download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


SKRIPSI DAMPAK PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. X TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN X

Posted: 31 Jan 2011 01:00 AM PST


(KODE EKONPEMB-0001) : SKRIPSI DAMPAK PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. X TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Dewasa ini, para pemimpin perusahaan menghadapi tugas yang menantang dalam menerapkan standar-standar etis terhadap praktik bisnis yang bertanggungjawab. Perusahaan berusaha meningkatkan kinerjanya untuk mendapatkan keuntungan yang optimal supaya dapat bersaing dengan perusahaan lainnya. Namun dalam usaha untuk mencapai keuntungan yang optimal ini perusahaan juga harus memperhatikan lingkungan sekitar perusahaan yaitu masyarakat setempat dan pemerintah.
Perusahaan sebagai sebuah sistem, dalam keberlanjutan dan keseimbangannya tidak bisa berdiri sendiri. Eksistensi suatu perusahaan tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya. Ada hubungan resiprokal (timbal balik) antara perusahaan dengan masyarakat. Perusahaan dan masyarakat adalah pasangan hidup yang saling memberi dan membutuhkan. Perusahaan selain mengejar keuntungan ekonomi untuk kesejahteraan dirinya, juga memerlukan alam untuk sumber daya olahannya dan stakeholders lain untuk mencapai tujuannya. Dengan menggunakan pendekatan tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga keuntungan secara sosial. Dengan demikian keberlangsungan usaha tersebut dapat berlangsung dengan baik dan secara tidak langsung akan mencegah konflik yang merugikan.
CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Contoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya.
CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability. Dalam menerapkan CSR, umumnya perusahaan akan melibatkan partisipasi masyarakat, baik sebagai objek maupun sebagai subjek program CSR. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah salah satu pihak yang cukup berpengaruh dalam menjaga eksistensi suatu perusahaan. Masyarakat adalah pihak yang paling merasakan dampak dari kegiatan produksi suatu perusahaan, baik itu dampak positif ataupun negatif. Dampak ini dapat terjadi dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun lingkungan.
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau "aktivitas sosial perusahaan". Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk "peran serta" dan "kepedulian" perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan "seat belf, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.
Perihal penerapan CSR di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan keputusan menteri, yaitu UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal LNNo.67 TLN No.4274, UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL). Mewajibkan CSR merupakan salah satu upaya pemerintah dan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi.
Setelah sepuluh tahun terakhir ini CSR telah menjadi salah satu isyu sosial maupun isyu pembangunan, yang menggelilitik begitu banyak pihak di Indonesia, kemudian negara memutuskan untuk mengaturnya melalui UU No. 40 mengenai Perseroan Terbatas pada tahun 2007. Melalui undang-undang tersebut CSR lebih difokuskan kepada kewajiban perusahaan untuk melaksankan Tanggung Jawab sosial dan Lingkungan (TSL) yaitu perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam ataupun kegiatannya terkait dengan sumber daya alam sehingga undang-undang tersebut dirasakan diskriminatif sementara di lain pihak, hal ini membahagian bagi perusahaan-perusahaan yang merasa bahwa bidang usahanya tidak terkena kewajiban untuk melakukan CSR
Beberapa contoh kasus Perusahaan lain yang memiliki masalah dengan tanggung jawab perusahaan lingkungan (CSR) yakni: Kasus pemblokiran jalan oleh warga di Papua terhadap kendaraan-kendaraan milik Freeport, kasus gugatan warga terhadap Newmont di Buyat dan yang mengalami konflik dengan masyarakat sekitar sehingga operasi pabrik sempat dihentikan, menggambarkan bagaimana kekecewaan warga terhadap ketidakpekaan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah-wilayah tersebut. Dalam bahasa praksis, kepekaan sosial ini diwujudkan melalui program Corporate Social Responsibilities (CSR). Program sejatinya merupakan manifestasi dari kepedulian perusahaan terhadap lingkungan dimana ia melaksanakan usaha. Hanya sayangnya, kepedulian ini kerap baru muncul setelah timbul masalah dengan masyarakat. Jadi, ada preseden buruk yang secara umum terjadi bahwa CSR dijadikan senjata untuk memadamkan keresahan sosial akibat keberadaan suatu perusahaan. Hal ini mengakibatkan antara masyarakat dan perusahaan seolah terdikotomi. Pada akhirnya program CSR akan menjadi tidak efektif. Terbukti akibat lemahnya program CSR yang dimiliki oleh PT Freeport Indonesia, operasi perusahaan sempat terhenti. Kalau sudah begitu, perusahaan juga yang rugi. Padahal, dari sisi korporat sebenarnya Freeport sudah menjalankan program CSR ke masyarakat, hanya saja berjalan tidak efektif.
Kondisi pendidikan masyarakat yang dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja juga masih sangat memprihatinkan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi perusahaan. Penduduk lokal yang menjadi tenaga kerja langsung di PT. X semua masih bekerja pada level/jabatan paling rendah yaitu tingkat operator di perusahaan meski masyarakat yang ingin bekerja dan melamar di perusahaan tersebut sudah memiliki pendidikan yang memadai (setingkat SLTA). PT. X saat ini telah memberi makna implementasi tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu bentuk tanggung jawab perusahaan untuk mempertemukan berbagai kepentingan yang terkait dengan aktivitas perusahaan. Tidak saja bagi kepentingan internal, tetapi juga kepentingan eksternal (sesuai dengan pendekatan stakeholders).
Tanggung jawab sosial PT. X bagi masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan, pengembangan komunitas, dan pelayanan publik, memiliki makna ekonomi berupa besarnya dana yang mengalir secara langsung dari perusahaan, atau tidak langsung sebagai efek multiplier dari perputaran roda ekonomi masyarakat sekitar itu sendiri. Terbukanya berbagai jenis lapangan kerja baru, berbagai bentuk program mitra kerja perusahan, dan juga berkembangnya sektor informal, adalah sebagai bukti menggeliatnya perekonomian masyarakat sekitar. Pembangunan sarana fisik bagi lingkugan masyarakat, sumbangan di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat, secara tidak langsung juga telah memberi pengaruh peningkatan kualitas SDM dan potensi ekonomi masyarakat.
Mengingat Peranan CSR apakah berjalan efektif dan tepat pada sasaran untuk mensejahterakan masyarakat kecamatan X. Selain itu untuk mengetahui apa yang dilakukan PT. X pada CSR perusahaannya sekaligus untuk mengetahui bagaimana peran CSR terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan X, Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Peranan Corporate Social Responsibility (CSR) PT. X terhadap kesejahteraan masyarakat Kabupaten Toba Samosir (Studi kasus : kecamatan X)".

