download makalah, skripsi, tesis dll. |
- JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 3
- TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI
- TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN ORGANISASIONAL PEGAWAI KELURAHAN
- TESIS ANALISIS KINERJA PELAYANAN PUBLIK PDAM
- TESIS PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN SISTEM KOMPENSASI PEGAWAI NEGERI SIPIL TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BKN
- TESIS ANALISIS PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN ADMINISTRASI RSUD
Posted: 16 Nov 2014 01:33 AM PST JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 3
JUDUL LAIN : JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 1 JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 2 |
TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI Posted: 16 Nov 2014 12:44 AM PST (KODE : PASCSARJ-0282) : TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu penting dunia pendidikan, setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Desember 2005 adalah masalah sertifikasi guru. Hal ini dimaklumi oleh para praktisi pendidikan, seperti guru dan kepala sekolah. Oleh karena, sertifikasi guru merupakan fenomena baru di negeri ini. Sertifikasi guru juga menyangkut nasib dan masa depan guru. Apalagi di era modern sekarang ini, guru merupakan sebuah profesi. Profesi guru kedudukannya sejajar dengan profesi lain, misalnya profesi pengacara, notaries, dokter, atau akuntan. Menurut Muhammad Zen, bahwa pemerintah melakukan sertifikasi guru, salah satu alasannya adalah mengangkat nasib guru dan pengakuan profesi guru disejajarkan dengan profesi bergengsi lainnya sebagai tenaga professional (Muhammad Zen, 2010 : 20). Karena guru adalah sebuah profesi maka perlu adanya proses pembuktian tentang profesionalitas dari yang bersangkutan. Sehubungan hal tersebut, maka pemahaman mengenai sertifikasi guru harus tersampaikan dengan benar dan dipahami secara baik oleh semua pihak, khususnya pemegang pelaksana kebijakan di lapangan. Para guru pun menyesuaikan hal tersebut. Ini dimaksudkan, agar isi kebijakan sertifikasi guru tidak dipandang secara keliru. Apabila tiba waktunya diberlakukan kebijakan tersebut, maka para pelaksana kebijakan dapat menjalankan perannya sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Guru pun harus menyiapkan dirinya secara baik. Mereka mencari sebanyak mungkin informasi (mengupdate) tentang sertifikasi. Agar makna dari kebijakan sertifikasi guru tidak salah penafsiran, tetapi disikapi secara benar. Oleh karena, berbagai interpretasi mengenai sertifikasi bagi guru masih dimaknai secara keliru. Sebagian guru memahami sertifikasi, yaitu guru yang mempunyai pendidikan sarjana kependidikan secara otomatis sudah bersertifikasi. Sebagian guru lain memahami sertifikasi bagi guru itu, yaitu guru yang telah menempuh pendidikan khusus, yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang ditunjuk oleh pemerintah (Masnur Musnich, 2007 : 1). Untuk memahami pengertian sertifikasi secara jelas dan utuh, maka dapat menyimak dari kutipan beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen atau UUGD sebagai berikut • Pasal 1 butir 11 : Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. • Pasal 8 : Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional • Pasal 11 butir 1 : Sertifikat pendidik sebagaimana dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. • Pasal 16 : Guru yang memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji, guru negeri maupun swasta dibayar pemerintah. Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang layak. Singkat kata, dengan lahirnya UUGD mengindikasikan upaya pemerintah dalam mengangkat mutu guru semakin tampak. Kompetensi guru menjadi dasar utama melihat mutu guru. Hal ini terkait profesinya (sebagai pendidik dan pengajar). Dengan demikian, konsep kompetensi menjadi penting sekali. Ini berkenaan dengan kompensasi sertifikasi yang dijanjikan oleh pemerintah, bahwa kesejahteraan guru akan meningkat seiring dengan kompetensi yang dimilikinya. Banyak fenomena yang berkenaan dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru yang menarik perhatian. Seperti yang dikutip Harian Kompas 7 Februari 2007 bahwa pimpinan sejumlah LPTK pesimistik dengan sertifikasi menjamin peningkatan kualitas guru. Hal ini disebabkan kebijakan sertifikasi guru yang pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberdayakan profesi guru melalui kualifikasi akademik dan kompetensi, ternyata memicu pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan sertifikasi massal. Jika bersifat massal, maka ini berdampak pada kualitas. Yang pada akhirnya, sertifikasi tidak lebih dari formalitas belaka dan tidak menyentuh substansi. Sedangkan Muhammad Zen dalam bukunya yang berjudul "KIAT SUKSES MENGIKUTI SERTIFIKASI GURU" mengemukakan bahwa program sertifikasi guru cukup kental dengan pemalsuan dokumen. Dokumen yang dipalsukan, yaitu dokumen berkas-berkas portofolio yang dikumpulkan guru ketika mengikuti sertifikasi seperti modul pembelajaran, lokakarya, seminar, pelatihan, dan kegiatan sosial dan pengabdian masyarakat yang tidak otentik. Merebaknya pemalsuan ini memang memungkinkan, mengingat berkas yang dikumpulkan adalah dalam bentuk fotokopi bukan berkas yang asli (Muhammad Zen, 2010 : 35). Hastuti dan kawan-kawan (2010) dalam penelitian berjudul "PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN 2007 : STUDI KASUS DI PROVINSI JAMBI, JAWA BARAT, DAN KALIMANTAN BARAT", hasil temuannya adalah pertama, umumnya informan kurang meyakini program sertifikasi guru yang sekarang dilaksanakan akan berpengaruh pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan secara umum. Oleh karena, mekanismenya tidak dirancang untuk menjaring atau mengidentifikasi guru-guru terbaik yang diharapkan akan mampu meningkatkan mutu pendidikan. Terlebih lagi, dalam pembuatan portofolio banyak ditemui penyimpangan sehingga portofolio yang dibuat kurang mencerminkan kualitas guru yang sebenarnya. Kedua, informan berpendapat program sertifikasi sebagaimana yang diterapkan saat ini tidak memiliki paradigma yang jelas. Apabila sertifikasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, maka mekanismenya dirancang lebih sederhana dan tidak menyulitkan guru. Sebaliknya, apabila sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru, maka mekanisme yang dianggap cocok untuk meningkatkan kemampuan guru adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang intensif. Diklat profesi guru pada program sertifikasi saat ini sudah dinilai bagus, namun hanya mampu "menyegarkan" pengetahuan guru, bukan meningkatkan. Oktora Melansari (2010) dalam tesis berjudul "ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SEKOLAH DASAR NEGERI DI KECAMATAN CIPAYUNG KOTA JAKARTA TIMUR", hasil temuannya adalah sertifikasi sebagian besar hanya dianggap oleh guru untuk meningkatkan kesejahteraan saja daripada meningkatkan kualitas guru. Hal ini berkenaan dengan kurang jelasnya mengenai isi kebijakan sertifikasi guru dalam buku pedoman maupun sosialisasi. Bambang Raharjo (2009) dalam penelitian berjudul "DAMPAK KEBIJAKAN AKREDITASI SEKOLAH DAN SERTIFIKASI GURU TERHADAP PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI KABUPATEN BANYUMAS, PROVINSI JAWA TENGAH", hasil temuannya adalah pertama, proses sertifikasi guru dan koordinasi antar unit, kemudahan untuk member dan memperoleh layanan, telah dilaksanakan meskipun belum semuanya memuaskan peserta sertifikasi guru. Yang kedua, ditemukan sejumlah permasalahan sertifikasi guru seperti penetapan peserta sertifikasi guru, workshop penyusunan portofolio, kesiapan peserta sertifikasi guru, penyusunan portofolio, pengiriman berkas portofolio, penerimaan pengumuman hasil, penerimaan sertifikat, pengusulan tunjangan profesi, realisasi pencairan tunjangan, jadwal dan tahapan pelaksanaan sertifikasi guru, koordinasi antar unit dalam pelaksanaan sertifikasi guru, memperoleh layanan dari pihak yang terkait dengan sertifikasi guru, dan pemenuhan kuota sertifikasi guru. Winarsih (2008) dalam penelitian berjudul "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU SEKOLAH DASAR (STUDI KASUS DI KABUPATEN SEMARANG)", hasil temuannya adalah 1) Implementasi sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang secara umum sudah berjalan baik, 2) Pada faktor komunikasi, sub faktor transmisi dan konsistensi informasi adalah baik. Namun dari sub faktor kejelasan ada masalah. Ketidakjelasan informasi antara lain mengenai persyaratan masa kerja guru, format portofolio dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 3) Pada faktor sumber daya, sub faktor staf, informasi, dan wewenang, berjalan efektif. Namun sub faktor fasilitas kurang memadai. Fasilitas yang berupa sarana dan prasarana maupun anggaran khusus untuk pelaksanaan sertifikasi di Kabupaten Semarang tidak ada, 4) Pada faktor disposisi implementer termasuk baik, 5) pada faktor struktur birokrasi juga mendukung implementasi kebijakan tersebut, 6) faktor kondisi sosial ekonomi juga merupakan faktor pendukung implementasi kebijakan sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang. Malem Sendah Sembiring (2010) dalam penelitian berjudul "KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM SERTIFIKASI GURU", hasil temuannya adalah 1) Implementasi kebijakan uji kompetensi guru melalui uji portofolio diragukan pengaruhnya