download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


TESIS DETERMINAN KINERJA KADER POSYANDU DALAM MENUJU REVITALISASI POSYANDU

Posted: 13 Feb 2014 06:31 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0241) : TESIS DETERMINAN KINERJA KADER POSYANDU DALAM MENUJU REVITALISASI POSYANDU (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2004).
Indonesia sehat 2010 merupakan visi pembangunan nasional yang merupakan arah dan tujuan serta serangkaian upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan misi pembangunan kesehatan antara lain memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau (Depkes RI, 2001).
Keberhasilan pembangunan kesehatan Indonesia tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat. Salah satu peran aktif masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat strata pertama diwujudkan melalui berbagai upaya yang dimulai dari diri sendiri, keluarga sampai dengan upaya kesehatan yang bersumber masyarakat (UKBM). Upaya kesehatan yang bersumber masyarakat ini telah dikembangkan, salah satunya adalah Posyandu (Depkes RI, 2004).
Posyandu merupakan wadah untuk mendapatkan pelayanan dasar terutama dalam bidang kesehatan dan keluarga berencana yang dikelola oleh masyarakat, penyelenggaraannya dilaksanakan oleh kader yang telah dilatih di bidang kesehatan dan KB, dimana anggotanya berasal dari PKK, tokoh masyarakat dan pemudi. Posyandu diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat, oleh sebab itu masyarakat diharapkan aktif membentuk, menyelenggarakan dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya yaitu dalam bentuk peran serta atau partisipasi di dalam Posyandu setiap bulan yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi balita (Depkes RI, 2001).
Sejak pencanangan Posyandu di tahun 1986, berbagai hasil telah dicapai antara lain, angka kematian ibu dan bayi telah berhasil diturunkan dan umur harapan hidup rata-rata bangsa Indonesia telah meningkat secara bermakna (signifikan). Jika pada tahun 1995 Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masing-masing adalah 373/100.000 kelahiran hidup (SKRT, 1995) serta 60/1000 kelahiran hidup (Susenas, 1995), maka pada tahun 2003 AKI turun menjadi 307/100000 kelahiran hidup (SDKI, 2003), sedangkan AKB turun menjadi 45/1000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Sementara Umur Harapan Hidup rata-rata meningkat dari 45 tahun 1970 menjadi 66,2%/tahun, pada tahun 2000 (DDKI, 2003).
Posyandu merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat yang strategis dibidang pelayanan kesehatan masyarakat. Kader memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan Posyandu di lapangan sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Persentase kader aktif nasional adalah 69,2% dan kader drop out sebesar 30,8%. Revitalisasi Posyandu secara nasional di canangkan oleh Mendagri pada tahun 1999 sebagai upaya membangkitkan kinerja Posyandu termasuk di dalamnya adalah kader (Mastuti, 2003).
Dengan pentingnya upaya Revitalisasi Posyandu dimaksud, mengharapkan agar jajaran Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk mensosialisasikan pedoman tersebut serta mengkoordinasikan pelaksanaannya pada tingkat pengelola dan dengan melibatkan peran serta masyarakat (LSM, organisasi kemasyarakatan, sektor swasta, dunia usaha, lembaga/negara donor atau Organisasi Internasional), agar pelaksanaan akselerasi Revitalisasi Posyandu dapat berlangsung secara optimal (Depkes RI, 2001).
Tenaga utama pelaksana posyandu adalah kader posyandu, yang kualitasnya sangat menentukan dalam usaha meningkatkan kualitas pelayanan yang dilaksanakan. Dengan demikian, kemampuan kader harus dikembangkan untuk berpotensi secara maksimal, dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang disesuaikan dengan tugas yang diemban dalam mengelola posyandu, agar dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2001).
Kader sebagai salah satu sub system dalam posyandu yang bertugas untuk mengatur jalannya program dalam posyandu, kader harus lebih tahu atau lebih menguasai tentang kegiatan yang harus dijalankan atau dilaksanakan. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja kader posyandu diantaranya adalah pelatihan, dan motivasi. (Sahrul, 2006).
Motivasi sumber daya manusia dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh berbagai hal dan beraneka baik antar individu maupun di dalam diri individu pada waktu-waktu berlainan. Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk mencapai tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi suatu kebutuhan individual (Robbins, 2001).
Kinerja merupakan hasil dari perilaku karyawan, dalam perspektif teori harapan (expectancy), kinerja adalah merupakan hasil perkalian dari motivasi dan kemampuan (ability) (Gibson, 1997). Hasil Lokakarya Nasional Peningkatan Fungsi dan Kinerja Posyandu sebagaimana telah disampaikan melalui Surat Menteri Dalam Negeri No. 411.1/1180/PMD tanggal 25 Agustus 2000, maka Revitalisasi Posyandu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan. Dengan demikian upaya akselerasi terhadap pelaksanaan Revitalisasi Posyandu masih perlu guna mendukung dan membina terselenggaranya pelayanan kesehatan dasar yang merata dan terjangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2001). Tujuan revitalisasi posyandu adalah untuk mengoptimalkan fungsi Posyandu dalam rangka meningkatkan gizi maupun derajat kesehatan ibu dan anak sebagai upaya mencegah terjadinya kehilangan generasi penerus melalui percepatan penurunan angka kematian ibu dan anak.
Kinerja yang baik merupakan salah satu sasaran organisasi dalam mencapai produktifitas yang tinggi. Tercapainya kinerja yang baik tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia yang baik pula. Kinerja merupakan suatu yang lazim digunakan untuk memantau produktivitas kerja sumber daya manusia baik yang berorientasi produksi barang, jasa maupun pelayanan. Demikian halnya perwujudan kinerja yang membanggakan juga sebagai imbalan intrinsik. Hal ini akan berlanjut terus dalam bentuk kinerja berikutnya dan seterusnya. Agar dicapai kinerja yang profesional maka perlu dikembangkan hal-hal seperti : kesukarelaan, pengembangan diri pribadi, pengembangan kerjasama saling menguntungkan serta partisipasi seutuhnya (Wangmuba, 2009).
Perlunya kader di dalam setiap kegiatan Posyandu seperti kunjungan rumah kepada masyarakat dibutuhkan kader yang aktif dan terlatih dengan harapan untuk mendapatkan suatu hasil yang bisa dikembangkan sebagai upaya revitalisasi Posyandu di Kecamatan X, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu untuk memakai pelayanan Posyandu. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan determinan kinerja kader Posyandu dalam menuju Revitalisasi Posyandu di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Perlunya kader yang aktif dan terlatih di setiap Posyandu dalam meningkatkan revitalisasi Posyandu sangat berpengaruh terhadap program revitalisasi Posyandu, sehingga masyarakat akan memanfaatkan pelayanan Posyandu. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan kinerja kader Posyandu dalam menuju Revitalisasi Posyandu di Kecamatan X.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan kinerja kader Posyandu dalam menuju Revitalisasi Posyandu di Kecamatan X.

D. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : 
1. Ada hubungan umur, pendidikan dan pekerjaan dengan kinerja kader Posyandu di Kecamatan X 
2. Ada hubungan motivasi kader Posyandu dengan kinerja kader posyandu di Kecamatan X

E. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam meningkatkan dan pemberdayaan posyandu guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang manfaat Revitalisasi Posyandu di Kecamatan X.
3. Sebagai bahan informasi ilmiah dan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN RUMAH TANGGA SEHAT

Posted: 13 Feb 2014 06:28 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0240) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN RUMAH TANGGA SEHAT(PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai visi Indonesia sehat 2010 yaitu masa depan dimana bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan sehat, penduduknya berperilaku hidup bersih dan sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, sehingga memiliki derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan dilandaskan kepada paradigma sehat. Paradigma sehat yang akan mengarahkan pembangunan kesehatan untuk lebih mengutamakan upaya-upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif), tanpa mengenyampingkan upaya-upaya penanggulangan atau penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) (Depkes RI, 2004).
Sehat adalah hak azasi manusia, dan sekaligus memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM). Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia (Depkes RI, 2004).
Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan yang optimal. Dalam mencapai tujuan tersebut telah ditetapkan kebijakan dan visi Indonesia Sehat 2010. Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ditandai oleh penduduk hidup dalam lingkungan yang sehat, produktif, memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia. Promosi kesehatan merupakan pilar utama dari visi Indonesia sehat 2010, bahkan dapat dikatakan sebagai pilar terpenting karena dengan perilaku hidup bersih dan sehat, akan tercipta pilar-pilar yang lain yaitu pilar lingkungan sehat dan pilar pelayanan kesehatan yang bermutu (Depkes RI, 2004).
Untuk mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, ditetapkan 4 misi pembangunan kesehatan yaitu : 1) menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, 2) mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, 3) memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau, 4) memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya (Depkes RI, 2004).
Guna mendukung pencapaian visi Indonesia Sehat telah dilakukan revisi terhadap Sistem Kesehatan Nasional. Dengan keputusan menteri kesehatan nomor 131/menkes/sk/II/2004 tahun 2004 telah ditetapkan sistem kesehatan nasional yang baru sebagai pengganti sistem kesehatan nasional yang ditetapkan pada tahun 1984 salah satu subsistem yang baru adalah subsistem pemberdayaan masyarakat. Subsistem yang baru dapat menghasilkan keluaran berupa perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat sebagai salah satu pilar atau sokoguru utama dari visi Indonesia sehat 2010 (Depkes RI, 2005).
Dengan memperhatikan dasar-dasar pembangunan kesehatan dan untuk mencapai sasaran pembangunan kesehatan tersebut, departemen kesehatan menetapkan visi yaitu masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan mi si Depkes yaitu : membuat rakyat sehat dengan menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai : 1) Berpihak pada rakyat, 2) Bertindak cepat dan tepat, 3) Kerjasama tim, 4) Integritas yang tinggi, 5) Transparan dan akuntabel. Visi dan misi Depkes dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut : 1) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, 2) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, 3) Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, 4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan (Depkes RI, 2006).
Dalam keputusan SK Menkes No. 128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat disebut bahwa salah satu fungsi Puskesmas adalah sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian maka dapat dimengerti bila disebutkan pula bahwa promosi kesehatan merupakan salah satu upaya wajib dilaksanakan di Puskesmas yaitu : promosi kesehatan, KIA dan KB, perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan dan pengobatan, ini berarti bahwa setiap petugas kesehatan di Puskesmas memiliki kewajiban untuk melaksanakan salah satu dari strategi promosi kesehatan yaitu pemberdayaan masyarakat terutama terhadap individu (pasien/klien) dan masyarakat.
Program promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran diri, oleh, untuk dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber dari masyarakat, sesuai dengan budaya dan didukung oleh kebijakan public yang berwawasan kesehatan. Menolong diri sendiri artinya masyarakat mampu berperilaku mencegah timbulnya masalah-masalah dan gangguan kesehatan, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya, serta mampu berperilaku mengatasi apabila masalah dan gangguan kesehatan tersebut terlanjur datang (Depkes RI, 2005).
Program promosi kesehatan mempunyai visi perilaku hidup bersih dan sehat 2010, dan didukung oleh misi promosi kesehatan yaitu 1) memberdayakan individu, keluarga dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik melalui pendekatan individu, keluarga maupun melalui pengorganisasian dan penggerakan masyarakat, 2) membina suasana atau lingkungan yang kondusif bagi terciptanya perilaku hidup bersih dan masyarakat yang sehat, 3) mengadvokasikan para pengambil keputusan dan penentu kebijakan serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Untuk mencapai visi dan misi program promosi menggunakan strategi 1) advokasi, 2) bina suasana, 3) pemberdayaan. Pada hakekatnya program promosi kesehatan adalah penopang utama bagi setiap program kesehatan. Dengan kata lain promosi kesehatan, walaupun berdiri sendiri sebagai salah satu program kesehatan, tetapi tidak berjalan sendiri. 
Promosi kesehatan harus selalu bergandengan tangan dengan setiap program kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya masalah baru, dan mengatasi masalah yang sudah terlanjur ada, serta memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2005).
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan program prioritas dari promosi kesehatan. Dan mempunyai 5 tatanan yaitu : 1) Tatanan rumah tangga sehat, 2) Tatanan institusi pendidikan, 3) Tatanan instansi kesehatan, 4) Tatanan tempat-tempat umum 5) Tatanan tempat kerja (Depkes RI, 2005).
Perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu mau dan mampu mempraktekkan hidup bersih dan sehat, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Menurut Depkes RI tahun 2007 indikator dari tatanan rumah tangga sehat terdiri dari : 1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 2) memberi bayi asi eksklusif, 3) menimbang bayi dan balita setiap bulan, 4) menggunakan air bersih 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, 6) menggunakan jamban sehat, 7) makan sayur dan buah setiap hari, 8) melakukan memberantas jentik nyamuk, 9) melakukan aktifitas fisik setiap hari, 10) tidak merokok di dalam rumah. Perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan anggota keluarga, mencegah risiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit. PHBS di rumah tangga merupakan proses pemberdayaan keluarga untuk terwujudnya rumah tangga sehat. PHBS di rumah tangga merupakan salah satu kewenangan wajib standar pelayanan minimal bidang kesehatan bagi pemerintah kabupaten/kota sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005. PHBS di rumah tangga merupakan langkah strategis untuk mempercepat tercapainya rumah tangga sehat, desa sehat, kecamatan sehat, kabupaten/kota sehat, provinsi sehat dan Indonesia sehat (Depkes RI, 2008).
Sesuai dengan strategi Indonesia sehat 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi, Depkes pusat telah menetapkan visi dan misi puskesmas. Visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas adalah terwujudnya kecamatan sehat tahun 2010. Puskesmas berfungsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan, dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama program. Puskesmas tercakup dalam program kesehatan dasar atau program ini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan sebagian besar masyarakat dan masalah kesehatan masyarakat yang berpotensi berkembang di wilayah kerjanya serta untuk mendukung tercapainya kecamatan sehat 2010 (Muninjaya, 2004).
Tugas pokok tenaga promosi kesehatan adalah : 1) melaksanakan pengkajian, 2) perencanaan yaitu rumusan masalah dengan tujuan peningkatan perilaku yang diinginkan meliputi kegiatan intervensi terhadap faktor penyebab penyakit, 3) penggerak pelaksanaan adalah kesiapan kegiatan pra pelaksanaan yaitu sarana dan pelaksanaan kegiatan sesuai rencana, 4) pemanfaatan fokus yang pemantauan pra pelaksanaan dan apabila ada penyimpangan segera dilakukan perbaikan, 5) penilaian fokusnya pada perbaikan rencana yang perlu dilihat keseluruhan komponen rumusan tujuan, jenis kegiatan intervensi dan lain-lain, 6) pelaporan keseluruhan proses dan komponen termasuk tujuan yang dicapai, sumber daya yang digunakan, dan lain-lain (Depkes RI, 2005).
Promosi kesehatan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan kesehatan masyarakat, yaitu bersama masyarakat, sesuai dengan lingkungan sosial budaya setempat, agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan. Promosi kesehatan juga berperan dalam proses peningkatan kualitas tenaga kesehatan agar lebih responsif dan mampu memberdayakan masyarakat, sehingga akan tercapai pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa promosi kesehatan merupakan pembangunan pilar utama dari visi Indonesia Sehat 2010, yaitu pilar perilaku sehat. Dan pilar ketiga pelayanan kesehatan akan ikut berkembang menuju tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2004).
Namun dalam melaksanakan tugasnya ada hambatan-hambatan yang di jumpai yaitu : 1) Puskesmas X hanya mempunyai satu petugas promosi kesehatan, 2) Terbatasnya jangkauan untuk membina wilayah kerja Puskesmas X seperti sarana transportasi dan alat peraga, 3) Terbatasnya dana untuk membina masyarakat dan melaksanakan kegiatan promosi kesehatan.
Berdasarkan pada kenyataan di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian di Puskesmas X mengenai program promosi kesehatan yaitu faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah penelitian ini adalah ada faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat.

