download makalah, skripsi, tesis dll. |
- SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA DI KELAS V
- SKRIPSI PTK PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN
- SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA DI KELAS V Posted: 24 Aug 2011 01:57 AM PDT (KODE : PTK-0065) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA DI KELAS V (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA) – (SD KELAS V) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentingnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar sudah tidak diragukan lagi, megingat bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional Negara Republik Indonesia, juga sebagai bahasa pemersatu di Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia sangat mudah dipelajari dari mulai anak usia dini sampai orang dewasa. Kesadaran akan pentingnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah menuntut guru untuk lebih memperkenalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu di negeri sendiri dan lebih mempopulerkan bahasa Indonesia dengan cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa sehari-hari. Untuk itu, pemerintah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) memberikan standar kemampuan yang harus dicapai oleh siswa dari mulai tingkat sekolah dasar sampai tingkat menengah ke atas, kemudian dapat dikembangkan oleh guru untuk lebih meningkatkan keterampilan berbahasa siswa. Keterampilan berbahasa meliputi keterampilan mendengarkan (menyimak), membaca, berbicara, dan menulis. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa untuk pembelajaran bahasa Indonesia lebih dititikberatkan pada performansi berbahasa daripada sekedar memiliki pengetahuan tentang kebahasaan, yakni berupa unjuk kerja mempergunakan bahasa dalam konteks tertentu sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa. Tarigan (1983:1) mengungkapkan keterampilan berbahasa dalam bahasa Indonesia meliputi empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut disebut juga sebagai "catur tunggal" keterampilan berbahasa, karena keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan, dan tidak bisa dilepaskan, namun berbeda antara satu dengan yang lainnya dan juga berbeda dari segi prosesnya. Pelajaran bahasa Indonesia dewasa ini ditujukan pada keterampilan siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan konteksnya atau bersifat pragmatis. Dengan kata lain, secara pragmatis-komunikatif bahasa Indonesia lebih merupakan suatu bentuk performansi daripada sebagai suatu sistem ilmu. Pandangan ini membawa konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa Indonesia harus lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang ilmu atau pengetahuan kebahasaan. Namun kenyataan di lapangan, kemampuan berbahasa Indonesia terutama keterampilan berbicara siswa sekolah dasar, tepatnya siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y masih rendah. Hal ini dilihat dari masih rendahnya nilai bahasa Indonesia siswa (sekitar 71 % siswa yang memperoleh nilai bahasa Indonesia di bawah KKM), siswa terbiasa menggunakan bahasa daerah (bahasa Sunda), malu untuk berbicara di depan kelas, dan materi pembicaraan yang belum dikuasai siswa. Tampak pada saat pembelajaran berlangsung, siswa hanya duduk dan mendengarkan penjelasan dari guru tidak berani mengajukan pertanyaan apalagi mengeluarkan pendapat. Ketika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau berkomentar siswa hanya diam, tidak jelas sudah mengerti atau belum. Tidak hanya itu, ketika siswa diminta untuk menceritakan pengalaman pribadi di depan kelas, masih tampak kesulitan, bahkan ada siswa yang sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun saat diminta untuk bercerita di depan kelas. Hal ini menjadi suatu acuan untuk memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dalam hal ini kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y agar anak memiliki perbendaharaan kata yang banyak sehingga siswa memiliki keberanian untuk mengungkapkan ide, pikiran, pendapat serta mudah dalam mengkomunikasikan perasaan maupun pengalaman pribadi. Selain itu, Siswa diharapkan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia terutama dalam keterampilan berbicara. Salah satunya melalui bercerita. Bercerita dianggap cocok diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan alasan : 1. Bercerita memberikan pengalaman psikologis dan linguistik pada siswa sesuai minat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa sekaligus menyenangkan bagi siswa, 2. Bercerita dapat mengembangkan potensi kemampuan berbahasa siswa melalui pendengaran kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih ketrampilan siswa dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan, 3. Bercerita merupakan kegiatan yang menyenangkan dan tidak membosankan, 4. Bercerita memberikan sejumlah pengetahuan dan pengalaman, 5. Siswa aktif. Seperti yang diungkapkan Susilawani, D. (2009) manfaat bercerita meliputi : menjadi fondasi dasar kemampuan berbahasa, meningkatkan kemampuan komunikasi verbal, meningkat kemampuan mendengar, mengasah logika berpikir dan rasa ingin tahu, menanamkan minat baca dan menjadi pintu gerbang menuju