terhadap peningkatan kompetensi guru dan mutu pembelajaran serta terdapat kecenderungan pemahaman yang keliru tentang pengertian portofolio, 2) Terdapat variasi proporsi guru yang masuk kuota untuk disertifikasi antar kabupaten/kota diperkirakan berdampak pada perbedaan kebijakan di daerah masing-masing, 3)Terindikasi adanya praktek-praktek kurang terpuji dalam proses mendapatkan dokumen yang diperlukan untuk penilaian portofolio guru, dan 4) Belum terlihat perbedaan kompetensi guru antara guru yang bersertifikat dengan yang belum bersertifikat. Sedangkan yang menyangkut masalah pembiayaan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan sertifikasi guru, maka seperti yang tercantum dalam Pasal 13 UUGD dibebankan kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah menyiapkan dana 2,78 trilyun untuk tunjangan profesi guru, tunjangan tersebut diperuntukkan bagi 180 ribu guru yang lolos uji sertifikasi pada kuota 2007 (Muhammad Zen, 2010 : 37). Melihat kesiapan pemerintah dalam menyediakan anggaran tunjangan guru, menjadi tolok ukur pemerintah begitu serius merealisasikan program sertifikasi guru. Bagi pemerintah, memang tidak ada program lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru, selain melalui program ini. Sebuah program yang diharapkan berimbas pada peningkatan mutu pendidikan di negeri ini. Selanjutnya melihat dari sisi sosialisasi, Rektor Universitas Negeri Jakarta, sekaligus anggota perumus UUGD, Haris Supratno menyatakan kurangnya sosialisasi sertifikasi guru terutama berkenaan dengan cara pengisian dan penyusunan portofolio. Kurangnya sosialisasi ini mengakibatkan terjadinya banyak kesalahan pengisian portofolio yang kerapkali menjadi faktor penyebab ketidaklulusan guru dari program sertifikasi (Winarsih, 2008 : 17). Sementara itu, yang menyangkut permasalahan, yang mengacu pada efektifitas program sertifikasi terhadap peningkatan kualitas guru. Program uji sertifikasi guru yang dilakukan melalui penilaian portofolio dirasakan kurang efektif. Oleh karena, hampir semua tim penilai sertifikasi guru yang mengadakan penilaian terhadap portofolio guru menemui banyak kejanggalan. Kejanggalan yang dimaksud adalah banyak peserta yang mencantumkan dokumen atau berkas-berkas portofolio fiktif (tidak otentik) seperti piagam, sertifikat, surat keterangan pengangkatan (SK), dan berkas rencana proses pembelajaran (Muhammad Zen, 2010 : 35). Hal ini dimungkinkan sekali, ini dikarenakan portofolio yang dibuat kurang mencerminkan kualitas guru yang sesungguhnya. Sementara tim penilai tidak memiliki kewenangan menindak setiap kecurangan. Persoalan menjadi lebih rumit lagi dari aspek kualifikasi pendidikan guru. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Oleh karena, menurut ketentuan perundang-undangan atau peraturan pemerintah menyatakan guru adalah tenaga professional. Sebagai tenaga professional, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma empat (D-4) dalam bidang yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya. Menurut data dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 guru baik SD, SMP, maupun SMA tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal (Masnur Muslich, 2007 : 6). Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut : untuk guru SD, yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 orang, yang terdiri dari 378.740 berijazah SMA dan 12.767 berijazah diploma satu (D-1). Untuk guru SMP, jumlah yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 317.112 orang, yang terdiri dari 130.753 orang berijazah diploma satu (D-1) dan 186.359 orang berijazah diploma dua (D-2). Sedangkan SMA, terdapat 87.133 orang, yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yang terdiri dari 164 orang berijazah diploma satu (D-1), 15.589 orang berijazah diploma dua (D-2), dan 71.380 orang berijazah diploma tiga (D-3) (Masnur Muslich, 2007 : 6). Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal tersebut akan semakin besar persentasenya bila melihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.s Melihat realita tersebut, hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara sesama guru, khususnya ditujukan bagi guru yang belum memenuhi kriteria pendidikan minimal (sebagai salah satu persyaratan mengikuti sertifikasi). Mereka tidak berkesempatan akan diundang menjadi calon peserta sertifikasi sampai kapanpun apabila PP No. 19 Tahun 2005 menjadi patokan dalam menetapkan kriteria dan persyaratan guru dalam mengikuti sertifikasi. Dengan kata lain, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal kehilangan hak dan kesempatannya mendapatkan tunjangan profesi sebagai kompensasi dari sertifikasi ini. Terlepas dari sejumlah permasalahan seputar implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, pada hakekatnya implementasi kebijakan ini harus dilakukan dalam konteks organisasi yang menyeluruh dengan tujuan dan target yang jelas, prioritas yang jelas, serta sumber daya pendukung yang jelas pula. Kebijakan sertifikasi tidak hanya dipandang sebagai cara memberikan tunjangan profesi, tetapi sebagai upaya memotivasi guru dalam meningkatkan kualitas dirinya dan kinerjanya secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Apabila kinerja dan kesejahteraan guru sudah meningkat, maka mutu pendidikan juga akan meningkat pula. Inilah yang menjadi muara dari diberlakukannya kebijakan sertifikasi terhadap guru oleh pemerintah tersebut. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riant Nugroho (2003 : 158) implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Demikian juga dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru ini memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, banyak faktor penentu keberhasilan yang harus dikaji. Dari berbagai model implementasi kebijakan yang dikemukakan beberapa ahli, ada lima faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan kondisi sosial ekonomi. Kelima model ini mengadopsi dari teori implementasi kebijakan yang digagas oleh George C. Edward dan Daniel Van Meter-Carl Van Horn. Melihat kondisi SMA di Kecamatan X, menarik dan layak untuk diteliti. Ini dikarenakan Kecamatan X, memiliki dua SMA berstatus sekolah negeri, yaitu SMAN Y dan SMAN Z, yang sebagian besar 95% gurunya berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Melihat kualifikasi pendidikan guru di SMAN 1 dan SMAN 2, hanya empat orang atau 3,85% yang belum berpendidikan sarjana (S-1), sementara sembilan puluh empat orang atau 90,38% telah berpendidikan sarjana (S-1). Sedangkan empat orang atau 3,85% berpendidikan magister (S-2) dan satu orang atau 0,96% yang berpendidikan doktor (S-3) adalah kepala sekolah. Melihat kuota guru di SMAN 1 dan SMAN 2, yang ditetapkan sebagai peserta sertifikasi dari tahun 2007 hingga 2010 menunjukkan jumlah yang semakin bertambah. Dari yang semula lima orang tahun 2007 kemudian bertambah menjadi enam puluh delapan orang di tahun 2010. Apabila melihat data guru di SMAN 1 dan SMAN 2, maka jumlah guru yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi dari 2007 hingga 2010 semakin bertambah jumlahnya. Dari yang semula 5 orang (2 orang melalui jalur penilaian portofolio dan 3 orang melalui jalur PLPG) di tahun 2007, sekarang sudah bertambah menjadi 68 orang (31 orang melalui jalur penilaian portofolio dan 37 melalui jalur PLPG) di tahun 2010. Melihat sisi komunikasi, proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN 1 dan SMAN 2 dilakukan pada saat sosialisasi, pengumpulan berkas portofolio maupun dalam pengumuman hasil sertifikasi. Dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, sebelumnya diawali dengan sosialisasi yang dilakukan oleh panitia pelaksana sertifikasi guru Dinas Pendidikan kabupaten X. Dalam hal ini diwakili oleh kepala seksi kurikulum, kepala seksi tenaga dan teknis beserta staf. Strategi yang digunakan untuk memudahkan sosialisasi dari dinas, yaitu dengan mengumpulkan guru yang telah mendapat undangan sebagai peserta sertifikasi di sekolah-sekolah yang ditunjuk menjadi tempat melakukan sosialisasi. Namun, tidak ada pos anggaran khusus dari pemerintah pusat dalam kegiatan sosialisasi tentang sertifikasi guru, akan tetapi pemerintah daerah mengalokasikan anggaran sebesar 50 juta setiap tahunnya dari APBD. Anggaran ini dialokasikan agar proses implementasi kebijakan sertifikasi guru dapat berjalan lancar. Dari empat periode pelaksanaan sertifikasi yaitu tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010, kegiatan sosialisasi menggunakan dana rutin dari pemerintah daerah setempat. Minimnya dana dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, berdampak pada kegiatan sosialisasi tidak berjalan efektif. Ini mengakibatkan beberapa kesalahan dilakukan guru-guru dalam pengisian formulir dan pengumpulan berkas portofolio akibat kurang maksimalnya sosialisasi ini. Melihat sisi sumber daya yang dimiliki Dinas Pendidikan Kabupaten X terkait dengan minimnya dana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru. Ini berpengaruh pada kinerja staf pelaksana sertifikasi. Pekerjaan dan jam kerja yang bertambah tanpa diimbangi dengan pemberian insentif yang sesuai juga berpotensi terhadap kurang berhasilnya implementasi sertifikasi guru SMA. Selain minimnya dana, sumber daya juga terkait dengan kemampuan para pelaksana. Selama ini kemampuan pelaksana terbatas karena pembekalan yang dilakukan hanya bersifat sosialisasi dan bukan program pelatihan tentang konsep portofolio dan teknis. Melihat dari sisi sikap para pelaksana sertifikasi guru SMA di Kabupaten X ini sangat mendukung terhadap kebijakan tersebut. Dalam menjalankan kebijakan seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, para pelaksana kebijakan sertifikasi ini memiliki sikap atau komitmen yang baik sehingga proses implementasi kebijakan bisa berjalan cukup baik dan lancar. Melihat dari sisi struktur birokrasi organisasi yang mengimplementasikan kebijakan ini, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan sertifikasi. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP) yang menjadi pedoman bagi staf pelaksana dalam bekerja. SOP yang digunakan dalam pelaksanaan sertifikasi guru SMA di Kabupaten X mengacu pada buku pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yaitu Buku 2 Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Penilaian Portofolio. Dalam pelaksanaan sertifikasi guru SMA di Kabupaten X dibentuk struktur organisasi pelaksana dengan mengacu pada buku pedoman. Kinerja semua komponen dalam struktur organisasi ini harus maksimal karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Melihat dari sisi kondisi sosial maka status sosial guru SMA mampu mendukung pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru. Para guru SMA ini banyak yang aktif menjadi pengurus kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya maupun masyarakat guru. Misalnya menjadi pengurus RT/RW, menjadi pengurus Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) tingkat kabupaten X, dan sebagainya. Mereka merupakan kelompok intelektual pada masyarakat desa sehingga banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Program sertifikasi bagi guru SMA ini juga memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan bagi para guru yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan. Dengan kesejahteraan yang meningkat maka guru diharapkan akan lebih konsentrasi pada tugasnya sebagai pendidik. Hal-hal tersebut merupakan gambaran awal dari penelitian tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. Dari Penelitian ini diharapkan akan mendapatkan gambaran menyeluruh tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. Penelitian ini akan difokuskan kepada Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di SMAN Y dan SMAN Z dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. B. Perumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah, secara khusus penelitian ini akan mengarahkan rumusan permasalahan pada pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : 1. Bagaimana faktor komunikasi dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ? 2. Bagaimana faktor sumber daya dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z sehingga dapat berjalan dengan efektif ? 3. Bagaimana faktor sikap para pelaksana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ? 4. Bagaimana faktor struktur birokrasi organisasi pelaksana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ? 5. Bagaimana faktor lingkungan sosial ekonomi dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus masalah, maka penelitian implementasi kebijakan sertifikasi guru ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis faktor komunikasi dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. 2. Menganalisis faktor sumberdaya dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. 3. Menganalisis faktor sikap para pelaksana dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. 4. Menganalisis faktor struktur birokrasi dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. 5. Menganalisis faktor lingkungan eksternal (sosial dan ekonomi) dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya kajian implementasi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga pada akhirnya dapat memberi sumbangan pemikiran baru untuk penelitian lanjutan dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian sejenis. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi : a. Para pengambil kebijakan untuk dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran, khususnya untuk lembaga penyelenggara uji sertifikasi yaitu dinas pendidikan kabupaten X sebagai lembaga penyelenggara sertifikasi bagi guru. b. Para guru SMAN Y dan SMAN Z untuk menyiapkan diri menghadapi sertifikasi guru dengan lebih meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi profesional, pedagogik, dan sosial. |
TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN ORGANISASIONAL PEGAWAI KELURAHAN Posted: 16 Nov 2014 12:39 AM PST (KODE : PASCSARJ-0281) : TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN ORGANISASIONAL PEGAWAI KELURAHAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan sebagai salah satu bentuk organisasi harus bisa mencapai tujuannya yaitu melayani masyarakat dengan pelayanan yang baik dan memuaskan. Pelayanan yang bersifat langsung kepada masyarakat merupakan salah satu tugas organisasi kelurahan. Kelurahan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan. Kelurahan merupakan perangkat daerah terkecil di bawah Kecamatan dan termasuk Pemerintah Daerah. Sebagaimana diterangkan dalam peraturan pemerintah ini yang termasuk ke dalam Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. Dengan kata lain Kelurahan merupakan perangkat daerah yang juga merupakan suatu organisasi, khususnya organisasi pemerintahan. Menghadapi perubahan kebijakan setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, kelurahan mengalami perkembangan dan perubahan. Oleh karena itu pergeseran perubahan status desa menjadi kelurahan menunjukan perbedaan-perbedaan kondisi lingkungan kerja di kelurahan dari keadaan sebelumnya. Kelurahan dipimpin oleh Lurah dibantu oleh perangkat kelurahan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota, selain daripada itu Lurah mempunyai tugas : 1. Pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan 2. Pemberdayaan masyarakat 3. Pelayanan masyarakat 4. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum Tenaga kerja yang kemudian disebut pegawai di kelurahan merupakan aset yang sangat penting untuk menjalankan organisasi kelurahan. Pegawai di kelurahan khususnya kelurahan yang berada di Kecamatan X terdiri dari bermacam-macam status pegawai. Tugas kelurahan yang utama adalah memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak terlepas dari kualitas pelayanan dan komitmen pegawai yang dimiliki, baik komitmen terhadap pekerjaannya maupun terhadap organisasi kelurahan itu sendiri. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan menyebutkan bahwa Susunan Organisasi Kelurahan terdiri dari Lurah dan Perangkat Kelurahan. Perangkat Kelurahan sebagaimana dimaksud diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Sekretaris Daerah. Disinilah munculnya perbedaan kenyataan yang tampak di lapangan bahwa terdapat bermacam-macam status pegawai di kelurahan. Pegawai terdiri dari pegawai tetap dan tidak tetap. Bermacam-macam status pegawai di kelurahan berawal dari perubahan desa menjadi kelurahan. Status tenaga kerja di kelurahan yang awalnya tidak ada Pegawai Negeri Sipil (PNS), kini bercampur baur terdiri dari pegawai tetap berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai tidak tetap berstatus Tenaga Kerja Kontrak (TKK) dan Tenaga Kerja Sukarela (TKS). Tenaga Kerja Kontrak (TKK) dan Tenaga Kerja Sukarela (TKS) telah ada sejak masa Pemerintahan Desa. Meskipun telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan bahwa Perangkat Kelurahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas usul Camat. Kecenderungan orang beranggapan bahwa PNS lebih besar gajinya dibanding tenaga kerja lainnya yang ada di kelurahan. Sementara di sisi lain semua pegawai baik PNS, TKK maupun TKS harus tetap menunjukan performa pelayanan terbaik bagi masyarakat harus dapat diatasi organisasi kelurahan itu sendiri. Perbedaan status di satu lingkungan kerja kelurahan tersebut harus bisa di satukan agar karyawan tetap memiliki komitmen kerja yang tinggi walaupun dari segi penghasilan tentu saja berbeda satu sama lain. Beberapa teori menunjukkan bahwa motivasi seseorang dapat berdampak terhadap kepuasan kerjanya. Teori-teori motivasi yang mempunyai dampak pengaruh yang sangat kuat terhadap kepuasan kerja, diantaranya adalah hirarki kebutuhan Maslow, Teori dua faktor atau motivation-hygiene Herzberg, dan teori distribusi keadilan Lawler (2008) mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses yang menghasilkan intensitas, arah, dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan. Kondisi ini mengisyaratkan adanya kepuasan para individu dalam organisasi seseorang bertahan dalam usahanya. Hanya individu-individu yang termotivasi yang akan tetap bertahan pada pekerjaan cukup lama untuk mencapai tujuan mereka, dan mereka akan bekerja keras. Usaha keras tersebut disesuaikan dan disalurkan kepada keuntungan organisasi atau perusahaan dengan jalan mengarahkan usaha keras secara konsisten menuju tercapainya tujuan organisasi dan ketekunan. Kepuasan kerja sangat abstrak dan kompleks, bahkan berpendapat menjadi tak terlukiskan dan mitos (Malik, 2011). Prinsip-prinsip yang mendasari kepuasan kerja dan motivasi berkaitan erat satu sama lain, dan untuk menumbuhkan tempat kerja yang efektif dan produktif dua konsep tidak boleh terpisah (Mowday et al, 1982;. Mathieu dan Zajac, 1990; Bono dkk, 2001;. Koys, 2001; Chen dan Francesco 2003, Greguras et al, 2004;. Tziner et al,. 