E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka manfaat penelitian ini sebagai berikut : 
1. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas X tentang rumah tangga yang sehat agar dapat terhindar dari penyakit.
2. Sebagai bahan kajian dan masukan bagi petugas pelaksana program kesehatan di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu.

TESIS ANALISA YURIDIS MENGENAI SANKSI YANG DIATUR DALAM UU NO 30 TH 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERHADAP NOTARIS YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN MENGENAI KEWAJIBAN PEMBACAAN AKTA

Posted: 13 Feb 2014 06:25 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0239) : TESIS ANALISA YURIDIS MENGENAI SANKSI YANG DIATUR DALAM UU NO 30 TH 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERHADAP NOTARIS YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN MENGENAI KEWAJIBAN PEMBACAAN AKTA (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan
Indonesia adalah Negara Hukum, hal ini dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Menurut Jimly Asshiddiqie, agar terdapat perlindungan, kepastian, dan ketertiban, harus terdapat kegiatan pengadministrasian hukum yang tepat dan tertib. Hal ini juga diperlukan untuk menghindari terjadinya hubungan hukum yang cacat dan dapat merugikan subjek hukum maupun masyarakat. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut, antara lain bahwa, lalu lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia untuk peradilan perdata, sebagaimana tercantum dalam pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya dalam tesis ini disingkat dengan KUH Perdata) terdapat alat bukti tulisan sebagai salah satu alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan. Selanjutnya dalam pasal 1867 KUH Perdata ditentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan yang otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Lebih lanjut mengenai definisi akta otentik terdapat dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi "Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya."
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuhi mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Ketentuan mengenai akta otentik yang terdapat dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pejabat umum, namun hal tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya dalam tesis ini disingkat dengan UUJN). Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kemudian kedudukan akta notaris sebagai akta otentik dirumuskan dalam pasal 1 angka 7 UUJN yang menyatakan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Adapun akta otentik itu menurut pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang sempurna, artinya bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar.
Kewenangan notaris untuk membuat akta otentik lebih lanjut diatur dalam pasal 15 UUJN, dalam pasal 15 ayat (1) ditentukan bahwa : 
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dari definisi Notaris yang terdapat dalam pasal 1 dan kewenangan Notaris dalam pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut dapat disimpulkan bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta-akta otentik kecuali untuk akta-akta tertentu yang secara tegas disebut dalam undang-undang ditugaskan kepada pejabat lain yang berwenang, misalnya pejabat pada catatan sipil yang berwenang membuat akta kelahiran, akta perkawinan, dan akta kematian. Dengan demikian wewenang Notaris untuk membuat akta otentik merupakan wewenang yang bersifat umum, sedangkan wewenang pejabat lain yang bukan Notaris dalam membuat akta otentik adalah bersifat khusus.
Demikian kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat dan terpenuhi dan mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu tidak semua orang dapat diangkat menjadi Notaris, hanya orang yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam UUJN yang dapat diangkat sebagai Notaris, hal ini diatur dalam pasal 3 UUJN. Berdasarkan pasal tersebut, syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah : 
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani;
e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap jabatan dengan jabatan Notaris.
Apabila persyaratan tersebut diatas telah terpenuhi, maka layaklah orang tersebut untuk diangkat sebagai Notaris dan dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris harus memenuhi ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban dan memperhatikan larangan-larangan yang diatur dalam Undang-Undang agar akta yang dibuatnya menjadi otentik. Mengenai kewajiban-kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya diatur dalam pasal 16 UUJN. Salah satu kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah membacakan akta yang dirumuskan dalam pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh Penghadap, saksi, Notaris." Kemudian UUJN mengatur bahwa kewajiban pembacaan akta oleh Notaris dapat dikecualikan apabila penghadap menghendaki tidak mau dibacakan, karena telah membaca sendiri dan mengetahui serta memahami isi akta. Hal ini diatur dalam pasal 16 ayat (7) UUJN yang berbunyi : 
Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Kemudian dalam pasal 16 ayat (8) ditentukan bahwa jika syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dipenuhi maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. Dari rumusan pasal 16 ayat (1) huruf l, pasal 16 ayat (7), dan pasal 16 ayat (8) UUJN tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pengecualian mengenai kewajiban Notaris untuk membacakan akta, yaitu dalam hal jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena telah dibaca sendiri dan mengetahui serta paham mengenai isi akta tersebut, maka Notaris tidak wajib membacakannya asalkan dinyatakan dalam penutup akta, serta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris pada setiap halaman minuta akta.
Pembacaan akta merupakan bagian terpenting dalam proses pembuatan akta Notaris, seperti yang dijelaskan dalam penjelasan umum UUJN, yaitu : 
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, Tan Thong Kie memberikan pendapatnya tentang manfaat pembacaan akta, diantaranya : 
1. Pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan (verlijden) akta, Notaris masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan-kesalahannya sendiri yang sebelumnya tidak terlihat, karena bisa saja terdapat kesalahan-kesalahan fatal atau yang memalukan.
2. Para penghadap diberi kesempatan untuk bertanya apa yang kurang jelas bagi mereka.
3. Memberi kesempatan kepada Notaris dan para penghadap pada detik-detik terakhir sebelum akta selesai diresmikan dengan tanda tangan mereka, para saksi, dan Notaris, mengadakan pemikiran ulang, bertanya, dan jika perlu mengubah bunyi akta.
Menurut Penulis, kewajiban Notaris untuk membacakan akta merupakan suatu keharusan, mengingat Notaris merupakan jabatan kepercayaan, kepercayaan masyarakat terhadap Notaris adalah salah satu bentuk wujud nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu notaris dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang ada yakni Undang-undang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kode Etik Notaris dan Peraturan Hukum lainnya. Janganlah pernah sekalipun menodai kepercayaan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada jabatan Notaris.
Pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) UUJN terdapat dalam bab III, bagian kedua yang mengatur mengenai kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya. Menurut Penulis, kewajiban merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi. Sanksi-sanksi merupakan bagian yang penting di dalam hukum. Menurut Habib Adjie dalam bukunya Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, adanya sanksi-sanksi tersebut dimaksudkan agar Notaris dapat bertindak benar sehingga produk Notaris berupa akta otentik dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak yang membutuhkannya.
Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi dalam UUJN diatur dalam bab tersendiri, yaitu bab XI mengenai ketentuan sanksi, yang terdiri dari 2 (dua) pasal yaitu pasal 84 dan pasal 85. Sanksi yang terdapat dalam pasal 84 dan pasal 85 UUJN ini, merupakan sanksi terhadap Notaris berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Artinya ada persyaratan tertentu atau tindakan tertentu yang tidak dilakukan atau tidak dipenuhi oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, berupa kewajiban dan larangan yang tercantum dalam UUJN, Kode Etik Notaris, perilaku Notaris yang dapat merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris. 
Tindakan pelanggaran atas kewajiban dan larangan bagi Notaris tersebut dapat mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta batal demi hukum yang dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris sebagaimana diatur dalam pasal 84, serta pada pasal 85 UUJN disebutkan bahwa tindakan pelanggaran atas sejumlah pasal dapat dikenai sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Apabila masyarakat yang menggunakan jasa Notaris merasa dirugikan atas suatu tindakan dari Notaris tersebut melapor pada Majelis Pengawas yang kemudian atas tindakan pelanggaran tersebut dikenai sanksi oleh Majelis Pengawas berupa teguran lisan atau teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Akan tetapi, dari ketentuan dalam pasal 84 dan pasal 85 UUJN tidak ditemukan adanya sanksi apabila ketentuan mengenai pembacaan akta yang diatur dalam UUJN tidak dipenuhi. Ketentuan pembacaan akta ini diatur dalam Bab III, bagian kedua UUJN yang mengatur mengenai kewajiban, yaitu dalam pasal 16 ayat (1) huruf l, pasal 16 ayat (7), dan pasal 16 ayat (8) UUJN. Padahal, menurut ketentuan dalam pasal 16 ayat (8), apabila salah satu syarat dalam pasal 16 ayat (1) huruf l dan 16 ayat (7) tidak dipenuhi, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Hal tersebut merupakan sanksi perdata terhadap akta yang telah dibuat oleh Notaris. Sedangkan sanksi terhadap Notaris sendiri apabila tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 16 ayat (1) huruf l ataupun pasal 16 ayat (7) UUJN, tidak diatur dalam pasal 85 UUJN. Hal ini dapat memunculkan anggapan bahwa apabila Notaris tidak memenuhi ketentuan pembacaan akta yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf l ataupun pasal 16 ayat (7) UUJN, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan (pasal 16 ayat (8) UUJN), sedangkan terhadap Notaris yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi apapun, karena tidak diatur dalam pasal 84 dan pasal 85 UUJN.
Degradasi akta otentik menjadi akta dibawah tangan seperti yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (8) UUJN tentu dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat pengguna jasa Notaris. Sedangkan dalam pasal 84 dan pasal 85 UUJN tidak diatur mengenai sanksi terhadap Notaris yang tidak memenuhi ketentuan pembacaan akta yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) dan pasal 16 ayat (7) UUJN. Namun ternyata dalam prakteknya terdapat Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (8) UUJN, seperti kasus yang terdapat dalam putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor : 01/B/Mj.PPN/VIII/2010, dan terhadap Notaris tersebut oleh Majelis Pengawas Notaris dikenakan sanksi pemberhentian sementara. Oleh karena itu Penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam tesis ini mengenai bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembacaan akta yang diatur dalam UUJN, apa akibatnya jika akta Notaris tidak dibacakan, serta bagaimana sebenarnya UUJN mengatur mengenai sanksi terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pembacaan akta tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisa Yuridis Mengenai Sanksi yang Diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terhadap Notaris yang Tidak Memenuhi Ketentuan Mengenai Kewajiban Pembacaan Akta

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan judul penelitian, yaitu : 
1. Bagaimanakah pelaksanaan pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai pembacaan akta ?
2. Apa akibat jika akta Notaris tidak dibacakan ?
3. Apa sanksi bagi Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diajukan, yaitu : 
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai pembacaan akta.
2. Untuk mengetahui akibat jika akta Notaris tidak dibacakan.
3. Untuk mengetahui sanksi bagi Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

D. Metode Penelitian
Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian ini agar didapat hasil yang memuaskan diperlukan suatu metode. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum umum dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Penelitian yuridis normatif ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu UUJN dan didukung oleh data yang diperoleh dari kepustakaan.
Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat evaluatif, artinya penelitian yang memberikan penilaian atas kegiatan atau program yang telah dilaksanakan. Berdasarkan tipe penelitian evaluatif ini Penulis memberikan penilaian dan pendapat hukum mengenai ketentuan pembacaan akta yang diatur dalam UUJN.
Metode penelitian yuridis normatif ini menggunakan data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan. Data sekunder yang digunakan adalah yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah studi dokumen yaitu mengumpulkan data untuk memperoleh data sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis baik dari perpustakaan, maupun literatur yang relevan dengan materi penelitian..
Adapun jenis bahan hukum yang digunakan sebagai sumber untuk memperoleh data sekunder adalah berupa : 
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat bagi individu dan masyarakat yang dapat membantu dalam penelitian yang dilakukan, seperti : 
1) UUJN tentang Jabatan Notaris;
2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
4) Kode Etik Notaris;
5) Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya, misalnya : 
1) Artikel Ilmiah;
2) Buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti;
3) Makalah pertemuan ilmiah;
4) Tesis dan Disertasi.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus.
Setelah semua data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh maka akan ditarik suatu kesimpulan dari semua data dan bahan-bahan tersebut, yang kemudian akan disusun, dianalisa secara kualitatif yakni analisa yang dilakukan tidak menggunakan uji statistik, tetapi dengan melakukan penilaian terhadap data-data yang ada dengan bantuan literatur atau bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

