download makalah, skripsi, tesis dll. |
- JUDUL TESIS PROGRAM PASCASARJANA 3
- TESIS PENGARUH KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN, TRUST, DAN WORD OF MOUTH NASABAH
- TESIS PENGARUH SERVANT LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN MELAYANI) TERHADAP MOTIVASI PELAYANAN DAN DAMPAKNYA PADA KOMITMEN PELAYANAN MAJELIS JEMAAT
- TESIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING
- TESIS KAJIAN HUKUM TERHADAP PELUNASAN KREDIT DENGAN MENYERAHKAN JAMINAN KEPADA BANK DALAM MENYELESAIKAN KREDIT BERMASALAH
- TESIS ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET
- TESIS INISIASI MENYUSUI DINI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
- TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN BANK SYARIAH MANDIRI TERHADAP KEPUASAN NASABAH MELALUI PENDEKATAN ZONE OF TOLERANCE
- TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPS BERBASIS PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILL) DI SEKOLAH DASAR
- TESIS KAJIAN PENGARUH PROSES REKRUTMEN DAN SELEKSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DEPARTEMEN ESDM
- TESIS ANALISIS PELAKSANAAN REKRUTMEN SELEKSI DAN PENGEMBANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITJEN PAJAK
JUDUL TESIS PROGRAM PASCASARJANA 3 Posted: 24 Aug 2014 07:05 PM PDT JUDUL-JUDUL TESIS PROGRAM PASCASARJANA 3 :
|
TESIS PENGARUH KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN, TRUST, DAN WORD OF MOUTH NASABAH Posted: 24 Aug 2014 06:54 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0262) : TESIS PENGARUH KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN, TRUST, DAN WORD OF MOUTH NASABAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim perekonomian yang semakin terbuka membuat kompetisi kian ketat, tidak terkecuali di sektor perbankan. Persaingan perbankan dalam menyalurkan kredit dan menghimpun dana pihak ketiga (DPK) tidak bisa dihindarkan. Menurut Biro Riset Infobank, ada 115 juta orang usia produktif di Indonesia yang belum memiliki rekening di bank (unbanked) yang akan diperebutkan. Perang antar bank memperebutkan dana murah terus berlanjut. Iming-iming hadiah kian gencar dilakukan bank-bank untuk menarik nasabah. Secara khusus untuk Provinsi Bali, jumlah kantor bank yang tercatat beroperasi sampai Agustus 2012 adalah 656 kantor (statistik ekonomi Bank Indonesia 2012). Kantor bank tersebut terdiri dari bank pemerintah, bank pemerintah daerah, bank swasta nasional, serta bank asing dan campuran. Besarnya pertumbuhan jumlah kantor cabang pembantu dan kantor kas bank swasta nasional pada periode 2010-2011. Kantor cabang pembantu dari yang tercatat 91 pada tahun 2010, telah tumbuh menjadi 193 pada tahun 2011. Kantor kas tercatat 163 buah pada tahun 2011, yang sebelumnya adalah 48 pada periode 2010. Angka ini mengalahkan jauh jumlah kantor kas dan kantor cabang pembantu Bank Pembangunan Daerah Bali yang hanya mempunyai 18 kantor kas dan 28 cabang pembantu. Besarnya pertumbuhan jumlah kantor tersebut didominasi oleh ekspansi kantor pelayanan Bank Sinar sejak diambil alih oleh Bank Mandiri pada pertengahan tahun 2008. Penempatan Kantor Kas Bank Sinar mencapai seluruh pelosok wilayah Provinsi Bali. Jumlah Kantor Kas Bank Sinar hanya bisa disaingi oleh keberadaan kantor teras dan unit-unit dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pertumbuhan tersebut sesuai dengan pernyataan David (2004), bahwa intensitas persaingan di antara perusahaan yang bersaing cenderung meningkat ketika jumlah pesaing bertambah. David (2004) juga menyatakan bahwa intensitas persaingan cenderung meningkat ketika perusahaan yang bersaing menjadi setara besarnya dan kemampuannya. Kemampuan perbankan dapat dilihat dari permodalan. Empat dari 43 jumlah bank beroperasi di Bali diantaranya; Bank Rakyat Indonesia, Bank Danamon, Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia, adalah beberapa bank bermodal besar yang telah menghadirkan kantor pelayanan di setiap kabupaten di Bali. Tabel 1.2 menunjukkan jumlah modal sendiri lima bank nasional yang beroperasi di Bali dibandingkan dengan BPD Bali sebagai tuan rumah dengan modal sendiri Rp. 784.459.000.000,00. Lima bank nasional tersebut adalah Bank papan atas yang tidak hanya memiliki kemampuan lebih untuk ekspansi kantor, tapi juga punya kemampuan memperluas pelayanannya melalui e-channel, seperti automatic teller machine (ATM), internet banking, sort message service (SMS) banking, dan mobile banking (m-banking). Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Hadad dalam Mukernas Asosiasi Bank-Bank Pembangunan Daerah seluruh Indonesia (Asbanda) 2010, menyatakan modal inti BPD saat ini rata-rata sebesar Rp 635 miliar. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata modal inti bank nasional sebesar Rp 2 triliun. Hadad juga menekankan bahwa modal sangat penting, baik dalam menyerap risiko atau melakukan ekspansi usaha. Permodalan yang masih rendah dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan kegiatan usaha BPD, dan berpotensi melemahkan ketahanan entitas untuk bersaing dengan bank lain. Simpanan masyarakat merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran posisi persaingan. Posisi persaingan dalam pasar perbankan yang dihadapi BPD Bali ditunjukkan pada posisi simpanan masyarakat. Simpanan masyarakat dihitung dari jumlah dana pihak ketiga yaitu tabungan, giro, dan deposito. Dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh BPD Bali per Pebruari 2010 adalah Rp. 6.356.806 (juta), atau hampir 20% dari keseluruhan penghimpunan dana. Perolehan tersebut menunjukkan posisi BPD Bali dalam kompetisi perbankan. Posisi pasar yang dicapai BPD Bali dipengaruhi oleh posisinya sebagai perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki pemerintah daerah. Image BPD Bali sebagai pemegang kas daerah masih melekat. Penempatan dana pemerintah pada rekening giro BPD merupakan salah satu sumber yang ikut mendukung besarnya jumlah nominal dana pihak ketiga BPD Bali, terutama pada giro dan tabungan. Secara tidak langsung, ikatan pemerintah daerah dengan BPD Bali juga membawa pengelolaan gaji serta penyaluran kredit pegawai negeri sipil pada rekening BPD Bali. Pengendapan dana dari tabungan gaji tersebut juga memberikan kontribusi untuk jumlah dana pihak ketiga BPD Bali. Bantuan sosial dan kegiatan operasional pemerintah juga akan tersalurkan melalui rekening-rekening tabungan serta giro BPD Bali. Posisi dana pihak ketiga yang telah diraih menunjukkan bahwa BPD Bali berhasil mempertahankan comparative advantage ini. Kondisi persaingan yang telah berkembang menuntut BPD Bali untuk tidak hanya mempertahankan comparative advantage ini, tapi harus mempunyai competitive advantage. BPD Bali agar tidak hanya mengandalkan status kepemilikan saham pemerintah daerah saja, karena kompetisi di sembilan kabupaten sudah kian ketat. Potensi ekonomi masing-masing kabupaten telah diperhitungkan, tidak hanya Denpasar dan Badung sebagai barometer pariwisata, bahkan Karangasem yang relatif terlihat tertinggal juga diburu kompetitor BPD Bali. Salah satu isu yang masih menghambat langkah maju BPD selain permodalan, brand awareness, kompetensi sumber daya manusia (SDM), rendahnya komposisi kredit produktif, serta persoalan jaringan pelayanan BPD, adalah kualitas layanan (Infobanknews.com). Faishal (2010) menyatakan bahwa suatu perusahaan akan memenangkan persaingan bila dapat menciptakan nilai dan memberi kepuasan kepada pelanggan melalui penyampaian produk atau jasa yang berkualitas dan harga yang bersaing, untuk itu BPD Bali dituntut harus mampu menciptakan competitive advantage tersebut. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hadad (economy.okezone.com), menyatakan bahwa industri perbankan nasional menghadapi persaingan non bunga. Perbankan dituntut untuk memberikan layanan maksimal kepada nasabah dalam rangka mendapatkan pendapatan non bunga (fee based income). Hadad menyatakan bahwa bank yang bisa memberikan pelayanan yang maksimal akan menjadi pemenang. Kompetisi sudah mulai meninggalkan persaingan suku bunga (simpanan maupun kredit). Industri perbankan nasional telah memasuki era baru yang lebih mengutamakan layanan. Kualitas layanan sangat penting untuk mampu ikut bersaing, terutama dalam memperebutkan funding (Haryanto, 2010). Pelayanan yang memuaskan walaupun mahal, akan menjadi rebutan. Haryanto juga merujuk pada survey Frontier tahun 2000, yang menyatakan bahwa 69% penyebab nasabah lari dari bank adalah karena service. Pentingnya kualitas layanan juga menjadi kunci penting. Seperti yang diungkapkan Muhamad (Biro Riset Infobank) dalam kolom Infobank April 2010. Kualitas layanan sangat penting dalam memperebutkan pendapatan operasional non bunga yang bersumber dari pendapatan berbasis komisi (fee based income). Fee based income yang kian menjadi sumber penting bagi pendapatan