download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


TESIS PEMBINAAN KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU SEKOLAH DASAR

Posted: 17 Apr 2013 08:50 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0191) : TESIS PEMBINAAN KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU SEKOLAH DASAR (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Guru sebagai tenaga kependidikan dalam menjalankan fungsi pendidikan dilihat sebagai totalitas yang satu sama lain secara sinergi memberikan sumbangan terhadap proses pendidikan pada tempat di mana mereka memberikan pelayanan, dengan titik tekan tenaga kependidikan di lembaga pendidikan persekolahan. Tugas tenaga kependidikan secara umum adalah memberikan pelayanan optimal kepada peserta didik khususnya dan kustomer pada umumnya, pada titik di mana pelayanan itu harus dilakukan.
Keberhasilan dalam upaya memberikan pelayanan optimal guru terhadap peserta didik dapat dilihat dari penguasaan materi pembelajaran yang disampaikan secara efektif dan kehadirannya diterima oleh anak didik secara ikhlas. Dia juga mampu menjadi manajer belajar yang baik, sekaligus terns belajar melalui proses pembelajaran yang dilakukannya {learning from teaching processes), bahkan belajar dari peserta didik.
Henry Simamora (1995 : 7) mengungkapkan bahwa "sumber daya manusia sekarang digunakan dan diakui sebagai aset organisasi yang paling berharga". Menurut Tilaar dan Suryadi (1992 : 108) komponen kualitas sekolah adalah "besar-kecilnya tergantung salah satunya kepada faktor guru. Guru merupakan sumber daya manusia yang mempunyai kedudukan strategis dalam upaya memberdayakan seluruh potensi sekolah".
Profesionalisme tenaga pendidik sangat berhubungan erat dengan mutu pendidikan, sebab proses belajar sebagai inti dari pendidikan akan sangat tergantung pada tenaga pendidik yang professional dan kualitas hasil belajar merupakan ujung tombak kualitas pendidikan. Dengan anggapan semacam itu, maka keberadaan tenaga pendidik atau guru yang profesional semakin penting, dan peranan siswa dalam belajar merupakan tumpuan upaya peningkatan kualitas pendidikan sesuai standar nasional pendidikan. Pasal 35 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan agar "Pendidikan memiliki Standar Nasional Pendidikan (SNP), sebagai acuan pengembangan dan pengendalian pendidikan". Dan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab II Pasal 2 menyebutkan "standar nasional pendidikan mencakup standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan".
Tanpa mengurangi keberadaan kurikulum serta lingkungan sosial budaya, guru merupakan faktor kunci keberhasilan dalam upaya meningkatkan dan memelihara kualitas pendidikan. Sebaik apapun program yang dibuat kalau kualitas gurunya tidak mendapat perhatian yang cukup, maka akhirnya hanya menjadi rutinitas, sedangkan kualitas tidak akan pernah tercapai. Kalau kualitas Sumber Daya Manusia tidak mendapat perhatian yang serius, maka bangsa Indonesia akan ketinggalan oleh bangsa-bangsa lain yang sudah menyadari akan pentingnya kualitas Sumber Daya Manusia. Dalam PP No. 38 Tahun 1992, dijelaskan bahwa : 
Tenaga kependidikan merupakan unsur terpenting dalam sistem pendidikan nasional yang diadakan dan dikembangkan untuk menyelenggarakan pengajaran, pembimbingan dan pelatihan bagi para pendidik. Diantara para tenaga kependidikan ini para pendidik/guru merupakan unsur utama.
Baik tidaknya suatu sekolah atau sebuah kurikulum sangat tergantung dari mutu guru/tenaga pendidiknya, sehingga guru/tenaga pendidik dituntut untuk memiliki/memenuhi syarat-syarat kemampuan tertentu. Untuk itu maka tenaga pendidik/guru harus senantiasa dikembangkan kemampuannya supaya mutu pembelajaran dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Dalam kondisi demikian, maka jelas pembinaan Guru Sekolah Dasar merupakan satu bagian krusial yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan mutu pelayanan pendidikan. Setelah melakukan observasi di lapangan ditemukan adanya indikasi latar belakang pendidikan guru yang bervariasi dari berbagai lulusan perguruan tinggi bahkan terdapat latar belakang pendidikan guru dari lulusan SMA atau sederajat. Berdasarkan temuan ini, maka untuk meningkatkan kemampuan profesional Guru SD diperlukan adanya kegiatan pembinaan terutama di Kecamatan X.

B. Identifikasi Masalah
Guru sebagai suatu profesi menuntut profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan ketrampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik.
Layanan profesionalisme guru terkait pula dengan kepribadian guru. Kepribadian adalah unsur yang menentukan keakraban hubungan guru dengan anak didik. Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Alexander Meikeljohn (1971 : 13) mengatakan : "No one can be a genuine teacher unless he is himself actively sharing in the human attempt to understand men and their word "
Seorang pendidik yang profesional senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right thing and do it right). Konsekuensinya adalah ia selalu mengembangkan tingkah laku dan tindakan strategis yang cermat. Menurut Tilaar (1998), ada dua indikator pendidik itu profesional, yaitu : 
1. Dasar ilmu yang kuat. 
Seorang pendidik yang profesional hendaknya mempunyai dasar ilmu yang kuat sesuai dengan bidang tugasnya sekaligus mempunyai wawasan keilmuan secara interdisipliner
2. Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan. 
Artinya hendaknya ada saling pengaruh mempengaruhi antara teori dan praktek pendidikan yang merupakan jiwa dari perkembangan ilmu dan profesi tenaga kependidikan.
Dalam mewujudkan tujuan ideal tentang kemampuan profesional Guru SD ternyata pada realitanya banyak dihadapkan pada berbagai faktor. Kompleksnya permasalahan yang dikaji berkaitan dengan pembinaan kemampuan profesional guru mendasari pembatasan kajian dalam penelitian ini, yakni diarahkan untuk mengidentifikasi atau berfokus pada "BAGAIMANA PEMBINAAN KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU SD SESUAI DENGAN STANDAR KOMPETENSI PROFESIONAL GURU SD YANG MENGACU PADA PERMENDIKNAS NOMOR 16 TAHUN 2007 ?"

C. Rumusan Masalah
Merujuk pada identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yakni : 
1. Bagaimana menyusun rencana pembinaan kemampuan profesional Guru SD di Kecamatan X ?
2. Bagaimana melaksanakan pembinaan kemampuan profesional Guru SD di Kecamatan X ?
3. Bagaimana melakukan evaluasi pembinaan kemampuan profesional Guru SD di Kecamatan X ?
4. Bagaimana dampak pembinaan pada kinerja Guru SD di Kecamatan X ?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian tentang pembinaan kemampuan profesional Guru SD di Kecamatan X adalah : 
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pembinaan kemampuan profesional Guru SD. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 
a. Penyusunan rencana pembinaan kemampuan profesional Guru SD di Kecamatan X.
b. Pelaksanaan pembinaan kemampuan profesional Guru SD di Kecamatan X.
c. Evaluasi pembinaan kemampuan profesional Guru SD di Kecamatan X.
d. Dampak pembinaan pada kinerja Guru SD di Kecamatan X.
2. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan hasil penelitian tentang pembinaan kemampuan profesional Guru SD di Kecamatan X adalah : 
a. Bagi praktisi pendidikan terutama yang berkecimpung di bidang pembinaan Guru SD, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan informasi sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program pembinaan Guru SD, khususnya di Kecamatan X, umumnya Kota X bahkan penyelenggara pembinaan tingkat nasional.
b. Bagi pengambil kebijakan (policy maker) bidang pengelolaan pendidikan dasar, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap makna baru tentang pembinaan guru sesuai dengan kebutuhan di lapangan yang dapat diangkat sebagai isu aktual, untuk selanjutnya dirumuskan dalam suatu kebijaksanaan sebagai upaya menyempurnakan sistem pembinaan kemampuan profesional guru dalam kerangka peningkatan mutu layanan pendidikan di tingkat SD.
c. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang pembinaan pegawai dalam hal ini pembinaan guru sebagai khasanah perkembangan ilmu pengetahuan terutama bagi ilmu administrasi pendidikan dan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM).