TESIS PEMBACAAN AKTA OLEH NOTARIS SEBAGAI SYARAT OTENTISITAS AKTA

Posted: 13 Feb 2014 06:22 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0238) : TESIS PEMBACAAN AKTA OLEH NOTARIS SEBAGAI SYARAT OTENTISITAS AKTA (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembacaan akta oleh Notaris merupakan suatu syarat dari otentisitas suatu akta. Pembacaan akta juga merupakan salah satu dari syarat verlijden dari suatu akta (Pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris), serta merupakan kewajiban dari Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. Pembacaan akta yang merupakan kewajiban ini ternyata menimbulkan persepsi bukan menjadi sesuatu yang wajib. Hal ini disebabkan karena adanya aturan pada Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris. Adanya kelonggaran pada kewajiban Notaris dalam pembacaan akta inilah yang melatarbelakangi penelitian ini.
Telah dipahami bersama bahwa peran dan tanggung jawab Notaris sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai sebagai upaya Negara dalam menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat, demikian sebagaimana ternyata dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang berbunyi : 
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini."
Profesi Notaris adalah pekerjaan yang unik. Kewenangannya untuk membuat akta otentik diberikan oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, Notaris dianggap menjalankan sebagian kekuasaan Negara. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah seorang Notaris harus melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab sebagai pejabat Negara.
Akta otentik, sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuhi, berperan penting dalam setiap hubungan hukum dalam masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, perbankan, kegiatan sosial dan lain sebagainya, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum di berbagai sektor. Akta otentik juga menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, yang diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa.
Pembacaan akta oleh Notaris merupakan keharusan dalam setiap pembuatan akta otentik. Menurut Pasal 28 Staadblad Nomor 3 Tahun 1860 dan Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pembacaan ini merupakan bagian dari verlijden atau peresmian akta (pembacaan dan penandatanganan). Oleh karena akta tersebut dibuat oleh Notaris, maka harus dibacakan juga oleh Notaris yang bersangkutan. Tidak dilakukan oleh orang lain seperti asisten atau pegawai Notaris.
Apabila notaris sendiri melakukan pembacaan dari akta itu, para penghadap di satu pihak mempunyai jaminan, bahwa mereka menandatangani apa yang mereka dengar sebelumnya dibacakan oleh Notaris dan di lain pihak para penghadap dan juga Notaris memperoleh keyakinan, bahwa akta itu benar-benar berisikan apa yang dikehendaki oleh para penghadap.
Jika dihubungkan dengan fungsi akta otentik tersebut dalam pembuktian, maka terlihatlah bahwa memang sesungguhnya dalam pembuatan akta oleh Notaris yang merupakan akta otentik harus demikian. Hal ini juga untuk melindungi para pihak yang terkait dalam pembuatan akta tersebut, termasuk Notaris sendiri, apabila terjadi sengketa atau gugatan atas perbuatan hukum dalam akta tersebut di kemudian hari.
Pelanggaran terhadap tidak dibacakannya akta oleh Notaris sendiri kepada para penghadap akan dikenakan sanksi seperti yang tercantum pada Pasal 28 ayat (5) Staadblad Nomor 3 Tahun 1860 yaitu akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta di bawah tangan, atau dengan kata lain akta akan kehilangan otentisitasnya. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, hal ini tercantum dalam Pasal 84 yang menyatakan bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris termasuk tidak membacakan aktanya sendiri akan mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris tersebut.
Pengaturan kewajiban pembacaan akta oleh Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dapat menimbulkan persepsi seakan-akan pembacaan akta oleh Notaris sudah tidak menjadi wajib karena adanya aturan dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN, yang bunyinya sebagai berikut : 
Pembacaan akta sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membacanya sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Jika dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas, tidak berlebihan kiranya dikhawatirkan menjadi celah bagi Notaris untuk tidak melakukan kewajibannya dalam membacakan akta. Dengan demikian apabila Notaris dalam menjalankan tugasnya membuat akta otentik, tidak membacakan akta tersebut dengan berdasarkan Pasal 16 ayat (7) UUJN tersebut, apa yang terjadi dengan keotentikan aktanya ? Sedangkan sudah diketahui bahwa Undang-Undang mengatur bahwa apabila dalam pembuatan akta tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, kekuatan pembuktiannya akan menjadi akta di bawah tangan.
Pentingnya aturan yang jelas dalam Undang-Undang kenotariatan sangat diperlukan demi terciptanya kepastian dan tidak menimbulkan salah penafsiran dan keraguan dalam pelaksanaannya. Sehingga diharapkan tidak menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang beritikad tidak baik dan tidak bertanggung jawab.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pokok-pokok permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana seharusnya para Notaris mengartikan dan menyikapi aturan pembacaan akta yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN ?
2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuatnya apabila tidak dibacakan ?

C. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk menelaah asas-asas hukum dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat preskriptif.
Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, dikarenakan pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yang lebih banyak dilakukan pada data sekunder yang terdapat di perpustakaan.
Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah meliputi : 
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat khususnya di bidang kenotariatan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku, artikel-artikel dari berbagai majalah dan media berita lainnya tentang kenotariatan.
3. Bahan hukum tersier, yaitu kamus mengenai istilah-istilah hukum sebagai penunjang untuk mendapatkan data mengenai masalah yang akan dibahas.
Untuk menganalisis data dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang disajikan dalam bentuk penelitian deskriptif analisis yaitu mencari jawaban atau solusi dari permasalahan yang diteliti.

D. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini merupakan pengantar untuk memasuki bab-bab selanjutnya yang menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pokok. Bab ini dibagi menjadi empat sub bab, yaitu pertama latar belakang yang merupakan latar belakang penulis membahas hal tersebut. Kedua pokok, Ketiga metode penelitian yang digunakan, Keempat sistematika penulisan.
BAB II Pembahasan
Bab ini meliputi tiga sub bab yaitu landasan teori, analisa pembahasan hukum.
BAB III Penutup
Bab ini berisi simpulan dan saran.

TESIS IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI (STUDI PADA ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH)

Posted: 13 Feb 2014 06:19 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0237) : TESIS IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI (STUDI PADA ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH) (PROGRAM STUDI : KOMUNIKASI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam kelompok masyarakat, salah satunya adalah organisasi. Terdapat banyak teori mengenai pengertian organisasi. Schein (1982) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab. Selain itu organisasi juga memiliki karakteristik tertentu yaitu memiliki struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian lain dan tergantung kepada komunikasi manusia untuk mengkoordinasikan aktivitas dalam organisasi tersebut. Kochler (1976) juga mengatakan bahwa organisasi adalah system hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasi usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu (Muhammad, 1995). Sedangkan menurut Barnard (1982) unsur-unsur organisasi adalah komunikasi, kesediaan untuk mengabdi dan memiliki tujuan bersama.
Oleh karena itu agar sebuah organisasi bisa bertahan lama dan berkembang diperlukan komunikasi yang baik diantara anggotanya serta tujuan dari organisasi itu sendiri. Di dalam sebuah organisasi pun terdapat sebuah kondisi yang dinamakan iklim organisasi. Kondisi atau iklim organisasi dianggap ideal apabila hubungan komunikasi antara bawahan dan atasan begitu juga sebaliknya berjalan dengan baik. Iklim organisasi adalah kualitas relative dari lingkungan organisasi internal yang dialami oleh anggota organisasi serta mempengaruhi tingkah laku dan dapat digambarkan dalam hal nilai-nilai dan kerangka karakteristik atau atribut organisasi. Apabila di dalam suatu organisasi komunikasi antara bawahan dan atasan maupun sebaliknya tidak berjalan dengan baik maka kemungkinan besar iklim organisasi yang ada pun tidak bisa dikatakan ideal. Jika iklim yang ada tidak terbentuk dengan baik maka organisasi tidak bisa berkembang secara efisien. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam suatu organisasi terdapat tujuan dari organisasi itu sendiri., namun apabila factor-faktor pendukung tidak memadai maka organisasi tersebut tidak bisa mencapai tujuannya. Selain adanya iklim organisasi, di dalam sebuah organisasi tentu saja ada unsur-unsur lain yang mungkin bisa mempengaruhi iklim yang terbentuk seperti budaya maupun strategi komunikasi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan sebuah organisasi yang memiliki unsur-unsur seperti budaya, strategi maupun iklim organisasi. Sebagai sebuah organisasi pemerintahan, unsure-unsur tersebut memiliki pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan bentuk organisasi yang lain. Oleh karena itu, peneliti ingin mempelajari lebih jauh mengenai organisasi pemerintahan seperti Pemprov. DKI Jakarta.
Pemprov. DKI Jakarta merupakan bentuk organisasi pemerintah yang dipengaruhi oleh system birokrasi yang mengikat. Dan sebagai sebuah organisasi, Pemprov; DKI Jakarta memiliki tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan kebutuhan dari kota Jakarta itu sendiri. Telah banyak hal yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatur kotanya. Sebagian dirasakan manfaatnya oleh penduduk kota Jakarta dan sebagian lagi mungkin dianggap merugikan oleh penduduknya. Pro dan kontra tidak akan lepas dari setiap kebijakan dan peraturan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai suatu organisasi, Pemprov DKI Jakarta pastinya memiliki sebuah kondisi yang mempengaruhi seluruh anggotanya. Dan mau tidak mau, kondisi tersebut bisa mempengaruhi tujuan organisasi itu sendiri. Diantara tujuan yang ada, salah satu tujuan yang dimiliki oleh Pemprov. DKI Jakarta adalah melakukan kerjasama luar negeri.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu cara yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upayanya untuk mengembangkan kota, adalah bekerjasama dengan kota-kota besar di luar negeri. Kerjasama yang terjalin antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah Provinsi/Kota di luar negeri berorientasi pada upaya menumbuh kembangkan hubungan persahabatan. Selain itu juga dipandang sangat membantu fungsi-fungsi Pemerintah Daerah dalam membina daerah dan pembangunan.
Kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berada dibawah Biro Kepala Daerah dan Kerjasama Luar Negeri dalam hal ini Bagian Kerjasama Luar Negeri. Dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2008, disebutkan bahwa salah satu tugas dari Biro Kepala Daerah dan Kerjasama Luar Negeri adalah melakukan kerjasama luar negeri dalam hal ini kerjasama sister city dan ikut dalam organisasi internasional.
Biro Kepala Daerah dan Kerjasama Luar Negeri (Biro KDH dan KLN) telah melaksanakan berbagai bentuk kerjasama internasional tidak hanya dengan kota-kota besar di luar negeri tetapi juga dengan organisasi internasional di dunia. Kerjasama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan kota-kota besar di luar negeri dinamakan kerjasama sister city. Kerjasama sister city memiliki pengertian kerjasama kota bersaudara yang dilaksanakan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota setingkat di negara lain. Kerjasama Sister City DKI Jakarta disahkan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding antara Gubernur Provinsi DKI Jakarta dengan Gubernur/Walikota kota lain di luar negeri.
Bentuk kerjasama sister city sudah berlangsung sejak 1973 dan hingga saat ini sudah sekitar 21 kota besar di luar negeri menjadi sister city Jakarta. Manfaat yang dapat diambil dari kerjasama sister city adalah : 
1. Tukar menukar pengetahuan dan pengalaman tentang pengelolaan pembangunan bidang-bidang yang dikerjasamakan.
2. Mendorong tumbuhnya prakarsa dan peran aktif pemerintah daerah, masyarakat dan swasta.
3. Meningkatkan optimalisasi pengelolaan potensi daerah. 
4. Mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua pihak.
5. Tukar menukar kebudayaan dalam rangka memperkaya kebudayaan daerah.
Banyak hal yang mempengaruhi ketidakberhasilan suatu program kerjasama. Program-program kerjasama yang disepakati antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan kota-kota sister city-nya maupun organisasi internasional selalu melibatkan unit-unit kerja yang ada di dalam Pemprov. DKI Jakarta. Tetapi realitanya, program-program tersebut tidak bisa berjalan dengan baik karena unit kerja yang berkaitan tidak bisa melaksanakan program tersebut dengan baik.
Selain adanya hambatan dalam hal koordinasi antara Biro KDH dan KLN dengan unit organisasi yang lain, yang paling penting adalah adanya tujuan yang jelas mengenai kerjasama luar negeri itu sendiri. Pemda DKI Jakarta hingga saat ini tidak memiliki tujuan yang jelas perihal apa yang ingin dicapai dalam kerjasama luar negeri yang telah dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dalam konteks kerjasama sister city hanya bersifat incidental yaitu kebutuhan sesaat tetapi tidak direncanakan untuk waktu jangka panjang. Komunikasi yang terjalin di dalam Biro KDH dan KLN pun memiliki andil yang cukup besar bagi perkembangan organisasi itu sendiri.
Untuk melakukan koordinasi antara satu unit dengan unit lainnya dibutuhkan komunikasi yang baik. Dimana komunikasi yang terjalin harus bisa diterima dan dipahami oleh kedua pihak. Hal itulah yang menjadi persoalan di dalam unit-unit kerja yang ada di lingkungan Pemprov. DKI Jakarta. Seringkali komunikasi yang terjalin tidak maksimal bahkan tidak dapat dipahami oleh unit yang lain. Komunikasi yang tidak maksimal juga terjadi di dalam unit Biro KDH dan KLN itu sendiri sehingga pesan yang ingin disampaikan pun tidak tercapai.
Bentuk komunikasi yang baik di dalam suatu organisasi adalah komunikasi yang dapat dipahami dan dimengerti sehingga tujuan dari sebuah organisasi dapat tercapai. Dalam hal ini tujuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah menjadi "service city" bagi masyarakatnya. Menurut Max Weber, sebuah organisasi formal seperti pemerintahan memiliki kriteria-kriteria komunikasi agar tujuannya bisa tercapai. Karakteristik dari sebuah organisasi formal merujuk pada fenomena yang disebut posisi komunikasi. Hubungan yang tercipta diantara unit-unit yang ada terbentuk karena posisi yang ada bukan karena manusianya. Komunikasi yang tercipta pun didasarkan atas posisi yang dimiliki oleh individu.
Komunikasi antara bawahan dan atasan maupun sebaliknya tidak berjalan dengan maksimal sehingga mempengaruhi komunikasi dengan unit lain maupun divisi yang lain. Hal inilah yang menyebabkan tujuan dari kerjasama luar negeri seringkali tidak maksimal. Untuk bisa mencapai kerjasama luar negeri yang maksimal, komunikasi yang terbentuk diantara dan di dalam unit-unit kerja haruslah sejalan antara unit satu dengan unit lain sehingga program-program yang telah disepakati berjalan dengan baik.
Komunikasi yang terbentuk dikarenakan posisi dan mengalami disfungsi membuat timbulnya komunikasi-komunikasi informal di dalam sebuah organisasi formal. Komunikasi informal yang tidak sejalan dengan komunikasi formal menciptakan iklim organisasi yang tidak ideal.
Iklim organisasi bisa tercipta dari bentuk komunikasi yang terjalin di dalam sebuah organisasi. Dan iklim tersebut dapat mempengaruhi setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi anggota organisasi itu sendiri. Hal inilah yang menurut peneliti terjadi di dalam Biro KDH dan KLN. Komunikasi yang terjalin hanya satu arah, dan seringkali bila ada masalah yang menyangkut kerjasama luar negeri antara unit-unit tersebut dengan pihak dari luar negeri, Biro KDH dan KLN tidak mengetahui secara detail apa yang terjadi. Hal ini menyebabkan fungsi Biro KDH dan KLN sebagai fasilitator tidak berjalan dengan baik.
Bukan berarti komunikasi yang terbentuk di dalam suatu organisasi selalu menimbulkan masalah, tetapi bila komunikasi yang terbentuk tidak sesuai dengan era yang ada maka hal tersebut bisa menjadi hambatan. Menurut Ruben and Stewart (2006 : 296), komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam menjalankan sebuah organisasi. Karena di dalam komunikasi, setiap anggotanya dapat menjelaskan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasinya, menggambarkan tugas dan kewajiban setiap anggota, mengkoordinasikan setiap tindakan yang akan dilakukan, menetapkan informasi yang dibutuhkan oleh unit kerja lain serta mengembangkan budaya dan iklim kerja.
Sehubungan dengan perihal di atas, peneliti ingin mempelajari lebih jauh mengenai iklim organisasi yang terbentuk di dalam Biro KDH dan KLN serta unsur-unsur lain yang dapat membentuk iklim itu sendiri. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui apakah iklim yang terbentuk dapat memberikan pengaruh kepada pelaksanaan kerjasama luar negeri yang menjadi salah satu tujuan dari Biro KDH dan KLN.