1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah format dan konsep CSR yang telah diimplementasikan PT. X di Kecamatan X?
2. Bagaimanakah dampak program CSR terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di Kecamatan X?
3. Bagaimanakah dampak program CSR terhadap peningkatan pendidikan masyarakat di Kecamatan X?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dampak program CSR PT. X yang telah diimplementasikan pada masyarakat Kecamatan X.
2. Untuk mengetahui dampak program CSR PT. X terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Kecamatan X.
3. Untuk mengetahui dampak program CSR PT. X terhadap peningkatan pendidikan masyarakat Kecamatan X.

1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah maka hipotesis yang akan menjadi pedoman awal dalam penelitian adalah Peranan CSR PT. X.
Adapun hipotesis penelitian ini adalah:
1. CSR PT. X Berperan dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Kecamatan X
2. CSR PT. X Berperan dalam Meningkatkan Pendidikan Masyarakat di Kecamatan X.
3. CSR PT. X Berperan dalam mengurangi pengangguran bagi masyarakat di kecamatan X

1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, sebagai tambahan wawasan untuk mengetahui apakah dampak Program CSR PT. X terhadap kesejahteraan masyarakat kecamatan X.
2. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya, sekaligus untuk menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam hal penelitian bagi penulis.
3. Sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang relevan yang telah ada dan sebagai acuan kepeda peneliti yang hendak melakaukan penelitian yang bahannya sama di masa mendatang.
4. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut untuk meneliti topik yang sama.
5. Bagi para pengambil kebijakan pada manajemen PT. X, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dalam menghasilkan perencanaan yang lebih baik dalam Penerapan CSR Perusahaan.

SKRIPSI EFEKTIVITAS SOSIALISASI PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG

Posted: 31 Jan 2011 12:45 AM PST


(KODE ILMU-KOM-0029) : SKRIPSI EFEKTIVITAS SOSIALISASI PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan kebijakan subsidi menjadi polemik di masyarakat, terkait dengan bagaimana perhitungan subsidi dilaksanakan, berapa besaran yang perlu ditetapkan, siapa yang menjadi target subsidi tersebut, dan apakah subsidi akan benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang menjadi target sasaran. Hal ini akan menjadi rumit ketika subsidi diterapkan pada komoditi yang vital bagi masyarakat seperti minyak tanah. Perbedaan harga yang tajam antara minyak tanah yang bersubsidi dengan tidak bersubsidi dapat menimbulkan kerawanan penyimpangan yang berupa penyelewengan distribusi, penimbunan dan bahan penyelundupan.
Penyuluhan atau sosialisasi merupakan jenis khusus pendidikan pemecahan masalah (problem solving) yang berorientasi pada tindakan, yang mengajarkan sesuatu, mendemonstrasikan, dan memotivasi, tapi tidak melakukan pengaturan (regulating) dan juga tidak melaksanakan program yang non-edukatif (Nasution, 1990:7).
Persoalan tersebut bertambah rumit ketika minyak mentah dunia naik melambung tinggi dan kenaikan tersebut diperkirakan rata-rata diatas US$100 per barel. Kondisi ini jelas berdampak besar terhadap beban subsidi yang khususnya subsidi BBM dan listik. Dilain pihak, Pemerintah dituntut untuk melakukan beberapa penghematan, namun harus menjaga momentum pertumbuhan agar semua kegiatan ekonomi terselenggara dengan baik. Salah satu langkah yang dimungkinkan dapat dilaksanakan Pemerintah untuk pengamanan APBN adalah program hemat energi dan efisiensi di Pertamina dan PLN (Anggitto & Andie, 8 November 2007).
Berawal dari kondisi di atas, Pemerintah berusaha mengurangi subsidi yang tidak dapat sasaran misalnya program konversi minyak tanah ke LPG, dengan membagikan paket LPG 3 kilogram beserta isi, kompor, regulator dan selang secara gratis kepada masyarakat yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Adapun target sasaranya adalah rumah tangga dengan ketentuan yaitu ibu rumah tangga, pengguna minyak tanah murni, pengeluaran kurang dari 1,5 juta per bulan, dan penduduk legal setempat dan usaha mikro yaitu pengguna minyak tanah untuk bahan bakar memasak dalam usahanya.
Program tersebut pertama kali dilaksanakan pada pertengahan tahun 2007 di daerah Jakarta Timur dan dilanjutkan dengan daerah lain di Pulau Jawa, Sumatera diperkirakan pada tahun 2008 ini baru bisa dilaksanakan. Program tersebut mengalami beberapa tantangan dan hambatan yang akhirnya tidak sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Target dari enam juta tabung yang akan didistribusikan hanya terealisasi sebesar 3 .975.789 (6 6,26%) sampai akhir tahun 2007.
Sosailaisai yang yang merupakan senjata ampuh, namun dalam pelaksanaanya tidak efektif dan berjalan lambat. Disamping itu, resistensi masyarakat dengan penggalihan minyak tanah ke LPG ikut menyulitkan pelaksanaanya. Dalam beberapa kasus banyak masyarakat menerima program tersebut ternyata bukan pengguna minyak tanah. Penentuan siapa yang berhak mendapatkan tabung dan kompor gas tidak melalui seleksi yang telah ditetapkan.
Hasil penemuan sementara menunjukkan bahwa pemberian tabung LPG 3 kilogram dan kompor tesebut diserahkan sepenuhnya oleh Ketua RT. Untuk mendistribusikan paket tersebut berdasarkan instusi dan nepotisme.
Sosialisasi dilakukan kepada ibu-ibu rumah tangga yang merupakan target program konversi minyak taban ke gas LPG. Ada pun sosialisai yang dilakukan oleh pihak Pertamina dengan mengunjuk konsultan setiap daerahnya. Di dalam sosialisasi ini dilakukan 3 (tiga) tahapan yaitu pertama tahap pencacahan, dimana konsultan mesurvei masyarakat yaitu ibu-ibu rumah tangga yang layak untuk menerima kompor gas gratis dengan memenuhi prasyarat yang telah ditentukan oleh Pertamina. Tahapa satu ini dilakukan dengan cara door to door. Tahap kedua yaitu pemebelajaran, yaitu ibu-ibu rumah tangga dikumpulkan di suatu tempat misalnya kantor kelurahan untuk menerima pembelajaran menegenai program tersebut baik itu keuntungan menggunakan kompor gas dan cara-cara penggunaanya. Tahap pembelajaran ini dilakukan juga kepada ibu-ibu rumah tangga secara langsung oleh konsultan yang telah di unjuk Pertamina. Konsultan dan petugas lingkungan berfungsi memberikan sosialisasi yang meliputi cara penggunaan kompor gas LPG, kehematan yang diperoleh dengan mengunakan gas LPG dimana 1 liter minyak tanah sama dengan 0,57 kilogram energi gas LPG, penggunaan gas LPG akan lebih efisien, bersih dan masakan akan lebih cepat masak. Kemudian terakhir pada tahap ketiga yaitu pembagian kompor gas, tabung gas dan regulator. Pada tahap ini ibu-ibu rumah tangga mengambil seperangkat kompor gas gratis tersebut di setiap posko-posko yang telah ditentukan oleh pihak konsultan dan petugas lingkungan.
