benar bisa dijadikan pedoman standar, baik dalam konteks ekonomi mikro maupun makro. Disinilah zakat berperan sebagai ibadah harta berdimensi sosial yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi pelaksanaan ajaran Islam, maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Khalifah Abu Bakar mengultimatum perang terhadap kelompok yang hanya salat, namun tidak mau berzakat sepeninggal Rasulullah. Atas dasar kepentingan inilah, sampai sahabat Abdullah bin Mas'ud menegaskan bahwa orang yang tidak berzakat, maka tidak ada salat baginya. Beranjak pada potensi zakat di Indonesia, menurut perhitungan yang dibuat oleh Asian Development Bank potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp 100 Triliun. Sebuah angka yang sangat besar, potensi zakat yang besar ini harus digali secara serius agar menjadi kekuatan ekonomi masyarakat yang nyata. Potensi zakat yang sangat besar ini, tidak terlepas dari pembangunan ekonomi Indonesia. Pembangunan ekonomi telah mampu meningkatkan pendapatan penduduk Indonesia secara berarti. Peningkatan pendapatan dan taraf hidup sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, tentu telah membuat potensi pembayaran zakat semakin besar pula. Jika pemasukan zakat di Indonesia sangat tinggi kemudian dikelola dengan profesional dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan, seperti pendirian perusahaan sebagai lapangan kerja, pemberian modal usaha, pelatihan peningkatan ketrampilan kerja dan lain sebagainya, Maka zakat dapat membantu mengatasi berbagai masalah sosial, terutama kemiskinan dan keterbelakangan di kalangan masyarakat Muslim. Jika potensi riil ini kemudian dipadukan dengan upaya-upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, maka insya Allah kemiskinan di Indonesia akan dapat lebih cepat teratasi. Terdapat sebuah kenyataan di desa X, penghuninya 100% muslim, banyak penduduknya yang kaya dengan indikasi mereka memiliki perusahaan-perusahaan, kendaraan mewah dan lain sebagainya, hal ini menunjukkan potensi zakat pada desa ini cukup besar. selain itu, di desa ini terdapat sebuah Lembaga Amil Zakat (LAZ). Namun belum ditemukan adanya pengentasan kemiskinan pada penduduk yang miskin melalui zakat. Padahal secara teori zakat dapat mengentaskan kemiskinan dan sejarah sudah membuktikannya sebagaimana tertera di atas. Data awal yang diperoleh peneliti dari LAZ yang ada di desa tersebut, yakni LAZ Masjid Y, Jumlah zakat mal yang terkumpul dalam satu tahun dari 104 orang muzakki mencapai Rp. 113.050.000 (Seratus tiga belas juta lima puluh ribu rupiah) dan data yang dimiliki oleh LAZ tersebut, Jumlah mustahiq) zakat yang masuk kategori miskin terdapat 117 orang. Menurut keterangan dari pengurus LAZ dan warga sekitar masih banyak orang yang dipandang kaya namun tidak mengeluarkan zakatnya, dan ini dimungkinkan karena kurangnya kesadaran mereka dalam memperhatikan masalah zakat. Dari data yang diperoleh peneliti, baik berupa data tertulis maupun keterangan-keterangan hasil wawancara tentang keadaan zakat di desa tersebut, peneliti punya asumsi bahwa daerah tersebut sebenarnya memiliki potensi besar dalam mengembangkan LAZ sehingga dapat dilakukan pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, peneliti memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap LAZ dan perannya dalam pengentasan kemiskinan pada desa tersebut, dengan harapan dapat ditemukan sejumlah penyebab ketidakmampuannya dalam mengentaskan kemiskinan yang kemudian dapat dicarikan solusi-solusi terbaik. B. Identifikasi Masalah Dalam mengidentifikasi masalah, peneliti menggunakan teori penetapan fokus, karena dengan penetapan fokus, masalah dapat lebih mudah diidentifikasi dan tepat dalam memberikan batasan masalah. Dalam penelitian ini, berdasarkan topik di atas, fokus penelitiannya adalah upaya LAZ dalam pengentasan kemiskinan serta kendala-kendala serta solusi dalam mengatasinya. Berbagai kemungkinan faktor yang ada kaitan dengan fokus tersebut subfokusnya adalah : 1. Tingkat kemaksimalan LAZ dalam beroperasi. 2. Porsi bagi fakir miskin diantara delapan asnaf zakat yang berhak menerimanya. 3. Kurang tepatnya LAZ dalam mendistribusikan zakat. 4. Sistem yang dipakai dalam mendistribusikan zakat. 5. Kesadaran masyarakat terhadap kewajiban zakat. 6. Tingkat kepercayaan masyarakat dalam menitipkan zakat pada LAZ. 7. Kurangnya perhatian pemerintah setempat dalam menangani zakat 8. Kurangnya sosialisasi tokoh agama dalam menyerukan zakat 9. Minimnya muzakki dikarenakan kondisi ekonomi C. Batasan Masalah Dari faktor atau subfokus tersebut di atas, semuanya sangat menarik untuk diteliti. Namun agar penelitian bisa lebih fokus dan tidak terlalu melebar pembahasannya, serta terkendali dalam ruang lingkup yang lebih jelas dan terukur, maka penulis membatasi masalah pada : 1. Pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y 2. Pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y 3. Tindakan yang dilakukan LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan D. Rumusan Masalah Mengacu pada identifikasi dan batasan masalah tersebut di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pola pengumpulan zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y ? 2. Bagaimana pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y ? 3. Apa saja tindakan pengelola LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan ? E. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah : 1. Untuk mengetahui pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y 2. Untuk mengetahui pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y 3. Untuk mengetahui apa saja tindakan pengelola LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan F. Kegunaan Penelitian Dari penulisan penelitian ini penulis mengharapkan adanya manfaat-manfaat sebagai berikut : 1. Kegunaan secara teoritis : a. Memberikan kontribusi dalam khazanah keilmuan tentang zakat dan LAZ b. Diketahuinya pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y c. Diketahuinya pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y d. Diketahuinya porsi zakat yang dialokasikan untuk fakir miskin oleh LAZ Masjid Y e. Diketahuinya wujud zakat dalam mengentaskan kemiskinan f. Ditemukannya solusi-solusi maksimalisasi zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan 2. Kegunaan secara praktis : a. Sebagai acuan kebijakan pemerintah setempat dalam memberikan perhatiannya pada pengembangan LAZ yang memiliki peran besar dalam ekonomi masyarakat b. Sebagai acuan bagi LAZ akan pentingnya peran LAZ dalam keberhasilan program zakat c. Kontribusi dalam rangka syi'ar penggalakan zakat |
TESIS PERANAN TEKNOLOGI INFORMASI SISTEM INFORMASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN Posted: 17 Jun 2013 08:57 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0218) : TESIS PERANAN TEKNOLOGI INFORMASI SISTEM INFORMASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN (PROGRAM STUDI : ILMU KOMPUTER) BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan menjelaskan latar belakang permasalahan yang mendasari timbulnya inisiatif untuk membuat karya akhir peranan teknologi/sistem informasi dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi dengan studi kasus di Politeknik X. Selain itu juga akan dijelaskan mengenai permasalahan, batasan masalah, tujuan dan manfaat, dan sistematika penulisan karya akhir. A. Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Lebih cepat, akurat dan nyaman adalah fungsi pelayanan, sebuah keunggulan bersaing melalui aplikasi Sistem dan Teknologi informasi (STI), sehingga para pengguna dapat mengakses informasi dari mana saja, kapan saja dengan bantuan media yang dari waktu ke waktu berkembang sedemikian cepatnya. Situs topuniversities.com pada tanggal 9 November 2007 lalu mengumumkan top 500 universities rankings. Harvard, Oxford Cambridge dan MIT masih mendominasi 5 posisi teratas. Sementara Indonesia menempatkan 6 wakilnya di posisi 401-500 yaitu : UGM, ITB, Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, IPB, dan Universitas Diponegoro. Agak mengecewakan memang jika dibandingkan dengan negara Asia-Pasific lainnya yang menempatkan Hongkong (University of Hongkong, posisi 18), Singapura (National University, 33), dan Malaysia (Universiti Sains Malaysia, 309). Tapi yang perlu digarisbawahi adalah kriteria utama penilaian survey ini adalah dalam 4 kategori utama yaitu : kualitas riset (reasearch quality), penerimaan dunia kerja (graduate employ ability), pandangan internasional (international outlook), dan kualitas pengajaran (teaching quality). Ke-empat kategori utama itu sangat mendukung pada penciptaan acquire knowledge dan critical thinking. Acquire knowledge mengarahkan siswa mampu menguji hubungan logis dan melihat suatu fenomena dari berbagai macam data dan parameter. Kegiatan tersebut seluruhnya membutuhkan suatu critical thinking atau proses disiplin secara intelektual dari bagaimana kita melakukan suatu konsep, refleksi, analisis dan evaluasi informasi. (MacNight, Educause Quarterly, 2000). Critical thinking sangat mempengaruhi proses belajar mengajar mulai dari komunikasi, interaksi, kreatifitas, dan pemecahan masalah. Salah satu tools untuk mendukung proses tersebut adalah dengan menerapkan suatu sistem informasi kampus/perguruan tinggi. Sistem informasi kampus ini harus mampu meng-capture semua kebutuhan sistem suatu perguruan tinggi, dari yang bersifat administratif (proses administrasi, registrasi, pembayaran, dll), yang