B. Rumusan Masalah
Seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab di atas, komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi kegiatan berorganisasi. Tanpa adanya komunikasi yang baik maka kegiatan berorganisasi yang ada pun tidak bisa berjalan dengan baik. Seperti yang disampaikan oleh Goldhaber (1993), "Communication is essential to an organization. Information is vital to effective communication". Komunikasi memainkan peran yang sangat penting dalam mencapai tujuan dari organisasi, mengawasi setiap kemajuan dari setiap tujuan yang telah dijalankan, dan bilamana dianggap bahwa tujuan yang telah ditetapkan tidak sesuai maka akan dikaji ulang dan dibuat ulang sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Komunikasi yang baik akan menciptakan iklim yang ideal di dalam organisasi tersebut. Selain komunikasi, sebuah organisasi umumnya memiliki unsur-unsur seperti budaya komunikasi maupun strategi komunikasi. Kedua unsur tersebut diasumsikan dapat mempengaruhi atau menciptakan iklim komunikasi di dalam sebuah organisasi.
Seperti yang telah dijelaskan di dalam latar belakang bahwa komunikasi yang terbentuk di dalam Pemprov. DKI Jakarta didasari oleh posisi sebuah individu yang ada di dalam unit kerja. Dalam arti semakin tinggi posisi yang dimiliki oleh seseorang maka ia memiliki batasan komunikasi yang lebih luas dibandingkan individu lain yang tidak memiliki posisi yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan komunikasi yang terjadi tidak berjalan maksimal. Sebaiknya komunikasi yang terbentuk tidak hanya didasari oleh posisi seseorang tetapi juga kebutuhan yang terus berubah setiap saat.
Dalam bukunya, Organizational Communication, Pace and Faules menyatakan bahwa komunikasi organisasi terjadi bilamana sedikitnya salah seorang yang memiliki suatu posisi di dalam sebuah organisasi menyampaikan pesannya terhadap anggota organisasi yang lain dengan harapan anggota tersebut mengerti maksud dan arti dari pesan yang disampaikan.
Selain komunikasi, organisasi juga dipengaruhi oleh iklim yang terbentuk. Dimana iklim yang ada juga dibentuk dari unsur-unsur organisasi yang lain seperti budaya dan strategi komunikasi. Seperti yang disampaikan oleh Litwin and Stringer (1968 : 5) adalah organizational climate is the perceived, subjective effects of the formal system, the informal style of managers and other important environmental factors on the attitudes, believes, values and motivation of people who work in a particular organization. Iklim komunikasi organisasi terdiri dari persepsi-persepsi atas unsur-unsur organisasi dan pengaruh unsur-unsur tersebut terhadap komunikasi.
Oleh karena itu hubungan antara komunikasi, iklim dan organisasi begitu erat dan saling berkaitan. Di dalam suatu organisasi akan terbentuk suatu iklim yang di dalamnya termasuk bentuk komunikasi, budaya maupun strategi komunikasi. Unsur-unsur tersebut membentuk sebuah iklim dimana iklim tersebut diasumsikan mempengaruhi perilaku anggota organisasi yang ada baik positif maupun negative.
Hal inilah yang terjadi di dalam Pemprov. DKI Jakarta. Iklim organisasi yang terbentuk diasumsikan mempengaruhi atau menciptakan perilaku anggota organisasi yang bisa berdampak pada pelaksanaan kerjasama luar negeri. Iklim tersebut kemungkinan dibentuk oleh bentuk komunikasi yang ada, budaya serta strategi komunikasi yang diterapkan.
Untuk bisa mempelajari bagaimana iklim komunikasi yang terbentuk di dalam organisasi birokrasi seperti Pemprov. DKI Jakarta sekaligus mengetahui apakah ada implikasi yang terjadi terhadap pelaksanaan kerjasama luar negeri maka peneliti akan melakukan penelitian di dalam unit kerja Biro KDH dan KLN. Sebagai unit kerja yang fungsinya sebagai koordinator dan fasilitator bagi unit-unit kerja lain yang berhubungan dengan kerjasama luar negeri maka sangatlah penting untuk bisa memahami apa yang terjadi di dalam unit tersebut sehingga pelaksanaan kerjasama luar negeri bisa berjalan maksimal.

C. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk bisa menjawab pertanyaan sebagai berikut yaitu bagaimana iklim organisasi yang terbentuk di dalam organisasi birokrasi dan apakah berimplikasi terhadap pelaksanaan kerjasama luar negeri serta mengetahui apakah budaya dan strategi komunikasi dapat mempengaruhi pembentukan iklim sebuah organisasi.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui iklim organisasi yang terbentuk di dalam sebuah organisasi birokrasi serta melihat apakah iklim organisasi yang ada dapat berimplikasi pada pelaksanaan kerjasama luar negeri. Selain itu juga peneliti berharap dapat mengetahui bilamana unsur-unsur organisasi seperti budaya dan strategi komunikasi dapat mempengaruhi atau menciptakan iklim sebuah organisasi. Selain itu juga diharapkan dengan hasil penelitian ini bisa memberikan pencapaian yang maksimal bagi kerjasama luar negeri sehingga kota Jakarta berkembang seperti apa yang diharapkan oleh setiap penduduknya.