ilmu pengetahuan, menambah wawasan, mengembangkan imajinasi dan jiwa petualang, mempererat ikatan batin orang tua dan anak, meningkatkan kecerdasan emosional, dan alat untuk menanamkan nilai moral, etika, dan membangun kepribadian. Mengingat begitu pentingnya keterampilan berbicara sebagai salah satu kemampuan dalam gagasan atau pesan secara lisan serta masih rendahnya kemampuan berbahasa siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y terutama dalam aspek berbicara, maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul "Upaya meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik bercerita di SDN X Kabupaten Y" (Penelitian Tindakan Kelas terhadap siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka secara umum penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: "Bagaimanakah upaya meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik bercerita di SDN X Kabupaten Y? (Penelitian Tindakan Kelas terhadap siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y) Untuk memperjelas masalah, maka permasalahan di atas dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimanakah mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik bercerita di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y? 2. Apakah teknik bercerita dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y? 3. Hambatan atau kesulitan apakah yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan teknik bercerita dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran secara umum tentang teknik bercerita dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui gambaran secara umum mengenai persiapan dan pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik bercerita di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y 2. Mengetahui hasil yang diperoleh dari teknik bercerita dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y 3. Mengetahui hambatan atau kesulitan apakah yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan teknik bercerita dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y. D. Manfat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Guru Memberikan kajian dan informasi tentang teknik bercerita untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa sehingga pembelajaran bahasa Indonesia dapat lebih menyenangkan dan bermakna serta kualitas pembelajaran bahasa Indonesia lebih meningkat. 2. Siswa Memberikan pengetahuan dan pengalaman kepada siswa sehingga siswa memiliki wawasan, dapat tampil lebih percaya diri, terutama keterampilan berbicara siswa lebih meningkat. 3. Peneliti selanjutnya Dapat dijadikan data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang relevan terhadap variabel-variabel yang belum tersentuh dalam penelitian ini E. Penjelasan Istilah Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami konsep-konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini, berikut dijelaskan konsep-konsep utama tersebut. 1. Keterampilan berbicara Keterampilan berbicara dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan Berbicara, meliputi pelafalan dan intonasi, pilihan kata/kosa kata, dan struktur kata. Isi cerita, meliputi hubungan isi cerita dengan topik, struktur isi cerita dan kualitas isi cerita. Penampilan, meliputi gerak-gerik & mimik, dan volume suara. 2. Teknik bercerita Teknik bercerita dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan anak menceritakan pengalaman/kejadian dengan urut, menceritakan kembali isi buku cerita secara urut, dan bercerita tentang gambar dengan urut dan bahasa yang jelas. F. Hipotesis Tindakan Melalui teknik bercerita diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y. G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Reaserch dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengurupulan data yang penulis gunakan adalah tes lisan dan observasi. |
SKRIPSI PTK PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN Posted: 24 Aug 2011 01:56 AM PDT (KODE : PTK-0064) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA) – (SMP KELAS VII) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), standar kompetensi bahan kajian bahasa Indonesia diarahkan kepada penguasaan empat keterampilan berbahasa, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan ini menjadi faktor pendukung dalam menyampaikan pikiran, gagasan, dan pendapat, baik secara lisan maupun secara tertulis, sesuai dengan konteks komunikasi yang harus dikuasai oleh pemakai bahasa. Keterampilan menulis merupakan kemampuan yang paling sulit untuk dikuasai siswa dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Selain itu, pembelajaran keterampilan menulis tampaknya belum menggembirakan. Salah satu realitas konkret yang mendukung pernyataan tersebut adalah kondisi pembelajaran keterampilan menulis di kelas SMP Negeri X. Berdasarkan pengalaman guru peneliti dan hasil observasi terhadap keadaan pembelajaran menulis di sekolah tersebut serta wawancara awal yang dilakukan dengan sejumlah guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut, diperoleh informasi bahwa motivasi dan kemampuan menulis, termasuk menulis karangan narasi siswa masih sangat rendah yang ditandai siswa sering merasa jenuh jika disuruh mengarang, tidak