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN

Posted: 17 Apr 2013 08:48 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0190) : TESIS PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia pendidikan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan banyaknya temuan dan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi tersebut menuntut para praktisi pendidikan untuk meningkatkan kontribusinya dalam upaya menghasilkan sumber daya yang bermutu dan mampu bersaing yaitu manusia yang memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan. Namun demikian untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia tersebut ada tantangan dan masalah bangsa yang harus dihadapi, yaitu : (1) perlunya peningkatan mutu dan nilai tambah; (2) perubahan struktur masyarakat; (3) persaingan global yang semakin ketat; dan (4) dominasi negara-negara maju dalam penguasaan ilmu dan teknologi; (Djojonegoro, 1995 : 5-7). 
Dalam membangun sektor pendidikan, pencapaian tujuan akhir yang sempurna dan final tentunya selalu berkembang. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamik, berubah dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Terlebih-lebih dalam era informasi seperti saat ini, keterbukaan di hampir semua aspek dan sistem kehidupan manusia tidak dapat dicegah lagi oleh kekuatan apapun. Hal ini membawa dampak pada cepat usangnya kebijakan maupun praksis pendidikan.
Begitu pula parameter kualitas pendidikannya, baik dilihat dari segi input, process, product, maupun outcome selalu berubah dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, kualitas pendidikan nasional secara terus-menerus perlu ditingkatkan melalui sebuah pembaharuan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada para stakeholders agar dari sektor pendidikan itu kita mampu mempersiapkan generasi penerus yang memiliki unggulan kompetitif dalam menjawab dan memecahkan tantangan masa depan bangsa. Keberhasilan bangsa ini menghadapi tantangan masa depan abad 21 sangat tergantung pada keberhasilan memperbaiki dan memperbaharui pembangunan sektor pendidikan saat ini. Dengan kata lain, sistem pendidikan nasional selalu menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan secara terarah dan berkesinambungan agar dapat ditingkatkan kinerjanya dalam pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi serta manajemen pendidikan. Lembaga pendidikan dalam mewujudkan layanan pendidikan yang berkualitas harus mampu mengelola sistem yang ada di lembaganya dengan baik, yaitu dengan mewujudkan produktivitas pendidikan yang berkualitas. Pihak lembaga harus mampu mengembangkan sikap dan prilaku kerja para personilnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa lembaga pendidikan dituntut untuk mampu menata dan memberdayakan seluruh sumber daya yang ada dalam sistem pengelolaan yang efektif dan efisien, sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. 
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan jalur sekolah sebagai kelanjutan dari pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dalam bentuk Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, dan Politeknik. Penjenjangan pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan Diploma (S0), Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktor (S3).
Sesuai dengan asas otonomi perguruan tinggi, pemerintah menyiapkan standar nasional kemampuan akademik dan profesional yang menjadi acuan bagi perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum sesuai kepentingan pembangunan wilayah regional dan nasional serta tantangan kehidupan global. Mengingat perbedaan potensi wilayah serta perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dalam era globalisasi, maka program studi dan mata kuliah yang ditawarkan oleh perguruan tinggi kepada masyarakat harus bervariasi dan luwes. Penerapan teknologi digital dan networking dalam setiap aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan kurikulum pendidikan di perguruan tinggi. 
Bertolak dari keyakinan bahwa perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan penghasil calon pemimpin bangsa di masa depan, proses pembelajaran yang menekankan aspek kreativitas dan inovasi dalam pemecahan masalah dan rekonstruksi sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum merupakan metode pembelajaran utama yang perlu ditumbuhkembangkan dan diterapkan di perguruan tinggi. Implikasi dari metode pembelajaran tersebut adalah penerapan sistem penilaian hasil belajar yang bertumpu pada pengerjaan tugas-tugas akademik individual dan kelompok, praktikum, penelitian, kerja lapangan, seminar dan ujian yang mencerminkan kemampuan peserta didik merespon terhadap masalah sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum tersebut secara profesional. 
Menurut Pasal 22 dan 23 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) disebutkan bahwa pendidikan tinggi bertujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah jenjang pendidikan menengah yang diselenggarakan melalui jalur sekolah oleh lembaga yang disebut perguruan tinggi.
Dapat dikatakan bahwa selama sejarah peradaban manusia, dunia akademik memainkan peran sentral sebagai konservator nilai-nilai dominan yang berlaku dan sebagai nilai-nilai baru bagi dinamika masyarakat. Yang terpenting, dunia akademik memainkan peranannya yang sejati sebagai sumber ide bagi peningkatan hidup dan makna kehidupan manusia (Tilaar, 1994).
Pendidikan tinggi, menurut Poespowardjojo (dalam Tilaar, 1994), tidak dapat hanya menjadi penonton atau mungkin sebagai pengeritik kejadian-kejadian sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa perguruan tinggi mengemban peran penting dalam konteks dinamika sosial kemasyarakatan. Perguruan tinggi dengan otonomi dan pengembangan kebebasan berpikir adalah kekuatan inti bagi perubahan dan demokrasi kehidupan masyarakat.
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Pasal 3 merinci tugas pendidikan tinggi sebagai berikut : 
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Lebih lanjut, dalam GBHN diuraikan peran perguruan tinggi di Indonesia. Peran perguruan tinggi menurut amanat GBHN adalah sebagai berikut : 
1. Pusat Pengembangan Ilmu dan Sumberdaya Manusia. Pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta pemeliharaan, pembinaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. Kampus sebagai masyarakat ilmiah yang bercita-cita luhur, masyarakat berpendidikan yang gemar belajar dan mengabdi kepada masyarakat serta melaksanakan penelitian yang menghasilkan manfaat bagi peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai lembaga pendidikan tinggi diharapkan pula menjadi pusat pengembangan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas akademik maupun profesional yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan yang semakin kompleks dan meningkat.
2. Pusat Sumberdaya Penelitian Wilayah. Hampir semua kampus perguruan tinggi merupakan konsentrasi para sarjana yang cukup banyak, yang memiliki potensi untuk membantu pembangunan wilayah melalui penelitian, pengumpulan dan pengolahan data sesuai dengan keahliannya. Dengan demikian perguruan tinggi, baik bersama-sama perguruan tinggi lain setempat maupun masing-masing, dapat berperan sebagai pusat informasi ilmiah maupun pusat sumberdaya dan kegiatan tentang wilayah tersebut.
3. Pusat Kebudayaan. Tujuan pokok pembinaan kebudayaan di Indonesia menurut Majelis Umum PBB (1986) adalah (1) semakin kuatnya penghayatan nilai-nilai budaya nasional agar mampu menyongsong masa depan bangsa yang ditandai oleh makin canggihnya teknologi dan makin kuatnya tata perekonomian global; (2) semakin kokohnya kesadaran bangsa akan jati dirinya yang ditandai baik oleh pewarisan nilai-nilai luhur, kesadaran sejarah maupun daya cipta yang dimilikinya.
Untuk menghadapi berbagai tantangan yang disebabkan oleh perkembangan global, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menetapkan konstitusi tujuan pengembangan pendidikan tinggi melalui kebijakan Penataan Sistem Pendidikan Tinggi agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Tersirat di sana bahwa kebijakan tersebut mengandung kehendak untuk mengembangkan suatu pola manajemen yang akan digunakan sebagai pedoman dasar untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, maupun pelaksanaan pembangunan dan pengembangan masing-masing perguruan tinggi di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (1996) menegaskan bahwa manajemen perguruan tinggi bertumpu pada unsur-unsur : (1) Evaluasi; (2) Akreditasi; (3) Otonomi; dan (4) Akuntabilitas, yang ditujukan pada peningkatan Mutu secara berkelanjutan.
Tersirat di sini bahwa perguruan tinggi wajib menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Adapun penyelenggaraannya dilaksanakan dengan sistem terbuka, dengan program akademik, vokasional, dan profesi.
Posisi dan peran Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada dasarnya tidak berbeda dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Yang membedakan PTN dan PTS adalah dalam hal sektor pengelolaan dan sumber pembiayaannya. Dalam perkembangannya sekarang, perguruan tinggi dapat berbentuk badan hukum milik negara (BHMN) atau badan hukum milik swasta apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dalam pengelolaannya, perguruan tinggi dapat menggali dana dari masyarakat yang dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Menurut Jalal dan Supriadi (2001 : 366), dinyatakan bahwa paradigma baru pendidikan tinggi bertumpu kepada tiga pilar utama, yaitu kemandirian dalam pengelolaan atau otonomi, akuntabilitas (accountability), dan jaminan mutu (quality assurance).
Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi diartikan sebagai otonomi yang seluas-luasnya, tidak terbatas pada pengelolaan secara manajerial, melainkan juga dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka menyesuaikan dengan dunia kerja atau tuntutan kebutuhan pasar kerja. Oleh karena itu, pendidikan tinggi dalam hal ini harus mampu meningkatkan kualitas SDM yang dapat menguasai dan mengembangkan sains dan teknologi sehingga perguruan tinggi tersebut memiliki kebebasan untuk berkembang dan bersaing secara sehat.
Istilah akuntabilitas dalam hal ini diartikan bahwa tanggung jawab perguruan tinggi tidak hanya terhadap pemerintah saja sebagai pembina atau pemberi sumber dana dan sumberdaya lainnya, melainkan juga terhadap masyarakat luas pengguna hasil lulusan dan hasil pengembangan sains dan teknologi. Di sini terkait pula akuntabilitas terhadap dunia profesi yang ada. jaminan mutu (quality assurance) digunakan untuk menentukan standar kriteria yang lebih dinamis untuk menyesuaikan kemampuan perguruan tinggi dengan lapangan kerja dan perdagangan bebas. 
Sebagai pranata sosial yang profesional setiap satuan perguruan tinggi harus menyediakan buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium, dan sarana ibadah sebagai sarana dan penunjang kegiatan pendidikan. Dalam menghadapi tuntutan kehidupan global, peserta didik diharapkan untuk menguasai salah satu bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Untuk menjamin efektivitas proses pembelajaran, penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi minimal adalah 60 jam per minggu dari pukul 8 : 00 sampai 21 : 30 sehingga memberikan kesempatan bagi peserta didik yang telah bekerja untuk belajar pada sore dan malam hari. Seandainya perguruan tinggi telah memiliki fasilitas pembelajaran melalui jaringan komunikasi elektronik, penyelenggaraan pendidikan dapat dilaksanakan selama 24 jam.
Perguruan tinggi sebagai salah satu bentuk satuan pendidikan yang memberikan pengetahuan akademik dan atau profesional harus mampu memberikan layanan dan menghasilkan keluaran yang berkualitas melalui program-program strategis. Lulusannya diharapkan mampu mengatasi masalah di atas. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi mutu perguruan tinggi seperti dosen, sarana prasarana, kurikulum dan proses belajar mengajar, serta sistem penilaian. Walaupun demikian, faktor dosen tidak dapat disamakan dengan faktor-faktor lainnya. Dosen adalah sumber daya manusia yang diharapkan mampu mengerahkan kemampuannya dan mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta proses belajar yang bermutu. Tanpa mengabaikan peran faktor-faktor lain, dosen dapat dianggap sebagai faktor utama yang paling menentukan terhadap meningkatnya mutu perguruan tinggi. 
Bila dikaitkan dengan peran tenaga pengajar di perguruan tinggi, Jalal dan Supriadi (2001 : 395) menyatakan bahwa : "sehat tidaknya perguruan tinggi banyak tergantung pada stafnya, apakah itu staf pengajar, profesional (peneliti), maupun administrative. Ada kepedulian di kalangan staf perguruan tinggi tersebut bahwa saat ini mereka tidak cukup mendapatkan pengakuan, kesempatan untuk mengembangkan diri, dan imbalan yang wajar atas pengabdiannya. Perlu diakui bahwa kontribusi staf pengajar merupakan faktor penting bagi pengembangan perguruan tinggi di Indonesia.
Perguruan tinggi dituntut untuk meningkatkan profesionalisme dosennya yang mencakup antara lain komponen-komponen penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tugasnya, komitmen dan pengabdian yang tinggi pada bidang pendidikan. Untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan, kualifikasi pendidikan tenaga pengajar/dosen pada perguruan tinggi minimal memiliki ijazah S2. 
Kegiatan pokok dibidang penataan sistem pendidikan tinggi salah satunya adalah meningkatkan kemampuan sivitas akademika dalam melakukan evaluasi diri untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, kinerja staf dan perencanaan pengembangan perguruan tinggi (Propenas 2000-2004 : 172).
 Produktivitas perguruan tinggi bukan semata mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga penting diperhatikan, seperti diungkapkan Laehan dan Wexley (dalam Mulyasa, 1992 : 2), bahwa : 
"performance appraisals are crucial to the effective management of an organization's human resources, and the proper management of human resources, and the proper management of human resources is a critical variable effecting an organization's productivity". 
Produktivitas dosen dapat dinilai dari apa yang dilakukan oleh dosen tersebut dalam kerjanya, yakni bagaimana ia melakukan pekerjaan atau unjuk kerjanya. Dalam hal ini produktivitas dapat ditinjau berdasarkan tingkatannya dengan tolak ukur masing-masing yang dapat dilihat dari kinerja dosen tersebut.
Sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi, dosen mengemban tiga tugas pokok, yaitu : (1) melaksanakan Pendidikan (proses belajar mengajar); (2) melakukan penelitian; dan (3) mengabdikan ilmunya kepada masyarakat (Hanafiah et.al, 1994 : 64). 
Sebagai salah satu perguruan tinggi dengan status swasta, STKIP X juga dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalisme dosennya, seperti yang diuraikan di atas. Namun berdasarkan pengamatan, sistem penilaian kinerja tenaga pengajar tampaknya belum diterapkan secara optimal. Kurangnya pemahaman mengenai penilaian kerja yang efektif juga diduga mempengaruhi proses tersebut. Selain itu, diduga bahwa kemampuan STKIP X dalam menetapkan kebijakan pengembangan sumber daya manusianya belum optimal. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan profesionalisme adalah bagaimana menilai produktivitas kerja para dosen tersebut. Untuk melihat bagaimana menilai produktivitas kerja dosen-dosen tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti sistem penilaian kinerja dosen yang diterapkan dan dilakukan oleh perguruan tinggi tersebut yang dituangkan dalam judul : "PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN"

B. Identifikasi Masalah
Melihat kenyataan bahwa tenaga pengajar atau dosen merupakan faktor yang paling penting dalam pembelajaran di suatu lembaga perguruan tinggi, mutu dan kinerja dosen tentunya perlu mendapatkan lebih banyak perhatian dari pengelola perguruan tinggi. Operasional penyelenggaraan perguruan tinggi swasta tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek yang berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan Tri dharma perguruan tinggi. Salah satu aspek tersebut adalah berkenaan dengan penilaian kinerja dosen. 
Sistem penilaian kinerja dosen dapat melihat apakah kinerja seorang dosen itu baik atau kurang baik dan pada gilirannya hal tersebut akan terkait dengan kebijakan pengembangan sumberdaya manusia.

C. Manfaat Penelitian 
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 
1. Manfaat Teoritis
Dalam tataran teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian mengenai urgensi kemampuan kerja dosen tetap yayasan dalam keseluruhan pengembangan profesionalisasi tenaga kependidikan. Terungkapnya temuan empiris yang menjelaskan kondisi penilaian kinerja dosen tetap yayasan merupakan hal sangat penting untuk dijadikan dasar pemikiran bagi upaya pengembangan konsep-konsep manajemen sumber daya manusia.
2. Manfaat Praktis
Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 
a. Memberikan masukan kepada pengelola pendidikan tinggi khususnya STKIP X tentang pengembangan penilaian kinerja dosen tetap yayasan yang efektif.
b. Dengan mengetahui model penilaian kinerja dosen tetap yayasan, maka memungkinkan adanya usaha untuk pengembangan profesionalisasi para dosen ke arah yang lebih baik.
c. Memberikan masukan kepada pemerintah tentang kemungkinan pengembangan penilaian kinerja dosen tetap yayasan yang lebih tepat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan perguruan tinggi swasta.

D. Sistematika Penulisan
Tesis ini menjabarkan isi secara keseluruhan menjadi sistematika tesis tersebut, sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, pada bab ini dibahas latar belakang masalah, Identifikasi masalah, fokus telaah, pertanyaan penelitian, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka berfikir, asumsi penelitian, definisi operasional, lokasi dan subyek penelitian, dan sistematika tesis. Bab II, Konsep Administrasi pendidikan, Konsep Administrasi Personil/SDM, Konsep Penilaian Kinerja, Desain Sistem Penilaian Kinerja dan hasil penelitian yang terdahulu yang masih relevan. 
Kemudian Bab III menjelaskan masalah prosedur penelitian, dalam hal ini yang dibahas adalah bentuk dan sifat penelitian, metode penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, langkah-langkah penelitian, analisis data, dan metode dan instrumen penelitian. Sedangkan Bab IV membahas masalah hasil temuan penelitian, yang terdiri dari temuan hasil penelitian yang diuraikan mengenai : deskripsi hasil penelitian dan pembahasan penelitian berupa, sistem penilaian kinerja yang dilakukan saat ini pada STKIP X, pemanfaatan hasil penilaian kinerja tersebut, kajian model penilaian kinerja yang efektif bagi dosen tetap yayasan pada STKIP X. Sedangkan yang terakhir Bab V ini mengemukakan tentang kesimpulan, implikasi dari penelitian dan rekomendasi terhadap hasil penelitian.