Setelah membagikan kompor gas gratis sosialisasi dilanjutkan dimana konsultan akan berada di wilayah tersebut kurang lebih 1 (satu) minggu untuk menerima keluhan-keluhan masyarakat. Keluhan-keluhan tersebut dapat berupa pemahaman akan cara-cara penggunaanya dan keluhan akan infrastruktur yang diberikan secara gratis tersebut.
Dengan adanya konversi minyak tanah ke LPG, terjadi penghematan 1 liter minyak tanah sama dengan 0,57 kilogram setara energi. dengan demikian besarnya rata-rata penghematan penggunaan energi Rp. 16,420 per bulan. Besarnya penghematan yang terjadi dengan adanya program tersebut subsidi APBN P 2007 adalah Rp. 391 milyar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penghematan yang dilakukan oleh Pertamina sebesar Rp.277 milyar. Dengan demikian, pelaksanaan program tersebut banyak mengalami hambatan, penggunaan LPG jelas mengurangi subsidi BBM. Namun demikian, program ini tetap layak untuk dilanjutkan dengan memperbaiki sosialisasi dan penyiapan infrastruktur seperti peralatan tabung, kompor gas serta kemudahan untuk membeli dan mengisi ulang gas yang telah habis terpakai.
Mengingat beban subsidi yang semakin berat sebagai akibat tingginya harga minyak internasional yang telah melampaui US$ 80 per barel, maka sudah sepatutnya program penghematan melalui pengalihan penggunaan minyak tanah ke LPG perlu dikembangkan ke daerah-daerah lain di Indonesia. Merubah kebiasaan menggunakan kompor minyak tanah sejak turun temurun bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi hal ini menyangkut kebutuhan pokok. Kemudian membeli minyak tanah dengan sistem eceran 1 atau 2 liter minyak tanah juga menjadi hambatan bagi rumah tangga untuk beralih ke LPG 3 kilogram. Namun, dengan perbaikan sosialisasi dengan melibatkan semua unsur masyarakat seperti Pemda, Instansi Pemerintah, Wakil Rakyat dan LSM. Sosialisasi tersebut perlu disampaikan kepada masyarakat bahwa menggunakan gas LPG memiliki kelebihan dibandingkan minyak tanah. Disamping itu, minyak tanah mempunyai porsi terbesar dibandingkan premium dan solar. Hasil survei BKF, Depkeu sangat besar dalam APBN. Oleh karena itu, subsidi yang tidak tepat sasaran dapat dialihkan kepada subsidi yang tidak tepat sasaran dapat dialihkan kepada subsidi yang lebih bermanfaat seperti ketahanan pangan, pendidikan dan kesehatan.
Hal yang tidak kalah penting adalah sosialisasi kepada agen dan pangkalan minyak tanah yang selama ini mengandalkan usahanya dari penjualan minyak tanah. Mereka perlu diberikan bimbingan bagaimana untuk beralih kepada penjualan LPG. Mengingat usaha tersebut juga menghidupi banyak orang, maka insentif dapat diberikan kepada distributor, agen atau pengecer gas LPG yang telah beralih dari bisnis minyak tanah. Program konversi bukanlah milik Pertamina, namun program bersama yang bermanfaat bagi APBN dan pembangunan masyarakat.
Keberhasilan program pemerintah mengenai konversi minyak tanah ke LPG dilanjutkan ke berbagai daerah di Indonesia. Walaupun ketika ada beberapa faktor-faktor lain yang menghambat pelaksanaanya program tersebut adalah peraturan pelaksanaan yang terlambat, tidak tertampungnaya anggaran pengadaan sarana seperti kompor dan tabung, serta proses lelang yang tidak dapat memenuhi Keppes 80 tahun 2003. Selain itu faktor lain yaitu mengubah suatu kebudayaan dalam penggunaan minyak tanah ke budaya menggunakan gas LPG. Kebudayaan tersebut dimana ketika menggunakan minyak tanah menggunakan pentilasi udara yang sedikit sedangkan menggunakan bahan bakar LPG harus memiliki pentilasi udara yang banyak.
Pertamina Pemasaran Region I merencanakan menjalankan program pemerintah, dalam upaya penghematan energi melalui konversi minyak tanah ke LPG tahun 2009. Direncanakan program ini akan dilaksanakan di 4 provinsi.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang sejauh manakah efektifitas sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG kepada masyarakat dalam rangka mengubah keputusan penggunaan bahan bakar di Kecamatan X.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
"Sejauh manakah efektivitas sosialisasi program konversi minyak tanah ke LPG kepada ibu-ibu rumah tangga dalam rangka mengubah keputusan penggunaan bahan bakar di Kecamatan X?"