ada siswa yang mempunyai kemampuan yang menonjol dalam pembelajaran mengarang, dan hasil karangan narasi siswa sangat memperihatinkan yang dibuktikan dengan hasil tes mengarang siswa yang hanya sekitar 40% siswa mencapai target standar presentase 7,0, karangan narasi siswa masih agak singkat (rata-rata V2 halaman), ide atau gagasan siswa kurang berkembang, kosakata yang digunakan sederhana dan terbatas, penggunaan kalimat dan organisasi tulisan narasi masih kurang terarah. Fenomena lain yang tampak berdasarkan observasi awal di sekolah SMP N X yang diteliti adalah sistem pembelajaran menulis yang diterapkan oleh guru cenderung monoton (didominasi oleh penggunaan metode ceramah), pembelajaran dengan sistem klasikal yang mengarah pada komunikasi satu arah (guru -> siswa), dan lebih berorientasi penghafalan materi pembelajaran. Masalah yang timbul dalam proses pembelajaran menulis serta kemampuan siswa dalam menulis/mengarang yang belum memadai (masih rendah) sebagaimana uraian tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: faktor siswa dan faktor strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Adapun faktor yang berasal dari siswa, antara lain: (1) motivasi siswa dalam menulis sangat minim; (2) konsep atau bahan yang dimiliki siswa untuk dikembangkan jadi tulisan sangat terbatas; (3) kemampuan siswa menafsirkan fakta untuk ditulis sangat rendah; (4) kemampuan siswa menuangkan gagasan atau pikiran ke dalam bentuk kalimat-kalimat yang mempunyai kesatuan yang logis dan padu serta diikat oleh struktur bahasa. Adapun faktor yang berasal dari luar diri siswa, antara lain: (1) pokok bahasan menulis tidak memperoleh perhatian serius dari guru; (2) sarana dan metode atau strategi pembelajaran menulis belum efektif; (3) kurangnya hubungan komunikatif antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa lainnya sehingga proses interaksi menjadi vakum. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dibutuhkan pembenahan dalam pembelajaran menulis. Kompetensi siswa dalam menulis karangan narasi dapat ditingkatkan dengan membenahi segala hal yang menjadi titik kelemahan siswa dalam menulis. Secara umum, menulis merupakan suatu proses sekaligus suatu produk/hasil. Menulis sebagai suatu proses berupa pengelolaan ide atau gagasan dari tema atau topik yang dipilih untuk dikomunikasikan dan pemilihan jenis wacana tertentu yang sesuai atau tepat dengan situasi dan konteksnya. Kemampuan menulis yang menuntut kemampuan untuk dapat melahirkan dan menyatakan kepada orang lain tentang hal yang dirasakan, dikehendaki, dan dapat dipikirkan dengan bahasa tulisan. Keterampilan menulis bukanlah kemampuan yang diwarisi secara turun-temurun dan tidak datang dengan sendirinya. Keterampilan ini menuntut perlatihan yang cukup dan teratur serta pembelajaran yang terprogram. Program-program tersebut disusun dan direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar menulis (mengarang), berbagai kemampuan itu tidak mungkin dikuasai siswa secara serentak. Semua kemampuan itu dapat dikuasai siswa melalui suatu proses, setahap demi setahap. Karena kemampuan itu tidak bisa dikuasai secara serentak, untuk mempermudah mempelajarinya perlu dibuat skala prioritas. Penentuan prioritas ini diharapkan dapat digunakan sebagai strategi dasar untuk memulai belajar menulis. Sebagai strategi dasar, perioritas yang dimaksud tentu saja tidak hanya berupa suatu rangkaian kemampuan yang mengarah pada terbentuknya sebuah tulisan. Karangan merupakan pernyataan gagasan atau ide yang bersumber dari pengalaman, pengamatan, imajinasi, pendapat, dan keyakinan dengan menggunakan media tulis sebagai alatnya. Menyusun sebuah karangan bukanlah hal yang mudah. Adakalanya siswa memiliki pengetahuan, gagasan, dan ide yang luas, namun sangat susah menuangkannya dalam bentuk tertulis. Siswa kadang tidak mampu merangkai kata-kata untuk membentuk sebuah paragraf, apalagi wacana. Siswa kadang kurang menyadari hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Akhirnya, sering ditemukan beberapa kalimat sumbang. Kalimat sumbang dalam sebuah paragraf dapat menimbulkan kekaburan makna atau isi sebuah karangan. Sebaliknya, sebuah karangan akan lebih mudah dipahami jika kalimat-kalimatnya tersusun rapi, jelas kohesi dan koherensi antara kalimatnya. Sebuah tulisan pada dasarnya merupakan perwujudan hasil penalaran siswa. Penalaran ini merupakan proses pemikiran untuk memperoleh ide yang logis berdasarkan avidensi yang relevan. Penalaran ini terutama terkait dengan proses penafsiran fakta sebagai ide dasar untuk dikembangkan menjadi tulisan. Setiap penulis harus dapat menuangkan pikiran atau gagasannya secara cermat ke dalam tulisannya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memunculkan ide adalah dengan curah gagasan. Curah gagasan digunakan untuk menuntun siswa mengembangkan idenya berdasarkan fakta yang ada di sekitar siswa atau peristiwa yang pernah dialami siswa. Selain itu, untuk memperoleh bahan informasi atau bahan yang akan ditulis oleh siswa, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menuntun siswa mencermati suatu bentuk teks dan menyajikannnya kembali dalam bentuk teks yang berbeda, misalnya dari teks wawancara