TESIS PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP KOMITMEN KEORGANISASIAN PEGAWAI

Posted: 13 Feb 2014 06:16 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0236) : TESIS PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP KOMITMEN KEORGANISASIAN PEGAWAI (PROGRAM STUDI : KOMUNIKASI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Membahas instansi pemerintah di Indonesia pastilah tidak lepas dari bahasan birokrasi. Menurut Max Weber, kata birokrasi mula-mula berawal dari kata legal-rasional. Organisasi disebut rasional dalam hal penetapan tujuan dan perancangan organisasi untuk mencapai tujuan tersebut. Organisasi tersebut legal karena wewenangnya berasal dari seperangkat aturan, prosedur dan peranan yang dirumuskan secara jelas (Masmuh, 2010 : 123).
Pada zaman orde baru, peran birokrat lebih besar kepada hal-hal melanggengkan kekuasaan dibandingkan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Hal ini tidak lepas dari sistem birokratis otoriter yang dijalankan oleh rezim orde baru. Model birokrasi Orde Baru disebut juga bureaucratic polity yang memiliki artian suasana politik menentukan segala yang terjadi dalam lingkungan domestik dan negara. Karakteristik semacam ini didukung oleh beberapa ciri. Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi itu sendiri. Kedua, parlemen, partai politik maupun kelompok kepentingan berada dalam posisi yang begitu lemah tanpa mampu mengontrol jalannya birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik adalah pasif tanpa peran yang berarti. Keberadaan birokrasi di era Orde Baru seakan disalahartikan oleh penguasa, karena birokrasi dijadikan alat tunggangan untuk mempertahankan kekuasaan.
Peristiwa reformasi tahun 1998 yang menandai jatuhnya orde baru membawa beberapa perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Masyarakat saat ini semakin cerdas dan dewasa. Masyarakat semakin sadar akan hak-hak yang dimilikinya untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintahnya. Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, ber prosedur jelas, dilaksanakan dengan segera, dan dengan biaya yang pantas, telah terus mengedepan dari waktu ke waktu. 
Penyelenggaraan pelayanan publik tersebut dilaksanakan oleh dua pihak yaitu pemerintah dan swasta. Sebagai penyelenggara utama pelayanan publik, pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dinilai masih tidak maksimal. Kondisi ini bersumber dari permasalahan sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Kekecewaan terhadap hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun melalui media massa. Masyarakat menuntut agar pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah menjadi lebih baik.
Organisasi adalah suatu kumpulan individu yang memiliki tugas bersama untuk mencapai tujuan tertentu (De Vito, 1997 : 337). Semuanya diatur dalam AD/ART organisasi tersebut. Setiap individu di dalam organisasi memilki peran dan tanggungjawab yang berbeda-beda demi tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Semakin besar organisasi akan semakin kompleks struktur organisasi yang akan berakibat pada semakin panjangnya rantai pencapaian organisasi tersebut. Namun hal ini dapat diatasi jika iklim organisasi sangat mendukung. Iklim organisasi adalah bersifat abstrak dan hanya dapat dirasakan antara lain kepercayaan pimpinan terhadap bawahan, kedisiplinan, keteladanan, keterbukaan, tolong menolong, kekeluargaan, kedekatan dan situasi yang nyaman dan kondusif sehingga semua orang merasa nyaman bekerja. Iklim organisasi ini akan menciptakan suasana kerja yang baik demi tercapainya tujuan organisasi.
Setiap anggota di dalam organisasi memiliki peran dan sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Setiap individu dengan peran yang berbeda akan saling bantu membantu untuk dapat sampai pada tujuan semula. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, diperlukan media untuk menyatukan setiap unit, divisi, bagian, departemen yang mana didalamnya berisi individu-individu. Adanya pimpinan/leader akan sangat membantu mengarahkan dan memimpin bawahannya supaya selalu fokus pada tujuan organisasi. Pemimpin harus dapat mengkomunikasikan visi dan misi organisasi sehingga semua bagian/unit dapat ikut terlibat dalam pencapaian tujuan organisasi.
Komunikasi sebagai kunci pokok keberhasilan organisasi. Supaya dapat mempersatukan setiap kepentingan bagian atau unit dengan sub tujuan organisasi harus diciptakan si stem komunikasi yang mampu mewadahi dan menyatukan setiap individu. Komunikasi yang efektif akan berakibat pada peningkatan hasi kerja (work performance).
Komunikasi di dalam organisasi ini tidak hanya komunikasi yang bersifat instruktif dari atasan ke bawahan namun bisa saja komunikasi terjalin secara horizontal, vertikal dan diagonal. Jenis komunikasi ini akan memperpendek dan sedikit bersifat tidak formal. Ketidakformalan jalur komunikasi juga akan berdampak pada iklim komunikasi. Namun, tidaklah cukup organisasi memiliki jalur komunikasi yang jelas dan tersusun dengan rapi. Komunikasi akan berfungsi dengan baik jika terdapat iklim komunikasi yang sehat. Iklim komunikasi yang sehat berarti adanya saling percaya, saling mendukung dan memperkuat, saling menyatukan, pengertian, terbuka dan jujur. Dengan didasari semangat tersebut maka akan terjadi proses komunikasi yang sehat pula. Dengan demikian tujuan organisasi akan dapat tercapai. Sebaliknya, jika iklim komunikasi tidak berjalan baik maka setiap orang tidak akan merasa aman dan akan terjadi saling mencurigai, menjatuhkan, dan kehilangan kepercayaan dengan sendirinya arus informasi tidak akan berjalan lancar. Kelancaran komunikasi akan saling menguatkan satu sama lain. Dengan sendirinya mereka akan termotivasi untuk bekerja dengan maksimal tanpa adanya tekanan, keraguan dan ketidakpastian.
Berbicara tentang organisasi tentu saja tidak bisa lepas dari sumber daya penting yang menggerakkan organisasi tersebut yaitu manusia atau sumber daya manusia (SDM). Menurut House et al (1993), menyatakan bahwa 30% dari waktu para pimpinan organisasi digunakan untuk mengurusi masalah lingkungan manusia (pegawai) (House et al, 1993 : 81-107). SDM memiliki andil besar dalam menentukan maju atau berkembangnya suatu organisasi.
SDM dalam suatu organisasi akan menentukan berhasil atau tidaknya organisasi tersebut berjalan mencapai tujuannya. SDM yang berkualitas mutlak dibutuhkan oleh organisasi sebagai amunisi utama menembus hambatan-hambatan yang akan ditemui organisasi.
Huselid (1995 : 635-672), SDM yang berkualitas memiliki empat karakteristik yaitu : (1) memiliki competence (knowledge, skill, abilities, experience) yang memadai; (2) commitment pada organisasi; (3) selalu bertindak "cost effectiveness" dalam setiap tindakannya; dan (4) congruence at goals, yaitu bertindak selaras antara tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
Organisasi publik memposisikan SDM sebagai sumber daya yang utama, karena mengemban tugas untuk memberikan pelayanan pada masyarakat, sehingga dibutuhkan SDM yang profesional, kompeten, berkualitas dan memiliki komitmen tinggi (Pynes, 2009 : 480).
Mengacu kepada penelitian terdahulu (Bhuian, Al Shammari dan Jefri, 2001; Shaw dkk., 2003; Yousef, 2000; Shaw, Delery, dan Abdullah dalam Al Qurashi, 2007 : 1-40), rendahnya produktivitas dan kinerja organisasi di sektor publik utamanya di negara berkembang disebabkan oleh rendahnya komitmen pegawai. Sementara itu komitmen pegawai di sektor publik justru merupakan kunci utama dalam menjalankan tanggung jawab administrasinya (Hasan dan Rohrbaugh, 2007 : 1-40).
Menurut Miller, persoalan moral hazard yang melingkupi pegawai di sektor publik, tidak hanya dapat diselesaikan dengan peningkatan insentif dan pemberian sanksi saja, namun lebih dari itu, komitmen organisasi merupakan pengaman utama yang harus dimiliki pegawai di sektor publik dalam menghadapi potensi oportunisme politik (Miller, 2000 : 289-327).
Menurut Mayer (1989), organisasi yang efektif hanya akan ada bila organisasi tersebut memiliki pekerja/pegawai yang berkomitmen. Organisasi harus mengembangkan ikatan psikologis antara pekerja/pegawai dan organisasi dalam bentuk komitmen organisasi dalam rangka menciptakan dedikasi total tenaga mereka terhadap kepentingan-kepentingan, tujuan dan nilai-nilai (Mayer, 1989 : 4-5).
Komitmen organisasi merupakan hal yang penting dalam sebuah organisasi. menurut Benkhoff (1997 : 701), komitmen telah menjadi topic kajian utama sejak 40 tahun yang lalu, karena pengaruhnya yang penting terhadap kinerja organisasi. Menurut Stup, komitmen organisasi adalah suatu hal yang penting bagi organisasi sebab pegawai yang telah berkomitmen terhadap organisasi cenderung tidak akan meninggalkan organisasi guna mencari pekerjaan lain, dan cenderung akan menunjukkan kemampuan terbaiknya (Stup, 2006 : 1).
Pegawai yang memiliki komitmen tinggi sangat berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Pegawai dengan komitmen tinggi memiliki produktivitas dan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan organisasi (Mowday, Porter dan Steer, 1982).
Konsep komitmen seperti yang diketahui adalah sebuah konsep yang sangat kompleks. Komitmen organisasi telah menjadi kata kunci di dalam kehidupan bekerja sehari-hari. Meskipun kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting untuk komitmen organisasi, faktor-faktor lainnya juga memiliki pengaruh yang sama besar dalam komitmen. Faktor-faktor ini mungkin termasuk iklim komunikasi, iklim organisasi, pengalaman kerja, kinerja, motivasi, pengalaman bermasyarakat, kepemilikan dan banyak lainnya (Hasan dan Abdullah, 2005 : 5).
Terkait dengan hal tersebut, dalam berjalannya suatu organisasi pastilah terjadi suatu proses komunikasi. Komunikasi, baik melalui saluran formal maupun informal, adalah darah dari setiap organisasi. Goldhaber menyatakan bahwa kegiatan komunikasi di dalam suatu organisasi disebut komunikasi organisasi. Komunikasi organisasi ini didefinisikan sebagai proses pembentukan dan pertukaran pesan dalam suatu jaringan yang sifat hubungannya saling bergantung satu sama lain untuk mengatasi ketidakpastian lingkungan (Goldhaber, 1993 : 14).
Menurut Pace dan Faules, salah satu ciri komunikasi organisasi yang paling nyata adalah konsep hubungan (relationship). Karena adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara pimpinan dengan pegawai dan sebaliknya, serta antar sesama pegawai (Pace, 2006 : 201). Komunikasi yang efektif tergantung dari hubungan karyawan yang memuaskan dan dibangun berdasarkan iklim komunikasi yang baik dan kepercayaan atau suasana organisasi yang positif (Muhammad, 2001 : 72).
Komunikasi di dalam organisasi ini tidak hanya komunikasi yang bersifat instruktif dari atasan ke bawahan namun bisa saja komunikasi terjalin secara horizontal, vertikal dan diagonal. Jenis komunikasi ini akan memperpendek dan sedikit bersifat tidak formal. Ketidakformalan jalur komunikasi juga akan berdampak pada iklim komunikasi. Namun, tidaklah cukup organisasi memiliki jalur komunikasi yang jelas dan tersusun dengan rapi. Komunikasi akan berfungsi dengan baik jika terdapat iklim komunikasi yang sehat. Iklim komunikasi yang sehat berarti adanya saling percaya, saling mendukung dan memperkuat, saling menyatukan, pengertian, terbuka dan jujur. Dengan didasari semangat tersebut maka akan terjadi proses komunikasi yang sehat pula. Dengan demikian tujuan organisasi akan dapat tercapai. Sebaliknya, jika iklim komunikasi tidak berjalan baik maka setiap orang tidak akan merasa aman dan akan terjadi saling mencurigai, menjatuhkan, dan kehilangan kepercayaan dengan sendirinya arus informasi tidak akan berjalan lancar. Kelancaran komunikasi akan saling menguatkan satu sama lain. Dengan sendirinya mereka akan termotivasi untuk bekerja dengan maksimal tanpa adanya tekanan, keraguan dan ketidakpastian.
Manajer berkomunikasi sehari-hari dengan bawahan mereka biasanya akan memberikan umpan balik pada kinerja, pelaksanaan penilaian kinerja, memberikan informasi dan sebagainya. Tindakan ini pada gilirannya memfasilitasi mengembangkan atau meniadakan komitmen organisasi bawahan karena cara ini dianggap praktik yang mempengaruhi tingkat komitmen.
Pendekatan yang digunakan dalam memberikan motivasi pada pegawai perlu memperhatikan karakteristik pegawai yang bersangkutan. Studi yang dilakukan oleh Jerkewitz (2001) membandingkan antara karyawan dan supervisor sektor publik dan swasta memberikan hasil yang berbeda. Pada pegawai sektor publik lebih cenderung motivasi kerja mereka disebabkan oleh adanya kestabilan dan keamanan dalam bekerja di masa mendatang sebagai faktor utama yang berpengaruh. Sedangkan untuk karyawan sektor swasta motivasi mereka bekerja sangat dipengaruhi oleh tingginya gaji yang mereka peroleh dan kesempatan untuk meraih jenjang yang lebih tinggi. Pada tingkat supervisor, motivasi pegawai dalam bekerja pada instansi publik dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam memberikan kontribusi dalam membuat keputusan-keputusan yang penting (Jerkewitz, 2001 : 230-250).
Telah umum diasumsikan bahwa organisasi pada sektor publik lebih mungkin untuk mempekerjakan individu yang nilai dan kebutuhannya konsisten dengan misi pelayanan publik dari organisasi. Dibebankan dengan tugas mempromosikan kesejahteraan sosial secara umum, serta perlindungan masyarakat dan setiap individu di dalamnya, organisasi publik seringkali memiliki misi dengan lingkup yang lebih luas dan lebih berdampak besar daripada biasanya ditemukan di sektor swasta (Baldwin, 1994 : 80-89).
Pengelolaan orang di tempat kerja merupakan bagian integral dari proses manajemen. Untuk memahami pentingnya orang-orang dalam organisasi adalah untuk mengenali bahwa unsur manusia dan organisasi adalah sama. Beberapa pemimpin tidak menghargai fakta bahwa karyawan harus termotivasi untuk memastikan mereka melakukan apa yang mereka harus lakukan sehingga tujuan dan sasaran organisasi tercapai (Ayo dan Shadare, 2009 : 9).
Iklim komunikasi organisasi yang ada di ANRI saat ini turut mempengaruhi kondisi komitmen keorganisasian pegawainya. Apabila iklim komunikasi organisasinya baik maka komitmen organisasi pegawainya akan tinggi. Begitu juga dengan motivasi kerja apabila motivasi kerja pegawai ANRI tinggi maka komitmen organisasi pegawainya juga akan tinggi. Kedua hal tersebut juga bermakna sebaliknya apabila kedua faktor tersebut buruk atau rendah makan akan rendah juga komitmen keorganisasian pegawai ANRI.

B. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh antar 2 (dua) variabel yaitu iklim komunikasi organisasi, dan motivasi kerja, terhadap variabel komitmen organisasi. Perumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini yaitu : 
1. Bagaimana komitmen organisasi pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia ?
2. Apakah ada pengaruh iklim komunikasi organisasi secara parsial terhadap komitmen organisasi pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia ?
3. Apakah ada pengaruh motivasi kerja secara parsial terhadap komitmen organisasi pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia ?
4. Apakah ada pengaruh motivasi kerja dan iklim komunikasi organisasi secara simultan terhadap komitmen organisasi pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka secara umum tujuan penelitian yang diajukan ini adalah untuk menganalisis sejauh mana pengaruh hubungan antara motivasi pegawai dan iklim komunikasi organisasi terhadap komitmen kerja pegawai secara keseluruhan.
Secara khusus, tujuan penelitian yang diajukan ini yaitu : 
1. Mengetahui komitmen organisasi pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia.
2. Mengetahui pengaruh antara iklim komunikasi organisasi secara parsial terhadap komitmen organisasi pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia.
3. Mengetahui pengaruh motivasi kerja secara parsial terhadap komitmen organisasi pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia.
4. Mengetahui pengaruh iklim komunikasi organisasi dan motivasi kerja secara simultan terhadap komitmen organisasi pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia.

D. Pembatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam lingkup yang terbatas yaitu pada pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia yang telah menjadi pegawai negeri sipil atau telah menjalani masa kerja lebih dari dua tahun.

E. Sistematika Penulisan
Tesis ini ditulis secara sistematis dalam enam bab yang saling berkaitan antara satu bab dengan bab lainnya, sebagai berikut : 
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan penelitian, signifikansi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : KERANGKA TEORITIK
Di dalam bab ini dijelaskan tentang definisi variabel dan konsep-konsep yang digunakan sebagai dasar penelitian. Variabel yang ada di dalamnya adalah variabel komitmen organisasi, motivasi kerja dan iklim komunikasi organisasi. Bab ini berisikan juga model penelitian dan hipotesis teoretik.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada metode penelitian dijelaskan tentang pendekatan penelitian, lokasi penelitian, waktu penelitian, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian dan pengukuran variabel penelitian. Bab ini berisikan juga model penelitian dan hipotesis penelitian dan statistik.
BAB IV : GAMBARAN UMUM ORGANISASI
Dalam bab ini dijelaskan gambaran umum tentang Arsip Nasional Republik Indonesia yang ditinjau dari sejarah singkat, tugas/fungsi/misi, struktur organisasi, personalia (keadaan umum pegawai, dan keadaan pegawai menurut pendidikan).
BAB V : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Bab ini membahas hasil penelitian yang berkaitan dengan komitmen yang mencakup analisis responden terhadap 2 (dua) variabel yaitu motivasi kerja dan iklim komunikasi organisasi.
BAB VI : PENUTUP
Pada bab ini berisi simpulan dan saran yang disusun berdasarkan hasil penelitian yang didapat.