1.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti menetapkan batasan masalah yang lebih jelas dan spesifik mengenai hal-hal yang diteliti.
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penelitian bersifat korelasional yang menjelaskan hubungan antara efektivitas sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG terhadap perubahan keputusan penggunaan bahan bakar.
b. Objek penelitian adalah ibu rumah tangga penerima konversi minyak tanah ke LPG di Kecamatan X.
c. Penelitian sosialisasi dilakukan pada tahap pemebelajaran dan penerimaan keluhan dari ibu-ibu rumah tangga.
d. Penelitian dilakukan pada bulan November 2009.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui proses sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG yang dilakukan oleh Pertamina.
b. Untuk mengetahui penerimaan informasi konversi minyak tanah ke gas di Kecamatan X.
c. Untuk mengetahui pengaruh sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG terhadap perubahan keputusan penggunaan bahan bakar
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menguji pelbagai teori yang digunakan untuk mengukur efektivitas sosialisasi.
b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian serta menambah bahan referensi dan sumber bacaan di lingkungan FISIP Universitas X.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada Pertamina dan pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini.

SKRIPSI KARAKTERISTIK PERAWATAN LANSIA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN GIZI DI PANTI WERDHA X

Posted: 31 Jan 2011 12:43 AM PST


(KODE KEPRAWTN-0003) : SKRIPSI KARAKTERISTIK PERAWATAN LANSIA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN GIZI DI PANTI WERDHA X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Lanjut usia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh bermanfaat (Hurlock, 1999). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UUNo. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008).
Kemajuan di bidang kesehatan dan peningkatan pengetahuan masyarakat berdampak pada semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Dengan peningkatan ini maka usia harapan hidup juga akan bertambah, sehingga menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia/aging structured (UNICEF, 2007). Selanjutnya hasil survey United Nation International Children Found (UNICEF), mengemukakan bahwa pertambahan jumlah lanjut usia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990-2025 tergolong tercepat di dunia. Pada tahun 2006, jumlah lansia di Indonesia 20 juta dan diproyeksi akan bertambah menjadi 28, 8 juta atau sebesar 11, 34 % penduduk pada tahun 2020. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh kementrian koordinator bidang kesejahteraan rakyat tahun 2006 masing-masing untuk pria adalah 66 tahun dan untuk wanita 69 tahun.
Bersamaan dengan bertambahnya usia lansia terjadi pula penurunan fiingsi organ tubuh dan berbagai perubahan fisiologis tubuh.
Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2000 dilaporkan bahwa jumlah penduduk Kota Madya Medan sebesar 2.064.900 jiwa dan 13, 5% (278.895 jiwa penduduk) adalah lanjut usia (Suryadi dan Nugroho, (1999) didalam Darmojo, 2004)
Pada tahap perkembangan lansia, terjadi proses penuaan yang ditandai dengan menurunnya cadangan pada sebagian besar sistem fisiologis dan disertai dengan meningkatnya kerentangan terhadap penyakit dan kematian. Proses penuaan ini juga mengubah metabolisme tubuh yang diikuti oleh perubahan komposisi tubuh dan perubahan pola makan. Perubahan fisiologis di atas dapat juga menghalangi asupan diet, diantaranya : akuitas rasa dapat menurun sesuai usia, gigi palsu dapat meningkatkan rasa pahit dan asam, penurunan normal pada sekresi lambung menyebabkan kurang efisiensi pencernaan. Oleh karena itu lansia memiliki resiko cukup besar terhadap masalah nutrisi (Potter & Perry, 2005).
Semakin meningkatnya umur harapan hidup sebagai akibat dari keberhasilan pembangunan nasional sekarang ini, maka akan meningkatnya jumlah lansia. Pada saat sekarang ini lansia kurang sekali mendapat perhatian yang kurang serius di tengah masyarakat terutama mengenai kecukupan gizi pada mereka. Padahal kalau hal ini dibiarkan terus menerus, lansia itu dapat menjadi beban bagi keluarganya, masyarakat, bahkan bagi negara (Riyadi, 2001).
Panti werdha atau panti jompo adalah suatu institusi hunian bersama dari pada lanjut usia dari para lanjut usia yang secara fisik dan kesehatan masih mandiri dimana kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti (Darmodjo & Martono, 1999). Sedangkan menurut Jhon (2008), panti jompa adalah tempat dimana tempat berkumpulnya orang - orang lanjut usia yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala keperluannya, dimana tempat ini ada yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.
Peningkatan dalam tingkat harapan hidup manusia memang patut untuk disyukuri, namun disisilain kondisi ini menimbulkan polemik baru dalam kehidupan bermasyarakat maupun berkeluarga. Ketika seseorang sudah mencapai usia tua dimana fungsi-fungsi tubuhnya tidak dapat lagi berfungsi dengan baik maka lansia membutuhkan banyak bantuan dalam menjalani aktivitas-aktivitas kehidupannya. Belum lagi berbagai penyakit degeneratif yang menyertai keadaan lansia membuat mereka memerlukan perhatian ekstra dari orang-orang disekelilingnya.
Merawat lansia tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan fisik saja namun juga pada faktor psikologis dan sosiologis. Perlu diingat bahwa kualitas hidup lansia terus menurun seiring dengan semakin bertambahnya usia. Penurunan kapasitas mental, perubahan peran sosial, dementia (kepikunan), juga depresi yang sering diderita oleh lansia ikut memperburuk kondisi mereka. Hal ini masih ditambah dengan manifestasi yang kompleks dari depresi.
Pertanyaan selanjutnya adalah "Bagaimana cara untuk merawat lansia agar mereka dapat melalui kehidupannya dengan lebih baik?" Terdapat dua pilihan bagaimana untuk merawat lansia. Lansia dapat dirawat di rumah sendiri oleh keluarganya atau dapat juga dirawat di tempat yang kita kenal sebagai rumah jompo.
Nilai kekeluargaan yang sangat dipegang erat oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin menjadi salah satu alasan mengapa rumah jompo bukan menjadi suatu pilihan dalam perawatan lansia. Mengirim keluarga yang sudah berumur dan memerlukan perawatan ekstra ke rumah jompo dianggap sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan ekstra lansia tersebut mereka mempekerjakan seorang perawat untuk merawat orangtuanya di rumah.
Melalui cara ini memang terdapat keuntungan maupun kerugiannya. Lansia dapat tetap tinggal di rumah sehingga ia mendapatkan rasa nyaman dan aman. Namun juga banyak hal yang harus diperhatikan secara seksama. Perlu diingat bahwa lansia memerlukan berbagai hal lain untuk dapat mempertahankan kualitas hidupnya seperti latihan-latihan yang dapat melatih kekuatan tubuhnya agar tidak terus menurun, ataupun bagaimana untuk mempertahankan fiingsi kognitifnya. Tak lupa bahwa lansia juga membutuhkan sosialisasi. Hal ini menuntut perhatian khusus dari keluarga yang menjaga lansia tersebut. Jangan sampai lansia merasa sendirian yang akan berdampak pada depresi walaupun berada di rumahnya sendiri.
Pada keadaan dimana keluarga dari lansia mempunyai keterbatasan waktu, dana, tenaga, dan kemampuan untuk merawat lansia maka rumah jompo dapat menjadi pilihan. Rumah jompo sekarang ini bukan merupakan tempat yang kumuh, reot ataupun jelek tetapi kini telah banyak rumah jompo yang baik dan tertata rapih juga menyediakan perawatan serta fasilitas yang baik dan lengkap untuk merawat lansia.
Di rumah jompo para lansia akan menemukan banyak teman, dimana selain mereka mendapatkan perawatan yang maksimal, juga telah diadakan berbagai kegiatan dan aktifitas yang dapat membantu mereka dalam mempertahankan fungsi motorik dan kognitifnya, seperti permainan, olahraga, keterampilan, juga terdapat hiburan. Makanannya pun telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dengan baik. Pengukuran tanda-tanda vital seperti pengukuran tekanan darah, pengecekan gula darah, dll menjadi salah satu rutinitas di rumah jompo.
Namun patut diperhitungkan bahwa lansia kadang sukar beradaptasi terhadap lingkungan maupun suasana baru dan kadang lebih menyukai tinggal di rumahnya sendiri. Menjadi tua dan lemah adalah proses yang tidak terelakkan. Perawatan lansia harus dilakukan dengan teliti, sabar, dan penuh cinta. Perawatan lansia diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup lansia sehingga mereka tetap merasa bahagia dan dapat menjalani kehidupan masa tuanya dengan lebih baik. (Versayanti, 2008).
Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin mengkaji tentang "Karakteristik perawatan lansia terhadap kebutuhan pemenuhan gizi di Panti Werdha X".