menjadi karangan narasi . Hal itu merupakan salah satu kompetensi dasar menulis yang diharapkan dan dimiliki oleh siswa kelas VII SMP sebagai hasil dari pembelajaran menulis, yaitu kemampuan mengubah jenis tulisan (wacana) yang satu ke jenis tulisan (wacana) yang lain, termasuk pengubahan teks wawancara yang berbentuk dialog ke dalam bentuk wacana yang berbentuk monolog, seperti karangan narasi . Wawancara dengan narasumber merupakan salah satu sumber informasi yang aktual. Mewawancarai seseorang merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi sebagai bahan tulisan. Hasil wawancara dapat diubah dan disajikan dalam bentuk paragraf-paragraf. Paragraf-paragraf tersebut selanjutnya disusun menjadi sebuah tulisan yang utuh. Keberhasilan pembelajaran menulis karangan narasi juga ditentukan oleh faktor lingkungan dan iklim pembelajaran. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembelajaran faktor lingkungan dan iklim pembelajaran pun haruslah menarik dan menyenangkan dari segi psikologis peserta didik. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika diciptakan belajar alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Hal ini dikemukakan pula oleh Iis Handayani (2007:2) dalam skripsinya yang berjudul Pembelajaran Karangan Narasi Sugestif dengan Strategi Field-Trip (karyawisata) berdasarkan Pengalaman Pribadi Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2006/2007 menunjukkan bahwa berdasarkan pengamatan di SMPN 1 Lembang masih banyak siswa yang belum menguasai ke empat keterampilan berbahasa terutama keterampilan menulis. Siswa merasakan kesulitan menuangkan ide-ide karena keterbatasan penguasaan kosakata siswa juga merasakan situasi pembelajaran menulis yang membosankan. Pembelajaran menulis yang sering diterapkan pada siswa sekadar teori saja dan selalu terfokus di dalam kelas. Hal ini mengakibatkan siswa tidak mau berlatih dan malas menulis. Ike Febrika (2009:1) dalam skripsinya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Narasi dengan Menggunakan Metode Konstruktivisme (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa kelas VII SMP N 12 Bandung Tahun Ajaran 2008/2009) menunjukkan bahwa siswa pada umumnya kurang menguasai bahkan tidak tahu sama sekali tentang karangan narasi. Siswa masih bingung membedakan berbagai jenis karangan. Untuk memulai menulis pun siswa masih kesulitan. Banyak alasan yang muncul mulai dari menemukan ide sampai bingung harus memulai tulisan dari mana. I ketut Adnyana Putra dalam jurnal Pendidikan dan Pengajaran (2003:73) menyatakan bahwa penggunaan media, lebih-lebih media gambar berseri dalam pembelajaran keterampilan menulis narasi, akan dapat memotivasi siswa dalam proses pembelajaran. Sebagaimana yang dinyatakan Gagne (1988), gambar-gambar bisa memberikan motivasi belajar, walaupun bukan satu-satunya. Sejalam dengan pernyataan tersebut, Wright (1992) mengatakan bahwa gambar memiliki beberapa peran di dalam keterampilan seperti dapat memotivasi siswa, berkontribusi terhadap konteks bahasa yang digunakan, dapat digunakan untuk menjelaskan secara objektif atau menginterpretasikan, dan dapat memberikan informasi. Syukur Heryasumirat dalam jurnal yang berjudul upaya peningkatan keterampilan Menulis Narasi Melalui Metode Kerja Kelompok Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Di kelas x TKJ2 smk negeri i cibinong kabupaten bogor menyatakan Salah satu metode pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa adalah dengan menerapkan metode kerja kelompok dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di SMKN I Cibinong Kabupaten Bogor dengan waktu penelitian yang penulis lakukan dimulai sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009. Penggunaan metode pembelajaran dan penjelasan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Bimbingan dan pemberian contoh mendorong siswa lebih aktif dalam belajar. Keberanian siswa dalam menjawab soal dan latihan-latihan. Pendekatan kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada masyarakat belajar (learning community) yang menganggap bahwa siswa lebih mudah menentukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tesebut dengan temannya. Hal ini dapat membantu para siswa meningkatkan sikap positif siswa terhadap pembelajaran keterampilan menulis, khususnya menulis karangan narasi . Hasil pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif diharapkan mampu memberikan pengalaman bermakna sehingga sukar dilupakan oleh siswa. Melalui pembelajaran ini, siswa akan terlatih berpikir dan menghubungkan hal yang mereka pelajari dengan situasi dunia nyata sehingga menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri. Berdasarkan permasalahan di atas peneliti bermaksud mengadakan penelitian yang berjudul PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas VII-L SMP Negeri X) 1.2 Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian adalah titik tolak yang penting agar hendak dikajinya memperoleh sasaran yang tepat dan terarah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Adapun perumusan masalah yang penulis ambil diantaranya sebagai berikut. 