2008). Pentingnya kedua konsep ini ditekankan dalam Loosemore, Dainty dan Lingard (2003) sebagai erat untuk kesejahteraan industri konstruksi di mana populasi penelitian beroperasi. Koys (2001), Chen dan Francesco (2003) dan Tziner dkk. (2008) menegaskan bahwa keberhasilan relatif dari organisasi telah terikat pada dua motivasi konstruksi kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Selain itu, menurut Locke (1976) kebijakan dan peraturan yang ditetapkan organisasi akan menentukan jenis tugas, dan pekerjaan, beban tugas, tanggung jawab, kesempatan promosi, tingkat gaji, serta kondisi fisik lingkungan kerja. Oleh karena itu pegawai akan merasakan kepuasan kerja pada organisasi yang kebijakannya membantu pegawai memperoleh apa yang dibutuhkannya. Berkaitan dengan kepuasan kerja dan komitmen pegawai, kebutuhan sumber daya manusia di kelurahan yang diiringi dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks menuntut kinerja kelurahan yang maksimal. Hal ini tentunya didukung dengan kesiapan sumber daya manusia di kelurahan dengan mengisi jabatan di kelurahan dengan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana harapan peraturan perundang-undangan tersebut. Di samping itu sebagian tenaga honorer yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil diharapkan dapat menambah kuantitas sumber daya manusia di organisasi pemerintahan dan kelurahan pada khususnya. Perubahan status desa menjadi kelurahan memang belum sepenuhnya sesuai aturan yang diharapkan. Selama berstatus desa, pegawai di kelurahan terdiri dari pegawai honorer yang merangkap jabatan sebagai Kepala Seksi (Kasi) dan unsur Staf (Pelaksana). Seharusnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah bahwa Lurah di Kelurahan adalah eselon IV.a sementara itu Sekretaris Kelurahan dan Kasi di Kelurahan adalah eselon IV.b yang diisi oleh Pegawai Negeri Sipil. Harapan dalam peraturan tersebut adalah mengisi seluruh kekosongan jabatan di kelurahan dengan Pegawai Negeri Sipil. Menurut pasal 12 peraturan pemerintah RI Nomor 72 tahun 2005 tentang desa disebutkan bahwa pemerintah desa terdiri dari perangkat desa lainnya yang terdiri dari Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan. Berkaitan dengan itu menurut pasal 6 dalam peraturan pemerintah RI Nomor 73 Tahun 2005 tentang kelurahan disebutkan bahwa perangkat kelurahan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas usul Camat. Namun, pada kenyataannya perangkat kelurahan di Kota X belum semua berstatus PNS karena awalnya terbentuk dari desa dengan sumber daya manusia pegawai berstatus Tenaga Kerja Kontrak (TKK), dan Tenaga Kerja Sukarela (TKS) . Pegawai TKK dan TKS yang sudah ada sejak berdirinya desa sampai berubah statusnya menjadi kelurahan, harus bekerja di satu lingkungan kelurahan dengan perbedaan gaji yang cukup besar namun dituntut untuk bersama-sama melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian dibutuhkan cara-cara untuk menjaga kebersamaan mereka dalam satu organisasi yang solid. Hal ini sangat penting untuk diketahui agar setiap organisasi mampu memberikan perhatian yang khusus kepada sumber daya manusia dalam perannya sebagai seorang karyawan di organisasi tersebut. Organisasi dituntut untuk menjaga keberadaan pegawai dengan memperhatikan kepuasan kerja pegawai dan diperlukannya komitmen pegawai untuk tetap berada dalam organisasi. Komitmen organisasional pegawai merupakan salah satu faktor penting bagi kelanggengan suatu organisasi. Tanpa adanya komitmen organisasional yang kuat dalam diri individu, tidak akan mungkin suatu organisasi dapat berjalan dengan maksimal. Berdasarkan uraian di atas walaupun sudah ada beberapa penelitian tentang hubungan kepuasan kerja dan komitmen organisasional, penulis tetap tertarik untuk melakukan penelitian hubungan kepuasan kerja dengan komitmen organisasi pegawai di kelurahan karena tampaknya pegawai yang berstatus bukan PNS dan mendapat gaji yang rendah pun tetap mau bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan kepadanya. Penulis ingin mengetahui dengan melihat kemungkinan hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen pegawai. Dari hasil penelitian ini penulis berharap dapat mengungkapkan tingkat kepuasan dan tingkat komitmen organisasi pada pegawai kelurahan se-Kecamatan X. B. Perumusan Masalah Berdasarkan pemikiran para ahli tentang esensi komitmen dan dianggap pentingnya komitmen pegawai bagi suatu organisasi, maka tentu saja perlu diteliti di lapangan bagaimana sebenarnya yang terjadi. Sebagaimana telah dijelaskan di latar belakang masalah, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Apakah terdapat hubungan antara tingkat kepuasan kerja pegawai Kelurahan se-Kecamatan X Kota X dengan tingkat komitmen mereka terhadap organisasi Kecamatan ? C Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat kepuasan kerja pegawai kelurahan se-Kecamatan X dengan tingkat komitmen pegawai se-Kecamatan X Kota X terhadap organisasi Kecamatan X. D. Manfaat Penelitian Adapun signifikansi penelitian yang dibuat ini antara lain ditujukan untuk : 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu administrasi dan pengembangan sumber daya manusia. - Hasil penelitian ini secara teoritis dapat menjadi acuan/memberi masukan terhadap penelitian-penelitian sejenis, dalam hal ini tentang kepuasan kerja dan komitmen pegawai. Anggapan bahwa komitmen sangat penting dalam meningkatkan kinerja organisasi dan kepuasan kerja harus diutamakan dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai. - Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan bagi kajian ilmu manajemen sumber daya manusia mengenai perilaku organisasi secara umum - Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan bagi kajian ilmu manajemen sumber daya manusia mengenai komitmen pegawai secara khusus. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk : - Dapat menjadi masukan bagi organisasi kelurahan yang berada di lingkungan Kecamatan X Kota X dalam usaha menciptakan dan meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen pegawainya. |
TESIS ANALISIS KINERJA PELAYANAN PUBLIK PDAM Posted: 16 Nov 2014 12:35 AM PST (KODE : PASCSARJ-0280) : TESIS ANALISIS KINERJA PELAYANAN PUBLIK PDAM (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan publik yang akhir-akhir ini menjadi issue sentral telah memaksa semua pihak, baik institusi negara maupun masyarakat untuk melakukan regulasi kembali dalam penyelenggaraannya. Meskipun penyediaan pelayanan publik merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Akan tetapi kewajiban penyediaan pelayanan tersebut masih belum dapat memberikan kepuasan bagi masyarakat penggunanya. (Larasati, 2007 : iii) Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, prosedur jelas, dilaksanakan dengan segera dan dengan biaya yang pantas, telah terus mengedepan dari waktu ke waktu. Tuntutan ini berkembang seiring dengan berkembangnya kesadaran bahwa warga negara dalam kehidupan bernegara bangsa yang demokratik memiliki hak untuk dilayani. Adalah kewajiban pejabat-pejabat pemerintahan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan para warga itu. Namun, apa lacur ? Perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang era reformasi ini ternyata belum sepenuhnya mengubah tatanan kehidupan masyarakat di bidang pelayanan publik. Harapan masih sangat jauh bahwa warga masyarakat bisa memperoleh akses yang lapang ke arah pelayanan yang baik dan berkualitas. (Ibid : 1) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten X telah berupaya memberikan pelayanan terbaiknya untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih di Kabupaten X, namun dalam perjalanannya sering mendapat keluhan dari masyarakat atau pelanggannya. Keluhan masyarakat tentang semakin sulitnya untuk mendapatkan air bersih tampaknya masih menjadi kendala yang sepenuhnya belum dapat diatasi oleh pemerintah daerah dalam hal ini PDAM Kabupaten X. Di satu pihak permintaan masyarakat akan air bersih semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, namun kualitas pelayanan yang diberikan belum sebanding dengan pemenuhan permintaan masyarakat tersebut. Keluhan-keluhan terhadap pelayanan PDAM Kabupaten X, baik dari pelanggan maupun calon pelanggannya yang menyebabkan pelanggan menjadi kurang puas, antara lain kontinuitas air yang belum memenuhi target atau standar pelayanan, lokasi atau tempat pembayaran hanya berada di tempat-tempat tertentu, serta kecepatan penanganan keluhan yang kurang efektif sehingga membutuhkan waktu lebih lama dari yang diharapkan oleh pelanggan. Penanganan keluhan memberikan peluang untuk mengubah seorang pelanggan tidak puas menjadi pelanggan yang puas. Proses penanganan keluhan yang efektif mulai identifikasi disertai dengan penentuan sumber yang menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengeluh. Berikut ini adalah gambaran mengenai kondisi PDAM Kabupaten X sehingga dapat diketahui secara jelas apa saja yang menjadi kelebihan dan kekurangan pelayanan yang diberikan oleh PDAM Kabupaten X kepada pelanggannya. Sehingga pada akhirnya nanti kita dapat mengukur kinerja pelayanan publik yang diberikan oleh PDAM Kabupaten X. 1. Cakupan Pelayanan PDAM Kabupaten X. Kabupaten X terdiri dari 14 Kecamatan, 243 Desa dan 6 Kelurahan. Dengan jumlah penduduk adalah sebanyak 1.052.107 jiwa. Sampai saat ini, PDAM Kabupaten X baru bisa melayani sekitar 16,87% dari total jumlah penduduk Kabupaten X, atau sekitar 27.850 pelanggan. Tidak semua wilayah di Kabupaten X mendapat pelayanan air bersih dari PDAM Kabupaten X. Dari 249 desa dan kelurahan yang ada di Kabupaten X, hanya sekitar 54 desa yang mendapatkan pelayanan dari PDAM Kabupaten X, masih ada 195 desa lagi yang belum mendapatkan pelayanan. Hal ini dapat kita lihat belum adanya keadilan pelayanan bagi masyarakat terhadap air bersih. Ada beberapa daerah yang tidak mendapat pelayanan air bersih, padahal belum tentu daerah tersebut tidak membutuhkan air bersih, mengingat air bersih adalah kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Pelayanan paling banyak diberikan oleh kantor Induk yaitu sebanyak 25 desa. Daerah-daerah yang tidak mendapatkan aliran air bersih dari PDAM Kabupaten X mengandalkan sumber-sumber air yang ada di sekitar mereka, misalnya dengan sumur ataupun mengkonsumsi air sungai. 