1.2 Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan kebutuhan gizi di Panti Werdha X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan kebutuhan gizi di Panti Werdha X.

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk praktek keperawatan, pendidikan keperawatan, dan penelitian keperawatan yang akan datang. Secara rinci manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan gizi di Panti Werdha X, sehingga diharapkan akan dapat membantu perawat dalam meningkatkan pelayanan keperawatan yang berhubungan dengan masalah gizi lansia khususnya di Panti Werdha X.
1.4.2 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar informasi bagi institusi pendidikan keperawatan tentang karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan gizi di Panti Werdha X, dalam meningkatkan dan memperbaiki pendidikan keperawatan komunitas.
1.4.3 Penelitian Keperawatan yang akan datang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi pengembangan penelitian keperawatan selanjutnya yang berhubungan dengan pemenuhan gizi lansia yang dilakukan di berbagai tempat lainnya.

SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X

Posted: 31 Jan 2011 12:42 AM PST


(KODE KES-MASY-0034) : SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Tujuan Pembangunan Kesehatan sebagaimana yang tercantum didalam Sistem Ketahanan Nasional (SKN) adalah untuk tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk Indonesia sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya memperluas pelayanan kesehatan pada masyarakat secara menyeluruh, terpadu, merata, dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu daya saing generasi yang mempunyai Sumber Daya Manusia (DepkesRI, 1999).
Salah satu hal yang penting diupayakan dalam peningkatan sumber daya manusia oleh pemerintah adalah memperbaiki gizi anak balita. Pada usia 0 sampai dengan 59 bulan (Balita) atau dengan istilah lain pada usia anak prasekolah, merupakan pola dasar dalam menciptakan tumbuh kembangnya anak. Karena pada masa ini pertumbuhan anak dipengaruhi oleh aspek ketahanan makanan (Food Security) dan aspek lain, adanya keamanan makanan (Food Safety) yang di konsumsi untuk anak (Soetjiningsih, 2003).
Memiliki anak yang sehat, cerdas dengan gizi yang seimbang adalah dambaan semua orangtua. Untuk mewujudkannya tentu orangtua harus selalu memperhatikan, mengawasi dan merawat anak pada umur balita. Proses alamiah dalam pertumbuhan anak tergantung pada perilaku orangtua. Apalagi pada masa usia balita merupakan periode penting dalam perkembangan yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis maupun intelegensianya (Sulistijan, 2001).
Umumnya anak pada usia balita, yang mempengaruhi proses pertumbuhan anak adalah masalah gizinya. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada tahun 2004. Sehingga mengelompokkan berdasarkan prevalensi gizi kurang, kedalam 4 kelompok yaitu rendah (dibawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%) dan sangat tinggi (30%). Dengan menggunakan pengelompokkan gizi kurang berdasarkan WHO, Indonesia tahun 2004 tergolong negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (atau 28,47%) dari 17.983.244 balita di Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung meningkat pada tahun 2005-2006 (Nurasiyah, 2007).
Selanjutnya, data dari Departemen Kesehatan RI menyebutkan, pada tahun 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 % kabupaten dan 56 % kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada tahun 2003 sebanyak 5 juta anak balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 %) termasuk kelompok gizi kurang dan buruk. (www.Depkes.go.id, 2006). Demikian juga data dari laporan Dinas Kesehatan Provinsi X tahun 2007 bahwa terdapat 18 % (7.002) balita di X masih menderita gizi kurang dan buruk, dari jumlah 38.900 balita (Dinkes X, 2007).
Munculnya kasus gizi buruk pada anak-anak balita dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara langsung dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita, anak tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai dan anak menderita penyakit infeksi. Kemiskinan juga merupakan salah satu penyebab munculnya kasus gizi buruk terkait ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga (Depkes RI, 2000).
Masalah gizi buruk bila tidak ditangani secara serius akan mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami lost generation. Dampak lain yang ditimbulkan dari anak penderita gizi buruk adalah kesakitan, kematian, dan penurunan produktivitas yang diperkirakan antara 20-30% (Depkes RI, 2006). Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80% terjadi pada masa balita yakni dalam kandungan sampai usia 2 tahun (www. gizi net).
Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI (2004) yang disalurkan lewat seluruh kabupaten dan kota, telah berupaya menanggulangi masalah gizi buruk dengan melakukan pemanfaatan kembali Posyandu, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memantau tumbuh kembang balita, meningkatkan kemampuan petugas kesehatan, mewujudkan keluarga sadar gizi dan memberikan makanan tambahan, MP ASI dan pemberian kapsul vitamin A, menggalang kerjasama lintas sektoral dan kemitraan serta mengaktifkan kembali Si stem Kewaspadaan Dini Gizi Buruk.