1) Bagaimana perencanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan? 2) Bagaimana pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan? 3) Bagaimana hasil pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan? 1.3 Pemecahan Masalah Rencana tindakan yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah penelitian adalah penerapan metode curah gagasan yang mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a. Tahap 1, guru memberi pemahaman awal kepada siswa tentang cara melakukan wawancara/mengajukan pertanyaan sederhana untuk menggali hal-hal yang pernah dialami siswa lain, lalu mengubah hasil tanya jawab (dialog) tersebut menjadi bentuk monolog yang bersifat narasi. b. Tahap 2, siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, tetapi diberi kebebasan untuk mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara. Alternatif tindakan untuk tahap ini adalah siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, yaitu "tokoh idola", lalu bersama-sama melakukan curah gagasan (Brainstorming) untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara. c. Tahap 3, setiap siswa dalam setiap kelompok membuat karangan narasi dengan mengembangkan teks hasil wawancara yang telah dibuatnya. Jika dianggap informasi yang diperoleh belum lengkap, siswa dapat bertanya kepada narasumbernya. d. Tahap 4, karangan siswa dipertukarkan untuk dinilai atau dikoreksi oleh teman sekelompoknya dengan menggunakan pedoman penilaian karangan narasi, lalu karangan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya untuk disempurnakan. e. Tahap 5 setiap kelompok mengunjungi, menilai, dan memilih karya yang dianggap terbaik dengan aturan: 1) kelompok pada baris bangku I mengunjungi kelompok pada baris III; 2) kelompok pada baris bangku II mengunjungi kelompok pada baris IV; 3) kelompok pada baris bangku III mengunjungi kelompok pada baris II; 4) kelompok pada baris bangku IV mengunjungi kelompok pada baris I f. Tahap 6, pemberian penghargaan terhadap karya siswa yang terbaik. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Mendeskripsikan perencanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan 2) Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan 3) Mendeskripsikan hasil pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan 1.4.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut : a. Manfaat teoretis, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori yang telah ada yaitu metode curah gagasan. b. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan atau pengalaman dalam melakukan penelitian tindakan kelas, khususnya yang terkait dengan cara meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan narasi siswa kelas VII-L SMP Negeri X dengan metode curah gagasan. c. Bagi guru, sebagai bahan masukan tentang cara menerapkan curah gagasan untuk meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan narasi siswa kelas VII-L SMP Negeri X. d. Bagi siswa, yaitu melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, inovatif; meningkatkan motivasi dan rasa kesetiakawanan sosial siswa; menumbuhkan kebiasaan dan mengembangkan kemampuan siswa dalam menulis. 1.5 Definisi Operasional Agar tidak menimbulkan kesalahan dalam penafsiran judul penelitian dan rumusan masalah, maka penulis membuat definisi operasional yang merupakan penjelasan dari istilah-istilah yang terdapat di dalam judul dan rumusan masalah penelitian ini. Definisi operasional istilah-istilah judul rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1) Peningkatan kompetensi menulis adalah proses atau cara untuk meningkatkan salah satu berbahasa khususnya menulis. 2) Karangan Narasi faktual adalah bentuk wacana yang berusaha menyajikan sesuatu peristiwa atau kejadian sehingga peristiwa itu tampak seolah-olah dialami sendiri oleh para pembaca. 3) Metode Curah Gagasan (Brainstorming) adalah suatu metode untuk melahirkan ide dengan cara siswa diminta untuk memunculkan ide sebanyak mungkin yang berhubungan dengan topik yang menjadi sumber untuk dijadikan petunjuk ketika mengembangkan kalimat atau paragraf. |
Posted: 24 Aug 2011 01:55 AM PDT (KODE : PTK-0063) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (MATA PELAJARAN : SEJARAH) – (SMA KELAS XI) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dapat dikatakan sebagai upaya sadar dan terencana dari manusia untuk mengenyam ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya seperti keterampilan dan pengetahuan berfikirnya. Pendidikan merupakan modal dasar bagi manusia untuk menjalani berbagai aktivitas yang bermanfaaat dalam kehidupannya. Selain itu sebagai makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakat dan negara memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Supaya pembangunan bangsa semakin meningkat, dibutuhkan sumber daya manusia yang baik pula untuk menunjang pelaksanaannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah peningkatan mutu pendidikan, baik prestasi belajar siswa maupun kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Sejarah merupakan pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini (Depdiknas, 2003 : 1). Lebih lanjut Ismaun (2001 : 114) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah agar peserta didik mampu memahami sejarah, memiliki kesadaran sejarah, dan