bank. Untuk itu bank-bank kian berlomba mendongkrak kualitas layanan dalam bersaing memperebutkan pendapatan operasional non bunga (fee based income). Majalah InfoBank yang bekerja sama dengan Marketing Research Indonesia (MRI), telah merilis nama-nama bank BPD yang masuk kriteria the best overall performance service excellence. Kriteria yang dinilai dalam penghargaan pelayanan prima antara lain adalah pelayanan satpam, teller, costumer service, dan phone banking handling. Menurut Biro Riset Infobank, kelemahan BPD dalam kancah perebutan tabungan disebabkan rendahnya mutu pelayanan para petugas, seperti customer service dan teller. Hasil riset Marketing Research Indonesia (MRI) tahun 2010 menunjukkan betapa kualitas pelayanan BPD masih berada di bawah bank-bank umum. Pemantauan mystery shopper dari Marketing Research Indonesia (MRI) menyatakan bahwa pelayanan BPD bergerak sangat lambat. Kecakapan front liner di BPD seperti customer service, teller, dan petugas telepon, sangat rendah dengan mutu stagnan. Skor yang diraih BPD dalam hal pelayanan prima secara keseluruhan (overall) pun ditopang penilaian terhadap aspek fisik, seperti peralatan banking hall, kenyamanan ruangan, dan automatic teller machine (ATM). Permasalahan yang muncul pada tidak masuknya BPD Bali ke dalam 10 besar pelayanan prima Bank Pembangunan Daerah, bisa disebabkan oleh masalah layanan dari unit-unit layanan BPD Bali sendiri. Score penilaian untuk BPD Bali, belum tentu menggambarkan semua unit pelayanan, karena profil nasabah BPD Bali secara umum sedikit berbeda untuk setiap daerah layanan. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana kualitas layanan Kantor-Kantor Cabang BPD Bali dalam memberikan layanan pada masing-masing daerah layanan. Masing-masing Kantor Cabang BPD Bali beroperasi pada wilayah dengan yang mempunyai karakteristik sendiri. Penduduk pada Kota Denpasar dan Badung memiliki profil nasabah yang umumnya berpendidikan dengan pendapatan per kapita relatif lebih tinggi dari kabupaten lain di Bali seperti Karangasem. Penduduk pada Kabupaten Karangasem memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih rendah. Analisis Klassen Typology kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2005 (www.bi.go.id), menempatkan Kabupaten Karangasem ke dalam golongan daerah relatif tertinggal (low growth and low income), dengan pendapatan per kapita terendah diantara kabupaten lain di Bali. Karakteristik umum tersebut ikut memberikan pengaruh pada kualitas layanan yang diharapkan nasabah. Karakteristik nasabah di Kota Denpasar dan Badung lebih sensitif pada kualitas layanan. Sementara pada Kabupaten Karangasem yang umumnya masyarakat berpendidikan setingkat sekolah menengah umum, belum tentu memiliki persepsi atau tuntutan untuk pemenuhan kualitas layanan seperti pada nasabah di Kota Denpasar dan Badung. Tuntutan Kualitas layanan dalam hubungannya dengan kepuasan pada masing-masing segmen daerah relatif berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut melatarbelakangi pemilihan BPD Bali Cabang Karangasem sebagai tempat penelitian. Potensi Kabupaten Karangasem telah menjadi daya tarik bagi pesaing, ditunjukkan dengan mulai beroperasinya Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dan Bank Mandiri pada bulan Oktober 2010. Bank Mandiri telah banyak melakukan ekspansi kredit dengan berhasil membuat cukup banyak nasabah kredit BPD Bali Cabang Karangasem beralih. Bank Mandiri bahkan sudah berhasil memasuki wilayah pemerintahan dengan telah masuknya sebagian dana Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karangasem pada rekening Bank Mandiri. Nasabah pensiunan BPD Cabang Karangasem yang membutuhkan dana cepat juga telah beralih ke BTPN melalui penawaran kemudahan layanan door to door. Bank Sinar sebagai anak perusahaan Bank Mandiri, sudah terlebih dahulu hadir menjadi kompetitor BPD Cabang Karangasem. Bank Sinar berusaha meningkatkan dana pihak ketiga dan ekspansi kredit melalui pelayanan kantor layanan di setiap kecamatan. Keberadaan kantor operasional Bank Sinar menyamai kantor layanan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sementara untuk BPD Bali Cabang Karangasem baru hadir di lima kecamatan. Gebrakan layanan BRI adalah pada ekspansi kredit melalui penambahan jumlah account officer diseluruh kantor layanan. BNI juga telah berbenah dengan penempatan kantor baru yang direncanakan pemerintah kabupaten