bersifat primary (perkuliahan, penilaian, bimbingan), hingga yang bersifat masa depan (e-learning, e-education). Untuk merealisasikan sistem informasi kampus ini tentu saja membutuhkan formulasi yang tepat, dan sangat penting untuk melihatnya dari sisi faktor internal dan faktor eksternal (Khalil, 2000). Pengaruh sistem dan teknologi informasi dalam lingkungan perguruan tinggi menjawab pengaruh sistem informasi perguruan tinggi terhadap penciptaan acquire knowledge dan peningkatan critical thinking tentu tidak menjadi mutlak sebagai penentu peningkatan kualitas dari suatu institusi akademik. Kualitas SDM, manajemen dan kepemimpinan yang tertata dengan baik, proses dan metode pembelajaran yang berbasis pada kompetensi, aware terhadap perkembangan teknologi, dan tentu saja mampu menggabungkan atau menjembatani antara strategi bisnis dalam dunia akademis dengan strategi teknologi tetap menjadi prioritas utama dalam peningkatan kualitas suatu institusi pendidikan. Peningkatan kualitas dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Teknologi Pendidikan, yaitu dengan cara mencari dan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran kemudian dicarikan pemecahannya melalui aplikasi teknologi pendidikan. Upaya pemecahan permasalahan pendidikan terutama masalah kualitas pembelajaran, dapat ditempuh dengan cara penggunaan berbagai sumber belajar dan penggunaan media pembelajaran yang berfungsi sebagai alat bantu dan meningkatkan kadar hasil belajar mahasiswa. Berdasarkan uraian diatas maka perlu diteliti apakah implementasi teknologi dan sistem informasi dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran di perguruan tinggi ? B. Permasalahan Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah : apakah implementasi teknologi dan sistem informasi dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran di perguruan tinggi ? C. Batasan Masalah Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini dilakukan di Politeknik X khususnya Jurusan Teknik Elektro. 2. Penelitian ini dibatasi pada SI/TI yang telah diimplementasikan untuk membantu proses akademik, tidak termasuk di dalamnya rencana implementasi SI/TI berikutnya. D. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu mengkaji dan mengevaluasi apakah implementasi SI/TI dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di Politeknik X khususnya Jurusan Teknik Elektro. 2. Manfaat Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat tentang bagaimana mengoptimalkan implementasi SI/TI dalam peningkatan kualitas pembelajaran. E. Sistematika Penulisan Pembahasan pada karya akhir ini dibagi menjadi 6 (enam) bab, dengan tujuan untuk membentuk pembahasan yang sistematis. Penjelasan secara singkat mengenai pembahasan masing-masing bab sebagai berikut : 1. Bab I Pendahuluan, yaitu berisi tentang latar belakang, permasalahan, batasan masalah, tujuan dan manfaat, dan sistematika penulisan dari penelitian yang digunakan pada karya akhir ini. 2. Bab U Landasan Teori, yaitu membahas tentang Teknologi Informasi, Sistem Informasi, Peranan Teknologi Informasi, Aplikasi Teknologi dalam Metodologi Pembelajaran, Empat Pilar Pendidikan Formal, Karakteristik Perguruan Tinggi, Paradigma Penerapan Teknologi Informasi, Peluang Pemanfaatan TI di Perguruan Tinggi, Kualitas Pendidikan, Teknik Pengumpulan Data, dan Statistik Deskriptif (Descriptive Statistic). 3. Bab Hi Metodologi Penelitian, yaitu membahas tentang Rancangan/Kerangka Pemikiran Penelitian, Variabel Penelitian, Populasi Sample, Metode Pengumpulan Data, Metode Pengambilan Sample, Pertanyaan Kuisioner, Uji Coba dan Evaluasi, Metode Analisis Data, Pengujian Sample, dan Tahapan Penelitian. 4. Bab IV Profil Perguruan Tinggi, yaitu membahas tentang Latar Belakang, Profil Umum, Visi, Misi, dan Tujuan, Profil Jurusan Teknik Elektro dan Program Studi, Sarana Penunjang Pendidikan, Struktur Organisasi, Proses Bisnis, dan Kondisi SI/TI Saat ini pada Politeknik X. 5. Bab V Analisis, yaitu membahas tentang Uji Coba, Perolehan Data, Validitas Data, dan Analisis Data. 6. Bab VI Kesimpulan dan Saran, yaitu menyimpulkan hasil penelitian yang telah dilakukan, serta saran bagi penelitian selanjutnya dan bagi institusi Politeknik X. |
Posted: 17 Jun 2013 08:55 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0217) : TESIS HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN SIKAP GURU TERHADAP PEKERJAAN DENGAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU SMP (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan. Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan. Dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Djamarah berpendapat bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional. Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi. Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Aqib guru adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau kompetensi profesional dari seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan. Kompetensi profesional guru dalam hal ini guru matematika SMP Negeri di wilayah Kabupaten X masih relatif rendah. Berdasarkan hasil Tes Kompetensi Guru yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama yang bekerja sama dengan Pusat Penilaian Pendidikan pada Tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata nilai kompetensi guru matematika di Kabupaten X hanya mencapai 42,25%. Angka ini masih relatif jauh di bawah standar nilai kompetensi minimal yang diharapkan yaitu 75%. Pada dasarnya tingkat kompetensi profesional guru dipengaruhi oleh faktor dari dalam guru itu sendiri yaitu bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan yang diemban. Sedangkan faktor luar yang diprediksi berpengaruh terhadap kompetensi profesional seorang guru yaitu kepemimpinan kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pemimpin guru di sekolah. Sikap guru terhadap pekerjaan merupakan keyakinan seorang guru mengenai pekerjaan yang diembannya, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada guru tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu sesuai pilihannya. Sikap guru terhadap pekerjaan mempengaruhi tindakan guru tersebut dalam menjalankan aktivitas kerjanya. Bilamana seorang guru memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya, maka sudah barang tentu guru akan menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik di sekolah dengan penuh rasa tanggung jawab. Demikian pula sebaliknya seorang guru yang memiliki sikap negatif terhadap pekerjaannya, pastilah dia hanya menjalankan fungsi dan kedudukannya sebatas rutinitas belaka. Untuk itu amatlah perlu kiranya ditanamkan sikap positif guru terhadap pekerjaan, mengingat peran guru dalam lingkungan pendidikan dalam hal ini sekolah amatlah sentral. Sikap guru terhadap pekerjaan dapat dilihat dalam bentuk persepsi dan kepuasaannya terhadap pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan. Guru yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sudah barang tentu akan menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaanya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kompetensi profesional yang tinggi. Sikap positif maupun negatif seorang guru terhadap pekerjaan tergantung dari guru bersangkutan maupun kondisi lingkungan. Menurut Walgito, sikap yang ada pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor eksternal, yaitu berupa situasi yang dihadapi individu, norma-norma, dan berbagai hambatan maupun dorongan yang ada dalam masyarakat. Sekolah sebagai organisasi, di dalamnya terhimpun unsur-unsur yang masing-masing baik secara perseorangan maupun kelompok melakukan hubungan kerja sama untuk mencapai tujuan. Unsur-unsur yang dimaksud, tidak lain adalah sumber daya manusia yang terdiri dari kepala sekolah, guru-guru, staf, peserta didik atau siswa, dan orang tua siswa. Tanpa mengenyampingkan peran dari unsur-unsur lain dari organisasi sekolah, kepala sekolah dan guru merupakan personil intern yang sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah. Keberhasilan suatu sekolah pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan seorang kepala sekolah. Sedangkan Sekolah sebagai lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Wahjosumidjo mengemukakan bahwa : Penampilan kepemimpinan kepala sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala sekolah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan kepemimpinan kepala sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan keterampilan, perilaku maupun fleksibilitas pemimpin. Menurut Wahjosumidjo, agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu : kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan. Kemampuan profesional kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yaitu bertanggung jawab dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan peserta didik dapat belajar dengan tenang. Disamping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan sarana dan prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam melakukan tindakan, dapat menyebabkan guru sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal ini dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari seorang guru terhadap pekerjaannya di sekolah, sehingga pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi siswa di sekolah. Kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan, dan kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya. Dalam suatu lingkungan pendidikan di sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakan guru-guru agar terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga merupakan mitra kerja kepala sekolah dalam berbagai bidang kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan meningkatkan kompetensi profesionalnya Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan merupakan faktor yang cukup menentukan tingkat kompetensi profesional guru. Sehingga dapat diduga bahwa masih rendahnya kompetensi profesional guru dalam hal ini guru matematika SMP Negeri di Kabupaten X, disebabkan oleh kompetensi profesional guru itu sendiri yang rendah, kepemimpinan kepala sekolah yang kurang efektif dan sikap guru yang negatif terhadap pekerjaannya. Atas dasar pemikiran tersebut, peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang "Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Sikap Guru terhadap Pekerjaan dengan Kompetensi Profesional Guru Matematika SMP Negeri di Kabupaten X". B. Identifikasi Masalah Masalah yang muncul berkenaan dengan hubungan kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru, diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Apakah kepemimpinan kepala sekolah memiliki hubungan dengan kompetensi profesional guru. 2. Apakah sikap guru terhadap pekerjaan memiliki hubungan dengan kompetensi profesional guru. 3. Apakah kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan berhubungan dengan kompetensi profesional guru. 4. Apakah kompetensi profesional guru dapat ditingkatkan melalui kepemimpinan kepala sekolah. 5. Apakah kompetensi profesional guru dapat ditingkatkan melalui sikap guru terhadap pekerjaan guru. 6. Apakah para guru telah mempunyai tingkat kompetensi profesional yang tinggi. 7. Apakah kepala sekolah telah menerapkan kepemimpinan yang efektif dan relevan dengan kondisi sekolah. 8. Apakah para guru telah memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya. 9. Apakah kepemimpinan kepala sekolah yang semakin positif akan diiringi dengan semakin positifnya kompetensi profesional guru. 10. Apakah sikap guru terhadap pekerjaan yang positif akan diiringi dengan semakin positifnya kompetensi profesional guru. 11. Apakah tingkat kompetensi profesional guru yang rendah diakibatkan oleh kepemimpinan kepala sekolah yang kurang efektif dan tidak relevan. 12. Apakah tingkat kompetensi profesional guru yang rendah diakibatkan oleh sikap guru yang negatif terhadap pekerjaannya. 13. Bagaimana pola hubungan fungsional antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru. C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dilakukan agar penelitian lebih terarah, terfokus, dan tidak menyimpang dari sasaran pokok penelitian. Oleh karena itu, penulis memfokuskan kepada pembahasan atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari : 1. Hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru. 2. Hubungan antara sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru. 3. Hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru. Selanjutnya untuk lebih memperdalam penelitian, maka dipilih tiga variabel yang relevan dengan permasalahan pokok, yaitu kepemimpinan kepala sekolah sebagai variabel bebas kesatu (X1), sikap guru terhadap pekerjaan sebagai variabel bebas kedua (X2), dan kompetensi profesional guru sebagai variabel terikat (Y). D. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian ilmiah. Perumusan masalah berguna untuk mengatasi kerancuan dalam pelaksanaan penelitian. Berdasarkan masalah yang dijadikan fokus penelitian, masalah pokok penelitian tersebut dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru. 2. Apakah terdapat hubungan antara sikap terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru. 3. Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru. E. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian yaitu untuk meningkatkan kompetensi profesional guru dengan melihatnya dari aspek kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan. Untuk maksud tersebut, dicari hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru dan hubungan antara sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru. Setelah itu dikaji bagaimana hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan secara bersama-sama dengan kompetensi profesional guru. Dengan mengetahui hubungan tersebut, hasil penelitian diharapkan berguna untuk meningkatkan kompetensi profesional guru matematika khususnya di Kabupaten X. |
TESIS KONTRIBUSI MOTIVASI DAN IKLIM KOMUNIKASI KELAS TERHADAP HASIL BELAJAR KIMIA Posted: 17 Jun 2013 08:53 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0216) : TESIS KONTRIBUSI MOTIVASI DAN IKLIM KOMUNIKASI KELAS TERHADAP HASIL BELAJAR KIMIA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah sering dijadikan tumpuan utama masyarakat dalam menilai berhasil tidaknya pendidikan. Keberhasilan atau prestasi belajar siswa hanya sering dilihat sebagai kesuksesan dan keunggulan pihak sekolah semata. Sebaliknya, kegagalan atau rendahnya kualitas siswa sering dilihat sebagai ketidakmampuan pihak Sekolah menyelenggarakan proses pendidikan. Dengan kata lain masyarakat banyak beranggapan bahwa sekolah adalah "cause prima" kualitas pendidikan. Pernyataan legal formal tersebut menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan bukan hanya bertumpu dan menjadi tanggung jawab sekolah, yang sebagian besar diselenggarakan oleh pemerintah. Peran serta aktif masyarakat dan keluarga sangat dibutuhkan dan menentukan kualitas produk. Sekolah tidak mungkin bekerja sendiri menyelenggarakan proses pendidikan. Keluarga dan masyarakat juga tidak bisa lari meninggalkan tanggung jawab pendidikan. Ketiga pusat pendidikan tersebut harus bekerjasama, kompak dan secara simultan bertanggung jawab terhadap proses pendidikan. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan harus dimengerti sebagai kebanggaan dan keprihatinan bersama. Proses pendidikan keberadaan siswa bukan sebagai objek atau barang yang dapat dibentuk menjadi apa saja. Siswa adalah subjek pendidikan, yang di dalam dirinya terdapat bakat, minat, kemampuan dan motivasi yang berbeda-beda. Semuanya itu menunjukkan karakteristik unik siswa yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Asumsi dasar tersebut membawa konsekuensi logis, bahwa keberadaan siswa yang unik harus dipertimbangkan dan menjadi dasar dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Siswa adalah manusia yang berkarakter khas, yang tidak dapat diperlakukan seperti mesin. Pada hakekatnya fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003). Perwujudannya tidak hanya tergantung pada sekolah, keluarga maupun masyarakat. Siswa sebagai subjek belajar, memiliki potensi dan karakteristik unik, sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Kemampuan dan kesungguhan siswa merespon pengetahuan, nilai dan ketrampilan mempunyai andil yang besar dalam keberhasilan belajar. Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak hal yang sangat kompleks, yaitu siswa, sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian, untuk menghasilkan siswa yang berkualitas dan berprestasi, perlu adanya optimalisasi seluruh unsur tersebut. Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya, maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi, tetapi justru siswa yang aktif mencari informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Di samping itu, guru juga dapat mengembangkan iklim komunikasi di kelas selama pembelajaran berlangsung. Iklim komunikasi yang dimaksud adalah adanya umpan balik interaktif antara guru dan peserta didik. Dengan demikian, siswa akan mampu memberikan respon balik terhadap materi pembelajaran secara aktif, tidak harus menunggu informasi dari guru. Istilah motivasi bisa di dapat dari bahasa latin movere yang berarti "menggerakkan", bahwa motivasi adalah penggerak yang telah menjadi aktif (Winkel). Sedangkan Donald (dalam Sumanto) menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu perubahan tenaga di dalam diri atau pribadi seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi dalam mencapai tujuan, motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut (dalam Abidin, 2007). B. Identifikasi Masalah Pentingnya peranan motivasi dalam proses pembelajaran perlu dipahami oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor dari dalam maupun luar siswa, untuk mencapai tujuan tertentu guna memenuhi atau memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk belajar. Teori behaviorisme menjelaskan motivasi sebagai fungsi rangsangan (stimulus) dan respons, sedangkan apabila dikaji menggunakan teori kognitif, motivasi merupakan fungsi dinamika psikologis yang lebih rumit, melibatkan kerangka berpikir siswa terhadap berbagai aspek perilaku (Pakdesota, 2008. Jurnal Pendidikan Motivasi dalam Pembelajaran. www.wordpress.com). Siswa SMA Negeri X Kabupaten X berasal dari berbagai wilayah di sekitar Kabupaten X, siswa memiliki potensi diri yang berbeda-beda, baik motivasi, kemampuan berkomunikasi, dan hasil belajarnya. C. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada masalah motivasi, iklim komunikasi kelas, dan hasil belajar kimia pada peserta didik SMA Negeri X. Motivasi terkait dengan motif dalam diri, motif luar diri, dan ekspektasi (harapan), iklim komunikasi kelas terkait dengan komunikasi siswa selama berlangsungnya pembelajaran di dalam kelas dan atau di luar kelas, dan hasil belajar kimia yang tercantum dalam rapor. D. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan, apakah motivasi dan iklim komunikasi kelas berdampak terhadap hasil belajar kimia pada peserta didik SMA Negeri X ? E. Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan motivasi, iklim komunikasi dalam kelas, dan hasil belajar peserta didik. Sedangkan tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah ingin mendeskripsikan kontribusi motivasi dan iklim komunikasi kelas terhadap mutu hasil belajar kimia pada peserta didik SMA Negeri X F. Manfaat Manfaat teoritis penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang kontribusi motivasi dan iklim komunikasi kelas terhadap mutu hasil belajar kimia pada peserta didik SMA Negeri X, dan dapat dipergunakan sebagai bahan penelitian berikutnya yang sejenis. Sedangkan manfaat praktis, bagi sekolah, dapat dipergunakan sebagai bahan kajian tentang kontribusi motivasi dan iklim komunikasi kelas terhadap mutu hasil belajar kimia pada peserta didik SMA Negeri X. Bagi guru dan peserta didik, dapat dipergunakan sebagai bahan implementasi pembelajaran tentang pentingnya motivasi pembelajaran dan iklim komunikasi kelas yang membangun dan menunjang hasil belajar. |