memiliki wawasan sejarah yang bermuara pada kearifan sejarah. Berdasarkan pernyataan di atas, mata pelajaran sejarah memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk pemahaman, kesadaran dan wawasan sejarah sehingga siswa dapat menyikapi masalah dalam kehidupannya dengan bijak. Oleh karena peranan mata pelajaran sejarah di sekolah sangat penting, sehingga diharapkan dapat menjadi suatu mata pelajaran yang menarik karena mengajarkan kepada siswa berbagai peristiwa yang dialami oleh manusia dalam ruang dan waktu yang berbeda sehingga siswa dapat merasakan perubahan yang dialami oleh manusia dalam kehidupan. Akan tetapi pada kenyataannya di sekolah tidak demikian. Masalah dalam mata pelajaran sejarah adalah sejarah dianggap pelajaran yang membosankan. Akibat dari anggapan bahwa pelajaran sejarah itu membosankan menyebabkan siswa merasa tidak senang terhadap mata pelajaran sejarah. Oleh sebab itu sejarah dianggap sebagai mata pelajaran yang sepele, maka guru sejarah hendaknya mampu mengubah paradigma siswa yang mengganggap sejarah merupakan mata pelajaran yang dianggap membosankan menjadi mata pelajaran yang menyenangkan. Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian mengenai pendapat siswa tentang pelajaran sejarah, banyak siswa yang mengungkapkan bahwa pelajaran sejarah membosankan dan menjenuhkan, karena materinya terlalu menekankan pada hal-hal yang faktual seperti angka tahun, nama tokoh, nama peristiwa, dan tempat di mana suatu peristiwa terjadi. Penyampaian materi yang tidak berkorelasi akan menambah kejenuhan siswa dalam menerima materi pelajaran sejarah. Berbagai perlakuan dapat dilakukan siswa berkaitan dengan keberadaan pengajaran yang masih banyak dilakukan secara konvensional (pembelajaran terpusat pada guru). Perasaan jenuh yang dialami siswa dengan pembelajaran seperti itu mengurangi konsentrasi belajar siswa dan mengalihkan perhatiannya pada hal-hal yang dapat menghilangkan kejenuhan tersebut, seperti mengobrol di kelas, melamun, mengerjakan tugas mata pelajaran selain sejarah bahkan sengaja tidur di kelas. Dalam Kurikulum tahun 2006, para guru dituntut untuk melibatkan siswa secara aktif sebagai subjek pembelajaran. Strategi yang sering digunakan untuk mengaktifkan siswa yaitu dengan melibatkan siswa dalam diskusi di kelas. Akan tetapi terkadang diskusi ini kurang efektif walaupun guru sudah berusaha mendorong siswa agar ikut berpartisipasi aktif dalam proses diskusi. Banyak guru mengeluhkan bahwa hasil belajar dengan diskusi tidak seperti yang mereka harapkan. Para siswa bukannya memanfaatkan kegiatan tersebut untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka, akan tetapi kebanyakan dari mereka bermain, bergurau dan sebagainya. Keadaan di atas memberikan dampak yang sangat besar terhadap prestasi belajar dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran sejarah. Berdasarkan hasil ujian dengan nilai kriteria kelulusan minimum 65, hanya 30% yang dinyatakan lulus dari jumlah siswa sebanyak 36. Melihat kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa kurang terampil dalam menjawab pertanyaan atau bertanya tentang konsep dan materi yang diajarkan. Siswa kurang bisa bekerjasama dalam kelompok diskusi sehingga kurang bisa menyelesaikan tugas yang diberikan. Mereka cenderung belajar sendiri-sendiri. Hasil pengamatan di lapangan selama peneliti PPL di SMA X, menunjukkan bahwa siswa kelas XI IPS I dalam proses pembelajaran di kelas lebih banyak dilakukan secara individual, pola hubungan yang terjadi antar siswa diwarnai atas dasar kegiatan belajar individual. Padahal belajar tidak harus merupakan suatu kegiatan individual, walaupun sekilas sistem belajar individual memberikan kesan positif untuk membentuk daya saing yang tinggi untuk kehidupan di masa mendatang. Hasan (1996 : 8) menjelaskan : "Realita yang ditunjukkan di masyarakat membuktikan bahwa setiap individu terlibat kerjasama dengan individu lain dalam suatu sistem. Persaingan yang terjadi antar individu hanyalah sebatas sistem itu, sementara keberhasilan dalam sistem tadi lebih memberikan kesempatan dan jaminan akan keberhasilan individu dan anggotanya". Johnson dan Smith dalam (Lie, 2007 : 5) mengemukakan bahwa pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa. Maksud dari pernyataan tersebut adalah kegiatan pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain menjalin komunikasi dan membangun pengetahuan bersama. Berpijak dari pendapat di atas, untuk menciptakan interaksi pribadi antar siswa, dan interaksi antar guru dan siswa, maka suasana kelas perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lainnya. Guru perlu menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa bekerjasama secara gotong royong. Salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas kerja sama antar siswa serta prestasi belajar siswa adalah metode cooperative learning. Dengan menggunakan metode cooperative learning dapat menyediakan lingkungan belajar yang kondusif untuk terjadinya interaksi belajar mengajar yang lebih efektif, sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya. Shounara (2003, 17) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa metode cooperative learning