TESIS PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT X

Posted: 17 Apr 2013 08:44 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0189) : TESIS PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN BISNIS)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu program guna mewujudkan kesejahteraan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan asset yang potensial dan strategis di dalam menjalankan roda organisasi, yang pada akhirnya akan mendukung tujuan organisasi.
Untuk meningkatkan kinerja pegawai dan perbaikan efisiensi organisasi, manajemen sumber daya manusia selalu memegang peran aktif dan dominan dalam setiap kegiatan perusahaan. Tingkat kinerja pegawai yang tinggi akan dapat memperkuat perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan tenaga-tenaga kepemimpinan yang terampil yang bertanggung jawab serta mau mengerti keinginan bawahannya. Seorang pemimpin harus mampu mengarahkan, menggerakkan dan mempengaruhi bawahannya untuk bekerjasama dengan memberikan dorongan dan bekerja keras dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Untuk melaksanakan aktivitas organisasi dalam pencapaian tujuan, maka dalam mengarahkan dan memotivasi kelompok manusia dituntut adanya bentuk kepemimpinan tertentu yang sesuai pada situasi dan kondisi yang ada.
Manajemen dalam suatu perusahaan akan sulit merealisasikan tujuan tanpa adanya pemimpin. Oleh karena itu seorang pemimpin dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memimpin suatu bidang pekerjaan, dan pemimpin merupakan dasar dan faktor penentu yang akan mempengaruhi maju mundurnya atau naik turunnya suatu perusahaan.
Selain aspek kepemimpinan salah satu faktor yang sangat berperan dalam meningkatkan kinerja pegawai adalah motivasi kerja. Pegawai yang memiliki motivasi kerja tinggi, selalu mempunyai dorongan untuk bekerja lebih baik untuk mencapai prestasi yang istimewa. Apabila terbuka kesempatan untuk berprestasi maka akan mendorong psikologis untuk meningkatkan jiwa dedikasi serta pemanfaatan potensi yang dimilikinya untuk meningkatkan kinerja pegawai. Hasibuan (2002 : 194) menyatakan "bahwa pada dasarnya faktor dominan yang mempengaruhi tingkat kinerja pegawai suatu organisasi adalah kepemimpinan suatu organisasi".
Fenomena di kantor PT. X menunjukan bahwa kondisi yang menggerakkan pegawai ke arah pencapaian tujuan organisasi relatif masih kurang optimal yang mengakibatkan kinerja pegawai mengalami penurunan yang ditandai dengan produktivitas perusahaan yang cenderung merosot.
Penurunan kinerja pegawai ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, karena akan dapat menyebabkan perusahaan mengalami kerugian, bahkan kemungkinan yang paling buruk adalah gulung tikarnya perusahaan. Oleh karena itu perlu segera mengantisipasi dengan menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Dalam hal ini secara teoritis faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja pegawai adalah faktor kepemimpinan dan motivasi kerja.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kepemimpinan dan motivasi kerja dengan kinerja pegawai dengan mengangkat sebuah judul : "Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada PT. X".

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Kepemimpinan sangat berhubungan erat dengan manusia sebagai salah satu faktor dalam organisasi, karena manusia lah yang dapat membuat berfungsi atau merupakan titik sentral kegiatan organisasi. Cepat atau lambatnya kegiatan organisasi tergantung kepada keterampilan pemimpin dalam mengarahkan langkah dan kebijaksanaan perusahaan sebagai usaha memperoleh kinerja pegawai yang tinggi. Seorang pemimpin yang berhasil akan mampu mempengaruhi orang lain dan dianggap sebagai panutan untuk bawahannya dalam melaksanakan tujuan organisasi.
Dalam penelitian ini penyusun mencoba menitikberatkan terhadap masalah kepemimpinan untuk meningkatkan kinerja pegawai yang tinggi. Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama PT. X berdasarkan persepsi responden ?
2. Bagaimanakah tingkat motivasi kerja pegawai PT. X ?
3. Bagaimanakah tingkat kinerja pegawai PT. X ?
4. Apakah tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X ?
5. Apakah tingkat motivasi kerja pegawai mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud melakukan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan sebagai bahan pelengkap dalam penyusunan tesis yang merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister manajemen pada Program Studi Magister Manajemen Bisnis.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama PT. X berdasarkan persepsi responden.
2. Untuk mengetahui tingkat motivasi kerja PT. X. 
3. Untuk mengetahui tingkat kinerja pegawai PT. X.
4. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kepemimpinan mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X.
5. Untuk mengetahui tingkat motivasi kerja mempengaruhi kinerja pegawai PT. X.

D. Kegunaan Penelitian 
1. Kegunaan Akademik
Memberikan sumbangan positif terhadap pengembangan ilmu bidang Manajemen Sumber Daya Manusia yang terkait dengan masalah kepemimpinan, motivasi kerja dan kinerja pegawai.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi perusahaan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran dan masukan mengenai pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap peningkatan kinerja pegawai .
b. Bagi penulis penelitian ini sebagai syarat menyelesaikan studi program S-2.

TESIS PENGARUH STRUKTUR DAN IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN SKPD

Posted: 17 Apr 2013 08:42 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0188) : TESIS PENGARUH STRUKTUR DAN IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN SKPD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara, peranan negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (government) menjadi kepemerintahan (governance). Pergeseran peran tersebut cenderung menggeser paradigma klasik yang serba negara menuju paradigma yang lebih memberikan peran kepada masyarakat dan swasta. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 disebutkan bahwa dalam paradigma kepemerintahan yang baik (good governance) terdapat prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, dan supremasi hukum. Dalam bahasa yang lebih sederhana, terdapat tiga prinsip utama yang berlaku universal dalam kepemerintahan yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Perkembangan wacana di tingkat global tentang new public management (NPM) juga berpengaruh pada perkembangan wacana good governance di Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan pelajaran yang dapat diambil dari krisis ekonomi yang dimulai dari krisis keuangan tahun 1997. Berkaitan dengan krisis tersebut, Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, banyak diceramahi tentang kurangnya transparansi dan pentingnya tata pemerintahan yang baik. Meningkatnya utang luar negeri dari tahun ke tahun merupakan salah satu bukti yang mencerminkan bahwa kinerja pemerintah dalam mengelola keuangan negara sangat buruk.
Krisis moneter dan resesi ekonomi yang berkepanjangan, kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi dan lebih jauh lagi menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah, terutama bagi Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara paling korup di dunia, telah menimbulkan berbagai gejolak dan tuntutan perubahan di masyarakat berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.
Tuntutan yang lebih besar dari masyarakat untuk dilakukan transparansi dan akuntabilitas publik, telah menuntut setiap organisasi pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya agar lebih berorientasi pada terciptanya good public dan good governance.
Untuk merespon tuntutan reformasi tersebut, maka dilakukan serangkaian langkah-langkah konkrit melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan seperti UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, dan PP sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, yaitu PP No. 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah, serta tata cara penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan APBD.
Dalam prakteknya, penyelenggaraan otonomi daerah bagi sebagian daerah malah menjadi beban tersendiri. Otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan tiap-tiap daerah, dan seringkali dikaitkan dengan prinsip auto money. Artinya kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. Implikasi dari penerapan prinsip auto money ini kemudian mendorong daerah-daerah untuk giat meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), salah satunya dengan menciptakan berbagai bentuk pajak dan retribusi daerah.
Meskipun kini paradigma penyelenggaraan otonomi daerah telah mengalami pergeseran dan tidak lagi berpangkal pada prinsip auto money, namun pada kenyataannya kapasitas keuangan daerah masih dititik beratkan pada kemampuan menggali PAD dari sektor pajak dan retribusi daerah, yang justru menimbulkan beban baru, antara lain menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan memberatkan bagi masyarakat yang bersangkutan.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong berkembangnya wacana mengenai perlunya dilakukan reformasi anggaran, agar pengalokasian anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik. Sistem anggaran yang selama ini digunakan adalah sistem line item dan incremental (sistem anggaran tradisional) yang ternyata dalam penerapannya memiliki berbagai kelemahan dan cenderung memberikan bobot yang lebih besar pada anggaran rutin (biaya aparatur), bukan pada anggaran pembangunan, sehingga pada akhirnya telah memberi peluang terjadinya pemborosan dan penyimpangan anggaran. Adapun kelemahan dari sistem anggaran tradisional tersebut seperti : 
Orientasi pada pengendalian pengeluaran dan cenderung mengabaikan outcome, adanya dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas, basis alokasi yang tidak jelas yang hanya berfokus pada ketaatan anggaran, dan akuntabilitas terbatas pada pengendalian anggaran, bukan pada pencapaian hasil. (Sjahruddin Rasul, 2002 : 45).
Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah merupakan salah satu bukti dari orientasi anggaran pada pengendalian pengeluaran, bukan pada pencapaian hasil. Kinerja instansi hanya diukur dari kemampuan dalam menyerap anggaran, bukan dari tingkat kinerja yang dicapai. Pemborosan uang negara sebagai akibat dari adanya dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas, tingginya rata-rata pengeluaran instansi pemerintah dan adanya penumpukan kegiatan pada beberapa instansi sebagai bukti dari basis alokasi anggaran yang tidak jelas.
APBD pada era otonomi daerah sekarang ini, disusun dengan pendekatan kinerja, artinya sistem anggaran yang mengutamakan pada pencapaian hasil/kinerja dari perencanaan alokasi biaya yang telah ditetapkan. Jika dibandingkan dengan sistem anggaran tradisional, sistem anggaran kinerja memiliki beberapa keunggulan seperti : "fokus pada hasil, lebih fleksibel, lebih dapat dievaluasi dan mempermudah pengambilan keputusan". (Sjahruddin Rasul, 2002 : 51).
Melalui penerapan anggaran berbasis kinerja, instansi dituntut untuk membuat standar kinerja pada setiap anggaran kegiatan sehingga jelas tindakan apa yang akan dilakukan, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh (fokus pada hasil). Klasifikasi anggaran yang dirinci mulai dari sasaran strategis sampai pada jenis belanja dari masing-masing program/kegiatan memudahkan dilakukannya evaluasi kinerja. Dengan demikian, diharapkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan.
Secara normatif, penerapan anggaran berbasis kinerja ini ditetapkan melalui UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, dan PP No. 105 tahun 2000, tepatnya pada pasal 8, yang isinya "APBD disusun dengan pendekatan kinerja".
Pada dasarnya, anggaran berbasis kinerja merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja yang harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Beberapa daerah, kini telah menerapkan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan APBD. Salah Satunya Pemerintah Daerah Kabupaten X yang telah menerapkan anggaran berbasis kinerja sejak tahun 2004.
Permasalahan pokok yang dihadapi Pemerintah Daerah Kabupaten X sekarang ini adalah otonomi menuntut setiap unit kerja untuk meningkatkan kinerja ekonomi, efisiensi dan efektivitas {value for money). Penelitian ini mengambil 23 Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X. Alasan utama pemilihan di Pemda Kabupaten X disebabkan oleh permasalahan yang berkenaan dengan kinerja keuangannya yang dinilai kurang efisien mengingat instansi pemerintah daerah memegang peranan penting dalam meningkatkan pembangunan di Kabupaten X.
Bertolak dari uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Struktur dan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja terhadap Kinerja Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut : 
1. Bagaimana pengaruh struktur anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X ?
2. Bagaimana pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui pengaruh struktur anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut : 
1. Secara teoretis
Sebagai tambahan wawasan mengenai implementasi anggaran berbasis kinerja dan pengukuran kinerja keuangan.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X dalam meningkatkan kinerja keuangannya.

TESIS TEACHING ENGLISH TO YOUNG LEARNERS

Posted: 17 Apr 2013 08:38 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0187) : TESIS TEACHING ENGLISH TO YOUNG LEARNERS (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS)


CHAPTER I
INTRODUCTION

This study is intended to investigate the way used by three English teachers of three Elementary Schools in X, in planning and implementing their instruction and the way they assess their students' learning progress and achievement.
This chapter is an introductory part of this thesis which consists of seven sub-headings. They are background of research, research questions, objectives of the study, significance of the study, scope of the study, definition of key terms, and thesis organization.