Semua upaya-upaya pemerintah diatas, terkadang dalam melaksanakan programnya dilapangan sering terkendala oleh dana, perubahan perilaku kesehatan masyarakat yang dibatasi oleh faktor ekonomi, pengetahuan, sikap tidak mendukung program kesehatan dan kurangnya sosialisasi program perbaikan gizi. Demikian juga posyandu yang ada di desa-desa banyak tidak berfungsi, partisipasi masyarakat yang kurang pada dibidang kesehatan apalagi masalah gizi anak balita, sehingga semakin sulit berjalannya program penyuluhan kesehatan dan pemberian makanan tambahan (Www. Gizi. net).
Demikian juga data yang dilaporkan oleh Lembaga PBB Unicef tahun 2008, yang dijaring dari berbagai Kabupaten di Provinsi X. Ratusan Anak Balita ditemukan umumnya gizi kurang, bahkan lebih disayangkan lagi anak-anak tersebut ada yang taraf gizinya menderita gizi buruk. Ardi (2008) "Communication officer UNICEF" Kabupaten X, mengungkapkan bahwa hasil jaringan UNICEF dari ribuan posyandu di Provinsi X, diantaranya ada 3 kabupaten di X yang terdapat balita gizi kurang bahkan ada yang gizi buruk.
Unicef juga melakukan penanganan bagi para balita yang menderita gizi buruk di Provinsi X dengan cara anak balita yang mempunyai status gizi buruk diberikan terapi dengan pemberian Plumpy Nut, dan untuk mengetahui perkembangan selanjutnya dilakukan pengukuran perkembangan status gizi anak pada setiap bulannya di puskesmas terhadap semua balita yang terjaring.
Hasil survei awal (2009) berdasarkan laporan Unicef dan laporan tahunan Dinkes X bahwa Kabupaten X pada tahun 2007 dan 2008 merupakan Kabupaten paling banyak anak yang menderita gizi buruk dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi X. Padahal kabupaten ini mempunyai sumber daya alam laut cukup luas, panjang pantainya 60 km dan lahan pertanian seluas 14.000 hektar serta perkebunan sawit seluas 15.000 hektar, sementara jumlah penduduknya baru 120.000 orang pada tahun 2008 (Disbun X, 2008).
Pemerintah Kabupaten X melalui Dinas Kesehatan mengumpulkan data anak penderita gizi buruk dari 10 puskesmas, bahwa terdapat balita yang gizi buruk laki-laki berjumlah 130 orang, gizi kurang balita laki-laki 353 orang, sedangkan balita yang gizi buruk perempuan berjumlah 147 orang, gizi kurang balita perempuan sebanyak 343 orang. Sehingga balita yang mengalami gizi buruk di X berjumlah 277 orang yang tersebar di 8 kecamatan dalam Kabupaten X (Dinkes X, 2008).
Untuk mengatasi gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten X, upaya yang sudah pernah dilakukan pemerintah daerah, antara lain membuat tim Operasi Sadar Gizi (OSG) yang di ketuai oleh Ibu PKK, melaksanakan sistim kewaspadaan dini yang intensif dilakukan oleh Dinas Kesehatan, memberikan makanan tambahan balita selama enam bulan berturut-turut MP ASI berupa susu, kacang hijau, memberikan penyuluhan gizi dan kesehatan melalui 132 posyandu. Disamping itu, Ibu PKK dan Dinkes X terus mengamati perkembangan anak-anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk dari minggu ke minggu, sehingga diharapkan anak-anak balita mengalami pemulihan pertumbuhan fisik dan berat badannya (Dinkes X,2007).
Selanjutnya laporan Dinas Kesehatan X (2008), umumnya anak-anak mengalami gizi buruk di X disebabkan oleh faktor keterbatasan pengetahuan orangtua, faktor kemampuan ekonomi rumah tangga yang tidak memadai dan ada faktor penyakit infeksi serta faktor tradisi/kebiasaan orangtua di daerah pedesaan X, bahwa adanya budaya karena terdesak oleh ketidak mampuan untuk membeli ikan, membatasi anak-anak untuk mengkonsumsi ikan berlebihan diyakini dapat mengakibatkan perut buncit dan cacingan, padahal ikan mempunyai protein yang tinggi. Namun diantara 4 faktor tersebut yang dominan adalah faktor perilaku yaitu keterbatasan pengetahuan, sikap dan tindakan orangtua terhadap anak-anak balita penderita gizi buruk yang belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dari uraian diatas, ternyata di Kabupaten X masih banyak terdapat anak balita penderita gizi buruk, walaupun berbagai upaya sudah dilakukan, dan ini merupakan tantangan dalam bidang kesehatan, sehingga tertarik untuk meneliti "Gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimanakah gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui gambaran sikap orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di kabupaten X.
3. Untuk mengetahui gambaran tindakan orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat:
1. Sebagai masukan bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam membuat program kebijakan kesehatan untuk mengatasi anak balita penderita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi mengenai gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.
3. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang melanjutkan penelitian ini ataupun melakukan penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X