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI DINAS KESEHATAN

Posted: 13 Feb 2014 06:11 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0235) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI DINAS KESEHATAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Hal ini diwujudkan dalam pemberian otonomi kepada daerah. Secara hukum, otonomi yang diberikan kepada daerah diatur dalam TAP MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraannya, Otonomi Daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerintahan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Menurut Raharjo (2004), pelaksanaan TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 lebih lanjut diwujudkan dengan penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan Otonomi kepada Daerah Kabupaten/Kota didasarkan kepada azas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dalam kewenangan otonomi yang luas ini tercakup keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang meliputi kewenangan bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter data fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Lebih lanjut, Tambunan (2005) menyatakan bahwa pemberian kewenangan pemerintahan yang luas kepada daerah membawa konsekuensi langsung berkurangnya kewenangan Pemerintah Pusat terhadap daerah dan penambahan tanggung jawab kepada daerah. Terjadinya penambahan wewenang membawa konsekuensi penambahan tugas kepada daerah. Untuk melaksanakan semua tugas itu kemudian dilakukan restrukturisasi kelembagaan.
Sejalan dengan restrukturisasi yang dilakukan, dibutuhkan peningkatan kinerja pegawai agar dapat melaksanakan tugas yang ada sebaik mungkin. Untuk itu perlu diperhatikan sikap dasar pegawai terhadap diri-sendiri, kompetensi, pekerjaan saat ini serta gambaran mereka mengenai peluang yang bisa diraih dalam struktur organisasi yang baru. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa perubahan struktur organisasi yang baru dapat mengakibatkan stress dan kecemasan karena menghadapi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Pada saat inilah faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja yang tinggi sangat berperan (Tambunan, 2005).
Faktor kepemimpinan dari atasan dapat memberikan pengayoman dan bimbingan kepada pegawai dalam menghadapi tugas dan lingkungan kerja yang baru. Pemimpin yang baik, akan mampu menularkan optimisme dan pengetahuan yang dimilikinya agar pegawai yang menjadi bawahannya dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik.
Dalam melaksanakan pekerjaan, pegawai tidak lepas dari komunikasi dengan sesama rekan sekerja, dengan atasan dan dengan bawahan. Komunikasi yang baik dapat menjadi sarana yang tepat dalam meningkatkan kinerja pegawai. Melalui komunikasi, pegawai dapat meminta petunjuk kepada atasan mengenai pelaksanaan kerja. Melalui komunikasi juga pegawai dapat saling bekerja sama satu sama lain.
Iklim organisasi yang kondusif juga dibutuhkan dalam meningkatkan kinerja pegawai. Hubungan yang baik dengan atasan, sesama rekan kerja dan bawahan dalam lingkungan kerja, akan memberi semangat kerja bagi pegawai. Selain itu keberadaan sarana prasarana yang menunjang pelaksanaan kerja juga mutlak diperlukan demi kelancaran pelaksanan tugas. Apabila semua itu tercipta di lingkungan kerja, maka akan meningkatkan kinerja karyawan.
Faktor motivasi juga tidak kalah penting dalam meningkatkan kinerja pegawai. Motivasi menjadi pendorong seseorang melaksanakan suatu kegiatan guna mendapatkan hasil yang terbaik. Oleh karena itulah tidak heran jika pegawai yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi biasanya mempunyai kinerja yang tinggi pula. Untuk itu motivasi kerja pegawai perlu dibangkitkan agar pegawai dapat menghasilkan kinerja yang terbaik.
Dari survey awal yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten X dapat diketahui bahwa kinerja pegawai di kantor tersebut masih kurang baik. Hal ini terlihat dari masih banyaknya tugas yang dilakukan dengan waktu yang terlalu panjang dari yang ditentukan. Selain itu dari segi penyelenggaraan administrasi juga masih kurang baik, yang terlihat dari masih sering terjadi surat yang hilang, padahal surat tersebut dibutuhkan untuk arsip dinas.
Semua permasalahan yang terungkap dari survey awal tersebut dinyatakan pegawai yang dijadikan responden awal, disebabkan karena kurangnya pengarahan dari pimpinan mengenai mekanisme kerja yang efektif, sehingga pegawai cenderung melaksanakan pekerjaan sesuai persepsinya sendiri. Di lain pihak dari segi pegawai sendiri kurang komunikasi untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahaminya dalam pelaksanaan kerja. Semua itu terjadi karena iklim organisasi yang ada kurang kondusif untuk memungkinkan terjadinya komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping pegawai sendiri kurang mempunyai motivasi untuk mendapatkan hasil kerja yang terbaik.
Berdasarkan uraian di atas, nampak betapa pentingnya peranan faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja dalam meningkatkan kinerja pegawai. Hal ini mendorong penulis untuk meneliti seberapa besar pengaruh tersebut terhadap kinerja pegawai dan menuliskan hasilnya dalam tesis berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor kepemimpinan secara parsial terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor komunikasi secara parsial terhadap kinerja Pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor iklim organisasi secara parsial terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor motivasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi secara simultan terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor kepemimpinan secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor komunikasi secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor iklim organisasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
4. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor motivasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
5. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja secara simultan terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai pendalaman tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan sumber daya manusia serta upaya identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.
2. Manfaat bagi Unit Kerja
Diharapkan dapat memberikan gambaran dan rekomendasi bagi Pimpinan dan seluruh jajaran khususnya di lingkungan Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam menentukan kebijaksanaan dan mengambil keputusan untuk meningkatkan kinerja para pegawainya.
3. Bagi Penulis
Sebagai upaya lebih mendalami masalah-masalah Sumber Daya Manusia serta mendekatkan antara teori-teori dan praktek di lapangan.

TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI

Posted: 13 Feb 2014 06:09 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0234) : TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendirian organisasi diawali adanya beberapa tujuan tertentu yang harus dilakukan dengan persetujuan bersama diantara anggota organisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Sumber daya seperti tanah, modal dan keahlian belum menjamin tercapainya tujuan organisasi apabila sumber daya manusia (SDM) tidak dioptimalkan sesuai dengan fungsi masing-masing. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu sorotan dalam pelaksanaan pemerintahan yang merupakan salah satu bentuk organisasi, menyangkut kesiapan, jumlah sumber daya manusia (SDM), pendidikan, dan profesionalisme.
Wahyuningrum (2008) mengatakan, bahwa peningkatan kinerja pegawai menjadi penting mengingat perubahan arah kebijakan pemerintah, sebagaimana dikehendaki oleh semangat reformasi untuk lebih luas memberi ruang gerak dan peran serta yang lebih besar bagi masyarakat dalam kegiatan pemerintah dan pembangunan, dimana pemerintah beserta aparaturnya lebih berperan sebagai fasilitator. Perubahan arah kebijakan tersebut membawa implikasi terhadap kemampuan profesionalisme pegawai dalam menjawab tantangan era globalisasi dalam menghadapi persaingan ketat dengan negara-negara lain di dunia.
Kinerja mengacu pada prestasi karyawan yang diukur berdasarkan standar atau kriteria yang ditetapkan oleh organisasi. Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier (dalam As'ad, 2003) sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi Lawler and Poter menyatakan, bahwa kinerja adalah "successful role achievement" yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya (As'ad, 2003). Dari batasan tersebut As'ad menyimpulkan, bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peningkatan kinerja aparatur merupakan hal yang mendesak untuk melaksanakan demi tercapainya pemerintahan yang lebih baik dalam menjalankan tugas negara dan melayani kepentingan masyarakat.
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menggambarkan kinerjanya didorong oleh suatu kekuasaan dalam diri, kekuatan pendorong inilah yang disebut motivasi. Menurut Luthans (2006) motivasi adalah proses sebagai langkah awal seseorang melakukan tindakan akibat kekurangan secara fisik dan psikis atau dengan kata lain adalah suatu dorongan yang ditunjukkan untuk memenuhi tujuan tertentu. Selain motivasi, factor lain yang mempengaruhi kinerja pegawai adalah disiplin kerja, yang dapat ditunjukkan dalam penelitian Lina (2009) bahwa motivasi dan disiplin kerja mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kinerja pegawai. Oleh karena itu kedua hal tersebut perlu diperhatikan oleh pimpinan organisasi dalam rangka peningkatan kinerja bagi para setiap pegawai.
Kedisiplinan merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang dalam mentaati semua peraturan organisasi dan norma social yang berlaku (Hasibuan, 2003). Selain itu, berbagai aturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan kedisiplinan agar para pegawai dapat mematuhi dan melaksanakan peraturan yang berlaku. Peraturan itu biasanya diikuti sanksi yang diberikan bila terjadi pelanggaran. Sanksi tersebut bisa berupa teguran baik lisan maupun tertulis, skorsing, penurunan pangkat bahkan sampai pemecatan kerja tergantung dari besarnya pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan agar para pegawai bekerja dengan disiplin dan bertanggungjawab atas pekerjaannya. Ukuran yang dipakai dalam menilai apakah pegawai tersebut disiplin atau tidak, dapat terlihat dari ketepatan waktu dalam bekerja, etika berpakaian, serta penggunaan sarana kantor secara efektif dan efisien. Melalui disiplin yang tinggi kinerja pegawai pada dasarnya dapat ditingkatkan. Oleh sebab itu perlu penegasan disiplin kerja kepada setiap pegawai demi tercapainya tujuan organisasi.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bambang Saputra (2007) tentang pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan menunjukkan, bahwa motivasi tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai sedangkan disiplin kerja berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai.
Penelitian Ahmad Saifudin (2011) tentang pengaruh kepemimpinan dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai yang menunjukkan, bahwa disiplin kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai.
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dan Wahyuddin (2003) menunjukkan, bahwa motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai, dan dalam penelitian ini juga menyatakan motivasi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kinerja pegawai. Dari penelitian ini, hubungan antara motivasi dan kinerja berbanding lurus, artinya bahwa semakin tinggi motivasi karyawan dalam bekerja, maka kinerja yang dihasilkannya juga tinggi.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya perbedaan variabel yang dapat mempengaruhi kinerja sumber daya manusia, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai khususnya di lembaga yang berperan dalam mengembangkan, meningkatkan kualitas dan mengkoordinasikan unsur pekerjaan dalam masyarakat.

B. Persoalan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka persoalan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan motivasi terhadap kinerja pegawai?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan persoalan penelitian tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk menguji pengaruh motivasi terhadap kinerja pegawai.
2. Untuk menguji pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja pegawai.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Akademik
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan pijakan informasi, referensi dan kajian bagi para akademisi serta pihak yang berkepentingan untuk memperkaya kajian akademisi tentang kinerja pegawai.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini secara praktis dapat memberikan informasi akademisi bagi pengambil kebijakan tentang pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai.