Posted: 17 Jun 2013 08:51 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0215) : TESIS KONTRIBUSI PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia dalam organisasi, termasuk sekolah memiliki posisi yang sangat vital. Keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya. Orang-orang yang bekerja di sekolah adalah kepala sekolah, guru dan staf tatalaksana. Dalam kegiatan pelaksanaan pendidikan di sekolah, guru merupakan orang yang paling penting karena gurulah yang melaksanakan pendidikan langsung menuju tujuannya. Gurulah yang secara operasional melaksanakan segala bentuk, pola, gerak dan geliat berbagai pembahan di lini paling depan dalam pendidikan, karena memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik (UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 1). Pelaksanaan tugas-tugas profesionalnya terungkap dari bagaimana ia bekerja, atau dengan kata lain dari kinerjanya. Kinerja personal sekolah terkait dengan produktivitas sekolah, yang merupakan tujuan akhir dari administrasi atau penyelenggaraan pendidikan (Komariah dan Triatna, 2005 : 30). Kinerja adalah proses yang menentukan produktivitas organisasi. Jika produktivitas sekolah diukur dari prestasi belajar siswa, maka hal tersebut sangat tergantung prosesnya, yaitu kinerja mengajar gurunya. Dengan kata lain, secara terbalik, tak akan ada produktivitas berupa prestasi belajar siswa yang berarti tanpa kinerja mengajar guru yang baik. Tanpa memperbaiki kinerja guru, semua upaya untuk membenahi pendidikan akan kandas. Kurikulum yang baik, perpustakaan yang lengkap, laboratorium canggih, ketersediaan komputer dan internet nyaris tidak ada artinya untuk memperbaiki mutu pendidikan bila guru-gurunya tidak bermutu dan tidak mencintai profesinya. guru bermutu adalah guru yang menguasai ilmu yang diajarkan sekaligus menguasai keterampilan mengajar. Guru berkualitas hampir tidak mungkin dilahirkan apabila lembaga pendidikan gurunya tidak berkualitas dan mahasiswanya kelas dua. Masalah itu kait-mengait, dan pada akhirnya bermuara pada sejauh mana bangsa ini menghargai profesi guru (Susahnya Benahi Profesi Guru, http://kompas-cetak/0602/21/humaniora/2455732.htm). Kustono, melalui makalah seminar nasional yang berjudul Urgensi Sertifikasi guru dalam rangka Dies Natalis UNY yang ke-43 tanggal 5 Mei 2007 di Yogyakarta, mengaitkan kinerja guru yang rendah dengan kualitas guru yang rendah pula. Ia mengemukakan bahwa : Kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal terutama bila mengacu pada amanat UU RI No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.050 (69,45%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Kualifikasi guru dimaksud masing-masing sebagai berikut : guru TK terdapat 91,54%, SD terdapat 90,98%, SMP terdapat 48,05%, dan SMA terdapat 28,84% yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4 (Kustono, 2007). Khusus untuk guru SMP-yang menjadi responden dalam penelitian ini, menurut data tahun 2005 tersebut, guru SMP yang layak mengajar adalah 51,95%. Pada tahun pelajaran 2006/2007 ada peningkatan, dari 624.726 guru SMP negeri dan swasta, yang layak mengajar adalah 487.512 guru atau 78,04% (Statistik SMP-Depdiknas, http://www.depdiknas.go.id/statistik/0607/smp0607/tbl14i.pdf). Meningkatnya jumlah guru SMP yang layak mengajar tersebut. sebagai akibat dari tuntutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, pasal 4-5 yang mensyaratkan sertifikasi dengan kualifikasi akademik minimal S1/D4. Persyaratan tersebut selain menjadikan perekrutan guru baru dari lulusan jenjang pendidikan tersebut, juga mendorong guru yang semula belum berijazah S1/D4 melanjutkan pendidikannya ke jenjang tersebut. Peningkatan kualifikasi akademik yang ditempuh melalui proses pendidikan tersebut sudah seharusnya meningkatkan kemampuan guru. Namun demikian, tidak serta-merta meningkatkan kinerjanya. Permadi dan Dadi menemukan guru dalam menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), setelah diberlakukan sejak tahun 2006 : Pelaksanaan proses belajar mengajar dengan model kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang sekarang disempurnakan menjadi model KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang juga menekankan perlunya ada berbagai upaya untuk secara mandiri dari guru untuk berkreasi agar pengajaran di kelas menjadi lebih menarik dan menyenangkan, masih jauh dari harapan. guru masih terlalu kaku dan takut untuk mengambil inisiatif karena pada zaman orde baru selalu kamus "mohon petunjuk" dari yang lebih atas (kepala sekolah, pengawas, dan birokrat pemerintah) serta takut disalahkan jika memiliki suatu ide dalam inovasi pembelajaran (Permadi dan Arifin, 2007 : 63). Sulistyo-Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan guru Republik Indonesia (PGRI), dalam rangka peringatan Hari guru Internasional, Minggu, 5 Oktober 2008, mengatakan bahwa kemampuan guru mempersiapkan pembelajaran di kelas masih lemah, guru kurang memiliki gambaran apa yang hams dilakukannya di kelas. Menurutnya, penting untuk menumbuhkan kesadaran internal guru sendiri tentang perbaikan dan perubahan kinerja, guru perlu mengetahui persis kewajiban dan penguasaan kompetensi secara maksimal. Oleh karena itu menurutnya, persoalan peningkatan mutu guru tidak dapat ditawar-tawar lagi, sudah mutlak hams dilakukan, tanpa peningkatan mutu guru, upaya peningkatan kualitas pendidikan dan kucuran anggaran besar-besaran sia-sia belaka. Sulistiyo mengemukakan semua ini didasarkan pada disertasi hasil penelitiannya dengan menyebar kuesioner, observasi dalam kelas, wawancara mendalam, serta tes psikologi mengenai kemampuan metakognisi guru dalam mempersiapkan pembelajaran, yakni bagaimana guru merancang, memikirkan, dan mengelola bahan ajar. (Mutu Guru Sudah Mutlak Pemerintah Harus Bantu Memperluas Wawasan Guru, http://cetak.kompas.eom/read/xml/2008/l 0/06/01035533/mutu.guru.sudah.mutlak). Secara umum, A. Dale Timple mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal (Mangkunegara, 2007 : 15). Beberapa peneliti telah memilih faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja guru sesuai dengan interest masing-masing. Hasil penelitian mereka penulis pelajari sebagai bagian dari studi awal sebelum melakukan penelitian yang sebenarnya. Yang pertama adalah hasil penelitian Wuviani (2005) yang meneliti kinerja guru dengan judul "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru". Ia membatasi faktor-faktor tersebut pada tiga variabel, yaitu (1) kualifikasi pendidikan, (2) motivasi kerja guru, dan (3) kepemimpinan kepala sekolah. Dengan populasi guru SMAN di kota Bandung, Wuviani menemukan, bahwa ketiganya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru, dengan rincian : (1) kualifikasi pendidikan sebesar 37,40%, (2) motivasi kerja guru sebesar 45,20%, dan (3) kepemimpinan kepala sekolah sebesar 51,80%. Secara bersama-sama ketiganya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru sebesar 67,00%. Sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain. Kemudian, Riduwan (2006) meneliti kinerja dosen dengan judul "Kontribusi Kompetensi Profesional dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Dosen (Studi pada Universitas Jendral Achmad Yani Kota Cimahi)". Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi profesional secara signifikan memberikan kontribusi sebesar 30,46%, dan motivasi kerja sebesar 61,94% terhadap kinerja dosen. Secara simultan keduanya memberikan kontribusi terhadap kinerja dosen secara signifikan sebesar 90,00%, dan sisanya sebesar 10,00% merupakan pengaruh faktor lain. Terakhir, Husdarta (2007 : 12-25) melakukan penelitian dengan judul "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Pendidikan Jasmani". Berdasarkan teori yang dipelajarinya, ia menemukan bahwa untuk meningkatkan kinerja guru harus mempertimbangkan faktor internal dan eksternal guru. Ia mengidentifikasi lima variabel yang mempengaruhi kinerja guru, yaitu (1) layanan supervisi, (2) kepemimpinan kepala sekolah, (3) fasilitas pembelajaran, (4) kompetensi, dan (5) motivasi berprestasi. Dengan metode penelitian deskriptif, teknik pengumpulan data kuesioner, sampel sebanyak 150 guru olah raga SD yang ditarik melalui random sampling technique. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempengaruhi kinerja guru pendidikan jasmani dengan besaran : (1) layanan supervisi 5,70%, (2) kepemimpinan kepala sekolah 17,20%, (3) fasilitas pembelajaran 6,10%, (4) kompetensi 13,90%, dan (5) motivasi berprestasi 12,60%. Pengaruh kelima variabel secara bersama-sama adalah 55,40%, sisanya 44,60% pengaruh dari variabel lain. Terdapatnya hubungan yang signifikan antara berbagai variabel dengan kinerja guru yang tercermin dalam judul-judul tesis dan disertasi para peneliti tersebut, menunjukkan betapa banyaknya faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru. Dua faktor atau variabel lain yang penulis duga memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja mengajar guru adalah motivasi berprestasi guru dan supervisi akademik kepala sekolah terhadap guru. Motivasi berprestasi merupakan bagian dari motivasi kerja yang lebih spesifik dengan karakteristik berorientasi pada keberhasilan, kesempurnaan, kesungguhan dan keunggulan dalam melaksanakan pekerjaan. Penulis memandang faktor tersebut sangat mengagumkan jika dimiliki oleh pegawai, khususnya guru, dan penting dalam mendukung kinerja mereka. Supervisi merupakan upaya pembinaan agar semua faktor yang mempengaruhi pegawai tidak mengganggu kinerja mereka, melainkan sebaliknya, menggiringnya menjadi potensi untuk bekerja secara profesional. Upaya ini menjaga pegawai sehingga mereka tetap on the track. W. Edwards Deming, ahli kualitas, menggarisbawahi pentingnya supervisi atau pengawasan sebagai bagian dari manajemen mutu keseluruhan (total). Ia mengemukakan bahwa "pada dasarnya, kinerja karyawan lebih merupakan fungsi dari pelatihan, komunikasi, alat, dan pengawasan ...." (Dessler, 2006 : 322). Aktivitas supervisi berupaya untuk melakukan perbaikan yang terus menerus (continuous improvement), pencapaian kualitas dan ketercapaian tujuan yang lebih baik (Dessler, 2006 : 323). Jenis supervisi dalam dunia pendidikan disesuaikan dengan tujuan dan sasarannya. Salah satunya adalah supervisi akademik yaitu supervisi pendidikan yang berupaya untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran melalui peningkatan kemampuan profesional guru (Satori, 2004 : 3). Supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah penulis pandang penting karena merupakan rangkaian dari aktivitas quality assurance dalam pendidikan. Penilaian terhadap aktivitas supervisi akademik kepala sekolah secara kedinasan dilakukan oleh pengawas sekolah, namun dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah ini berdasarkan persepsi guru yang disupervisinya. Dengan latar belakang masalah seperti yang dipaparkan di atas, penulis melakukan penelitian yang berfokus pada kinerja guru dengan judul "Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten X". B. Identifikasi Dan Batasan Masalah Jika dirinci, banyak faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru. Faktor-faktor tersebut bisa bersumber dari diri guru itu sendiri (internal), dan bersumber dari luar guru (eksternal). Yang tergolong faktor internal guru antara lain : 1. Kesehatan 2. Kecacatan 3. Gender berprestasi 4. Minat 5. Sikap 6. Kemampuan 7. Motivasi 8. Persepsi dan lain-lain. 9. Kepercayaan 10. Komitmen 11. Tingkat pendidikan 12. Pengalaman kerja, Yang tergolong faktor eksternal guru antara lain : 1. Kebijakan 2. Manajemen sekolah 3. Supervisi akademik dihadapi 4. Iklim sekolah 5. Sarana prasarana 6. Siswa yang dan lain-lain 7. Pendapatan pemerintah 8. Kehidupan sosial Karena terbatasnya waktu dan dana, dalam penelitian ini penulis membatasi masalahnya pada dua faktor internal guru yang mempengaruhi kinerja mengajarnya, yaitu variabel motivasi berprestasi guru dan variabel persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah. Adapun guru dan kepala sekolah yang dimaksudkan dalam kedua variabel tersebut adalah guru dan kepala SMP negeri di kabupaten X. Alasan untuk memilih variabel motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten X adalah : 1. Belum terukurnya motivasi berprestasi guru SMP negeri dalam wilayah kabupaten X. 2. Motivasi berprestasi guru merupakan kunci keunggulan guru, yang akan berimbas pada keunggulan siswa, keunggulan sekolah dan keunggulan proses dan produk pendidikan nasional. Sedangkan alasan memilih variabel persepsi guru tentang supervisi akademik kepala SMP negeri di kabupaten X adalah : 1. Kegiatan supervisi akademik merupakan rangkaian dalam penjaminan mutu pendidikan, tapi sering terabaikan oleh kepala sekolah. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Willis (Satori, 1989 : 100), yang menemukan bahwa kepala sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk mengerjakan pekerjaan kantor dan menghadiri rapat-rapat yang sifatnya berisi masalah-masalah administratif. Di negeri kita sendiri disinyalir bahwa pengawasan internal kurang berjalan dengan baik, termasuk supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah kepada guru. Hal ini dimuat dalam harian Radar Semarang : "Secara teoritis kepala sekolah telah banyak menyusun perencanaan supervisi guru di kelas, namun dengan dalih kesibukan tugas pokok lainnya pelaksanaan supervisi belum banyak dilakukan" (Eriyadi, 2008). 2. Supervisi akademik merupakan salah satu dimensi standar kompetensi kepala sekolah (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, BSNP, 2007 b : 10, 18, 26) yang perlu diketahui implementasinya. 3. Gurulah yang paling menyaksikan (melihat), mendengar, dan merasakan sendiri bagaimana kepala sekolah melakukan supervisi akademik kepada mereka secara aktual (empiris) di sekolah tempat mereka bekerja. C. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah deskripsi empiris persepsi guru tentang perilaku supervisi akademik kepala SMP negeri di kabupaten X ? 2. Bagaimanakah deskripsi empiris motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten X ? 3. Bagaimanakah deskripsi empiris kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X ? 4. Berapa besar kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X ? 5. Berapa besar kontribusi motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X ? 6. Berapa besar kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X ? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisis deskripsi persepsi guru tentang perilaku supervisi akademik kepala sekolah SMP negeri di kabupaten X. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis deskripsi motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten X. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis deskripsi kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X. 4. Untuk mengetahui dan menganalisis besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X. 5. Untuk mengetahui dan menganalisis besarnya kontribusi motivasi berprestasi gum terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X. 6. Untuk mengetahui dan menganalisis besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru secara bersama-sama terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini, setidak-tidaknya ada dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis menekankan manfaat penelitian ini dari segi ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu dapat memberikan sumbangan terhadap khazanah pengembangan ilmu administrasi pendidikan khususnya fungsi supervisi, dan perilaku organisasional pendidikan menyangkut motivasi berprestasi dan kinerja mengajar guru. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah : a. Dengan mengetahui deskripsi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah, motivasi berprestasi guru dan kinerja mengajar guru, maka gambaran ketiga variabel tersebut bisa menjadi bahan masukan bagi dinas pendidikan dalam menentukan kebijakan dan pembinaan pegawai, khususnya guru dan kepala sekolah. b. Dengan mengetahui besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, khususnya kepala sekolah dan pengawas sekolah mendapat masukan untuk mengarahkan dan membina guru dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah yang dipimpin dan dibinanya. c. Dengan mengetahui besarnya kontribusi motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, khususnya kepala sekolah dan pengawas sekolah bisa mengkondisikan terciptanya kinerja mengajar guru yang prima. d. Dengan mengetahui besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, terutama departemen (pemerintah pusat) dan dinas pendidikan (pemerintah daerah) bisa menentukan kebijakan yang kondusif dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. |