ini dapat diterapkan untuk pembelajaran sejarah di kelas, terutama dalam upaya meningkatkan berpikir kritis siswa. Dijelaskan lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam pembelajaran sejarah di kelas, Shounara menyarankan menggunakan metode cooperative learning dalam kelompok kecil. Melalui metode cooperative learning siswa belajar lebih aktif dibandingkan dengan hanya menerima informasi dari guru saja, dapat terjadi interaksi antar siswa dan siswa dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka. Sesuai dengan latar belakang dan fokus permasalahan di atas, maka perlu adanya perbaikan dalam sistem pembelajaran di kelas. Untuk itu perlu disusun suatu pendekatan dalam pembelajaran yang lebih komprehensif. Atas dasar itu peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran cooperative learning dalam pembelajaran sejarah dengan tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions). Metode pembelajaran cooperative learning merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berperan aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar, tidak hanya itu siswa juga bisa saling mengajar dengan siswa lainnya. Selain itu metode cooperative learning menanamkan pada siswa bahwa mereka memiliki peranan yang sama untuk mencapai tujuan akhir belajar, penguasaan materi pelajaran dan keberhasilan belajar yang tidak semata-mata dapat ditentukan oleh guru, tapi merupakan tanggung jawab bersama. Slavin (2009 : 4) mengemukakan bahwa cooperative learning pada dasarnya merupakan suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil serta kolaboratif anggotanya terdiri dari 4-6 orang, dengan struktur kelompok yang heterogen. Sagala (2005 :216) mengemukakan dampak positif dari belajar kelompok adalah dapat menimbulkan kesadaran akan adanya kompetitif yang sehat, sehingga membangkitkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh. Bahkan Hasan dalam Mabroer (2006 : 13) mengemukakan bahwa Cooperative learning akan menghasilkan "cooperative behaviours and attitudes that contributed to be success and/of failure of these group". Maksud dari pengertian ini adalah bekerjasama menghasilkan sikap dan perilaku yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan/atau kegagalan kelompok tersebut dalam mencapai tujuan belajar. Aspek lain yang dapat berkembang dalam pelaksanaan metode cooperative learning menurut Stahl dalam Mabroer (2006 : 4) adalah sikap saling tolong menolong dan tolong menolong merupakan salah satu sikap positif dalam perilaku sosial seseorang. Pembelajaran kooperatif dikatakan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran biasa, karena melalui kooperatif siswa lebih leluasa untuk saling memberi dan menerima materi tanpa rasa segan. Sesuai yang dikatakan Lie (2007 : 12) bahwa : "Banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru dikarenakan mereka memiliki schemata yang hampir sama dibandingkan dengan schemata guru..." Tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions) merupakan salah satu alternatif yang diterapkan oleh guru kepada siswa dalam pembelajaran. STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkins, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Tipe ini digunakan untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa. Selain itu model STAD juga menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk lebih memperdalam mengenai pengaruh model cooperative learning dengan tipe STAD terhadap hasil belajar siswa menjadi sebuah penelitian. Adapun judul yang peneliti angkat dalam penelitian ini adalah "Penerapan Metode Cooperative Learning Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran Sejarah (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas XI IPS 1 SMA X)". B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : " Bagaimana upaya peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD" C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana kondisi awal pembelajaran sejarah di kelas sebelum diterapkan metode kooperatif tipe STAD? 2. Bagaimana guru sejarah merencanakan metode kooperatif tipe STAD dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah? 3. Bagaimana pelaksanaan metode kooperatif tipe STAD dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah? 4. Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa setelah menggunakan metode kooperatif tipe STAD? 5. Bagaimana upaya mengatasi kendala yang dihadapi dalam menerapkan metode kooperatif tipe STAD pada pembelajaran sejarah? D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah dan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk : 1. Mendeskripsikan mengenai kondisi awal pembelajaran sejarah sebelum metode kooperatif tipe STAD. 2. Mendeskripsikan perencanaan guru sejarah dalam menggunakan metode kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran sejarah. 3. Mendeskripsikan pelaksanaan metode kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran sejarah. 4. Mendeskripsikan dan mengkaji peningkatan hasil belajar setelah menggunakan tipe STAD dalam mata pelajaran sejarah. 