A. Background of Research
The process of teaching learning and assessment are two sides of the same coin. Brown (2001 : 420) defines, "Assessment and teaching are partners in the learning process." This indicates that both elements are two interrelated entities of equal importance. A sound research conducted by Luciana (2004) reveals that there is a gap between what the teachers taught to the students and what they assess on the part of the students. Therefore, the researcher is interested to investigate these two essential elements in relation to the ways English teachers plan and implement the instruction and the way they assess students' learning progress and achievement.
In line with the above fact, the researcher finds the phenomenon of EFL in Indonesia that views mastering English has been of great importance for recent years concerning the influence of scientific and technological development. Therefore, there is an assumption that it will be easier for anyone to grasp ideas and gain information across the globe - which is mostly uttered in English—if he or she possesses good ability in English.
In response to that assumption, there is a growing demand of Indonesian citizens on starting teaching English at elementary school level. They believe that mastering English is one of several competences to be acquired to live in this globalization era. There is a common assumption that the younger children learn foreign languages, in this case English, the better the result would be, since, as Harmer (2002, 37) says, children learn foreign language faster than adults. A national survey on teaching and learning English at Junior and Senior High school levels conducted by Retnaningsih (2002 cited in Harun, 2005) indicates that almost all the parents interviewed by the researcher state that they wish their children to have good English competence and performance. This expectation can be fulfilled only when the students, especially young children, have opportunities to learn English appropriately.
Coping with such demand, the release of a number of decrees which then followed by relevant curriculum have taken place. First, the Decree of Minister of Education and Culture (RI/No. 0478/4/1992, chapter viii) which states that an Elementary School can add some extra lessons in its curriculum as long as they are not in contradiction with the objective of National Education. Second, a follow up Decree of Ministry of Education and Culture, number 060/U/1993 dated February 25th 1993 which states that English can be introduced to the fourth grade students of Elementary School (Suyanto, 1997 cited in Sary, 2006).
In line with the above Decrees, the implementation of 1994 Curriculum for Elementary School enables Elementary Schools' teachers to teach English as a Local Content subject to their students. The implication is that English becomes an official subject in Elementary Schools now. As a result, having included English into Elementary school curriculum, majority of Elementary Schools then have been providing English in the classroom for their students. Nowadays, teaching English at Elementary Schools has been carried out as an official subject, since it is supported by an official policy.
As a Local Content Subject, as Suyanto (1997, cited in Sary, 2006) says, the basic goal of English teaching in Elementary Schools is to make the students aware of the fact that there are international languages, in this case English, they can learn other than their local and national languages. It also aims to develop basic receptive skills (reading and listening) in spoken and written English (Huda, 1999).
In addition, concerning the teaching of English, Sinaga (cited in Sartono, 1997 : 173, cited in Sary, 2006) says that one of the most important elements in an English teaching is the quality of teachers, which includes qualifications of English and qualification of teaching methodology. The former is essential since the teachers are the model for their students. Moreover, the latter is of the same importance since it deals with knowledge of how to teach children and the ability to perform it in the classroom.
Despite the fact that many private (which then followed by public) elementary schools have applied teaching English for several years, the results of previous studies reveal shortcomings in the teaching of English to young learners (TEYL).
Those facts are among other : the teaching of English at the elementary schools studied is unsatisfactory (Suyanto, 1994, cited in Sary, 2006); what the teachers taught to the students and what they assess on the part of the students are incongruent (Luciana, 2004); the teachers could not apply most of the principles of TEYL even if they shared the understanding (Suharno, 2005); and the teachers did not consider principles of assessing young learners in assessing their students (Defianty, 2007).
Many factors contribute to the occurrence of those facts. Alwasilah (2004 : 80) argues that graduates of educational universities and institutes are not specially prepared for teaching English in elementary schools. They are not provided with knowledge on psychology of children, and theories of teaching and learning appropriate for the young learners. They are not professionally ready for it and lack of field experience. Therefore, the researcher is interested to investigate the ways employed by the English teachers in planning and in implementing the instruction and the ways they assess their students ' learning progress and achievement in three elementary schools in X.

B. Research Questions
To meet the objectives of the study, the formulation of the research questions is broken down as follows : 
1. How do the teachers plan their instruction ?
2. How do the teachers implement their instruction ?
3. How do the teachers assess their students' learning progress and achievement ?

C. Objectives of the Study
The objectives of this study are formulated based on the problems to be investigated. Thus, the purposes of this study are as follows : 
1. To find out the way the teachers plan the instruction.
2. To find out the ways the teachers implement the instruction.
3. To find out the way the teachers assess students' learning progress and achievement of English.

D. Significance of the Study
It is expected that the findings of the study can enrich the literature of English teaching in Elementary School. It is also hoped to provide the teachers fruitful information on teaching and assessing in Elementary School.

E. Scope of the Study
This research aims to illustrate the process of EFL teaching at three Elementary Schools in X. Particularly, it aims to investigate the ways the teachers prepare and implement their teaching in teaching English to their students and the way they assess their students' learning progress and achievement. This is done because as the ones who teach English in the classroom, it is the teachers themselves who prepare the instruction, apply the teaching and learning process in the classroom, and then assess their students' learning progress and learning achievement. As a case study, the findings of this research are only true to the respondents participating in it. Therefore, there is not any effort for generalization.

F. Thesis Organization
This thesis is organized into five chapters. The first chapter is introduction, which highlights the basic description of this study. The second chapter deals with theoretical framework which builds up the theories and references for this study. The third chapter describes the methodology used to conduct this research. It presents research design, method of data collection, participants and sites of the study, and procedure of analysis. The fourth chapter elaborates research findings and discussion. The fifth or the last chapter presents conclusion, limitations of the study, and recommendations.

TESIS PEMBELAJARAN EKOSISTEM BERBASIS LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KETERAMPILAN GENERIK SAINS SISWA SMA

Posted: 17 Apr 2013 08:35 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0186) : TESIS PEMBELAJARAN EKOSISTEM BERBASIS LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KETERAMPILAN GENERIK SAINS SISWA SMA (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN IPA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia, pada umumnya dalam pembelajaran sains siswa lebih banyak dituntut untuk mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains secara verbalistis. Cara pembelajaran seperti itu menyebabkan siswa pada umumnya hanya mengenal banyak peristilahan sains secara hafalan tanpa makna. Di lain pihak, banyaknya konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains yang perlu dipelajari siswa, menyebabkan munculnya kejenuhan siswa belajar sains secara hafalan. Dengan demikian belajar sains hanya diartikan sebagai pengenalan sejumlah konsep-konsep dan peristilahan dalam bidang sains saja (Liliasari, 2007).
Seiring dengan perkembangan jaman, maka pembelajaran sains dewasa ini mengalami pergeseran menyusul bertambahnya tuntutan dan tantangan yang harus dihadapi memasuki era persaingan global abad ke-21. Gallagher (Liliasari, 2007) mengemukakan bahwa tantangan ini dapat dihadapi melalui paradigma baru belajar sains, yaitu memberikan sejumlah pengalaman kepada siswa untuk mengerti dan membimbing mereka untuk menggunakan pengetahuan sains tersebut. Hal ini menyebabkan pembelajaran sains di Indonesia perlu diubah modusnya agar dapat membekali setiap siswa dengan kemampuan berpikir, dari mempelajari sains menjadi berpikir melalui sains.
Menurut Supriatna (2003 : 1-2) untuk memecahkan masalah berdasarkan pengalaman dan pengumpulan data-data dengan berpikir logis salah satunya dengan mempelajari fenomena alam yang dilaksanakan dengan observasi di alam yang menggunakan pendekatan lingkungan. Observasi di alam ini tidak lepas dari kegiatan pengamatan, pengumpulan data-data, percobaan, berpikir analisis dan logis yang bisa diambil dari lingkungan.
Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan mengandung arti bahwa kegiatan pembelajaran senantiasa dikaitkan dengan lingkungan sekitar siswa. Penggunaan pendekatan lingkungan juga tidak berarti bahwa siswa harus belajar di luar kelas. Dalam pembelajaran dengan pendekatan lingkungan bisa saja siswa tetap di dalam kelas, namun apa yang dibahas merupakan hal-hal yang ada dan terjadi di lingkungan siswa. Meskipun demikian, tentu saja akan lebih baik apabila pada saat guru menggunakan pendekatan lingkungan, pembelajaran juga dilaksanakan dan menggunakan sumber-sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar (Rustaman et al, 2007).
Dalam penelitian ini pendekatan lingkungan digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan generik sains siswa dengan indikatornya antara lain pengamatan tak langsung, bahasa simbolik, dan inferensi logika. Dengan demikian sebagai hasil belajar sains diharapkan siswa memiliki kemampuan berpikir dan bertindak berdasarkan pengetahuan sains yang dimilikinya, atau lebih dikenal sebagai keterampilan generik sains (Liliasari, 2007).
Costa, Goleman, dan Mulyati (Supriatna, 2003 : 3) mengemukakan bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran siswa. Kemampuan, kemauan, kreativitas, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang dilakukan guru dalam pembelajaran akan menentukan efektivitas pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual yaitu pengetahuan konsep-konsep dasar, keterampilan proses, keterampilan berpikir, kecerdasan emosional yaitu : kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial termasuk sikap kritis dan kreatif, dan keterampilan dalam menggunakan alat-alat praktikum IPA.
Berdasarkan uraian di atas, Mulyati (Supriatna, 2003 : 4) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang sangat mendukung keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran adalah kemampuan guru dalam menguasai pendekatan dan berbagai macam metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan siswa.
Dalam menggunakan pendekatan lingkungan, guru dituntut harus memiliki kreativitas. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang dapat menjamin siswa di sekolah menjadi siswa yang bukan penurut, bukan penakut, dan bertindak jujur. Kreativitas merupakan kemampuan individu menghasilkan gagasan baru, segar, unik, bernilai, dan merupakan kemampuan individu dalam memecahkan masalah (Supriatna, 2003 : 5; Mulyasa, 2005 : 51)
Depdiknas (Supriatna, 2003 : 5) menyatakan bahwa pendekatan lingkungan merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata yang ada di lingkungan siswa dan mendukung membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep tersebut hasil pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan proses pembelajaran yang berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan, bekerja, dan mengalami bukan hanya mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Ekosistem terrestrial dipilih sebagai materi untuk penelitian karena peneliti mengingat di tempat penelitian masih terdapat tempat-tempat yang harus diketahui yang dapat dijadikan sumber belajar oleh para siswa, khususnya yang terdapat di daratan, misalnya hutan dan bekas tambang emas. Sungai dapat menjadi sumber belajar oleh para siswa tetapi dalam penelitian bukan sebagai fokus materi utama penelitian.
Peneliti menduga bahwa di tempat penelitian, para siswa tidak pernah diajak turun ke lapangan, sehingga peneliti mengambil inisiatif untuk mengadakan penelitian pembelajaran berbasis lingkungan ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka peneliti berkeinginan untuk membuat penelitian dengan judul "Pembelajaran Ekosistem Berbasis Lingkungan untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Generik Sains Siswa SMA".

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimanakah pengaruh pembelajaran ekosistem (ekosistem terestrial) berbasis lingkungan terhadap peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa SMA kelas X ?". Rumusan permasalahan di atas dapat dijabarkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Apakah pembelajaran berbasis lingkungan dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa pada sub topik Ekosistem Terestrial ?
2. Apakah pembelajaran berbasis lingkungan dapat meningkatkan keterampilan generik sains siswa pada sub topik Ekosistem Terestrial ?
3. Bagaimana tanggapan guru dan siswa terhadap keunggulan dan kelemahan pembelajaran berbasis lingkungan untuk meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa pada sub topik Ekosistem Terestrial ?

C. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, masalah penelitian akan dibatasi sebagai berikut : 
1. Pemahaman konsep akan menggunakan empat proses kognitif dari tujuh proses kognitif yang ada. Keempat proses kognitif tersebut yaitu memberi contoh (exemplifying) yaitu memberikan contoh dari suatu konsep atau prinsip yang bersifat umum, mengklasifikasikan (classifying) yaitu mengenali bahwa sesuatu (benda atau fenomena) masuk dalam kategori tertentu, membandingkan (comparing) yaitu mendeteksi persamaan dan perbedaan yang dimiliki dua objek, ide, ataupun situasi, dan menjelaskan (explaining) yaitu mengkonstruksi dan menggunakan model sebab akibat dalam suatu sistem.
2. Keterampilan generik sains yang akan ditingkatkan dalam pembelajaran ini adalah pengamatan tak langsung untuk mencari hubungan sebab-akibat dari apa yang diamati secara tak langsung dengan menggunakan media, bahasa simbolik agar terjadi komunikasi dalam disiplin-disiplin sains untuk mempelajari gejala alam, dan inferensi logika untuk menemukan fakta-fakta yang tak dapat diamati langsung dari konsekuensi- konsekuensi logis pemikiran dalam sains.
3. Pembelajaran Berbasis Lingkungan (PBL) dengan menggunakan metode karya wisata. Produk-produk dari metode karya wisata yang ingin dihasilkan adalah laporan dan koleksi (herbarium dan foto).
4. Ekosistem terestrial yang akan diteliti meliputi pengenalan daerah ekosistem terestrial, yaitu daerah Hutan Wisata. Tempat yang sering didatangi dan dilewati, tetapi para siswa tidak menyadari bahwa daerah tersebut merupakan salah satu sumber belajar.
5. Karakteristik siswa SMA kelas X yang akan dilihat yaitu keaktifan siswa baik ketika di kelas maupun di lapangan. Kriteria yang akan dilihat siswa sering bertanya, siswa tidak pernah bertanya, dan siswa mengemukakan pendapat pribadi maupun kelompok.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh pembelajaran ekosistem berbasis lingkungan terhadap peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan generik sains siswa SMA.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Guru
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi guru untuk meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generik siswa kelas X pada sub topik Ekosistem Terestrial melalui pembelajaran berbasis lingkungan.
2. Bagi Siswa
Siswa memiliki pemahaman konsep dan keterampilan generik sains terhadap sub topik Ekosistem Terestrial. Selain itu siswa juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis, proses penggalian informasi, membuat model atau gambar untuk pembelajaran, dan bekerja sama serta komunikasi dalam kelompoknya.

TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI

Posted: 17 Apr 2013 08:28 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0185) : TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat membutuhkan adanya manusia-manusia yang unggul dan siap berkompetisi. Untuk menjadi manusia yang unggul, salah satu syaratnya adalah memiliki kecerdasan. Dengan kecerdasan ini, manusia dapat menggali ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya maupun bagi orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Bila hal ini tidak dimiliki, maka dengan sendirinya manusia itu akan tersingkir dan terbawa oleh arus globalisasi itu sendiri.
Untuk menjadi cerdas, seseorang harus meningkatkan ilmu pengetahuannya. Membaca merupakan salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan itu. Membaca tidak bisa dilepaskan dari proses memiliki pengetahuan. Dengan banyak membaca, maka wawasan dan pengetahuan seseorang akan semakin bertambah. Oleh sebab itu, tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan bahwa membaca itu adalah jembatan ilmu. Makin banyak seseorang membaca, maka akan semakin bertambah ilmunya. Dengan demikian, kecerdasan seseorang menjadi semakin bertambah pula.
Membaca menjadi demikian penting mengingat berbagai informasi dan pengetahuan tidak hanya tersaji melalui media elektronik, tetapi juga banyak terdapat pada media cetak seperti buku, koran, majalah, tabloid, dan sebagainya. Penguasaan ilmu pengetahuan melalui media elektronik mungkin bisa dilakukan.
Akan tetapi, cara seperti ini memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya ialah tidak semua orang bisa menyerap dengan cepat informasi yang disajikan itu. Bagi beberapa orang, mungkin informasi tersebut bisa langsung ditangkap. Namun, bagi sebagian orang lagi, butuh waktu untuk mengendapkan informasi tersebut sebelum kemudian memahaminya. Lain halnya dengan membaca, seseorang dapat menyerap informasi dari apa yang dibacanya sesuai dengan kecepatan pemahamannya masing-masing.
Kelemahan selanjutnya dari informasi yang tersedia pada media elektronik ialah ketersediaan media itu sendiri. Beberapa daerah yang mungkin masih terisolir masih sulit memperoleh informasi melalui media tersebut. Lagi pula, informasi atau pun ilmu pengetahuan itu lebih banyak dan lebih mudah diperoleh melalui media cetak. Dengan demikian, membaca merupakan kunci utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Oleh sebab itu, membaca hendaknya sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Jika sudah terbiasa membaca, maka kegiatan ini akan menjadi kebutuhan bagi setiap individu. Kebiasaan membaca ini harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak yang mengembangkan kebiasaan membaca yang baik, akan menjadi pembaca yang baik pula di kemudian hari. Kebiasaan membaca akan lebih mudah dilakukan ketika anak sudah memiliki kemampuan membaca.
Namun, kemampuan membaca pada anak-anak saat ini menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak Indonesia memiliki kemampuan membaca yang sangat rendah bila dibandingkan dengan anak-anak di negara lain. Penelitian lembaga internasional tentang kemampuan membaca pada murid sekolah dasar menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya menduduki peringkat kedua dari bawah dari 30 negara yang diteliti (Prasetyono, 2008 : 27). Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar anak senang membaca dan mengembangkan minat bacanya.
Mengingat demikian pentingnya membaca bagi kehidupan seseorang, maka lebih cepat seseorang memiliki kemampuan membaca akan semakin baik. Untuk itu, banyak di antara orang tua dan guru yang mulai mengajarkan anaknya agar mampu membaca di usia dini. Namun, keterbatasan pengetahuan dari orang tua mau pun guru serta warisan dari cara-cara lama (sewaktu belajar membaca mereka diajari seperti itu), menyebabkan mereka mengajarkan membaca dengan cara-cara yang kurang menyenangkan bagi anak. Misalnya dengan cara menghafal huruf-huruf alfabet, mengeja, dan sebagainya. Cara-cara seperti itu kini dipandang sudah tidak sesuai lagi, karena cara seperti itu dinilai membebani anak dan kurang mengembangkan proses berpikir anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, kini bermunculan berbagai macam metode yang ditujukan bagi penguasaan kemampuan membaca bagi anak usia dini khususnya. Ada yang mengajarkan membaca dengan memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian membaca dengan suku kata-suku kata yang membentuk suatu pola, misalnya ba, bi bu, be, bo atau ma, mi, mu, me, mo, dan sebagainya. Lalu, ada pula yang mengajarkan membaca lewat pengenalan kata secara utuh. Salah satu dari ketiga metode itu tidak lebih baik daripada metode yang lainnya. Metode-metode mengajarkan membaca tersebut memiliki kelebihan atau pun kelemahannya masing-masing. Namun, yang paling penting pada saat mengajarkan anak membaca, apa pun metodenya, pastikan anak senang dan menyukai kegiatan membaca tersebut. Sehingga anak secara alami akan mampu membaca dan menyukai membaca sepanjang hidupnya.
Dewasa ini, mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) bagi anak usia dini menjadi sebuah polemik. Sebagian pihak menuding bahwa hal itu dapat merampas kebebasan anak. Anak dipandang belum memiliki kesiapan untuk mempelajari calistung, oleh sebab itu calistung belum boleh diperkenalkan. Pendapat ini dilandasi oleh adanya sejumlah ahli yang mengatakan bahwa anak usia prasekolah tidak boleh belajar dan diajari membaca. Hal ini disebabkan usia anak adalah usia bermain dan anak secara mental belum siap membaca hingga usia enam tahun. Orang tua diingatkan untuk tidak mengajari anak membaca sebelum anak mencapai usia tersebut. Para ahli berpendapat, ketika anak diajari membaca mereka akan cenderung tertekan karena belum siap menerima pengajaran yang diberikan.
Di lain pihak, ada pula pendapat para ahli yang mengatakan bahwa mengajarkan membaca pada anak usia prasekolah bisa saja dilakukan. Calistung merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki anak agar dapat memperoleh berbagai keterampilan selanjutnya. Semakin awal seorang anak menguasainya akan semakin baik. Kemampuan membaca khususnya, dapat memperkaya dan memperluas kemampuan berpikir anak. Pendapat ini diperkuat dengan berbagai penelitian oleh para ahli. Team Dafa Publishing (2010 : 12-13) merinci beberapa hasil penelitian tersebut seperti yang dipaparkan sebagai berikut.
1. Penelitian mengenai otak oleh Diamond menyimpulkan bahwa pada umur berapa pun sejak lahir hingga mati adalah mungkin untuk meningkatkan kemampuan mental melalui rangsangan lingkungan. Ungkapan use it or lose it menunjukkan bahwa semakin banyak otak terangsang oleh aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, maka akan semakin banyak sambungan yang dibuat oleh sel-sel otak. Dalam hal ini, potensi otak dianggap tidak terbatas. Hal ini mengindikasikan bahwa jika otak semakin jarang digunakan, maka otak tidak akan berkembang.
2. Dilihat dari sisi perkembangan anak, perkembangan pada aspek bahasa terjadi dengan pesat pada usia prasekolah. Terdapat hubungan antara bahasa dan membaca. Sebenarnya, kesiapan anak untuk membaca sudah dimulai sejak lahir. Sejak bayi ia sudah dimulai diajak berbicara. Anak belajar mengenal bahasa dari lingkungannya. Artinya, belajar membaca merupakan kelanjutan dari bahasa berbicara atau mengenal bahasa yang sudah dikenal anak.
3. Anak usia prasekolah mulai mengenal hubungan tulisan, bunyi, dan maknanya, sehingga ia memahami fungsi tulisan dan bacaan. Ia mungkin senang membolak-balik buku, berpura-pura membacanya, serta mulai bertanya mengenai kata-kata tertentu yang tidak diketahuinya.
4. Menurut Hainstock, anak-anak usia prasekolah boleh diajari membaca, apalagi usia mereka adalah masa puncak alamiah menyerap berbagai kemampuan dan keterampilan. Termasuk menyerap kecakapan-kecakapan membaca.
Terlepas dari kontroversi di atas, mengajarkan calistung pada anak usia dini, khususnya membaca dapat dilakukan asalkan dengan cara yang menyenangkan. Cara tersebut sesuai dengan bakat dan minat anak, serta tidak menuntut hasil yang instan pada anak. Sehingga diharapkan anak akan menyukai membaca dan memiliki minat baca sejak dini.
Menumbuhkan minat baca pada anak tidaklah mudah. Namun, aktivitas ini harus ditumbuhkan sejak lahir hingga dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari University of Leicester, bahwa pengalaman membaca anak sejak dini sangat penting untuk mengembangkan kemampuan membaca di kemudian hari. Lebih lanjut menurut hasil penelitian ini menegaskan bahwa : 'Usia saat seseorang belajar kata-kata adalah kunci untuk memahami bagaimana seseorang mampu membaca di kemudian hari' (Olivia, 2009 : 3).
Menurut Prasetyono (2008 : 12), "Masa awal kehidupan anak hingga usia prasekolah, merupakan masa dimana anak memiliki rasa keingintahuan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa". Masa ini merupakan kesempatan emas bagi kita untuk menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak, tidak terkecuali kemampuan membaca. Oleh sebab itu, orang tua maupun guru hendaknya dapat memanfaatkan masa emas ini dengan sebaik mungkin.
Berbagai upaya mungkin telah dicoba oleh orang tua maupun guru agar anak bisa membaca. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak dapat mengikuti metode standar yang bagi anak lain bukan masalah. Beberapa di antara mereka masih saja mengalami kesulitan dalam membaca. Menurut Olivia (2009 : 13), "Kesulitan membaca pada anak secara umum bersumber pada beberapa hal antara lain kejenuhan, keterbatasan daya ingat (memori), serta lemahnya konsentrasi anak".
Membaca merupakan kegiatan yang menuntut adanya ketekunan, sehingga hal ini terkesan membosankan bagi anak. Anak akan lebih tertarik pada aktivitas lain yang lebih menyenangkan, misalnya menggambar atau bermain. Ini sangat mungkin terjadi karena pada saat belajar membaca, yang dihadapi anak adalah huruf, huruf, dan huruf. Kejenuhan yang dialami anak ini sangatlah mungkin terjadi karena otak mereka mengalami kelelahan dalam menerima materi dalam suasana yang monoton.
Selain itu, tidak semua anak memiliki memori (daya ingat) yang baik. Sehingga mereka merasa bahwa belajar membaca merupakan suatu beban yang berat. Anak-anak juga terkenal dengan konsentrasinya yang pendek. Oleh sebab itu, tidak sedikit anak yang mengalami masalah kurangnya konsentrasi, begitu pula dalam belajar membaca. Untuk itulah guru maupun orang tua hendaknya memiliki strategi yang tepat ketika mengajarkan anak, tidak hanya membaca tetapi juga kemampuan lain.
Selain kecerdasan yang salah satu cara memperolehnya melalui kegiatan membaca, arus globalisasi juga membutuhkan adanya manusia-manusia yang kreatif. Kehidupan yang kita nikmati saat ini, yang penuh dengan hasil-hasil kemajuan teknologi merupakan buah dari pemikiran kreatif sebelum kita. Mereka berhasil mewujudkan mimpi yang oleh sebagian besar orang merupakan sesuatu yang mustahil.
Arus transportasi dan komunikasi berkembang demikian pesatnya, sehingga jarak yang dulu hanya bisa ditempuh dalam jangka berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan kini hanya ditempuh dalam jangka waktu beberapa menit saja. Demikian pula dalam komunikasi, jarak yang jauh bukan lagi menjadi masalah. Kemajuan-kemajuan itu tidak lain adalah hasil dari kreativitas manusia yang didahului dengan adanya mimpi atau khayalan. Namun, adanya kecenderungan dalam masyarakat yang menilai bahwa bermimpi dan berkhayal merupakan sesuatu yang negatif, menyebabkan kreativitas menjadi tidak berkembang.
Kecenderungan yang ada saat ini di kalangan pelajar maupun mahasiswa ialah sulitnya membuat atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat melalui ide-ide kreatif. Hal ini merupakan manifestasi dari pendidikan yang telah kita diterima sebelumnya. Sistem pendidikan kita kurang memperhatikan pengembangan kreativitas dari siswa itu sendiri. Di sekolah, siswa mempelajari sesuatu sebatas yang diajarkan gurunya. Sementara itu, kecenderungan yang terjadi di lapangan, para guru hanya mengajar apa yang diharapkan dan digariskan oleh kurikulum. Mereka kurang memiliki keberanian dalam mengambil keputusan untuk membuat insiatif-inisiatif yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitasnya. Yang menjadi tujuan bagi sebagian besar guru adalah ketercapaian target kurikulum.
Sistem pendidikan seperti ini telah menghambat proses kreativitas anak, sehingga yang muncul hari ini adalah anak-anak yang miskin dengan ide-ide kreatif, anak yang takut tampil beda dengan ide kreatif tersebut. Padahal, seharusnya pendidikan itu hendaknya dapat mengembangkan segala potensi yang dibawa manusia sejak lahir. Potensi-potensi tersebut merupakan bekal bagi setiap individu untuk menjalani rentang kehidupannya. Terutama potensi kreativitas yang memungkinkan kita menemukan berbagai alternatif solusi ketika menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, peran pendidikan sebagai salah satu elemen yang turut serta dalam mengembangkan potensi anak perlu terus ditingkatkan.
Belum lagi di rumah, orang tua sering tanpa disadari telah mematikan daya kreativitas anak. Persepsi orang tua tentang bermain, ketidaktahuan tentang makna bermain bagi anak seringkali membuat orang tua melarang anaknya bermain. Hal ini justru dapat mematikan daya kreativitas anak, karena salah satu sarana mengembangkan kreativitas adalah melalui bermain.
Dari beberapa definisi kreativitas dari para ahli dapat diketahui bahwa pada intinya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Gordon & Brown. Menurut Gordon & Browne (Moeslichatoen, 2004 : 19), 'Kreativitas merupakan kemampuan anak mencipta gagasan baru yang asli dan imajinatif, dan juga kemampuan mengadaptasi gagasan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki'. Bila guru ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu mereka mengembangkan kelenturan, dan menggunakan imajinasi, kesediaan untuk mengambil resiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Menurut Moeslichatoen (2004 : 11), "Anak TK cenderung mengekspresikan diri bila harus menanggapi sesuatu situasi". Misalnya bila ditanyakan kepada anak TK apakah mereka menyukai adik kecilnya ? Ia tidak menjawab ya atau tidak, melainkan : "Saya suka bila adik nyanyi bintang kecil dan tidak rewel". Hal ini mengindikasikan jawaban yang benar-benar terjadi dalam diri anak. Jadi, ia menambahkan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya dengan perkataan lain. Oleh sebab itu, ia dikatakan telah menciptakan sesuatu. Bila anak mengemukakan sesuatu yang diwarnai oleh kepribadiannya dan diperkaya dengan gagasan-gagasan sendiri inilah suatu kreativitas.
Pada dasarnya setiap manusia telah dikaruniai potensi kreatif sejak ia dilahirkan. Potensi kreatif ini dapat kita amati melalui keajaiban alamiah seorang bayi yang mampu mengeksplorasi sesuatu yang ada di sekitarnya. Jika bayi saja bisa memanfaatkan potensi kreatif dengan segala keterbatasannya, apalagi anak-anak maupun orang dewasa yang sudah memiliki fasilitas yang lengkap untuk mengembangkan potensi kreatif tersebut. Oleh sebab itu, kreativitas perlu dipupuk dan dikembangkan sejak usia dini.
Namun, pada kenyataannya perlakuan yang diterima anak usia dini baik di rumah maupun di lembaga prasekolah pada kenyataannya belum sepenuhnya dapat mengembangkan kreativitas pada anak usia dini. Kebanyakan di antara mereka dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi anak yang manis dan penurut, duduk manis dan tidak banyak bicara. Belum lagi di rumah, kesibukan orang tua telah menyita waktu mereka dalam menjawab keingintahuan anak. Hal-hal inilah yang disinyalir dapat menghambat berkembangnya kreativitas pada diri anak.
Supriadi (Rahmawati dan Kurniati, 2003 : 8-9) memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jellen dan Urban pada tahun 1987 berkenaan dengan tingkat kreativitas anak usia 10 tahun di berbagai negara termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang mengejutkan. Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari sembilan negara yang diteliti. Tingkat kreativitas anak Indonesia ternyata berada jauh di bawah Filipina, Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Bahkan di bawah negara India, RRC, Kamerun dan Zulu. Berbagai faktor diperkirakan menjadi penyebab rendahnya kreativitas anak Indonesia.
Beberapa faktor tersebut diantaranya ialah pola asuh orang tua yang otoriter dan sistem pendidikan yang kurang mendukung.
Dewasa ini, di Indonesia berkembang suatu bentuk pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini. Lahirnya bentuk pendidikan ini dilandasi oleh semangat pendidikan untuk semua {education for all) sebagai hasil dari konferensi Dakkar. Hasil konferensi ini memberikan kesadaran bagi semua pihak dalam dunia pendidikan, khususnya orang tua, guru, dan pemerintah. Bahwa pendidikan itu sebaiknya dimulai sejak usia dini. Kesadaran ini juga ditunjang oleh adanya penemuan para ahli neurolagi yang menyatakan bahwa kemampuan otak anak berkembang pesat justru pada saat mereka berusia 0-8 tahun, dan mencapai titik kulminasi pada usia 18 tahun. Oleh karena itu, masa yang sering disebut sebagai masa emas ini {golden age) merupakan masa yang paling tepat untuk menstimulasi perkembangan anak dalam berbagai aspek.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Sistem Pendidikan Nasional, 2003 : Pasal 1 ayat 14).
Oleh sebab itu, pendidikan untuk usia dini perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik dan motorik. Untuk itu, perlu diupayakan suatu proses pembelajaran yang menyenangkan bagi anak usia dini untuk memfasilitasi pengembangan berbagai aspek tersebut. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Pada hakekatnya, semua anak senang bermain. Mereka menggunakan sebagian besar waktunya untuk bermain, baik sendiri, dengan teman sebayanya, maupun dengan orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, kegiatan bermain merupakan faktor penting dalam kegiatan pembelajaran dan esensi bermain harus menjadi jiwa dari setiap kegiatan pembelajaran anak usia dini.
Bermain merupakan bagian dari perkembangan kognitif anak. Piaget (Suyanto, 2005 : 116) menyatakan 'Bermain dengan objek yang ada di lingkungannya merupakan cara anak belajar'. Berinteraksi dengan objek dan orang, serta menggunakan objek itu sendiri untuk berbagai keperluan membantu anak memahami tentang objek, orang, dan situasi tersebut. Sementara itu, Erikson (Suyanto, 2005 : 116) seorang penganut teori psikoanalis berpendapat 'Bermain juga mengembangkan rasa percaya diri'. Bermain juga merupakan tuntutan dan kebutuhan yang esensial bagi anak. "Melalui bermain, anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup" (Moeslichatoen, 2004 : 32). Melalui kegiatan bermain pula, anak dapat melatih kemampuan bahasanya dengan berbagai cara, seperti : mendengarkan beraneka bunyi, mengucapkan suku kata atau kata, memperluas kosa kata, berbicara sesuai dengan tata bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Saat ini berbagai bentuk lembaga pendidikan anak usia dini mulai bermunculan di tengah masyarakat. Apalagi setelah perhatian pemerintah terhadap pendidikan ini mulai dirasakan cukup baik. Lembaga-lembaga tersebut tergolong menjadi tiga bagian, PAUD formal, nonformal dan informal. Yang tercakup dalam PAUD formal antara lain Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA), sedangkan PAUD nonformal ialah Kelompok Bermain (KB) dan Busthanul Athfal (BA). Sementara itu, PAUD informal meliputi pendidikan keluarga dan masyarakat.
Sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini, TK mengemban sejumlah tugas mulia untuk membantu mengembangkan segenap aspek perkembangan anak. Tugas-tugas tersebut tercantum dalam tujuan pendidikan TK. Salah satu dari tujuan pembelajaran di TK adalah meningkatkan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan sebagai sarana untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman berbahasa anak yang diperoleh melalui proses interaksi baik dengan teman sebaya, orang tua, maupun dengan orang dewasa lainnya dapat menambah perbendaharaan kata anak. Dengan banyaknya perbendaharaan kata tersebut, anak akan menjadi mudah dan lancar dalam berkomunikasi. Sehingga ia dapat menyampaikan maksud, tujuan atau pun keinginannya tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah diperoleh anak ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.
Berbagai macam metode dan teknik dapat diterapkan untuk membantu anak agar bisa membaca dan sekaligus mengembangkan kreativitasnya. Belakangan ini ditemukan suatu teknik untuk belajar membaca, yakni pemetaan pikiran atau lebih dikenal dengan mind mapping. Mind mapping sendiri adalah suatu metode visualisasi pengetahuan secara grafis untuk mengoptimalkan eksplorasi seluruh area kemampuan otak. Mind mapping diperkenalkan oleh Buzan dan telah digunakan oleh jutaan orang pintar di dunia. Pada dasarnya mind mapping dihasilkan dari perpaduan antara pola berpikir lurus dan pola berpikir memencar.
Pola berpikir lurus dilakukan dengan menentukan kata atau objek, dilanjutkan dengan mencari kata yang berkaitan dengan objek sebelumnya. Setiap kata akan dihubungkan dengan tanda panah yang berarti kata tersebut akan mengarah pada persepsi kata berikutnya. Sedangkan pola berpikir memencar adalah mencari segala sesuatu yang ada hubungannya dengan tema yang diberikan, yang dalam pemetaan akan muncul sebagai cabang-cabang. Pola berpikir memencar akan membantu anak untuk belajar menghubungkan serta melihat gambaran secara menyeluruh tentang sebuah objek.
Pada peta pikiran terdapat unsur kata-kata, gambar serta warna. Huruf dan kata-kata melibatkan kerja otak kiri dapat digunakan untuk memperkenalkan sebanyak mungkin kata kepada anak usia dini. Sedangkan gambar dan warna melibatkan otak kanan, yang lebih cenderung mengasah kreativitas pada diri anak. Dengan demikian, terjadilah sinergi antara kedua belahan otak. Sehingga kerja otak menjadi lebih rileks dan tidak mudah mengalami kejenuhan. Makin banyak sambungan antara kedua belahan otak, akan semakin terasah kecerdasan anak. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Semiawan (Olivia, 2009 : 1) bahwa 'Otak anak yang berbakat juga mampu menghasilkan sinyal-sinyal dalam jumlah besar serta lebih tinggi lalu lintas antara belahan otak kiri dan kanannya'. Pada akhirnya akan dirasakan manfaat dari belajar dengan mind mapping, yakni mengoptimalkan pengembangan ide dan kreativitas serta meningkatkan daya nalar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca dan kreativitas adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Mengingat demikian pentingnya kedua hal tersebut, maka semakin dini seseorang memiliki kemampuan tersebut tentu akan semakin baik. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh guru maupun orang tua agar anak memiliki kedua keterampilan tersebut.
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik melakukan penelitian untuk dapat mengetahui sejauh mana penerapan mind mapping ini dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak. Maka penulis memfokuskan judul tesis ini, yaitu : "Penerapan Mind mapping dalam Rangka Menstimulasi Kreativitas dan Meningkatkan Kemampuan Membaca Anak Usia Dini". 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimanakah guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X ?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?
3. Apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?