Posted: 17 Jun 2013 08:49 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0214) : TESIS KONTRIBUSI SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA PENGAWAS SEKOLAH DI BIDANG AKADEMIK TERHADAP MUTU PEMBELAJARAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional yaitu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, diperlukan pendidikan yang dapat mengembangkan kepribadian, kecerdasan, keterampilan serta menambah wawasan menjadi lebih luas dan dapat mengembangkan potensi diri pribadi. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan secara terus-menerus. Hal ini dikarenakan pengaruh perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang serba cepat menuntut guru-guru harus terus menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Tenaga kependidikan adalah salah satu faktor yang erat kaitannya dengan mutu pendidikan. Guru dan kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas kepala sekolah sebagai manajer sangat dipengaruhi oleh kinerja (capability) manajerial yang dimiliki dalam upaya memberdayakan guru sehingga terwujud guru yang professional yang selalu ingin mengaktualisasi dalam bentuk peningkatan mutu pendidikan. Kepala sekolah yang mempunyai kinerja yang baik yaitu seorang kepala sekolah yang mempunyai kapasitas intelektual, emosional, dan spiritual yang baik serta berwawasan luas dan futuristik. Kapasitas intelektual diperlukan dalam mencermati, memahami, dan menganalisis setiap informasi yang diperoleh. Kapasitas emosional diperlukan dalam menghadapi berbagai tekanan dan dalam membangun hubungan. Sedangkan kapasitas spiritual diperlukan pada saat melakukan pengambilan keputusan agar keputusan yang diambil merupakan keputusan yang berpihak pada kebenaran. Adapun wawasan yang luas dan futuristik merupakan modal dasar dalam membaca tanda-tanda perubahan lingkungan sekolah sehingga dapat membawa sekolah yang dipimpinnya tetap eksis dalam kondisi perubahan yang terus terjadi. Kepala sekolah yang ideal mampu mensinergikan kemampuan manajemen dan kemampuan kepemimpinan secara simultan. Pada tataran perilaku interaksi antar manusia organisasional dan pemberdayaan sumber daya pendukungnya, kedua kemampuan itu sulit dipisahkan, karena memang praktis kepemimpinan dan manajemen tidak mudah dibedakan. Dan salah satu tugas kepala sekolah dalam melaksanakan manajemen sekolah adalah mengendalikan. Melalui fungsi pengendalian, kepala sekolah dapat menjalankan organisasi persekolahan agar tetap berproses pada arah yang benar dan tidak membiarkan deviasi atau penyimpangan yang terlalu jauh dari arah tujuan yang telah ditetapkan. Pengendalian dan supervisi dilakukan untuk mengukur dan mengoreksi prestasi kerja bawahan guna memastikan bahwa tujuan organisasi di semua tingkat dan rencana yang didesain dapat dilaksanakan secara baik. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditegaskan bahwa jenjang pendidikan menengah, selain pengawasan, kepala sekolah juga mendapat tugas sebagai supervisor yang diharapkan dapat setiap hari berkunjung ke kelas dan mengamati kegiatan guru yang sedang mengajar serta bahwa setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran , pelaksanaan proses pembelajaran , dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Kegiatan supervisi melengkapi fungsi-fungsi administrasi yang ada di sekolah sebagai fungsi terakhir, yaitu penilaian terhadap semua kegiatan dalam mencapai tujuan. Supervisi mempunyai peran mengoptimalkan tanggung jawab dari semua program. Supervisi bersangkut-paut dengan semua upaya penilaian yang tertuju pada semua aspek yang merupakan faktor penentu keberhasilan. Dalam pelaksanaannya, pembinaan yang bersifat akademik profesional atau teknis-edukatif harus mendapat perhatian yang lebih besar dari pada perilaku supervisi (supervisor), karena pembinaan inilah yang berhubungan langsung dengan perbaikan pengajaran. Sedangkan pembinaan yang bersifat administratif tidak secara langsung berkaitan dengan perbaikan pengajaran, akan tetapi dapat mendukung terselenggaranya kegiatan pembelajaran secara optimal. Supervisi oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah terhadap guru merupakan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara profesional untuk membantu pertumbuhan pribadi dan profesi agar setiap orang mengalami peningkatan kualitas diri menuju guru profesional. Supervisi oleh pengawas sekolah dan kepala sekolah meliputi supervisi akademik yang berhubungan dengan aspek pelaksanaan proses pembelajaran, dan supervisi manajerial yang berhubungan dengan aspek pengelolaan dan administrasi sekolah serta bertujuan memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas yang pada akhirnya akan menghasilkan pembelajaran yang bermutu dan guru yang profesional. Guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian, baik dalam mated maupun metode. Selain itu, juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru yang profesional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, negara, dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi yang mandiri, mampu memahami dirinya. Tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Merupakan suatu yang mustahil, pendidikan atau sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Merupakan suatu yang mustahil pula, terjadi proses pendidikan yang bermutu jika tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula. Proses pendidikan yang bermutu dapat dikatakan dimulai dari kelas, karena guru ditingkat operasional merupakan penentu keberhasilan pendidik melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperimental. Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini peran guru mengalami perluasan yaitu sebagai : pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Kegiatan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Pengelolaan kelas yang baik akan menghasilkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Selain pengelolaan kelas, perubahan paradigma pengajaran dan pembelajaran amat bergantung pada perubahan pemahaman para guru tentang dasar dan teori kependidikan yang dianutnya, termasuk dengan perubahan cara pandang (point of view) dan pola pikir (mindset) tentang peran dan kompetensi profesional pendidik dalam proses pembelajaran di sekolah. Bagaimana proses tersebut dapat berjalan dengan baik tentu dibutuhkan pengawasan yang baik pula. Proses pengawasan terhadap kegiatan pembelajaran dapat dilakukan oleh kepala sekolah sebagai bagian dari tugas manajerialnya dan oleh pengawas bidang studi sebagai bagian dari tugas pokok dan fungsinya. Melalui pengawasan yang baik, teratur, disertai masukan-masukan yang membangun maka proses kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan efektif dan bermutu. Hal tersebut didukung pula oleh sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas, media, serta sumber belajar yang memadai, baik mutu maupun jumlahnya, dan biaya yang mencukupi, manajemen yang tepat serta lingkungan yang mendukung (Nana Syaodih, 2006 : 6). Berdasarkan hal tersebut, disadari bahwa kepala sekolah melalui supervisi akademiknya, kinerja pengawas sekolah di bidang akademik dengan pembinaannya dan guru dengan pembelajarannya yang bermutu, akan sangat menentukan terhadap terciptanya sekolah yang memiliki mutu lulusan yang baik, yaitu mutu siswa yang mempunyai kemampuan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat dalam angka menjawab tantangan moral, mental, dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang penelitian dan identifikasi masalah yang telah diuraikan tersebut, maka fokus penelitian ini berkaitan dengan supervisi akademik kepala sekolah dan kinerja pengawas sekolah di bidang akademik terhadap mutu pembelajaran di sekolah-sekolah standar nasional di X. Rumusan masalah penelitian tersebut dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran deskriptif perilaku supervisi akademik kepala sekolah di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X ? 2. Bagaimana gambaran deskriptif tentang kinerja pengawas sekolah di bidang akademik di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X ? 3. Bagaimana gambaran deskriptif tentang mutu pembelajaran di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X ? 4. Berapa besar kontribusi perilaku supervisi akademik kepala sekolah terhadap mutu pembelajaran di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X ? 5. Berapa besar kontribusi kinerja pengawas sekolah di bidang akademik terhadap mutu pembelajaran di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X ? 6. Berapa besar kontribusi perilaku supervisi akademik kepala sekolah dan kinerja pengawas sekolah di bidang akademik secara bersama-sama terhadap mutu pembelajaran di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang kontribusi supervisi akademik kepala sekolah dan pembinaan pengawas sekolah terhadap mutu pembelajaran di Sekolah Rintisan Sekolah Standar Nasional di X. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis : 1. Gambaran perilaku supervisi akademik kepala sekolah di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X. 2. Gambaran kegiatan kinerja pengawas sekolah di bidang akademik di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X. 3. Gambaran mutu pembelajaran di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X. 4. Kontribusi supervisi akademik kepala sekolah terhadap mutu pembelajaran di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X. 5. Kontribusi kinerja pengawas sekolah di bidang akademik terhadap mutu pembelajaran di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X. 6. Kontribusi supervisi akademik kepala sekolah dan kinerja pengawas sekolah di bidang akademik secara bersama-sama terhadap mutu pembelajaran di SMA Rintisan Sekolah Standar Nasional se-Kabupaten X. |