2. Pengaduan Pelanggan PDAM Kabupaten X. Motto utama PDAM Kabupaten X adalah pemberian pelayanan kepada pelanggan dengan K3, yaitu Kualitas, Kuantitas dan Kontinuitas. Tingkat kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan PDAM dapat diketahui salah satunya adalah dengan banyaknya pengaduan yang dilayangkan pada pelayanan PDAM. Bermacam-macam keluhan dari pelanggan, antara lain : a. Berkaitan dengan air yang didistribusikan kepada pelanggan. 1) Yang pertama adalah mengenai Debit Air. Keluhan akan hal ini seringkali berkaitan dengan air yang macet atau aliran air yang didistribusikan kepada pelanggan mempunyai debit yang kecil. 2) Kemudian adalah terjadinya kebocoran air, baik yang terjadi pada pipa yang akan masuk ke rumah pelanggan, ataupun pada pipa distribusi yang berada di jalan-jalan besar. Yang kesemuanya berdampak sangat merugikan pelanggan. Apabila kebocoran terjadi pada pipa yang menuju rumah pelanggan atau di kawasan rumah pelanggan, maka sudah dapat dipastikan bahwa jumlah tagihan pasti akan naik. Sedangkan apabila kebocoran terjadi disepanjang ruas jalan raya, maka aliran air akan diputus, sehingga pelanggan tidak mendapatkan air bersih. 3) Kualitas air yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Kekeruhan air adalah keluhan yang paling sering dilontarkan oleh pelanggan. 4) Ketidaksesuaian angka meter air dengan jumlah pembayaran yang dibebankan kepada pelanggan. Atau terjadinya salah perhitungan dengan jumlah yang seharusnya dibayarkan oleh pelanggan. 5) Adanya kerusakan pada pipa jaringan distribusi, misalnya pipa rusak, pipa berlumut, dll. b. Berkaitan dengan pelayanan non air yang diberikan oleh PDAM Kabupaten X. 1) Penanganan keluhan pelanggan terkesan lambat. 2) Pemasangan jaringan baru atau Sambungan Rumah (SR) mengalami prosedur yang berbelit-belit dan relatif lama. 3) Tempat pembayaran rekening air hanya tersedia ditempat tertentu. Berikut ini akan diuraikan mengenai prosedur pengaduan keluhan pelanggan kepada PDAM Kabupaten X, adalah : a. Pelanggan datang ke Kantor PDAM Kabupaten X. b. Menuju ke loket pengaduan di Bagian Hubungan Pelanggan (HL). c. Kemudian mengisi Blangko Laporan Pengaduan. d. Blangko tersebut akan dicatat pada Buku Register oleh petugas. e. Setelah dicatat, blangko keluhan tersebut didistribusikan kepada Bagian Distribusi. f. Bagian Distribusi berkoordinasi dengan Bagian Gudang, kemudian menindak lanjuti keluhan yang dilayangkan oleh pelanggan. Dari keenam prosedur tersebut diatas, dirasa cukup lama oleh pelanggan dalam menangani keluhan. Bahkan pelanggan tidak jarang harus menunggu beberapa hari untuk penanganan keluhan oleh pihak PDAM Kabupaten X. Seiring dengan kemajuan jaman dan tingkat pendidikan masyarakat sebagai pelanggan PDAM Kabupaten X, banyak keluhan-keluhan pelanggan yang disampaikan melalui media cetak, misalnya harian lokal Suara Merdeka yang dimuat pada kolom Surat Pembaca. 3. Sambungan Rumah (SR). PDAM Kabupaten X melakukan perluasan pelayanannya, demi upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, antara lain dengan adanya pelaksanaan penerimaan Sambungan Rumah Baru. Sambungan Rumah (SR) adalah proses penyambungan pipa PDAM kepada pelanggan baru. Pelaksanaan SR baru ini mempunyai mekanisme antara lain : a. Prioritas. Adalah calon pelanggan yang menjadi prioritas utama yang akan menjadi pelanggan PDAM. Calon pelanggan harus memenuhi syarat-syarat, antara lain : 1) Calon pelanggan yang menjadi daftar tunggu dilayani lebih dulu sesuai nomor urut pendaftaran. 2) Bagi Calon Pelanggan yang telah disurvei dan telah memenuhi syarat : a) Tekanan aliran baik. b) Sudah ada jaringan pipa distribusi. c) Sudah siap uang. 3) Bagi yang belum ada jaringan pipa distribusi, maka akan dilayani setelah pengembangan jaringan pipa distribusi. 4) Bagi yang memenuhi syarat segera melengkapi : a) Mengisi blangko pendaftaran dan pernyataan permohonan masing-masing rangkap 3 (tiga) dan lembar pertama bermeterai Rp. 6.000,00 sebanyak 2 (dua) lembar. b) Menyerahkan fotokopi KTP yang masih berlaku, rangkap 2 (dua). c) Menyerahkan fotokopi Kartu Keluarga, rangkap 2 (dua). d) Menyerahkan fotokopi PBB, rangkap 2 (dua). e) Membayar biaya Sambungan sebesar Rp. 1.000.000,00. b. Pendaftaran Baru. Bagi pendaftar baru sambungan rumah harus memenuhi syarat-syarat : 1) Menyerahkan fotokopi KTP yang masih berlaku sebanyak 2 (dua) lembar, untuk diproses dalam buku pendaftaran lebih dulu sesuai dengan nomor urut pendaftaran. 2) Pelaksanaan pemeriksaan lapangan dilayani sesuai nomor urut pendaftaran. 3) Bagi calon-calon pelanggan yang belum ada jaringan pipa ditampung lebih dulu sebagai pengembangan jaringan pipa ke depan, namun bila calon pelanggan tidak sabar dapat melakukan swadaya murni, hal ini bisa dilakukan sejauh mana tekanan air memadai. 4) Bagi calon pelanggan baru, melengkapi syarat administrasi tersebut pada angka 1 no 4) seperti tersebut diatas. Sedangkan Prosedur Pemasangan Sambungan Rumah (SR) Baru PDAM Kabupaten X antara lain : a. Pemohon datang di Bagian Hubungan Langganan (HL) untuk mengisi Formulir Pendaftaran (SPL), dengan dilampiri : 1) Fotokopi KTP. 2) Fotokopi Kartu KK. 3) Fotokopi PBB, Akta Tanah, Kuitansi/Bukti Pembelian Tanah, Pembagian Waris, Bukti Pemilikan Tanah. 4) Surat Ijin Pemilikan Tanah yang akan dilalui pipa. b. Pemohon diterima oleh Bagian HL kemudian diperiksa perlengkapannya. c. Jika sudah lengkap, diteruskan ke Sub Bagian Perencana dengan dilampiri lembar konsultasi dan surat panggilan/bisa disetujui. d. Sub Bagian Perencana melakukan survey dilokasi : 1) Membawa lembar survey yang ditanda tangani oleh pemohon/petugas survey dan Kepala Sub Perencana. 2) Sub Bagian Perencana menetapkan bisa/tidak bisa dipasang. e. Sub Bagian Perencana menyerahkan hasil survey dan RKP rangkap 4 (empat) diserahkan ke Bagian HL, Gudang dan Distribusi. f. Pemohon datang ke PDAM : 1) Membayar Rp. 1.000.000,00 di kasir/loket keuangan. 2) Menandatangani Surat Pernyataan sebagai calon pelanggan di Bagian HL. g. Bagian HL memberitahukan ke Bagian Distribusi untuk memasang SR dengan menyerahkan daftar calon pelanggan baru. h. Bagian Distribusi meminta barang ke Gudang untuk dipasang. i. Bagian Distribusi memasang SR dan membuat Berita Acara serta daftar himpunan pelanggan baru yang sudah dipasang untuk diserahkan ke Bagian Perencana dan Bagian HL. j. Bagian HL menyelesaikan proses pembuatan rekening dengan bagian keuangan. Semua prosedur diatas sebagaimana yang telah ditentukan oleh PDAM Kabupaten X, dirasakan terlalu berbelit-belit oleh pelanggan, dan memakan waktu yang relatif lama. Apalagi sekarang ini sudah dicanangkan oleh Pemerintah mengenai pelayanan 1 (satu) atap ataupun 1 (satu) pintu, namun PDAM Kabupaten X belum menampakkan perkembangan ke arah tersebut. Terbukti dengan prosedur pelayanan yang ditetapkan mengharuskan pelanggan atau calon pelanggan berpindah-pindah tempat atau petugas untuk mendapatkan pelayanan. 4. Pembayaran Rekening. Mekanisme pembayaran rekening PDAM dilakukan ditempat-tempat pembayaran yang telah tersedia. Untuk tempat pembayaran yang paling banyak jumlah loketnya adalah di Kantor Induk PDAM, yaitu tersedia 3 (tiga) loket pembayaran. Dimana 1 (satu) loket melayani pelanggan dengan wilayah masing-masing. Jadwal loket pembayaran rekening ini adalah : a. Senin s/d Kamis : 07.45-13.00 WIB b. Jum'at : 07.15-10.30 WIB Pada ketiga loket, sistem pembayarannya sudah menggunakan computerized system. Namun pada tempat pembayaran di Kantor Cabang masih menggunakan cara yang sederhana. Yaitu billing atau tagihan rekening air dibawa dari Kantor Induk, kemudian pelanggan yang akan membayar di Kantor Cabang akan dilayani secara manual. 5. Produksi Air Bersih. Untuk terus berupaya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, PDAM Kabupaten X senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas air bersih yang didistribusikan kepada pelanggannya. Walaupun sudah menggunakan teknologi yang canggih dalam memproduksi air bersih, namun PDAM Kabupaten X juga masih banyak mengalami kendala, yaitu mengenai kualitas airnya masih tetap keruh ataupun jumlah air yang terdistribusi kepada pelanggan masih kurang jumlahnya. 