C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya, yang merupakan tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah penerapan mind mapping itu dapat menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca pada anak usia dini. Oleh sebab itu, maka berbagai kegiatan dalam penelitian ini diarahkan untuk menemukan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan tadi. Adapun tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui bagaimana guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X. 
2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).
3. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait di dalamnya, seperti : guru, siswa, dan peneliti sendiri. Khususnya bagi para praktisi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam praktik pendidikan sehari-hari. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut.
1. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai teknik yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak TK. Guru-guru mungkin telah memiliki banyak pengetahuan, khususnya berkenaan dengan peningkatan kemampuan membaca dini dan pengembangan kreativitas pada anak. Namun, melalui penelitian ini guru dapat memperkaya wawasannya tentang mengajarkan membaca dini melalui cara-cara yang lebih menyenangkan dan disukai oleh anak, serta dapat menstimulasi perkembangan otak kiri dan otak kanan anak secara seimbang.
2. Bagi Siswa
Anak-anak yang pada umumnya (sering ditemukan di lapangan) belajar membaca dengan cara-cara yang konvensional dimana guru memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian mereka diminta menghafalkannya. Kegiatan ini sama sekali tidak bermakna bagi siswa, sehingga mereka akan merasa terbebani.
Melalui penelitian ini, siswa akan mendapat manfaat terutama dalam pengembangan kemampuan membaca yang diperoleh melalui kegiatan yang menyenangkan. Dengan demikian, anak akan cenderung mampu membaca dan akan menyukai kegiatan ini seumur hidupnya. Selain itu, mereka juga dapat mengembangkan kreativitasnya, terutama dalam kegiatan membaca. Perkembangan otak kiri dan otak kanan anak juga akan menjadi seimbang dengan penerapan mind mapping ini, karena dalam mengajarkan membaca, kedua wilayah otak ini akan dirangsang atau distimulasi secara seimbang. 
3. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti sendiri ialah memperoleh pengetahuan lebih dalam, khususnya mengenai pembelajaran membaca dini bagi anak, sehingga penulis juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti khususnya mengenai pengembangan kreativitas anak usia dini. 