5. Menganalisis kendala dan upaya mengatasinya dalam penerapan tipe STAD pada pembelajaran sejarah. E. Manfaat Penelitian Suatu penelitian dikatakan berhasil apabila dapat memberikan manfaat pada dunia pendidikan. Dalam penelitian ini, penulis mengharapkan adanya manfaat atau kegunaan, khususnya bagi peneliti sendiri dan umumnya bagi yang berkepentingan di bidang pendidikan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi Guru Manfaat penelitian ini bagi guru adalah sebagai motivasi guru untuk meningkatkan ketrampilan memilih setrategi pembelajaran yang sesuai dan bervariasi. Guru dapat lebih termotivasi untuk terbiasa mengadakan penelitian sederhana yang bermanfaat bagi perbaikan dalam proses pembelajaran serta meningkatkan kemampuan guru itu sendiri. 2. Bagi Siswa Manfaat penelitian bagi siswa adalah untuk melatih daya pikir untuk meningkatkan hasil belajar dan aktifitas siswa. Keberanian siswa mengungkapkan ide, pendapat, pertanyaan dan saran meningkat. Menumbuhkan semangat kerjasama antar siswa. 3. Bagi Peneliti Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah untuk menambah wawasan dan pengalaman yang dapat dijadikan bekal untuk menghadapi tugas di lapangan. F. Definisi Operasional Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau untuk mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Bukanlah cooperative learning jika siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan mempersilakan salah seorang di antaranya untuk menyelesaikan pekerjaan seluruh kelompok. Salah satu tipe dari metode kooperatif adalah tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions). STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Tipe ini digunakan untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa. Selain itu model STAD juga menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut : 1. Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing terdiri atas 4 atau 5 anggota kelompok. Tiap kelompok mempunyai anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnik maupun kemampuannya (prestasinya) 2. Guru menyampaikan materi pelajaran 3. Guru memberikan tugas kepada kelompok dengan menggunakan lembar kerja siswa dan kemudian saling membantu untuk menguasai materi pelajaran yang telah diberikan melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok. 4. Guru memberikan pertanyaan atau kuis kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab pertanyaan atau kuis dari guru siswa tidak boleh saling membantu. 5. Setiap akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap bahan akademik yang telah dipelajari 6. Tiap siswa dan tiap kelompok diberi skor atas penguasaan terhadap materi pelajaran, dan kepada siswa secara individual atau kelompok yang meraih prestasi tinggi atau memperoleh skor sempurna diberi penghargaan. Hasil belajar adalah evaluasi terhadap nilai pretes dan post test siswa kelas XI IPS I SMA X dalam pembelajaran sejarah. Pada hakikatnya, hasil belajar siswa meliputi tiga aspek yaitu aspek afektif, aspek kognitif dan aspek psikomotor. Dalam penelitian ini peneliti hanya mengukur aspek kognitif saja, artinya peneliti hanya mengukur kemampuan siswa dari nilai pretes dan posttes saja. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut : Bab satu, merupakan pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah yang berisi pemaparan penulis dalam rangka upaya untuk menuju permasalahan yang akan dikaji yaitu mengenai penerapan metode cooperative learning tipe STAD (Student Teams Achievemens Divisions) dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Agar dalam pembahasannya lebih terfokus maka dirumuskanlah beberapa masalah penelitian beserta tujuan diadakannya penelitian. Selain itu dalam bab ini juga dijelaskan mengenai manfaat penelitian, definisi operasional, serta sistematika penulisan. Bab dua, merupakan landasan teoritis yang meliputi pembahasan dari judul penelitian berdasarkan rujukan dari teori-teori yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian. Bab tiga, merupakan metodologi penelitian yang meliputi langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Dalam bab ini dipaparkan mengenai pendekatan penelitian, metode dan desain penelitian yang berisi perencanaan pelaksanaan tindakan kelas dan pelaksanaan penelitian, subjek penelitian, prosedur penelitian, serta teknik-teknik yang digunakan dalam pengolahan data. Bab empat, merupakan pembahasan masalah dan analisis data berdasarkan hasil penelitian dari keseluruhan instrumen penelitian serta keseluruhan tindakan yang telah dilakukan oleh peneliti. Dalam bab ini diuraikan mengenai pembahasan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah. Hasil penelitian diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif berdasarkan metode penelitian tindakan kelas yang digunakan dalam penelitian ini. Bab lima, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan hasil yang telah dilakukan dan saran-saran atau rekomendasi bagi pihak-pihak yang terkait dan bagi pengembangan penelitian selanjutnya. Kesimpulan menguraikan sintesis dan interpretasi dari hasil penelitian dan pembahasan, sedangkan saran berupa kekurangan-kekurangan yang diperoleh dari hasil penelitian. |
You are subscribed to email updates from gudang makalah, skripsi dan tesis To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Post a Comment