TESIS PELATIHAN TEAM BUILDING UNTUK MENINGKATKAN FEEDBACK ENVIRONMENT DAN KUALITAS TEAM MEMBER EXCHANGE

Posted: 13 Feb 2014 06:01 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0233) : TESIS PELATIHAN TEAM BUILDING UNTUK MENINGKATKAN FEEDBACK ENVIRONMENT DAN KUALITAS TEAM MEMBER EXCHANGE (PROGRAM STUDI : PSIKOLOGI)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Organisasi yang memiliki keinginan untuk berkembang dan besar, harus mampu menghadapi perubahan teknologi, ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan, baik yang terprediksi maupun yang tidak. Perubahan yang terjadi di dalam organisasi, memungkinkan organisasi tersebut mampu bersaing, secara profesional dan menampilkan kinerja yang baik sehingga dapat bertahan dan berkembang secara optimal. Perubahan yang dilakukan antara lain dengan mengubah struktur organisasi dan lebih berorientasi pada kinerja tim.
Penggunaan tim dalam penyelesaian suatu pekerjaan dirasa lebih efektif. Tim dan teamwork dalam organisasi dapat meningkatkan partisipasi dan inovasi, pengurangan kesalahan, peningkatan kualitas, peningkatan responsiveness, efisiensi biaya, pelayanan kepada konsumen yang lebih baik, serta peningkatan kepuasan karyawan (DeGrosky, 2006). Selain itu, tim juga dianggap dapat membantu memperbaiki produktivitas dan kualitas kinerja (Riggio, 2008).Tim terdiri dari individu yang memiliki kemampuan, bakat dan pengalaman yang berbeda-beda, hal itu, membuat tim lebih efektif dalam menghasilkan pemecahan masalah yang lebih kreatif (Lyod, 2005). Tim dianggap sebagai struktur kerja yang ideal karena di dalamnya terdapat anggota yang dapat saling mempengaruhi pikiran dan persepsi masing-masing anggota, sehingga keputusan yang dihasilkan akan lebih baik (Kotze, 2008).
Tim merupakan sekelompok individu dengan derajat ketergantungan yang tinggi antar anggota, yang berupaya untuk menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan bersama (Parker, 2008). Sedangkan menurut Forsyth (2010), tim merupakan sekelompok individu yang terorganisasi dan bekerja sama untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh individu. Proses kerjasama antar anggota tim dalam mencapai tujuan disebut teamwork. Teamwork merupakan proses psikologis, perilaku dan mental anggota tim dalam berkoordinasi satu sama lain dalam melaksanakan tugas dan upaya mencapai tujuan tim (Forsyth, 2010).
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi produktivitas tim, antara lain adalah pengalaman melaksanakan tugas, latihan dalam menyelesaikan tugas, kompleksitas tugas, beban tugas, interaksi, kooperasi dan koordinasi antar anggota tim (Johnson & Johnson, 2009). Menurut social exchange theory dalam suatu hubungan sosial terdapat pertukaran yang membuat hubungan tersebut terjalin (Blau, 1964 dalam Counnase, 2011). Jika dikaitkan dengan hubungan yang terjalin antar anggota dalam suatu tim, maka hubungan tersebut terjalin karena adanya pertukaran sumber daya (resources) antar anggota tim. Sumber daya yang ditukar dapat berupa usulan, gagasan, atau ide, feedback (umpan balik), informasi dan bantuan.
Pertukaran sumber daya antar anggota di dalam tim, menjadi hal yang mendasari terbentuknya hubungan kerja antara anggota tim dengan rekan kerjanya yang disebut sebagai team member exchange (TMX). Kualitas team member exchange yang tinggi ditunjukkan oleh tingkah laku anggota tim yang menggunakan kesempatan yang ada untuk bekerjasama, memberikan kontribusi kepada tim dengan membantu rekan kerja, berbagi informasi, gagasan atau ide dan saling memberikan feedback (umpan balik) di dalam tim (Seers, 1989 dalam Seers, Petty & Cashman, 1995).
Individu yang memiliki kualitas TMX yang tinggi akan berinteraksi dengan anggota kelompok lain secara akrab, lebih kooperatif, mengeluarkan usaha yang lebih kolaboratif dan mendapatkan penguatan sosial (social reward) (Pollack, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Petty, Seers dan Cashman (1995) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kualitas team member exchange tinggi dapat mendorong terbentuknya tim yang efektif dan kohesif. Adanya pertukaran informasi dan pertukaran ide dalam tim membuat masalah yang ada dapat terpecahkan dan keputusan yang dibuat mewakili pendapat anggota dalam tim, sehingga anggota dalam tim merasakan adanya kesamaan persepsi dan tujuan dengan tim.
Selain itu, pada tingkat individu TMX juga berhubungan dengan organizational citizenship behavior (Murillo & Steelman, 2004). Secara umum OCB merupakan perilaku di luar kewajiban kerja yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi (Organ, Podsakoff & MacKenzie, 2006). Kualitas TMX tinggi yang dimiliki individu dalam tim, dapat terlihat melalui dukungan dan arahan yang diberikan kepada anggota lain dalam tim. Selanjutnya dukungan diteruskan kepada anggota lain dalam tim yang membutuhkan. Saat terjadi dalam organisasi, dukungan dan arahan yang saling diberikan oleh anggota tim dan dilakukan di luar kewajiban kerja, dapat mengarah pada efisiensi dan efektivitas kerja organisasi atau organizational citizenship behavior.
Pada tingkat kelompok, TMX berkorelasi dengan efektivitas pengambilan keputusan (Alge, Whiethoff & Klein, 2003 dalam Pollack, 2009) dan memiliki dampak positif terhadap kinerja kelompok (Eby & Dobbins, 1997 dalam Pollack, 2009). Kelompok dengan tingkat kualitas TMX yang tinggi akan menunjukkan kinerja yang baik pada tugas yang memiliki tingkat ketergantungan antar anggota tim (task interdependent) yang tinggi untuk menyelesaikannya. Hal ini terjadi karena tugas dengan yang memiliki tingkat ketergantungan antar anggota tim (task interdependent) yang tinggi memerlukan koordinasi dari anggota tim untuk penyelesaian tugas. Begitu pula dengan pengambilan keputusan, diperlukan konsensus dari anggota tim agar keputusan yang dihasilkan efektif
Penelitian yang dilakukan oleh Liden, Wayne dan Sparrowe (2000 dalam Murillo & Steelman, 2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas TMX dengan kinerja anggota dalam tim. Tim yang memiliki kualitas TMX tinggi mendorong anggotanya untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasi bahwa tim yang memiliki tingkat TMX tinggi akan dapat menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan tim dengan kualitas TMX yang lebih rendah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wech (2001) menunjukkan bahwa tim dengan kualitas TMX yang tinggi mempermudah anggotanya dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga kepuasan kerja anggota dalam tim meningkat. Tingkat TMX yang tinggi pada tim, dicirikan oleh anggota yang bersedia untuk memberikan saran dan feedback (umpan balik) mengenai cara kerja yang lebih baik, berkomunikasi, dan bertukar peran saat dibutuhkan. Feedback (umpan balik) dapat diartikan sebagai informasi yang diberikan dan diterima oleh individu terkait kinerjanya (London, 2003). Feedback (umpan balik) dapat berasal dari berbagai sumber, seperti atasan, rekan kerja, bawahan dan pihak lain di luar organisasi, seperti pelanggan, dan proses pengerjaan tugas (tugas dan diri sendiri) (Hagen, Fisher & Taylor, 1979), serta terjadi pada situasi formal, seperti saat penilaian kinerja (performance appraisal), atau saat informal.
Feedback (umpan balik) memiliki berbagai keuntungan bagi penerimanya. Feedback (umpan balik) mampu mengarahkan, memotivasi, dan mendorong tingkah laku yang efektif dan mengurangi atau menghentikan tingkah laku yang tidak efektif (London, 2003), karena dalam feedback (umpan balik) terdapat aspek evaluasi, sehingga penerima feedback (umpan balik) menjadi tahu hal apa yang bisa mereka kerjakan dengan baik, dan seberapa baik hasil kerja penerima feedback (umpan balik) jika berusaha lebih keras lagi.
Selain itu, feedback (umpan balik) juga dapat meningkatkan motivasi dan performa menerima feedback (umpan balik) khususnya motivasi ekstrinsik melalui pujian, penghargaan atau kritik (Armstrong, 2006). Dari feedback (umpan balik) yang diberikan, penerima feedback (umpan balik) bisa merasa di dukung dan merasa dihargai saat tahu bahwa mereka bekerja dengan baik. Hal ini yang nantinya berpengaruh terhadap motivasi.
Selanjutnya, feedback (umpan balik) juga dapat digunakan untuk pengembangan diri individu penerima feedback (umpan balik). Dalam feedback (umpan balik), dapat dijelaskan mengenai pencapaian yang telah individu dapatkan dan kesempatan yang tersedia dalam meraih tujuan yang diinginkannya (Armstrong, 2006). Feedback (umpan balik) juga meningkatkan rasa keterkaitan diri individu penerima feedback (umpan balik) dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Individu menyadari bahwa kontribusi dari dirinya berpengaruh terhadap penyelesaian tugas dan tujuan yang harus dicapai (London, 2003). Pada tim, dimana pencapaian tujuan bergantung kepada pencapaian setiap anggotanya dan setiap anggota memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda, feedback (umpan balik) membantu memfokuskan perilaku kerja yang dapat mengarah pada hasil yang sama, yaitu perilaku yang dapat mendukung pencapaian tujuan bersama (London, 2003).
Keuntungan yang bisa didapat dari pemberian feedback (umpan balik) akan dapat dimaksimalkan jika lingkungan mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik). Persepsi individu akan kesempatan yang diberikan oleh lingkungan untuk mendapatkan feedback (umpan balik) pada situasi sehari-hari disebut sebagai feedback environment (Steelman, Levy & Snell, 2004). Feedback environment yang positif berarti lingkungan mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik). Feedback environment yang positif ditandai oleh adanya pertukaran feedback (umpan balik) secara terus menerus, komunikasi dua arah, penekanan pada pengembangan diri individu dan penjelasan tentang kinerja yang diharapkan untuk tercapai (Anseel & Lievens, 2007). Feedback environment yang positif merupakan hal penting untuk pemberi dan penerima feedback (umpan balik). Sebagai pemberi feedback (umpan balik), atasan atau rekan kerja yang menganggap penting penggunaan feedback (umpan balik) dan memiliki feedback environment yang positif akan cenderung memberikan feedback (umpan balik) yang berkualitas dan mendukung tingkah laku untuk mencari feedback (umpan balik) (Steelman & Rutkowski, 2004 dalam Bogle, 2010).
Feedback environment yang positif memiliki berbagai dampak diantaranya, meningkatkan hubungan antar anggota tim. Peningkatan hubungan ini terjadi melalui komunikasi sehari-hari atau umpan balik yang diberikan secara informal oleh rekan kerja. Pemberian feedback (umpan balik) secara informal oleh rekan kerja juga dapat mengurangi ambiguitas peran yang dirasakan individu di dalam organisasi (London, 2003), karena melalui komunikasi atau feedback (umpan balik) yang diterima dari rekan kerja, karyawan menjadi paham akan apa yang diharapkan darinya. Selanjutnya, feedback environment yang positif juga mendukung perbaikan kinerja. Melalui pemberian feedback (umpan balik), karyawan diberikan penjelasan mengenai perilaku kerja efektif yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Selain itu, juga bisa dilakukan melalui pemberian reward terhadap perilaku kerja efektif yang berhasil ditunjukkan (Bogle, 2010). Dengan adanya feedback environment yang positif, fungsi feedback (umpan balik) yang dapat digunakan sebagai media evaluasi, pengakuan (recognition) dan pengembangan menjadi semakin mungkin untuk terjadi, dan hal ini dapat mendukung terjadinya peningkatan kinerja (Bogle, 2010).
Di dalam tim, kesuksesan atau kegagalan yang diraih bergantung pada interaksi antara anggota tim. Interaksi ini merupakan salah satu bentuk TMX. Kualitas TMX dapat dipengaruhi oleh komunikasi dalam tim. Komunikasi merupakan proses dimana suatu pesan dikirim kepada penerima (Murillo & Steelman, 2004). Salah satu bentuk dari komunikasi adalah feedback (umpan balik). Pada feedback (umpan balik), pesan yang disampaikan mengandung informasi mengenai kinerja penerima pesan (Hagen, Fisher & Taylor, 1979). Kualitas TMX terlihat melalui pertukaran feedback (umpan balik) yang berisi informasi mengenai kinerja anggota tim, hal ini terjadi pada situasi dimana penerima feedback (umpan balik) dapat kembali memberi feedback (umpan balik) kepada pengirim pesan. Pertukaran feedback (umpan balik) memerlukan komunikasi antar anggota tim dan hal ini mendorong terjadinya TMX.
Penelitian yang dilakukan oleh Murillo & Steelman (2004) dan Murillo (2006) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara feedback environment dengan kualitas TMX. Feedback environment yang positif ditandai oleh adanya pertukaran feedback (umpan balik) secara terus menerus, komunikasi dua arah, penekanan pada pengembangan diri individu dan penjelasan tentang tujuan tim yang diharapkan untuk tercapai. Tujuan tim dapat dicapai melalui interaksi dengan anggota lain dalam tim. Interaksi ini dapat terjadi dalam bentuk berbagi ide, gagasan, saran atau feedback (umpan balik) secara terbuka. Kegiatan berbagi ide, gagasan, saran atau feedback (umpan balik) dalam tim merupakan bentuk pertukaran yang ada pada TMX. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa feedback environment yang positif dapat mengarah pada TMX.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk membuat rancangan program kegiatan yang dapat meningkatkan feedback environment yang dimiliki oleh anggota tim yang nantinya diharapkan dapat mempengaruhi kualitas TMX dalam tim. Rancangan program kegiatan yang diajukan berupa pelatihan team building.
Menurut Noe (2005) team building atau yang disebut juga dengan group building merupakan metode pelatihan yang didesain untuk meningkatkan efektivitas tim atau grup. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pelatihan dengan metode team building diarahkan untuk meningkatkan keterampilan peserta dalam rangka menunjang efektivitas tim. Dalam team building peserta saling berbagi ide dan pengalaman, membangun identitas tim, memahami dinamika hubungan interpersonal, dan saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing dan rekan kerjanya. Teknik ini berfokus untuk membantu tim untuk meningkatkan efektivitas kerjasama tim. Hal ini sejalan dengan pendapat Tannebaum, Beard dan Salas (1992 dalam Damayanie, 2011) yang menyatakan bahwa team building dapat meningkatkan karakteristik anggota tim dan hubungan interpersonal di dalam tim.
Longenecker dan Nykodym (1996 dalam Anseel & Li evens, 2007) menyarankan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan proses pemberian umpan balik sehingga diharapkan akan mempengaruhi feedback environment, diantaranya adalah pemberi dan penerima umpan balik meluangkan waktu yang lebih banyak untuk proses pemberian umpan balik, pemberi umpan balik meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan perilaku kerja yang ditunjukkan oleh penerima umpan balik, pemberi umpan balik menjelaskan perilaku yang diharapkan muncul secara spesifik.
Selain itu, proses pemberian feedback (umpan balik) sebaiknya menekankan pada pengembangan kemampuan dari penerima umpan balik, feedback (umpan balik) yang diberikan sebaiknya tidak hanya berfokus pada hal negatif, pemberian feedback (umpan balik) yang lebih sering dan peningkatan komunikasi dua arah. Intinya adalah pemberi feedback (umpan balik) sebaiknya memiliki perilaku tertentu yang dapat meningkatkan feedback environment. Organisasi dapat mendukung perilaku pemberi feedback (umpan balik) melalui pemberian pelatihan (Anseel & Li evens, 2007).
Oleh karena itu, dengan memberikan intervensi kepada anggota tim melalui pelatihan team building, diharapkan interaksi antar anggota tim dapat meningkat sehingga dapat tercipta suatu kondisi yang mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik) dalam tim (feedback environment yang positif), dan kemudian diharapkan dapat mendorong meningkatnya persepsi terhadap kualitas hubungan timbal balik di dalam tim (team member exchange).

B. Permasalahan
Sebelum berdiri secara mandiri, PT. X merupakan unit usaha syariah yang telah berdiri selama 10 tahun di salah satu bank BUMN di Indonesia. Pada tahun kedua berdiri, atau pada tahun 2002 unit ini mulai menghasilkan laba yang dianggap memiliki prospek jangka panjang, sehingga pada tahun 2003 dilakukan penyusunan rencana untuk berdiri secara mandiri. Realisasi dari rencana tersebut, terlaksana pada tahun 2010. Saat berdiri secara mandiri, PT. X telah memiliki 27 kantor cabang dan 31 kantor cabang pembantu.
Kurangnya kerjasama yang dikeluhkan didukung oleh hasil penyebaran Unblocking Organizational Questionnaire yang dikembangkan oleh Mike Woodcock dan Dave Francis (1994) untuk mengidentifikasi hambatan yang ada di PT. X. Dari hasil penyebaran kuesioner diperoleh data bahwa kurangnya kerjasama (poor teamwork) merupakan salah satu potensi permasalahan di PT. X. Permasalahan kerjasama menjadi penting untuk diperbaiki karena kerjasama merupakan salah satu nilai budaya kerja, yaitu 'Jamaah' yang diharapkan dimiliki oleh setiap karyawan PT. X. Selanjutnya, hasil penyebaran kuesioner kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Spector (1997), menunjukkan bahwa faset kepuasan kerja yang berada pada posisi 3 terendah adalah tunjangan, komunikasi dan gaji. Kepuasan terhadap komunikasi yang terjadi di dalam perusahaan berada pada urutan ke-8 dari sembilan faset yang diukur. Hal ini mendukung keluhan mengenai masalah komunikasi yang terjadi di dalam unit ataupun antar unit.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas hubungan di dalam unit maupun antar unit di PT. X belum menunjukkan kualitas hubungan timbal balik antar anggota tim (team member exchange) yang tinggi, hal ini dapat disebabkan oleh persepsi karyawan terhadap lingkungan yang kurang mendukung anggota tim untuk mendapatkan umpan balik dari rekan kerja atau atasannya (feedback environment). Feedback environment yang kurang dapat diakibatkan oleh masalah komunikasi yang terjadi antar individu dalam unit atau antar unit, selain itu juga bisa disebabkan karena kurangnya kesadaran bekerjasama antar unit.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat korelasi antara feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X ?
2. Apakah terdapat perbedaan skor feedback environment pada karyawan PT. X antara sebelum dan setelah diberikan ?
3. Apakah terdapat perbedaan skor kualitas team member exchange pada karyawan PT. X antara sebelum dan setelah diberikan intervensi berupa pelatihan team building ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah terdapat peningkatan feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X, setelah diberikan intervensi berupa pelatihan team building.
2. Manfaat
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan mengenai faktor yang mempengaruhi kualitas team member exchange, khususnya bagi organisasi yang memiliki struktur tim. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan dalam melakukan intervensi terkait peningkatan efektivitas kerja tim.