TESIS PENGARUH MOTIVASI BELAJAR SISWA DAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER TERHADAP PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI

Posted: 17 Apr 2013 08:24 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0184) : TESIS PENGARUH MOTIVASI BELAJAR SISWA DAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER TERHADAP PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN OLAHRAGA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 pasal 1.1, menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kemudian pasal 1.20, menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Perkembangan dunia pendidikan dari tahun ke tahun mengalami perubahan seiring dengan tantangan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing di era global. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pembelajaran serta perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.
Namun demikian mutu pendidikan yang dicapai belum seperti apa yang diharapkan. Perbaikan yang telah dilakukan pemerintah tidak akan ada artinya jika tanpa dukungan dari guru, orang tua, siswa, dan masyarakat. Berbicara tentang mutu pendidikan tidak akan lepas dengan proses belajar mengajar. Di mana dalam proses belajar mengajar guru harus mampu menjalankan tugas dan peranannya.
Keberhasilan seorang siswa dalam belajar dapat dilihat dari prestasi belajar siswa yang bersangkutan. Di dalam pendidikan jasmani siswa akan dinilai keberhasilannya melalui tes hasil belajar digabung dengan nilai persentase kehadiran siswa. Hasil yang diharapkan adalah prestasi belajar yang baik karena setiap orang menginginkan prestasi yang tinggi, baik siswa, guru, sekolah, maupun orang tua hingga masyarakat. Namun antara siswa satu dengan siswa yang lainnya berbeda dalam pencapaian prestasi belajar. Ada yang mampu mencapai prestasi yang tinggi, namun ada juga siswa yang rendah prestasi belajarnya, ada yang bisa tuntas tepat waktu dan ada pula tuntas setelah proses remedial. Sedangkan prestasi belajar yang tinggi hanya bisa dicapai jika tuntas tanpa proses remedial.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mewajibkan pembelajaran pendidikan jasmani sebagai pelajaran wajib seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Namun untuk memenuhi kekurangan dalam pembelajaran ini, sekolah biasanya mengadakan kegiatan olahraga di luar jam pelajaran yang biasanya disebut dengan kegiatan ekstrakurikuler.
Kegiatan ekstrakurikuler merupakan suatu kegiatan di luar jam pelajaran, jadi sifatnya tidak terlalu dibatasi oleh waktu seperti halnya dalam intra kurikuler yang hanya 2 jam pelajaran saja dalam se-minggu. Artinya seorang guru atau pelatih bisa mengembangkan kegiatan secara menyeluruh dan terperinci, misalnya dalam pengembangan permainan bola voli, sepak bola dan cabang olahraga lainnya, baik itu cabang olahraga yang menjadi bagian dari kompetensi dasar pada kurikulum pendidikan jasmani maupun cabang olahraga yang tidak menjadi kompetensi dasar pada kurikulum pendidikan jasmani. Guru atau pelatih bisa lebih banyak menjelaskan mengenai teknik, taktik, dan strategi serta berbagai komponen mengenai pembinaan kondisi fisik, atau bahkan sampai peraturan-peraturannya secara mendetail dan terperinci.
Sehingga memungkinkan berpengaruh kepada perkembangan kesehatan jasmani bagi siswa yang mengikutinya. Hal itu dikarenakan siswa mendapatkan pengetahuan dan tugas gerak yang lebih banyak daripada yang diajarkan di sekolah. Faktor prestasi juga sangat berpengaruh karena prestasi belajar merupakan seluruh kecakapan hasil yang dicapai {achievement) dan diperoleh melalui hasil belajar yang dinyatakan dengan nilai-nilai prestasi belajar berdasarkan nilai rapor.
Selain itu kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga juga memungkinkan siswa untuk dapat meningkatkan minatnya terhadap suatu cabang olahraga, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan motivasi dan prestasi mereka dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolahnya. Hal tersebut bukanlah tanpa alasan, ini dikarenakan oleh fungsi kegiatan ekstrakurikuler itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Techonlyib (2009 : 2-3) : 
a. Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreatifitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.
b. Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.
c. Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, menggembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.
d. Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik.
Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa, banyak keuntungan yang bisa didapat dari kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga di antaranya yaitu untuk pengembangan diri siswa baik dari sisi akademis maupun non akademis, dan nilai sikap. Semua bakat dan minat siswa bisa disalurkan dan dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler, sehingga kemampuan atau bakat tidak hanya dijadikan hobi, melainkan bisa membuahkan prestasi.
Kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga di sekolah pada dasarnya semua cabang olahraga bisa menjadi bagian kegiatan ekstrakurikuler, akan tetapi cabang olahraga yang menjadi bagian dari kegiatan ekstrakurikuler biasanya yaitu cabang olahraga yang cukup populer dan banyak digemari oleh siswa serta didukung oleh ketersediaan SDM dan sarana prasarana di sekolah. 
Cabang olahraga yang menjadi bagian dalam kegiatan ekstrakurikuler tersebut merupakan cabang olahraga yang cukup populer dan banyak digemari oleh siswa serta didukung oleh ketersediaan SDM dan sarana prasarana di sekolah. Selain itu cabang olahraga tersebut merupakan salah satu Sub Kompetensi yang terdapat di dalam kurikulum pendidikan jasmani.
Oleh karena itu dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler ini, siswa akan mendapat jam belajar lebih banyak, sehingga diharapkan siswa yang berperan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler ini akan lebih memahami dan menguasai cabang olahraga yang dijadikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler dan tambahan proses pembelajaran bagi siswa tersebut.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya. Mengenai belajar pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu seperti yang dikemukakan Ridwan (2008) yakni "setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu perubahan dalam dirinya". Dengan belajar, maka akan terjadi suatu perubahan yaitu dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, dari yang tidak mampu menjadi mampu.
Tujuan belajar di atas menunjang siswa untuk berprestasi pada bidang studi di sekolahnya. Prestasi belajar diartikan sebagai gambaran keberhasilan seseorang dalam upaya mengoptimalisasikan kemampuan yang dimilikinya melalui suatu kegiatan yang diikutinya. Hal ini sejalan dengan definisi prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "Penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru". Makmun (1998 : 111-112) mengemukakan tentang prestasi belajar dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk perubahan perilaku belajar berupa : 
a. Pertambahan ilmu pengetahuan yang berupa fakta-fakta, informasi, prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah, prosedur-prosedur atau pola kerja atau teori sistem nilai.
b. Penguasaan pola-pola perilaku kognitif, perilaku afektif dan perilaku psikomotor.
c. Perubahan dalam sikap-sikap kepribadian.
Jadi prestasi belajar dapat diartikan sebagai gambaran keberhasilan seseorang dalam mewujudkan kemampuan yang dimilikinya. Prestasi belajar tersebut dapat berupa perubahan perilaku, perubahan dalam pola kepribadian dan nilai atau angka-angka sebagai wujud konkrit yang dapat dilihat seperti halnya dalam laporan hasil prestasi belajar siswa (rapor). Prinsip belajar tuntas yang berlaku pada saat sekarang ini merupakan gambaran awal dari prestasi belajar minimal yang harus dicapai oleh siswa pada tiap semesternya yakni dengan adanya Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk setiap mata pelajaran, begitu pula dengan pelajaran Pendidikan Jasmani.
KKM tersebut muncul tidak begitu saja, KKM muncul berdasarkan in-take siswa dari SMP sebelumnya, ketersediaan sarana prasarana dan guru yang ada di sekolah pada saat itu, serta bobot materi (Kompetensi Dasar dan Sub Kompetensi) yang diberikan terhadap siswa.
Sedangkan prestasi belajar itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor fisiologis dan faktor psikologis. Yang termasuk faktor fisiologis adalah kesehatan siswa dan yang termasuk faktor psikologis salah satunya adalah motivasi siswa untuk mencapai prestasi.
Motivasi merupakan dorongan dari dalam diri seseorang, motivasi dapat disebabkan oleh adanya sesuatu yang dapat membuat seseorang tersebut berbuat sesuai dengan kehendaknya. Hal ini sejalan dengan pendapat Purwanto (1990 : 73) yang mengemukakan : 
- Motivasi yaitu suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan, dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.
- Motivasi untuk menampilkan suatu perilaku dilandasi oleh adanya keinginan untuk mencapai atau memuaskan suatu kebutuhan.
Motivasi untuk melakukan sesuatu dapat datang dari diri sendiri, yang dikenal sebagai motivasi intrinsik, serta dapat pula datang dari lingkungan yang disebut motivasi ekstrinsik. Dengan adanya motivasi yang merupakan dorongan bagi siswa untuk belajar, maka siswa tersebut diharapkan bisa belajar dengan baik supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi).
seseorang. Begitu pula dengan prestasi belajar siswa di sekolahnya, faktor motivasi pada siswa bisa saja terkait dengan kegiatan tambahan yang diikuti oleh siswa itu sendiri, sehingga bisa saja ada keterkaitan antara ketiga faktor tersebut dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Maka dari itu, berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, penulis ingin mengetahui dampak kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga akan berpengaruh terhadap pemahaman belajar yang diberikan oleh guru melalui proses pembelajaran yang nantinya mengarah kepada prestasi belajar siswa itu sendiri. Di sisi lain, motivasi yang merupakan dorongan bagi seseorang agar melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu, juga bisa berdampak terhadap hasil pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan demikian, penulis bermaksud untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi belajar siswa dan kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar pendidikan jasmani.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh motivasi belajar siswa dan kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga terhadap prestasi belajar pendidikan jasmani di kalangan siswa SMK.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, bahwa prestasi belajar tidaklah datang dengan begitu saja tanpa ada dorongan atau motivasi dan kegiatan tambahan penunjang pembelajaran seperti kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga untuk mata pelajaran Pendidikan Jasmani. Dengan adanya motivasi belajar dan kegiatan tambahan penunjang pembelajaran diharapkan supaya dapat meningkatkan pencapaian prestasi belajar yang akan didapat oleh siswa. Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tersusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Apakah terdapat pengaruh motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X ?
2. Apakah terdapat pengaruh kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X ?
3. Apakah terdapat pengaruh motivasi belajar siswa dan kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis ajukan maka penelitian ini tidak lain bertujuan untuk menggambarkan seberapa besar pengaruh dari motivasi belajar siswa dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani dan kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga terhadap prestasi belajar di kalangan siswa SMKN X pada umumnya. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengungkap perbedaan pengaruh dari motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X.
2. Untuk mengungkap perbedaan pengaruh dari kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X.
3. Untuk mengungkap perbedaan pengaruh dari motivasi belajar siswa dan kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X.
Adapun hasil dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti sendiri akan bermanfaat bagi peneliti dalam penyelesaian studi pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Beberapa manfaat yang dapat disumbangkan untuk dunia pendidikan antara lain yaitu : 
1. Dapat dijadikan sumbangan keilmuan yang berarti di dunia pendidikan serta menjadi suatu informasi dalam usaha pengembangan dalam bidang pendidikan pada umumnya dan pengembangan pendidikan jasmani dan olahraga pada khususnya.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga, baik di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan serta di kalangan pengambil kebijakan.
3. Diharapkan menjadi bahan informasi dan referensi dalam rangka pengembangan ilmu pendidikan, khususnya pendidikan jasmani dan peneliti-peneliti lain yang hendak meneliti hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani.

TESIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN DI KECAMATAN

Posted: 17 Apr 2013 08:22 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0183) : TESIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN (PNPM-MP) DI KECAMATAN (PROGRAM STUDI : EKONOMI PEMBANGUNAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang pada umumnya memiliki konsep sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan yang ditemui bahwa pada saat itu masyarakat tidak merasa memiliki terhadap program-program tersebut sehingga seringkali ditemukan di lapangan bahwa banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Program yang ada tersebut kurang berhasil mencapai sasaran yang diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun politis. Bahkan sampai saat ini, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap bahwa pemberdayaan adalah hanya sebatas mereka memperoleh akses finansial seperti dana bantuan atau pun kredit.
Perubahan orientasi dan cara berbagai program pengentasan kemiskinan, tidak terlepas dari aliran perubahan arti pembangunan itu sendiri. Pada awalnya pembangunan ekonomi yang tinggilah yang menjadi prioritas bagi setiap negara di dunia. Dengan adanya pola pendekatan trickle down effect ada suatu harapan akan terjadi tetesan kemakmuran yang dirasakan oleh sekelompok masyarakat tertentu.
Melalui pencapaian pendapatan nasional yang tinggi dianggap merupakan keberhasilan bagi seluruh bangsa. Namun kenyataan adalah bahwa pola pendekatan tersebut adalah tidak sempurna, yang terjadi adalah semakin luasnya kesenjangan yang terjadi antara masyarakat ekonomi lemah dan ekonomi kuat. Jumlah masyarakat miskin bukan berkurang melainkan bertambah dari tahun ke tahun.
Kenyataan tersebut membawa perubahan terhadap pola pengentasan kemiskinan oleh banyak negara. Di negara Indonesia, pemerintah kemudian mewujudkan program pengentasan kemiskinan melalui pola bantuan langsung dan pola pemberdayaan masyarakat. Berbagai program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), program Takesra, program Jaring Pengaman Sosial (JPS), program kredit lunak bagi masyarakat miskin, Program Pengembangan Kecamatan Fase I dan Fase II serta berbagai program pengentasan kemiskinan melalui pemberian subsidi dan bantuan bagi masyarakat miskin telah dilakukan oleh pemerintah.
Program-program pengentasan kemiskinan yang sebelumnya, diprioritaskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok, upaya peningkatan kemampuan para petani di pedesaan, melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kemudahan para petani menggarap sawah ladangnya, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih merata dengan program Inpres Kesehatan, dokter dan tenaga para medisnya, sekolah, guru dan perlengkapan lainnya, serta mengusahakan adanya listrik masuk desa dan perbaikan sarana pedesaan lainnya. Namun pendekatan semacam ini kemudian menimbulkan implikasi baru dalam menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Pola ini memang sangat efektif dalam mencapai sasaran yang ada namun di sisi lain tanpa adanya penguatan sosial (social strengthening) justru akan menimbulkan ketergantungan masyarakat serta memperlemah daya kreasi dan inovasi dari masyarakat tersebut. Dampak dari program ini pun tidak berkelanjutan bagi pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat.
Menurut Prasojo (2003) ada beberapa permasalahan terkait upaya pemberdayaan masyarakat sehingga tidak mencapai tujuan pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan yaitu : 
a) Diskontinuitas dan dis koordinasi merupakan permasalahan pemberdayaan masyarakat dikarenakan tidak adanya koordinasi yang baik dari keseluruhan program yang menyangkut pemberdayaan masyarakat, dimana program dijalankan bersifat sporadis. Kebijakan pemerintah mengenai suatu program pemberdayaan tidak berkoordinasi dengan LSM atau upaya pendampingan masyarakat, sehingga program yang dijalankan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada.
b) Disinformasi program yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mengetahui dan mengenal program pemberdayaan dengan baik. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap cara penyampaian informasi yang dilakukan oleh konsultan atau ilmuwan dan pendamping masyarakat dengan penggunaan bahasa ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat sasaran pemberdayaan.
c) Disorientasi Pemberdayaan dengan pendekatan proses, biasanya membutuhkan waktu yang lama sehingga ada kecenderungan dari fasilitator baik dari pemerintah maupun LSM untuk mengubah kebijakan yang lebih nyata. Pendekatan pemberdayaan yang berorientasi proses diubah menjadi lebih berorientasi ke hasil. Sehingga terjadi perubahan orientasi pemberdayaan masyarakat yang menyebabkan ketidakberlanjutan program pemberdayaan masyarakat.
d) Adanya upaya Generalisasi. Kondisi keragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia, mengandung potensi variasi lokal yang sangat bear. Oleh karena itu kebijakan pemberdayaan masyarakat harus mengikuti keragaman yang ada tersebut, karena dengan penyeragaman pelaksanaan program tidak akan menyentuh akar permasalahan dalam komunitas yang berbeda tersebut. Oleh karena itu pendekatan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan nilai-nilai dasar yang ada di masyarakat, karakter budaya, serta struktur sosial masyarakat. 
e) Rentang birokrasi dan tingginya biaya operasional, permasalahan birokrasi yang tidak fleksibel dengan biaya operasional yang tinggi, selalu menjadi penghambat yang sering ditemui dalam pengalaman pelaksanaan berbagai program dan kegiatan di Indonesia sampai saat ini. Orientasi petugas lapangan lebih kepada mengikuti peraturan dari pada menjawab kebutuhan lapangan. Hal ini akan sangat menghambat upaya pemberdayaan masyarakat.
f) Indikator yang tidak tepat dimana upaya pemberdayaan masyarakat yang selama ini dijalankan seringkali diukur dalam bentuk fisik, komoditas dengan berorientasi pada input dan kualitatif dari pada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan proses. Hal ini mengabaikan pentingnya proses dalam upaya pemberdayaan karena yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan partisipasi, kesadaran akan nilai dan hukum dari masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang mampu dan mandiri.
Pendekatan penanggulangan yang dilaksanakan saat ini lebih diprioritaskan pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat miskin dengan sebutan pembangunan manusia, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Masyarakat yang pada masa sebelumnya dianggap sebagai objek dari pembangunan, kini diposisikan sebagai subjek pembangunan. Berdasarkan pengalaman masa lalu, dalam sistem perencanaan pembangunan yang bersifat top down planning, adalah dirasakan kurang membawa keberhasilan, sehingga perencanaan pembangunan yang sekarang dilakukan adalah lebih kepada bottom up planning. Paradigma pembangunan yang ada saat ini adalah yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development), rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai kunci dalam perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. 
Tujuan dari konsep pemberdayaan masyarakat disini bukan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat melainkan lebih pada usaha bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya; kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya.
Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembangunan, karena hanya dengan adanya partisipasi dari masyarakat penerima program pemberdayaan, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tentunya memiliki hak untuk berperan dalam perencanaan sampai dengan tahap evaluasi dari pembangunan itu sendiri. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraan hidupnya. Tetapi, kondisi masyarakat yang telah begitu lama terbiasa disubsidi oleh pemerintah, telah mematikan kreativitas, sehingga usaha peningkatan partisipasi masyarakat mulai dari titik awal dan benar-benar membutuhkan usaha bersama dari seluruh elemen negara.
Belajar dari berbagai kekurangan dan mengatasi kendala dan kelemahan pada program pengentasan yang sebelumnya, saat ini Indonesia memiliki Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) sebagai program pembangunan berbasis masyarakat. Didalamnya ada upaya pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk mencapai tujuan meningkatnya kesejahteraan masyarakat terutama keluarga miskin. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan memiliki konsep melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan peningkatan perekonomian mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemantauan dan evaluasi. PNPM dimaksudkan untuk menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum, dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Pada program ini masyarakat bukan lagi sebagai objek melainkan subjek dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Masyarakat menjadi mandiri dan memiliki kesadaran kritis akan partisipasinya terhadap pembangunan itu sendiri. Bahkan masyarakat pun akan memiliki kesempatan lapangan pekerjaan dalam pelaksanaan program ini. PNPM Mandiri ini berbasis pemberdayaan masyarakat yakni basisnya adalah bagaimana upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memecahkan persoalan terkait peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Proses pemberdayaan masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ini terdiri dari tahap pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. Sumber dana PNPM Mandiri Perdesaan berasal dari : 
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
c. Swadaya Masyarakat
d. Partisipasi dunia usaha
PNPM-MP merupakan program yang terbilang baru, dimana program ini baru dimulai sejak tahun 2007. Konsep PNPM-MP sebagai program pemberdayaan masyarakat adalah cukup bagus, apalagi berbagai kekurangan-kekurangan dan kegagalan yang terjadi pada program pemberdayaan yang sebelumnya telah di evaluasi, dan menghasilkan PNPM-MP sebagai solusi. Namun masih saja ditemukan berbagai kendala sehubungan dengan pelaksanaan PNPM dan terkait peran serta atau partisipasi masyarakat terjadi di beberapa daerah. Kecenderungan masyarakat masih bergantung terhadap pemerintah, dikarenakan beberapa waktu lamanya, masyarakat sudah terbiasa dengan menerima saja kebijakan apapun dari pusat, dan bukan berasal dari keinginan masyarakat sendiri. Masyarakat belum mampu sepenuhnya untuk berinovasi dan memiliki inisiatif sendiri. Masyarakat masih terkesan apatis karena pengalaman mereka selama masa sebelumnya dimana meskipun mereka menyampaikan aspirasi terhadap perencanaan pembangunan, yang sering diterima adalah aspirasi dari elit-elit pemerintah atau kelompok yang dianggap lebih menguasai program pembangunan yang tepat bagi masyarakat. Padahal yang lebih mengetahui permasalahan masyarakat adalah tentunya masyarakat itu sendiri. Maka poin penting dari permasalahan pemberdayaan masyarakat adalah pentingnya partisipasi masyarakat secara sukarela dan penuh kesadaran untuk berubah lebih baik menuju keberdayaan, dari sebab itu, peran pelaku program pemberdayaan seperti fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan pemerintah daerah pun mengambil posisi penting untuk menjadi agent of change, melakukan perubahan dengan menggugah kesadaran berpartisipasi oleh masyarakat di dalam pembangunan.
Melalui pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan ada harapan untuk mampu mengurangi jumlah penduduk miskin tersebut. Basis dari program pemberdayaan ini adalah partisipasi masyarakat, yang menghargai pengalaman masyarakat di dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat Kecamatan X dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, dimana partisipasi masyarakat akan menjadi tolak ukur keberhasilan dari pelaksanaan PNPM-MP, yang pada akhirnya akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Kecamatan X melalui upaya pemberdayaan. Untuk mencapai itu semua, masih dibutuhkan peran dari para pelaku yang sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mempercepat proses pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam pelaksanaan PNPM-MP tersebut. Maka uraian tersebut dijadikan oleh penulis sebagai latar belakang memilih judul "Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Kecamatan X".

B. Perumusan Masalah
Pelaksanaan PNPM-MP bertujuan untuk memberdayakan masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat baik secara individu maupun kelompok, untuk kemudian mampu memecahkan berbagai masalah dan persoalan terkait pemenuhan kebutuhan, meningkatkan kualitas hidup, kemandirian serta kesejahteraan masyarakat. Partisipasi seluruh masyarakat, termasuk didalamnya masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang terpinggirkan juga menjadi tujuan yang sangat penting bagi pelaksanaan PNPM-MP ini.
Pembangunan partisipatif tentunya mengutamakan partisipasi masyarakat lokal untuk mengembangkan kapasitas atau kemampuan masyarakat tersebut. Apabila wewenang diberikan kepada masyarakat untuk mengelola suatu program demi peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, maka masyarakat akan mau mengerahkan segala potensi yang dimilikinya demi keberhasilan program tersebut. Agar sasaran penelitian ini lebih terarah, perlu adanya perumusan masalah yang jelas dan terinci yaitu : 
1) Bagaimana peranan fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MP di Kecamatan X ?
2) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X ?
Masalah tersebut menjadi menarik dan penting untuk diteliti karena keberhasilan dan keberlanjutan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Kecamatan X dan secara umum berpengaruh ke tingkat nasional, adalah dilihat dari terciptanya partisipasi masyarakat terhadap program tersebut. Ketika partisipasi masyarakat masih rendah, maka yang menjadi tujuan PNPM-Mandiri Perdesaan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri, tidak akan dapat dicapai dengan maksimal. Dan apabila terjadi hal demikian maka, program ini hanya akan berakhir sama seperti program-program pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah : 
1) Untuk mengetahui bagaimana peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X.
2) Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis memberikan kontribusi keilmuan tentang pemberdayaan masyarakat dan pengembangannya serta partisipasi masyarakat dalam kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.
2. Secara praktis, memberi masukan kebijakan kepada pemerintah kecamatan dan kelompok kepentingan lainnya tentang pemberdayaan, peran aktif masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.

TESIS STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

Posted: 17 Apr 2013 08:16 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0182) : TESIS STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (PROGRAM STUDI : EKONOMI PEMBANGUNAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.
Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menempatkan peran pemerintah di jajaran terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di sini dibutuhkan adanya pemerintahan daerah (berdasar azas desentralisasi) yang juga berperan sebagai alat untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern.
Keberadaan/pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang, 2001 : 5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarki dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.
Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaraan otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat tentu akan sukar dicapai.
Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing-masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upaya-upaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi (bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang berbelit-belit (complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di Amerika Latin.
Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik (Prasojo, Kompas 2004). Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efisien, tidak efektif (over consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang ke arah "parkinsonian" dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi "orwellian" yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efisien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur langsung mengeluhkan "saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat "kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat" katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja, pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.
Berbagai "penyakit' pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif, nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, xenophobia, ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesional, pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian, 1994 : 35-145).
Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya "mentalitas birokrasi" yang diidentikkan dengan pola perilaku 4-D : duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien.
Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarki komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif.
Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada "sesuatu" untuk memperbaiki kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu adalah "perubahan/pembaharuan". Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan definisi-definisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama "managerialism" oleh Pollitt, "new public management" oleh Hood, "market based public administration" oleh Lan dan Rosenbloom, dan "entrepreneurial government/reinventing government" oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "product', atau dari "rule governance" menuju ke "goal governance", yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru, inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur.
Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami "distorsi" memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara, akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar di tengah gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan.
Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoretik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransformasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemkot untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Selain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar.
Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong "sedang" juga menghadapi problem yang sama, apalagi daerah-daerah yang tergolong" miskin", yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan secara efisien.
Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.

B. Permasalahan
Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan.
Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri.
Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota X yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah !ain.
Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang. Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan, maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X ?
2. Faktor- faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut ?
3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di X ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni : 
1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program-program inovatif.
2. Menggali dan mendeskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.
3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejahteraan rakyat X.

D. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang Pemerintahan Lokal.

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template