6. Tarif dan Denda. Pada tahun 2007, PDAM Kabupaten X melakukan penyesuaian tarif baru bagi pelanggannya, berdasarkan Keputusan Bupati X Nomor : 690/144/2007 Tanggal : 3 Mei 2007. Hal ini dilakukan demi peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan PDAM Kabupaten X kepada pelanggannya. Seperti halnya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, pastilah menuai pro-kontra dari masyarakat. Pada awal pemberlakuan tarif baru untuk menggunakan air oleh pelanggan, banyak pelanggan yang mengeluhkan akan hal ini. Kenaikan tarif yang diberlakukan hampir naik 100% dari tarif yang lama. Hal inilah yang memberatkan pelanggan. Sedangkan kualitas, kuantitas serta kontinuitas air bersih yang dijanjikan oleh PDAM Kabupaten X belum juga terwujud. Kemudian usaha lain untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan dan meningkatkan ketertiban bagi penggunaan air produksi dari PDAM, dilakukan juga pemberlakuan denda bagi pelanggan yang melanggar. Pemberlakuan tarif denda tersebut, semata-mata untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pelanggan terhadap konsumsi air bersih dari PDAM Kabupaten X. Selain biaya-biaya tersebut diatas, dikenakan juga biaya tambahan untuk Penutupan Sementara untuk pelanggan yang bermasalah. Atau juga Penutupan Sementara atas permintaan pelanggan, misalnya rumah kosong dsb. Kemudian dikenakan juga biaya dalam rangka Pembukaan Kembali bagi pelanggan PDAM Kabupaten X. Tarif yang ditetapkan oleh PDAM Kabupaten X untuk maksud penutupan sementara, dirasakan oleh pelanggan juga masih memberatkan. Setelah penutupan sementara yang dilakukan oleh PDAM, maka suatu saat akan dilakukan pembukaan kembali oleh pelanggan, apabila sudah tidak bermasalah. Berikut adalah daftar tarif pembukaan kembali dimana besarannya adalah sama dengan daftar tarif penutupan sementara. Demikian gambaran secara jelas mengenai apa yang menjadi kekurangan/kelemahan PDAM Kabupaten X beserta keluhan pelanggannya. Namun juga disertai dengan gambaran mengenai sesuatu yang baik yang telah dimiliki. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian tersebut, identifikasi masalah pada pelayanan yang diberikan oleh PDAM Kabupaten X antara lain : a. Kinerja penyelenggaraan pelayanan yang diberikan oleh PDAM Kabupaten X kepada pelanggan, dirasa perlu ditingkatkan, hal ini dikarenakan adanya rasa ketidakpuasan pelanggan terhadap pelayanan yang telah diberikan. b. Adanya sistem prosedur pendaftaran sebagai pelanggan baru dan juga sistem pengaduan keluhan yang berbelit-belit dan memakan waktu yang relatif lama. c. Adanya ketidakadilan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan. d. Masih rendahnya kualitas, kuantitas dan kontinuitas air bersih yang diberikan PDAM Kabupaten X kepada masyarakat, hal ini berhubungan dengan kewajaran biaya pelayanan. 2. Perumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimana Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhadap kinerja pelayanan publik pada PDAM Kabupaten X ? b. Bagaimana tingkat kinerja pelayanan dan tingkat kepentingan bagi pelanggan terhadap pelayanan yang telah dilakukan oleh PDAM Kabupaten X ? c. Sejauh mana kesesuaian antara tingkat kinerja dan tingkat kepentingan unsur-unsur pelayanan menurut pelanggan ? d. Dimensi apa saja yang mendesak untuk diperbaiki guna meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh PDAM Kabupaten X ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang akan dikaji, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui besarnya Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan publik PDAM Kabupaten X. 2. Mengetahui pelayanan apa saja yang masuk dalam kategori pelayanan yang sangat baik dan pelayanan yang baik sehingga perlu untuk dipertahankan kualitas pelayanannya. 3. Mengetahui pelayanan apa saja yang masuk dalam kategori pelayanan yang kurang baik dan pelayanan yang tidak baik sehingga perlu ditingkatkan kualitas pelayanannya. 4. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesesuaian antara kinerja pelayanan publik PDAM Kabupaten X dengan harapan pelanggannya, melalui Diagram Kartesius. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Praktis. a. Untuk mengetahui Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik pada PDAM Kabupaten X. b. Untuk mengetahui secara lebih lengkap perihal dimensi-dimensi pelayanan yang menjadi ukuran kepuasan masyarakat sehingga dapat dijadikan bahan penyusunan program perbaikan kualitas pelayanan dari aspek kepuasan masyarakat. 2. Kegunaan Teoritis. Dapat menambah wawasan penulis pada kajian kualitas pelayanan publik khususnya kepuasan masyarakat dan secara teoritis dapat memberikan pengayaan khasanah empirik pada kajian pelayanan publik. |
Posted: 16 Nov 2014 12:29 AM PST (KODE : PASCSARJ-0279) : TESIS PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN SISTEM KOMPENSASI PEGAWAI NEGERI SIPIL TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BKN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konteks administrasi negara, peran sumberdaya aparatur menjadi unsur yang sangat vital bagi berlangsungnya kehidupan pemerintahan dan pembangunan. Di Indonesia peran tersebut dimainkan oleh Pegawai Negeri Sipil, yang dalam pemerintahan seringkali disebut sebagai "mesin birokrasi". Sorotan utama terhadap terciptanya good governance dan mengenai perlunya diciptakan clean government serta efisien menjadikan peran Pegawai Negeri Sipil menjadi perhatian yang cukup serius. Artinya, pembenahan Pegawai Negeri Sipil harus menjadi pusat perhatian karena memiliki fungsi yang sangat strategis. Kebutuhan akan reformasi menuju terciptanya Pegawai Negeri Sipil yang efisien semakin dirasakan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari pembangunan dan akibat perubahan eksternal pada tingkat regional dan global. Kecenderungan umum dalam pertumbuhan di segala bidang juga melahirkan tuntutan mengenai perlunya Pegawai Negeri Sipil yang lebih profesional, terampil, terbuka dan berorientasi pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, pada saat ini penilaian terhadap aparatur negara, khususnya Pegawai Negeri Sipil, masih memperlihatkan fenomena yang tidak menggembirakan. Wajah buruk yang diperlihatkan Pegawai Negeri Sipil (birokrasi) Indonesia yang sangat menonjol di mata masyarakat adalah penyelewengan internal, misalnya inefisiensi, pengambilan keputusan yang berbelit-belit, prosedur pelayanan yang sangat panjang, koordinasi antar instansi yang masih lemah dan sebagainya. Sebagai sebuah ilustrasinya dapat digambarkan bahwa Pegawai Negeri Sipil belum berfungsi secara maksimal sebagai penggerak pembangunan dan melayani masyarakat, bahkan sering dirasakan menjadi beban dalam penyelenggaraan program-program pemerintahan dan pembangunan. Kemampuan Pegawai Negeri Sipil masih sangat terbatas dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat. Kinerja birokrasi identik dengan ketidakefisienan dan "high-cost economy". Hal ini ditengarai dengan tingginya angka ICOR (Incremental Capital-Output Ratio) di bidang manufaktur yang menunjukkan rata-rata 5,59, dimana untuk menghasilkan output satu satuan dibutuhkan 5 komponen input (Sofian Effendi, 2003 : 3). Pegawai Negeri Sipil juga masih terlihat jauh dari sikap "abdi masyarakat" dalam memberikan pelayanan publik yang menjadi tugas mereka. Sebagai gambaran, berdasarkan penelitian terhadap aparat/birokrasi Pemerintah Daerah, kemampuan pelayanan publik yang dilakukan ternyata hanya mencapai 43,98 persen. Namun untuk tugas-tugas birokrasi yang mencerminkan kekuasaan atau wewenang pemerintah (yaitu pengaturan dan pengawasan), seperti pemberian ijin, pelaksanaan aturan, dan pengawasan kegiatan masyarakat paling sedikit mencapai 75 persen (Adi Sasono dalam Miftah Thoha dan Agus Dharma, 2001 : 56). Sementara itu, menurut laporan Global Competitiveness Report dari World Economic Forum, menyebutkan rangking kemampuan daya saing Indonesia pada tahun 2006 berada pada peringkat 51 dan tahun 2007 justru kembali menurun kepada peringkat 54. Studi dari Booz-Allen & Hamilton menemukan fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat good governance paling rendah diantara negara-negara tetangganya. Indeks good governance Indonesia adalah 2,8, sedangkan Singapura 8,9; Malaysia 7,7; Thailand 4,8; dan Filipina 3,47 (Riant Nugroho, 2008 : 35). Disebutkan juga dalam laporan itu bahwa Kemampuan Manajemen birokrasi menempati urutan ke-42 dari 48 negara dan kemampuan daya saing terhadap negara-negara lain menempati urutan ke-41 dari 48 negara. Bahkan, sebelumnya diungkapkan oleh Der Spiegel, Transparency International, Economic Intelligent Unit, JETRO yang menganggap bahwa justru birokrasi-lah yang menjadi pangkal bagi hambatan (liabilities) terhadap kemampuan daya saing Indonesia di tingkat global (Iman Taufik dalam Miftah Thoha dan Agus Dharma, 2001 : 96). Oleh karena itu, perlu diupayakan pengaturan atau pengelolaan terhadap aparatur/birokrasi, baik di tingkat Pusat maupun tingkat daerah dengan suatu bentuk manajemen yang baik. Pengelolaan aparatur negara (khususnya Pegawai Negeri Sipil) sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 pada intinya memuat Manajemen Pegawai Negeri Sipil (MPNS), dimana didalamnya mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum. Disinilah arti pentingnya penerapan manajemen yang baik dalam bidang kepegawaian untuk mewujudkan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil untuk mendukung kinerja pemerintah. Masalah di atas menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan peran pelayanan yang dilakukan Pegawai Negeri Sipil. Untuk itu, Pegawai Negeri Sipil