Posted: 31 Jan 2011 12:41 AM PST


(KODE KES-MASY-0033) : SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya hams melibatkan berbagai sektor yang terkait. Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang masih didominasi oleh masalah kurang energi protein (KEP), masalah anemia besi, masalah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), masalah kurang vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar yang perlu ditanggulangi. Disamping masalah tersebut, diduga ada masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zink yang sampai saat ini belum terungkapkan, karena adanya keterbatasan iptek gizi. Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN lainnya (Supariasa,dkk 2002).
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmic kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan kurang energi dan marasmic kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein.
KEP umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang, E, 2000).
Pudjiadi (1990) juga menyatakan bahwa penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur lima tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan mortalitas yang tinggi terdapat pada penderita KEP berat, hal tersebut dapat terjadi karena pada umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Pada penderita KEP berat, tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan zat gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatis angularis, dan Iain-lain.
Anak yang mengalami gizi buruk disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut penyebab langsung yaitu tidak mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita dan penyakit infeksi dan penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan lingkungan (Dinkes Propsu, 2006).
Berdasarkan data Depkes RI (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 5 juta anak (27,5%) kurang gizi. 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok adalah: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%). Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari (Arifin, 2007).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi X (2009), ditemukan gizi buruk sebanyak 447 balita (0,6%), sementara balita yang gizi kurang sebanyak 6.545 balita (8,9%). Kasus gizi buruk tertinggi di kota X terdapat di Kecamatan X yang mencapai 55 balita dan gizi kurang sebanyak 174 balita. Sementara di daerah X Timur ada 7 balita gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 16 balita.
Anak balita gizi buruk umumnya akan di rawat di rumah sakit, karena di rumah sakit terdapat upaya untuk mengobati penyakit penderita (kuratif), disamping upaya-upaya lain seperti promotif, preventif dan rehabilitatif. Dalam melakukan perawatan anak balita gizi buruk, RS X merupakan rumah sakit rujuk tertinggi di wilayah X, baik bagi pengunjung rawat inap maupun rawat jalan. Berdasarkan data RS X tahun 2009, ditemukan sebanyak 34 anak balita gizi buruk yang di rawat inap dan 16 balita gizi buruk rawat jalan pada bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2009.
Anak balita gizi buruk yang menjalani perawatan dari pelayanan kesehatan rumah sakit, status gizi anak balita gizi buruk tersebut setidaknya akan mengalami peningkatan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan dari gizi buruk menjadi gizi kurang atau bahkan bisa berubah menjadi normal. Namun demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya penumnan status gizi yang lebih parah lagi dalam kumn waktu beberapa minggu atau bulan karena pada kumn waktu tersebut adanya perubahan status gizi akan dapat dilihat kembali. Perubahan status gizi tersebut disebabkan oleh faktor tertentu seperti komplikasi penyakit dan pemberian makanan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: bagaimana perubahan berat badan anak balita gizi buruk tahun 2009 yang dirawat di RS X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan berat badan anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui status gizi anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
2. Mengetahui komplikasi penyakit anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
3. Mengetahui jumlah pemberian energi dan protein anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
4. Mengetahui terapi diet dan penyakit anak balita gizi buruk.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi kepada pihak mmah sakit tentang perubahan berat badan anak balita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi kepada pihak rumah sakit mengenai status gizi anak balita gizi buruk pada awal dan akhir rawat inap.
3. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi semua pihak yang terkait dalam meningkatkan pelayanan terhadap anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template