E. Sistematika Penulisan
Bab I atau Pendahuluan berisi latar belakang penelitian, permasalahan organisasi yang memuat alasan mengapa peneliti mengangkat topik ini, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan yang terkait dengan konteks penelitian serta sistematika penulisan penelitian ini.
Bab II atau Tinjauan Pustaka berisi penjelasan mengenai teori-teori yang terkait dengan variabel penelitian, yaitu teori mengenai team member exchange, teori feedback environment, teori intervensi berupa pelatihan team building, dan dinamika hubungan antara team member exchange dengan feedback environment serta intervensi berupa pelatihan team building.
Bab III atau Metode Penelitian menguraikan tentang pendekatan penelitian, tipe penelitian, desain penelitian, variabel penelitian, rumusan permasalahan, hipotesis penelitian, responden penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data dan prosedur penelitian.
Bab IV atau Hasil Penelitian, Analisis dan Intervensi berisi gambaran responden penelitian, hasil, analisis dan kesimpulan hasil dari perhitungan awal penelitian serta program intervensi yang diberikan dalam penelitian ini.
Bab V atau Kesimpulan, Diskusi dan Saran memuat jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, dilanjutkan dengan diskusi dari hasil penelitian dan saran praktis maupun teoritis yang dapat diberikan untuk perusahaan maupun penelitian lanjutan.

TESIS TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL

Posted: 13 Feb 2014 05:57 PM PST

(KODE : PASCSARJ-0232) : TESIS TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL (PROGRAM STUDI : PSIKOLOGI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri penerbangan, bahkan diperkirakan permintaan angkutan udara akan meningkat hingga 10 tahun ke depan (Airline Business dalam Manurung, 2010). Kondisi Indonesia yang terdiri dari kepulauan membuat transportasi udara dirasa menjadi solusi yang paling efektif dalam mengatasi kebutuhan konsumen terhadap moda transportasi. Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi perusahaan yang bergerak dalam jasa transportasi udara, termasuk perusahaan yang bergerak dalam bidang pesawat carter. Bahkan beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya bisnis yang bergerak dalam bidang pertambangan, minyak dan gas, serta perkebunan, bisnis pesawat carter semakin meningkat.
Dalam menjalankan bisnisnya, keselamatan penerbangan menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan penerbangan. KNKT mencatat bahwa kecelakaan pesawat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data tahun 2011 menunjukkan terdapat 32 kecelakaan, meningkat dibandingkan tahun 2010 yaitu 18 kecelakaan. Tingginya angka kecelakaan pesawat ini membuat konsumen semakin kritis untuk memilih maskapai yang memiliki tingkat keselamatan tinggi.
Faktor manusia menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam keselamatan penerbangan, karena human error adalah faktor yang paling banyak menyebabkan kecelakaan. Di Indonesia sendiri berdasarkan data KNKT dari seluruh kecelakaan yang terjadi 62,5% disebabkan human error, dimana 12,5% diantaranya disumbang kecelakaan udara. Istilah yang terkait dengan human error dan banyak digunakan dalam psikologi aviasi adalah pilot error. Hawkins dalam Alhial (2007) mendefinisikan pilot error sebagai kesalahan yang dilakukan pilot dalam menjalankan pesawat baik di udara maupun di darat. Pihak yang dapat dikenakan vonis pilot error adalah pilot dan first officer atau copilot.
Salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan yang diakibatkan oleh human error adalah kurangnya kerjasama antara pilot dan kru yang ada dalam pesawat. Dalam menjalankan perannya pilot dan kru diharapkan untuk saling mendukung satu sama lain dengan tetap memonitor kondisi yang ada di sekitarnya dan mengambil tindakan apabila terjadi suatu masalah (Fischer, 2000). Hal ini juga didukung oleh pendapat Salas, Burke, Bowers & Wilson (2000) yang menyatakan bahwa 50% dari total kecelakaan yang disebabkan oleh human error, penyebab utamanya adalah kerjasama yang kurang efektif dari pilot dan kru yang berada di dalam pesawat. Koordinasi yang kurang efektif di dalam pesawat dapat mengakibatkan kebingungan dan pengambilan keputusan yang salah dalam kokpit (Shappel & Wiegmann, 2000). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerjasama tim dalam kokpit memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh human error.
Johnson & Johnson (2006) menjelaskan bahwa tim adalah suatu bentuk interaksi interpersonal yang terstruktur dengan tujuan mencapai tujuan bersama. Sedangkan kerjasama tim adalah seperangkat pemikiran, tindakan dan perasaan yang diberikan oleh masing-masing anggota yang dibutuhkan untuk menjalankan perannya sebagai anggota tim (Brown, 2009). Kerjasama tim tentu saja tidak terlepas dari peran individu yang ada di dalamnya. Individu yang ada dalam tim yang efektif harus mempersiapkan tugas yang harus dilakukan, sehingga mengetahui bagaimana cara mengkoordinasikan aktivitas yang dilakukan, berkomunikasi dengan anggota kelompok lain, dan membuat respon yang efektif saat mengalami perubahan situasi (Brungardt, 2009).
Kerjasama tim dikatakan efektif apabila masing-masing individu dapat menjalankan perannya dengan maksimal untuk mencapai tujuan kelompok. Untuk meningkatkan efektivitas kerjasama tim dapat dilakukan dengan cara memperjelas tujuan yang ingin dicapai kelompok, kejelasan peran dari masing-masing individu di dalam tim dan norma yang berlaku di dalam kelompok, dukungan dari organisasi berupa kebijakan dan sistem yang dapat membantu kinerja tim, serta pemberian coaching dan feedback bagi anggota tim apabila dibutuhkan (Riggio, 2008). Dalam menjalankan fungsinya, tim kerja tentu saja tidak terlepas dari permasalahan yang dapat menghambat pencapaian tujuan kelompok. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut masing-masing anggota kelompok akan diminta untuk menyampaikan pendapat dan memberikan ide untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, yang dituntut dari anggota tim adalah asertivitas dalam mengemukakan pendapatnya.
Hayes (2002) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan suatu cara untuk mengekspresikan diri dengan cara berkomunikasi secara lugas dan jelas, menyatakan sudut pandang dengan perilaku yang sopan dan menghindari penggunaan kalimat yang berkonotasi negatif. Sedangkan Rakos (2006) menjelaskan bahwa perilaku asertif adalah suatu keterampilan untuk mencari, mempertahankan dan meningkatkan pemahaman atau perasaan saat menghadapi situasi yang kurang menyenangkan. Perilaku asertif dapat mendukung individu dalam memecahkan permasalahan, mengatasi konflik yang ada dalam kelompok, dan dapat mencegah terjadinya depresi individu (Johnson & Johnson, 2009). Perilaku asertif dari anggota tim membantu menunjukan pengetahuan, keterampilan merupakan sumber daya yang dibutuhkan tim untuk menjalankan fungsinya. Dengan menunjukkan perilaku asertif, maka individu akan dapat semakin menunjukkan perannya dalam kelompok, dan dengan kata lain menunjukkan kemampuan untuk bekerjasama dalam tim (Salas, Smith-Jentsch & Baker, 1996)

B. Permasalahan
PT. X merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang operator penyewaan pesawat terbang yang berpusat di Jakarta. Sejarah perusahaan dimulai sejak tahun 1978, pada saat terlibat dalam proyek besar untuk mengubah dan memodifikasi helicopter 12 Sikorsky UH-34D berkolaborasi dengan Air Force Indonesia. Pada tahun 1983, PT. X mulai melebarkan ranah bisnis dengan melakukan penerbangan pertama kali sebagai perusahaan jasa penyewaan pesawat, dengan mengoperasikan empat helikopter baru seri S-76 untuk dua klien, yakni perusahaan multinasional gas dan minyak di perairan Jawa. Saat ini perusahaan yang menjadi pelanggan PT. X berasal dari perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang gas, minyak, pertambangan dan perusahaan kesehatan. Dalam melayani pelanggan PT. X menekankan pelaksanaan standar tertinggi dari profesionalisme dan pelayanan yang dapat diukur dari tingkat keamanan, reliabilitas pengiriman, dan kepuasan pelanggan.
Dalam upaya mengembangkan perusahaan, PT. X berencana untuk memperluas ruang lingkup bisnisnya dengan melayani penerbangan private. Selain itu PT. X juga berencana memperluas jangkauan operasional wilayahnya hingga menjangkau wilayah Laos dan Kamboja. Untuk menunjang rencana jangka panjang tersebut, perusahaan menambah armada pesawat yang akan digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen. Penambahan armada menuntut adanya penambahan tenaga kerja pilot yang bertanggungjawab terhadap operasionalisasi penerbangan pesawat. Hanya saja dalam memenuhi kebutuhan pilot, perusahaan mengalami kendala dengan keterbatasan jumlah pilot berpengalaman yang dapat direkrut. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan berusaha untuk mendidik secara mandiri pilot-pilot pemula agar dapat memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar perusahaan.
Dalam rangka mempersiapkan pilot perusahaan, PT. X menyusun program pelatihan bagi pilot-pilot baru (pre operational first officer) yang direkrut oleh perusahaan. Pre operational first officer ini merupakan lulusan dari sekolah tinggi pilot dan sudah memiliki ijin terbang, namun belum memiliki pengalaman bekerja di institusi formal. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini adalah ground training yang mempelajari prinsip-prinsip dasar dalam penerbangan yang terdiri dari safety regulation, Crew Resource Management, dangerous good regulation, dan aviation security. Selanjutnya para peserta akan mengikuti training pemahaman tipe pesawat atau type rifting, simulasi penerbangan, dan terakhir adalah latihan terbang. Setelah mengikuti training-training tersebut, peserta akan menjadi copilot pesawat, sampai dinyatakan lulus uji kompetensi sebagai pilot.
Program pelatihan ini baru dilaksanakan pertama kali pada tahun 2011, dan dirasa penting untuk melakukan evaluasi efektivitas program. Hal ini disebabkan karena menurut pihak perusahaan program ini termasuk program yang baru dan akan menjadi program rutin yang akan dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan dilaksanakan evaluasi diharapkan dapat diketahui hal-hal yang masih perlu ditingkatkan dalam program pelatihan tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Tahap pertama dalam proses evaluasi tersebut adalah mengetahui tujuan pelatihan dan harapan dari perusahaan mengenai program pelatihan tersebut.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada Chief Pilot sebagai atasan dan first officer dan Training Manager didapatkan informasi bahwa tujuan utama dari pelaksanaan pelatihan ini selain untuk memberikan pelatihan yang bersifat teknis juga sebagai sarana pengenalan karyawan baru di dalam lingkungan kerja termasuk rekan kerja, sehingga pada saat sudah turun ke lapangan, mereka mampu bekerjasama dengan baik dengan rekan-rekan kerjanya. la juga berpendapat bahwa kerjasama merupakan faktor yang penting untuk dimiliki oleh pilot dan kru pesawat karena dalam pekerjaan untuk menerbangkan pesawat mereka dihadapkan pada cuaca dan situasi yang berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan koordinasi yang kuat khususnya dari pilot dan first officer mengenai tindakan yang harus dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas tampak bahwa perilaku asertif dan keterampilan kerjasama merupakan hal yang penting untuk dipersiapkan dalam pelatihan first officer sebelum mereka ditugaskan untuk bekerja di lapangan. Dari hasil wawancara awal tampak bahwa pre operational first officer masih perlu meningkatkan perilaku asertifnya. Tanpa adanya perilaku asertif dari pre operational first officer dikhawatirkan akan berakibat pada keterampilan kerjasama dengan rekan kerjanya di masa depan, saat mereka sudah dilibatkan dalam tugas rutin. Untuk itu perlu dilakukan intervensi untuk mengembangkan perilaku asertif bagi pre operational first officer. Dengan meningkatkan perilaku asertif, maka diharapkan hal tersebut juga akan meningkatkan keterampilan kerjasama yang dimiliki oleh pre operational first officer pada saat dilibatkan dalam pekerjaan.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku asertif. Lange & Jakubowski (1998) menjelaskan bahwa secara mandiri asertif dapat dibentuk dengan melakukan evaluasi diri terhadap hal-hal yang menghambat diri untuk menunjukkan perilaku asertif. Cara kedua yang dapat dilaksanakan adalah dengan mencari role model yang tepat dalam menunjukkan perilaku asertif, sehingga responden dapat mengidentifikasi perilaku asertif yang dimiliki role model tersebut. Cara ketiga adalah dengan menurunkan tingkat kecemasan individu dengan membayangkan efektivitas perilaku yang ditunjukkan, meningkatkan keyakinan, dan memberikan pendampingan untuk mengatasi pemikiran yang kurang rasional dalam menerapkan perilaku asertif. Terakhir adalah training perilaku asertif dengan memberikan kognitif, afektif dan prosedur perilaku asertif kepada responden. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa metode training adalah metode yang paling efektif untuk meningkatkan perilaku asertif (Sanders, 2007).

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah untuk penelitian ini adalah : 
1. Apakah ada hubungan antara perilaku asertif dengan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer di PT. X ?
2. Apakah program intervensi yang diberikan dapat meningkatkan perilaku asertif pada pre operational first officer di PT. X ?
3. Apakah program intervensi yang diberikan dapat meningkatkan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer di PT. X ?

D. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyempurnakan program pelatihan bagi pre operational first officer di PT. X, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan kerjasama dalam tim.
2. Manfaat
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya kajian mengenai peningkatan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer pada perusahaan penerbangan. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah peningkatan perilaku asertif dengan memberikan training komunikasi asertif dengan tujuan meningkatkan keterampilan kerjasama/re operational first officer.

E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang permasalahan, permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi penjelasan mengenai teori organisasi yang terkait masalah, serta teori terkait dengan dependent variable dan independent variable dalam penelitian ini.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pendekatan penelitian, tipe penelitian, desain penelitian, rumusan permasalahan, hipotesis kerja, responden penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan prosedur penelitian.
BAB IV PEMBAHASAN HASIL, ANALISIS DAN INTERVENSI
Bab ini berisi gambaran responden penelitian, hasil, analisis, dan kesimpulan hasil dari perhitungan awal, dan program intervensi yang diberikan dalam penelitian
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan penelitian, diskusi dari hasil penelitian, dan saran baik untuk perusahaan maupun untuk penelitian selanjutnya.

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template