harus memiliki kinerja yang tinggi agar anggapan buruk yang selama ini melekat pada aparatur negara dapat dihindari. Kinerja Pegawai Negeri Sipil ditunjukkan dengan usaha-usaha mereka dalam melaksanakan dan menghasilkan output-output yang berkenaan dengan tugas dan pekerjaannya. Dengan demikian, pembinaan terhadap Pegawai Negeri Sipil harus terus dikembangkan sesuai dengan dinamika organisasi dan lingkungan strategisnya. Dalam konteks organisasi Badan Kepegawaian Negara (BKN), sebagai salah satu instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengelola kepegawaian di Indonesia, maka peran tersebut perlu untuk senantiasa diperhatikan. Dalam hal ini, BKN perlu mewujudkan peran pelayanan yang optimal sesuai dengan harapan masyarakat pengguna (user) atau para konsumen yang berkepentingan dalam menggunakan jasa pelayanan BKN. Pelayanan yang berkualitas (pelayanan prima) dapat menunjukkan adanya kinerja yang optimal, baik kinerja pegawai maupun kinerja organisasinya. Terkait dengan pelayanan yang selama ini dilaksanakan, terutama dalam pelayanan administrasi kepegawaian, terdapat beberapa hal yang belum memenuhi target atau terealisasi dengan baik. Secara lebih jelas gambaran belum optimalnya pelayanan kepegawaian di lingkungan BKN. Kualitas pelayanan di lingkup BKN belum dikatakan optimal. Hal ini juga menjelaskan terdapat beberapa kegiatan yang belum dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan perencanaannya. Dengan kala lain, sumber daya manusia (pegawai) belum memiliki kinerja yang baik, sehingga belum dapat mengimplementasikan program-program atau kegiatan-kegiatan sesuai dengan tujuan dan target yang telah ditentukan. Berkaitan dengan tingkat pelayanan kepegawaian dan kinerja pegawai di atas, BKN dituntut untuk menonjolkan citra yang baik di mata masyarakat, terutama keberadaan atau kondite yang melekat pada setiap pegawainya. Sebagai pegawai yang menangani administrasi kepegawaian yang menyangkut nasib dan masa depan pegawai lainnya, pegawai BKN harus mampu menjalankan peran dan fungsinya secara profesional. Profesionalitas pegawai dalam menjalankan peran dan fungsinya menuntut adanya disiplin dalam segala hal sebagai prasyarat tercapainya tujuan organisasi. Kondisi tersebut akan dapat terwujud apabila setiap diri pegawai mematuhi semua peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan organisasi serta adanya disiplin yang tinggi terhadap kepatuhan untuk melaksanakannya. Dalam konteks ini, disiplin merupakan instrumen untuk mencapai suatu tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa disiplin menjadi prasyarat bagi terwujudnya tujuan dari organisasi (instansi-instansi pemerintah). Dengan kata lain, disiplin merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan yang berhasil guna dan berdayaguna. Pada kenyataan di lapangan, berdasarkan penelitian awal penulis memperlihatkan bahwa pegawai BKN memiliki tingkat disiplin yang kelihatan semakin menurun sehingga mengundang keprihatinan semua pihak. Menurunnya atau bahkan rendahnya disiplin pegawai terlihat secara kasat mata di lapangan, yakni dari semakin meningkatnya tingkat kemangkiran, keterlambatan masuk kantor dan pulang kerja lebih awal dari jam kerja yang ditentukan. Adanya kekurangdisiplinan para pegawai di lingkungan Badan Kepegawaian Negara menunjukkan pada setiap bulannya masih terdapat pegawai yang tidak masuk kerja tanpa memberitahukan kepada atasan dan unit kerjanya atau tanpa keterangan (TK). Bahkan, selama dua bulan terakhir (Oktober dan Nopember 2009) terdapat peningkatan yang cukup signifikan dari para pegawai yang terlambat datang (TL) atau masuk kerjanya. Gambaran ini semakin mencolok apabila dilihat di lapangan yang memperlihatkan masih banyak pegawai yang pulang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Di sisi lain, sebagaimana digambarkan dari hasil kajian dari tim Badan Kepegawaian Negara memperlihatkan bahwa disiplin kerja juga merupakan salah satu "isu strategis" yang menjadi perhatian serius dari pimpinan organisasi. Dalam hal ini, pegawai di lingkungan Badan Kepegawaian Negara sebagian besar ditengarai masih belum memiliki disiplin yang tinggi. Hal ini juga disebabkan penegakan disiplin kerja belum dilaksanakan secara konsisten dalam organisasi ini (Infokom Kepegawaian, 2009 : 15). Sementara itu, penulis juga mencoba mengkaitkan belum optimalnya pelayanan kepegawaian di BKN dengan masalah sistem kompensasi yang berlaku di lingkup organisasi ini. Sebagaimana diketahui sistem kompensasi yang berlaku selama ini di lingkungan Pegawai Negeri Sipil dianggap belum mampu menyentuh rasa keadilan dan kesejahteraan pegawai (Pegawai Negeri Sipil). Hal ini dikarenakan sistem kompensasi yang ditetapkan belum mendasarkan pada keadilan internal (internal equity) dan keadilan keluar (external equity) (M. Irfan, 2009 : 33). Bahkan, menurut hasil penelitian bahwa imbalan yang diterima PNS hanya dapat memenuhi separo kebutuhan hidup sehari-hari (Z.A. Achmady, dalam Miftah Thoha, 1999 : 114). Dalam konteks pemberian sistem kompensasi di BKN, terdapat beberapa hal yang belum berjalan dengan baik. Dalam hal ini, adalah terkait dengan pemberian tunjangan diantara para pegawai. Misalnya, adanya pembedaan penentuan besaran Tunjangan Kinerja (TK), penentuan pemotongan TK dan penentuan besaran uang Lauk Pauk (LP). Dengan demikian, sistem kompensasi di lingkungan organisasi ini belum memberikan gambaran yang sesuai dengan harapan pegawai secara keseluruhan. Dari uraian-uraian di atas, penulis mencoba memfokuskan penelitian ini mengenai pengaruh antara kedua faktor tersebut, yakni disiplin kerja pegawai dan sistem kompensasi terhadap kualitas pelayanan kepegawaian di lingkungan organisasi pemerintahan dalam konteks ini adalah Badan Kepegawaian Negara. Dengan demikian, berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ditemukan dan sekaligus untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian (tesis) ini, maka penulis menentukan judul tesis ini : "PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN SISTEM KOMPENSASI PEGAWAI NEGERI SIPIL TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BKN". B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah pokok pada penelitian ini, yaitu : a. Bagaimana pengaruh disiplin kerja pegawai terhadap kinerja PNS di lingkungan Badan Kepegawaian Negara ? b. Bagaimana pengaruh sistem kompensasi terhadap kinerja PNS di lingkungan Badan Kepegawaian Negara ? c. Bagaimana disiplin kerja pegawai dan sistem kompensasi secara bersamaan mempengaruhi kinerja PNS di lingkungan Badan Kepegawaian Negara ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk : a. Menganalisis mengenai pengaruh disiplin kerja pegawai terhadap kinerja pegawai di lingkungan Badan Kepegawaian Negara. b. Menganalisis mengenai pengaruh sistem kompensasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan Badan Kepegawaian Negara. c. Menganalisis pengaruh disiplin kerja pegawai dan sistem kompensasi secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai di lingkungan Badan Kepegawaian Negara. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan : a. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam melihat gambaran mengenai pengaruh disiplin kerja pegawai dan sistem kompensasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan organisasi publik (Pemerintah). b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan wacana untuk diterapkan dalam meningkatkan kinerja pegawai pada organisasi Pemerintah. c. Secara pribadi diharapkan dapat menambah pengetahuan terhadap kajian mengenai sikap Pegawai Negeri Sipil, yang ditunjukkan dari aspek-aspek yang melingkupinya (disiplin kerja pegawai dan sistem kompensasi). |
Posted: 16 Nov 2014 12:21 AM PST (KODE : PASCSARJ-0278) : TESIS ANALISIS PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN ADMINISTRASI RSUD (PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya satu orang, tetapi untuk seluruh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat tersebut banyak hal yang diperlukan. Salah satu yang dinilai dalam mewujudkan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Rumah sakit sebagai salah satu subsistem pelayanan kesehatan memberikan dua jenis pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan keperawatan. Sedangkan pelayanan administrasi mencakup tentang segala sistem administrasi pegawai maupun data-data tentang pasien rumah sakit (Muninjaya, 2004). Pelayanan administrasi memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tokoh penting dalam pelayanan administrasi adalah karyawan administrasi. Karyawan sebagai garis depan dalam suksesnya sebuah organisasi. Dessler dan Gary (1994) juga menjelaskan bahwa keberhasilan suatu institusi ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu sumber daya manusia atau tenaga kerja dan sarana dan prasarana pendukung atau fasilitas kerja. Dari kedua faktor utama tersebut sumber daya manusia lebih penting daripada sarana dan prasarana pendukung. Secanggih dan selengkap apapun fasilitas pendukung yang dimiliki suatu organisasi kerja, tanpa adanya sumber yang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya, maka niscaya organisasi tersebut dapat berhasil mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasinya. Kualitas sumber daya manusia tersebut diukur dari kinerja karyawan (performance) atau produktivitasnya (Dessler, 1994). Kinerja karyawan