Posted: 17 Jun 2013 08:46 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0213) : TESIS STUDI TENTANG KEPUASAN SISWA DITINJAU DARI UNJUK KERJA GURU, FASILITAS PEMBELAJARAN DAN KESELAMATAN KERJA SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara membutuhkan sumber daya yang berkualitas sebab sumber daya yang berkualitas akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan pembangunan suatu bangsa dalam berbagai bidang. Tidak hanya dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diharapkan, tetapi juga sikap mental yang baik. Oleh karena itu, setiap negara selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia itu dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas pendidikan bangsanya karena dengan pendidikan yang berkualitas akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas pula, yang pada akhirnya dapat mendukung perkembangan pembangunan nasional. Sumber daya manusia yang berkualitas juga akan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk kemajuan bangsa dan negara. Hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai akhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, estetis, dan demokratis, serta memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan meningkatkan kinerja para guru karena para guru merupakan pejuang pendidikan yang langsung berhadapan dengan siswa. Tanpa adanya kinerja atau prestasi kinerja para guru, peningkatan kualitas pendidikan tidak akan tercapai. Kepala sekolah sebagai atasan langsung dan pemegang kunci kepemimpinan di sekolah, harus mampu membangkitkan semangat kerja terhadap bawahannya sehingga dapat tercipta bahwa semua warga sekolah mempunyai sikap dan perilaku yang setia dan taat kepada tugas-tugas yang diembannya, memiliki dedikasi yang tinggi, berdaya guna dan berhasil guna, serta bertanggung jawab sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas guru tidak hanya melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif dan efisien, tetapi juga sebagai figur yang diharapkan mampu membentuk dan membangun watak dan kepribadian para siswanya sehingga mereka memiliki sikap mental yang baik yang dibutuhkan dalam pembangunan nasional suatu bangsa. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan sikap anak-anak yang perlu diperhatikan dalam pendidikan ialah kematangan (maturation), keadaan fisik anak, pengaruh keluarga, lingkungan sosial, kehidupan sekolah, bioskop, guru, kurikulum sekolah, dan cara guru mengajar. Untuk mewujudkan tercapainya keberhasilan pendidikan di sekolah, faktor lingkungan kerja tidak dapat diabaikan. Lingkungan kerja yang nyaman, dan keharmonisan kerja diantara teman sejawat akan sangat mendukung suasana kerja warga sekolah, yang pada akhirnya akan mempunyai dampak positif terhadap keberhasilan pendidikan sekolah tersebut. Jika lingkungan kerja di sekolah tidak nyaman, atau sering terjadi pertikaian antar teman sekerja, keberhasilan pendidikan di sekolah tersebut tidak akan memenuhi harapan yang diinginkan. Tidak hanya hubungan baik antara sesama teman sekerja saja, yang diharapkan dapat tercipta, tetapi hubungan dan kerja sama yang baik dengan orang tua, masyarakat, dan pemerintah pun harus terpelihara dengan baik. Pendidikan, baik formal maupun nonformal, adalah sarana untuk pewarisan kebudayaan. setiap masyarakat mewariskan kebudayaannya kepada generasi yang lebih kemudian agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan berkembang, melalui pendidikan. Sudah lama banyak orang mempertanyakan pendidikan kita, mengapa hasilnya tidak memperkuat dan mengembangkan budaya sendiri ? mengapa bangsa kita mudah larut dalam pengaruh budaya yang datang dari luar ? mengapa budaya asli kita tidak dapat menahan banjir bandang globalisasi yang datang ? pendidikan kita selama ini menjadi sarana pewarisan budaya atau tidak ?. Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan kebutuhan pelanggan dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien dan lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Anonim. 2007. "Mengukur Kepuasan Pelanggan". www.wordpress.com). Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara kepada ketidakmampuan guru di dalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi-sisi kelemahan pada guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada sistem yang berlaku, baik sengaja ataupun tidak akan berpengaruh terhadap permasalahan tadi. Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah dari sistem pendidikan nasional kita, dengan gonta ganti kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru profesional (Isjoni, 2007. "Kinerja Guru". www.researchengines.com/isjoni12.html). B. Identifikasi Masalah 1. Unjuk kerja guru belum optimal 2. Fasilitas pembelajaran yang selama ini berlangsung dalam implementasi di SMK X perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya 3. Keselamatan kerja siswa selama sekolah perlu diperhatikan dan diberikan asuransi, yang selama ini belum ada asuransi keselamatan kerja siswa 4. Kepuasan siswa dalam melaksanakan pembelajaran masih perlu ditingkatkan. C. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada masalah kepuasan siswa unjuk kerja guru, fasilitas pembelajaran, dan keselamatan kerja. D. Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah kepuasan siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru, fasilitas pembelajaran dan keselamatan kerja di SMK X Kabupaten X ?. E. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang kepuasan siswa, unjuk kerja guru, fasilitas pembelajaran, dan keselamatan kerja siswa dalam pembelajaran di SMK X. Sedangkan tujuan khusus adalah ingin mendeskripsikan apakah kepuasan siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru, fasilitas pembelajaran dan keselamatan kerja di SMK X Kabupaten X F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dapat dijadikan sebagai referensi dan masukan serta memberikan informasi kepada peneliti lain untuk menindaklanjuti atau mengembangkannya pada penelitian sejenis berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa, dapat memberikan informasi tentang unjuk kerja guru, fasilitas pembelajaran yang berdampak pada kepuasan siswa dalam pembelajaran di SMK X. b. Bagi sekolah, dapat memberikan informasi tentang pentingnya memperhatikan pelayanan kepada pelanggan terutama kepuasan siswa dalam pembelajaran di SMK X. c. Bagi pemerintah, dapat digunakan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan terutama mengenai penyediaan dan bantuan fasilitas pembelajaran pada sekolah kejuruan yang benar-benar efektif dan kondusif sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah. |
TESIS PENGARUH IMPLEMENTASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) TERHADAP BUDAYA KUALITAS Posted: 17 Jun 2013 08:43 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0212) : TESIS PENGARUH IMPLEMENTASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) TERHADAP BUDAYA KUALITAS (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era persaingan pasar global dewasa ini, tuntutan konsumen atas peningkatan kualitas produk dan jasa bertambah. Terjadi pula peningkatan penawaran produk dan jasa dengan harga lebih bersaing dari negara dengan biaya tenaga kerja rendah seperti halnya negara-negara di kawasan timur : China, Vietnam, dan India (Dale, 2003 : 2) Satu hal yang sangat berarti dalam meningkatkan kinerja menghadapi tantangan persaingan tersebut adalah melalui perbaikan berkelanjutan pada aktivitas bisnis yang terfokus pada konsumen, meliputi keseluruhan organisasi dan penekanan pada fleksibilitas dan kualitas. Oleh karena itu, kualitas dan pengelolaannya dikaitkan dengan perbaikan berkelanjutan dilakukan oleh banyak perusahaan agar dapat mendorong peningkatan pasar dan memenangkan persaingan. Perusahaan yang tidak mengelola perubahan tersebut akan ketinggalan. Sejalan dengan pergeseran paradigma organisasi dari 'market oriented' ke 'resources oriented', maka salah satu cara yang bisa ditempuh oleh perusahaan adalah dengan membenahi sumber daya yang dimilikinya agar bisa bertahan dalam persaingan jangka panjang. Salah satu cara yang tepat adalah dengan mengimplementasikan Total Quality Management (Muluk, 2003 : 3). Total Quality Management (TQM) merupakan paradigma baru dalam menjalankan bisnis yang berupaya memaksimumkan daya saing organisasi melalui : fokus pada kepuasan konsumen, keterlibatan seluruh karyawan, dan perbaikan secara berkesinambungan atas kualitas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan organisasi (Krajewski, Lee, dan Ritzman (1999 : 242). Hasil upaya-upaya tersebut menjadikan organisasi mampu merespon permintaan pasar atas kualitas produk, jasa dan proses yang telah dikembangkan secara meluas selama dua dekade terakhir. Feigenbaum (dalam Dale, 2003; 2) menggaris bawahi bahwa : Total Quality is a major factor in the business revolution that has proven itself to be one of the 20th century's most powerful creators of sales and revenue growth, genuinely good new jobs, and soundly based and sustainable business expansion. Beberapa pakar kualitas mengakui dampak positif implementasi TQM, diantaranya menurut Hardjosoedarmo (2004) TQM merupakan pendekatan yang seharusnya dilakukan organisasi masa kini untuk memperbaiki kualitas produknya, menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitasnya. Implementasi TQM juga berdampak positif terhadap biaya produksi dan terhadap pendapatan (Pall dalam Tunggal, 1993 : 6 dan Gaspersz, 2005 : 3). Secara empiris Implementasi TQM juga diakui sangat berarti dalam menciptakan keunggulan perusahaan di seluruh dunia. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa implementasi TQM secara efektif berpengaruh positif terhadap : motivasi kerja karyawan (Bey, Nimran, dan Kertahadi, 1998); meningkatkan kepuasan karyawan dan menurunkan minat untuk pindah kerja (Boselie dan Wiele, 2001); pengurangan biaya dan meningkatkan kinerja bisnis (Huang dan Yao, 2002); kinerja manajerial (Laily (2003); dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (Sularso dan Murdijanto, 2004). Agak berbeda dengan penelitian sebelumnya, temuan utama penelitian Terziovski, Samson, dan Dow (2003) menyimpulkan bahwa sertifikasi ISO 9000 tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja organisasi. Hal ini mendukung pandangan bahwa sertifikasi ISO 9000 sedikit atau tidak menjelaskan kekuatan kinerja organisasi. Demikian pula dengan temuan Prajogo dan Brown (2004) yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja kualitas yang signifikan antara organisasi yang menerapkan program TQM secara formal dengan organisasi yang mengadopsi praktek TQM secara non formal, menunjukkan bahwa adopsi praktek kualitas adalah hal yang lebih penting daripada sekedar program formal. Beberapa pakar berpendapat bahwa keberhasilan maupun kegagalan implementasi TQM tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh faktor budaya (Kekale, 1999 : 1; Parncharoen, Girardi, dan Entrekin, 2005 : 597; Jabnoun dan Sedrani, 2005 : 8; Kujala dan Ullarank, 2004 : 1), karena TQM pada hakekatnya adalah program perubahan organisasi yang memerlukan transformasi budaya organisasi, proses, dan keyakinan (Parncharoen, Girardi, dan Entrekin, 2005). Keterkaitan antara implementasi TQM dengan budaya dikemukakan oleh Cortada (1993 : 180), Goetsch dan Davis dalam Tjiptono dan Anastasia (2003 : 75), dan Hardjosoedarmo (2005 : 91), bahwa implementasi TQM dapat merubah orientasi budaya suatu organisasi menuju budaya kualitas yang pada akhirnya dapat meningkatkan kompetensi organisasi. Menurut Metri (2005 : 65) dalam implementasi TQM, budaya lebih berperan daripada yang lainnya, oleh karena itu budaya kualitas dipertimbangkan sebagai salah satu hal yang terpenting sebagai indikator keberhasilan implementasi TQM. Budaya adalah 'bagaimana pola pikir kita terhadap lingkungan untuk mencapai keberhasilan'; Kecenderungan organisasi dalam berperilaku, identitas, pola hubungan yang dinamis, realitas, atau kode genetik. (Schneider dalam Metri, 2005 : 65). Definisi budaya kualitas menurut Goetsch dan Davis dalam Tjiptono dan Anastasia (2003 : 75) adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, tradisi, prosedur, dan harapan yang meningkatkan kualitas. Litwin dan Stringer (1998), Kekale (1999), Kujala dan Ullrank (2004) dan Srismith (2005) bahkan membuat model iklim dan budaya kualitas yang tepat sebagai indikator keberhasilan TQM. Penelitian yang mengkaitkan implementasi TQM dan budaya organisasi menyimpulkan bahwa : TQM efektif mengembangkan elemen budaya kualitas dan budaya tersebut menunjang keberhasilan perbaikan proses (Gore, 1999); dimensi budaya dan implementasi TQM mempunyai kontribusi nyata dalam meningkatkan kinerja kualitas dan kinerja bisnis (Jabnoun dan Sedrani, 2005); adanya interaksi positif antara budaya dominan 'Clan', prinsip-prinsip TQM, sikap dan perilaku komunikasi (Srismith, 2005); desain organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan implementasi TQM (Parncharoen, Girardi, dan Entrekin, 2005); dan gaya manajemen Achievement dan atau Support mendukung efektivitas implementasi TQM (Sayeh, Dani, Swain, 2005). Model implementasi TQM berasal dari negara Amerika Serikat (Western society) dan banyak dikembangkan di negara-negara maju yang harus disesuaikan jika diimplementasikan di negara lain, karena perbedaan struktur sosial, ekonomi, dan pandangan hidup khususnya nilai-nilai budaya. Individu yang berasal dari negara yang berbeda mempunyai perbedaan nilai-nilai, keyakinan, dan sikap yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Sedangkan hingga saat ini hanya sedikit literatur tentang implementasi TQM di negara-negara Asia atau negara-negara berkembang yang memadai sehingga belum dapat membuktikan apakah TQM yang bekerja baik bagi perusahaan di suatu negara akan juga bekerja baik di negara lain (Parncharoen, Girardi, and Entrekin, 2005 : 597). Studi tentang implementasi TQM terutama jika dikaitkan dengan faktor budaya organisasi di Indonesia dewasa ini juga masih terbatas, Oleh karena itu menarik untuk diketahui apakah implementasi TQM mempunyai pengaruh signifikan terhadap budaya kualitas sebagai bagian dari budaya organisasi (Kujala dan Ullrank, 2004 : 48) jika diterapkan organisasi di Indonesia, mengingat karakteristik budaya yang berbeda. Persaingan dan perubahan yang menantang juga telah memacu dunia industri Indonesia untuk bisa beradaptasi dengan mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kompetensi mereka sehingga mampu bersaing dengan efektif. Demikian pula PT. X, suatu industri manufaktur produsen baterai dalam negeri (PMDN) telah lama mengimplementasikan TQM. Perusahaan juga memperoleh sertifikat Sistem Manajemen Mutu Standar ISO 9002 : 1994 sejak tahun 1996, diperbarui menjadi ISO 9001 : 2000 pada tahun 2003, dan Sistem Manajemen Lingkungan sesuai Standar ISO 14001 : 2004 sejak tahun 2005. Sistem Manajemen Mutu di PT. X diterapkan sejak awal proses produksi, yaitu : penentuan supplier, seleksi yang ketat bahan baku dan bahan penolong, dan proses monitoring pada setiap tahapan produksi sampai proses akhir produksi. Perusahaan mengutamakan kepuasan konsumen dengan memproduksi batu baterai berkualitas dengan harga terjangkau. PT X juga menerapkan Safety Environmental Policy yang ketat dengan tujuan untuk mencegah pencemaran udara, air, maupun tanah sesuai dengan ambang batas kesehatan lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk dapat diterima dengan baik oleh konsumen, baterai sebagai suatu produk harus memenuhi kebutuhan konsumen seperti halnya : mutu yang prima, harga yang kompetitif, citra produk yang tinggi, serta mencerminkan nilai etika yang tinggi dari perusahaan pembuatnya. Berdasarkan beberapa aspek kualitas tersebut, PT X menerapkan falsafah dan prinsip bisnis operasional perusahaan sebagai berikut : • Hanya memproduksi produk-produk bermutu. • Menjalankan usaha secara baik dan fair dengan memegang teguh kaidah-kaidah etika bisnis. • Mentaati dan menerapkan undang-undang pemerintah. • Menjadikan karyawan sebagai aset utama perusahaan. • Memberikan kesempatan yang sama bagi semua karyawan untuk mengembangkan karir mereka sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya. • Menerapkan program meningkatkan perbaikan secara berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Falsafah bisnis yang selama ini diterapkan oleh perusahaan terbukti menjadikan perusahaan berkembang dari waktu ke waktu. Atas dasar perbedaan teori maupun temuan hasil penelitian tentang implementasi TQM dan masih terbatasnya penelitian tentang implementasi TQM di negara berkembang jika dikaitkan dengan budaya kualitas, maka peneliti tertarik untuk meneliti efektifitas implementasi TQM dalam membentuk budaya kualitas yang akhirnya dapat meningkatkan daya saing, khususnya pada PT X dengan judul penelitian : Pengaruh Implementasi Total Quality Management (TQM) Terhadap Budaya Kualitas (Studi pada PT. X). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah variabel-variabel dalam implementasi Total Quality Management yang terdiri dari : fokus pada konsumen, perbaikan berkelanjutan, komitmen manajemen, pelatihan, pemberdayaan karyawan, perbandingan kinerja, dan penggunaan piranti statistik berpengaruh signifikan secara simultan terhadap budaya kualitas ? 2. Apakah variabel-variabel dalam implementasi Total Quality Management yang terdiri dari : fokus pada konsumen, perbaikan berkelanjutan, komitmen manajemen, pelatihan, pemberdayaan karyawan, perbandingan kinerja, dan penggunaan piranti statistik berpengaruh signifikan secara parsial terhadap budaya kualitas ? 3. Variabel dalam implementasi Total Quality Management manakah yang mempunyai pengaruh dominan terhadap budaya kualitas ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel dalam implementasi Total Quality Management yang terdiri dari : fokus pada konsumen, perbaikan berkelanjutan, komitmen manajemen, pelatihan, pemberdayaan karyawan, perbandingan kinerja, dan penggunaan piranti statistik secara simultan terhadap budaya kualitas. 2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel dalam implementasi Total Quality Management yang terdiri dari : fokus pada konsumen, perbaikan berkelanjutan, komitmen manajemen, pelatihan, pemberdayaan karyawan, perbandingan kinerja, dan penggunaan piranti statistik secara parsial terhadap budaya kualitas. 3. Untuk mengetahui variabel dalam implementasi Total Quality Management yang mempunyai pengaruh dominan terhadap budaya kualitas. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain : a. Bagi Perusahaan 1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pihak manajemen perusahaan untuk menilai variabel-variabel dalam implementasi TQM yang telah dilakukan oleh perusahaan dan berpengaruh terhadap budaya kualitas. Hal ini penting dilakukan agar perusahaan dapat meningkatkan kinerja dan daya saingnya. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi PT. X untuk menentukan strategi kebijakan implementasi TQM yang mendukung keberhasilan organisasi. 3. Lebih meyakinkan para manajer dalam mempertimbangkan maupun mengambil keputusan dengan memiliki informasi yang memadai. b. Bagi Ilmu Pengetahuan 1. Memberi kontribusi dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan sehingga dapat memperkuat teori-teori tentang telaah TQM dan budaya kualitas. 2. Menambah referensi dan pengetahuan bagi penelitian selanjutnya, baik secara teoritis maupun empiris sesuai dengan variabel-variabel yang diamati. |
You are subscribed to email updates from gudang makalah, skripsi dan tesis To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Post a Comment