dapat dinilai berdasarkan tingkat pencapaian kerja yang dilaksanakan oleh karyawan dan efektifitas keseimbangan antara pekerjaan individu dan lingkungan yang berada di dekatnya. Kinerja karyawan yang optimal akan mempermudah pencapaian tujuan organisasi (Muninjaya, 2000). Seperti yang dikatakan oleh Azwar (1996) menyebutkan bahwa tugas seorang administrator atau manajer di rumah sakit untuk melakukan upaya sedemikian rupa sehingga dapat memotivasi karyawan untuk secara bertanggung jawab melaksanakan berbagai aktifitas yang telah disusun. Salah satu cara yang ditempuh manajer rumah sakit untuk meningkatkan hasil kerja yang baik dan memperoleh keuntungan organisasi secara optimal sesuai dengan tujuan yang ditetapkan adalah melalui manajemen organisasi yang efektif dan efisien. Dalam hal ini prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) memegang peranan penting, sebagai sarana untuk mengukur kinerja suatu organisasi yang baik (Surya, 2008). Penerapan good corporate governance dimaksudkan agar terciptanya keterbukaan informasi, adanya pertanggungjawaban pimpinan, perlakuan adil bagi setiap karyawan dalam menjalankan kewajiban dan menerima hak-haknya sebagai karyawan maupun adanya keterlibatan dari seluruh karyawan dalam pengembangan organisasi rumah sakit menjadi lebih baik lagi. Berdasarkan hasil wawancara dengan Wakil Direktur Administrasi Umum dan Kepala Bagian Tata Usaha RSUD X pada bulan Oktober 2009 bahwa prinsip-prinsip GCG sudah mulai diterapkan di rumah sakit tersebut. Misalnya dalam penerapan prinsip transparansi, rumah sakit telah menyajikan informasi materiil dan non materiil rumah sakit secara transparan kepada public. Dalam penerapan prinsip akuntabilitas, pimpinan rumah sakit memberikan unit kerja dan wewenang yang jelas kepada setiap karyawan yang ditetapkan dalam suatu surat keputusan, dan penjabaran wewenang kerja tersebut dapat dilihat pada struktur organisasi yang terpajang di setiap sudut ruangan rumah sakit. Demikian juga dalam penerapan prinsip fairness, setiap karyawan mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh tunjangan dan gaji sesuai dengan golongan dan pangkat kerja masing-masing. Dalam penerapan prinsip partisipasi, setiap karyawan selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan terhadap masalah yang dihadapi rumah sakit. Pendapat di atas sedikit berbeda dengan hasil pengamatan dan hasil wawancara dengan beberapa karyawan di RSUD X, menurut karyawan penerapan prinsip GCG belum diterapkan secara baik di rumah sakit tersebut, misalnya laporan keuangan tidak pernah disajikan secara transparan kepada karyawan, seleksi penerimaan pegawai kadangkala bersifat situasional, artinya tertutup dan tidak diberikan informasi kepada public, meskipun menurut pimpinan rumah sakit hal ini dilakukan karena kebutuhan tenaga yang harus ditanggulangi segera. Belum adanya system reward yang baik berupa penghargaan yang diberikan kepada karyawan yang telah berpartisipasi dalam pengembangan rumah sakit. Keluhan lainnya adalah dalam pembagian tunjangan seperti Jamkesmas, dan lain-lain, tidak disajikan secara transparan dan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, sehingga menimbulkan konflik antara karyawan dan pimpinan rumah sakit. Meskipun RSUD X telah menyusun rencana strategi yang baik dalam penerapan prinsip GCG tahun 2000, kenyataannya menunjukkan masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari seringnya muncul pemberitaan di media massa tahun 2009 terhadap ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan petugas kesehatan, baik dokter, perawat, maupun staf administrasi lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan karyawan bagian administrasi umum pada bulan Oktober 2009 diperoleh bahwa salah satu faktor ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan di rumah sakit adalah karena rendahnya kinerja karyawan dalam memberikan pelayanan. Kemampuan manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan juga masih kurang baik, misalnya dalam pemberian sistem reward terhadap karyawan, kurangnya prinsip keadilan dalam penentuan besarnya biaya tunjangan kesehatan terhadap setiap karyawan, promosi jabatan yang belum sesuai dengan harapan dan kebijaksanaan pimpinan belum sepenuhnya berpihak kepada karyawan. Rendahnya sistem administrasi rumah sakit merupakan hal yang sangat signifikan untuk dipertanyakan adalah kinerja karyawannya dan penerapan prinsip good corporate governance diterapkan di bagian administrasi di rumah sakit. Mutu dan kualitas pelayanan rumah sakit menjadi lebih baik dan memuaskan dan tidak menimbulkan keluhan masyarakat dalam menerima pelayanan bagian administrasi di rumah sakit karena baiknya sistem administrasi sebuah rumah sakit (Surya, 2008). RSUD X dituntut untuk melakukan pembenahan terhadap tata organisasi rumah sakit yang sesuai dengan prinsip GCG untuk mencapai good governance (tata pemerintahan yang baik). Rumah sakit dituntut untuk lebih profesional dalam mengelola manajemen pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melaksanakan prinsip GCG, dengan menerapkan nilai-nilai antara lain keterbukaan, dan kerahasiaan transparansi, akuntabilitas, prinsip keadilan dan aturan dari code of conduct dan partisipatif (Renstra RSUD X, 2006). Berdasarkan data dari RSUD X diperkirakan masalah GCG Bagian Administrasi Umum ini terkait dengan : 1). Pelayanan administrasi umum, kepegawaian, rumah tangga dan perlengkapan, 2). Pelayanan administrasi penerimaan, mobilisasi dana dan pengeluaran), 3). Pelayanan administrasi akuntansi manajemen, verifikasi dan pelaporan) dan 4). Pelayanan administrasi perencanaan anggaran, informasi, komunikasi, evaluasi dan pelaporan program (Renstra RSUD X, 2006). Berdasarkan hasil wawancara dan penelitian dengan Kepala Bagian Administrasi Umum RSUD X pada bulan Oktober 2009, bahwa bentuk penerapan prinsip transparansi pada bagian tata usaha ditunjukkan dengan adanya daftar kepegawaian rumah sakit yang jelas, sedangkan pada bagian keuangan dan akuntansi adanya laporan penerimaan dan penggunaan anggaran, namun dalam pelaksanaannya laporan tersebut belum disajikan secara jelas kepada semua karyawan, pada bagian bina program prinsip ini ditunjukkan dengan adanya penyajian secara transparan terhadap daftar inventaris rumah sakit. Penerapan prinsip akuntabilitas pada bagian tata usaha dapat dilihat pada pembagian tugas dan wewenang yang jelas pada masing-masing jabatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Daerah tahun 2006. Pada bagian akuntansi dan keuangan ditunjukkan dengan pembagian Tunjangan Penghasilan Kerja (TPK) yang sesuai dengan golongan dan kepangkatan setiap karyawan. Bagian bina program setiap akhir tahun diharuskan melaporkan penerimaan dan penggunaan daftar inventaris rumah sakit. Penerapan prinsip keadilan pada bagian tata usaha diwujudkan dengan penempatan posisi kerja sesuai dengan keahlian dan keterampilan karyawan, pada bagian akuntansi dan keuangan setiap karyawan mendapatkan hak yang sama dalam penerimaan TPK yang diatur dengan Peraturan Gubernur tahun 2007 dan penerimaan tunjangan lainnya yang diatur dengan Surat Keputusan Direktur. Bentuk partisipasi dari prinsip GCG yang telah diterapkan di bagian tata usaha RSUD X diantaranya adalah setiap karyawan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan sesuai dengan keahlian dan potensi yang dimiliki. Jumlah karyawan di RSUD X tahun 2008 adalah 847 orang, terdiri dari 97 orang (11,45%) tenaga medis, 180 orang (21,25%) tenaga paramedis non keperawatan, 401 orang (47,34%) tenaga medis keperawatan dan sisanya 169 orang (8,15%) tenaga non medis. Dari 169 orang tenaga non medis, 71 orang diantaranya adalah tenaga administrasi umum (Sub Bagian Kepegawaian RSUD X tahun 2009). Berdasarkan paparan diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang analisis persepsi karyawan bagian administrasi umum tentang penerapan prinsip Good Corporate Governance (transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan partisipasi) kaitannya dengan kinerja karyawan di RSUD X. B. Permasalahan Berdasarkan permasalahan di atas, perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana analisis penerapan prinsip Good Corporate Governance (transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan partisipasi) terhadap kinerja karyawan di Bagian Administrasi Umum RSUD X. C. Tujuan Penelitian Menganalisis penerapan prinsip Good Corporate Governance (transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan partisipasi) terhadap kinerja karyawan di Bagian Administrasi Umum RSUD X. . D. Manfaat Penelitian 1. Bahan masukan bagi RSUD X dalam meningkatkan performance rumah sakit melalui peningkatan prinsip GCG. 2. Memberikan informasi kepada manajemen RSUD X khususnya bagi pemerintah daerah tentang transparansi keuangan, dan prinsip keadilan dalam pengelolaan keuangan Rumah Sakit seperti yang tercantum dalam konsep GCG sehingga menumbuhkan kepercayaan terhadap manajemen rumah sakit. 3. Untuk menambah wawasan bagi peneliti tentang manajemen rumah sakit khususnya dalam penerapan prinsip GCG. 4. Memberikan kontribusi keilmuan manajemen strategis dan konsep GCG di rumah sakit serta menjadikan referensi bagi penelitian selanjutnya. |
You are subscribed to email updates from gudang makalah, skripsi dan tesis To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
0 komentar:
Post a Comment