akan menjadi pusat kota masa depan Karangasem. Bank Danamon berkonsentrasi pada ekspansi kredit melalui Kantor Danamon Simpan Pinjam. Kompetisi juga diramaikan dengan telah hadirnya Bank Bumiputra pada Pebruari 2011. BPD Cabang Karangasem tidak hanya menghadapi pesaing formal, tapi juga kompetitor non formal seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Koperasi, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang unggul dalam bunga simpanan yang lebih besar serta kemudahan jaminan kredit. Secara tidak langsung bahkan PT Pos sudah menjadi pesaing dalam memperebutkan based income serta pengelolaan dana pensiunan. Perkembangan PT Pos ke depannya, berpotensi akan menjadi pesaing langsung dalam pelayanan transaksi keuangan. Pelayanan BPD Bali Cabang Karangasem dikenal dengan antreannya yang panjang, dan keluhan pada pelayanan petugas. BPD Cabang Karangasem dalam mengantisipasi antrean nasabah telah menempatkan 5 teller untuk mempercepat pelayanan. Bagaimanapun kualitas layanan tidak hanya pada indikator kecepatan, kualitas layanan BPD Bali Cabang Karangasem mencakup banyak aspek. Menilai kualitas layanan bank tidak cukup hanya dengan membandingkan performance terhadap standar layanan, tapi juga harus dilihat bagaimana persepsi nasabah (Toelle, 2010). Artinya bahwa Bank BPD Bali dalam melihat kualitas layanannya selayaknya tidak hanya berlandaskan pada standar yang ada, lebih buruk lagi operasional berjalan dengan standar yang telah berumur dan tidak pernah diperbaharui. Toelle menegaskan bahwa kualitas pelayanan adalah apa yang sesuai dengan keinginan nasabah, bukan apa yang sesuai dengan keinginan perusahaan. Perusahaan sering menyatakan dirinya sudah berbuat yang terbaik untuk nasabah. Apa yang telah dilakukan perusahaan tidak selamanya sesuai dengan harapan nasabah, sehingga timbul gap antara persepsi perusahaan dan nasabah dalam menilai kualitas layanan. Untuk itu penelitian ini juga bermaksud melihat bagaimana kepuasan nasabah BPD Bali Cabang Karangasem dalam menerima layanan yang telah diberikan. Kepuasan pelanggan adalah sangat penting, namun bukan semata sebagai tujuan pemasaran. Kepuasan sebagai batu loncatan dengan tujuan mengembangkan hubungan yang dilakukan berdasarkan satu struktur manfaat jangka panjang. Kepuasan membentuk ikatan antara penyedia jasa dan nasabah untuk meningkatkan kepercayaan nasabah (trust). Variabel yang menandainya adalah network relationship yang meliputi kepercayaan (trust) (Sulistiarini, 2007). Untuk itu, penelitian juga akan melihat bagaimana kualitas layanan, kepuasan, trust, dan word of mouth serta hubungan antara variabel tersebut. Fungsi bank adalah sebagai agent of trust. Masyarakat akan mau menempatkan dananya di bank apabila dilandasi oleh unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uang tersebut tidak akan disalahgunakan oleh bank, dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan percaya pada saat yang dijanjikan masyarakat dapat menarik lagi simpanan di bank. Kepercayaan merupakan dasar dalam menjalin hubungan, sehingga variabel trust merupakan salah satu variabel yang diangkat dalam penelitian. Tidak hanya trust, bank akan mampu menciptakan kekuatan baru (competitive advantage) jika mampu memahami pengaruh dari kepuasan nasabah terhadap positif word of mouth. Kepuasan pelanggan menimbulkan hubungan antara perusahaan dan pelanggan menjadi harmonis, memungkinkan pembelian ulang dan terciptanya loyalitas serta pelanggan memberi rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang menguntungkan perusahaan (Faishal, 2010). Pentingnya word of mouth dinyatakan oleh Bharadwaj et al. (1993) dan Ennew et al. (2000), bahwa reputasi terstimulasi dari positif word of mouth. Mazzarol et al. (2006) menyatakan bahwa komunikasi WoM, terutama sekali sangat penting pada konteks jasa, karena jasa adalah tidak berwujud (intangible). Djatmiko (2010), dalam SWA (swa.co.id), menyatakan bahwa karakteristik konsumen Indonesia relatif lebih suka berbicara dibandingkan orang dari negara mana pun. Kuatnya budaya lisan yang mengakar kuat pada sebagian besar bangsa Indonesia menjadi dasar kenapa WoM akan menjadi begitu efektif sebagai media pemasaran. Penelitian yang dilakukan Onbee Marketing Research bekerjasama dengan Majalah SWA kepada 2000 konsumen di lima kota besar Indonesia, menunjukkan bahwa 89% konsumen Indonesia lebih mempercayai rekomendasi dari teman dan keluarga pada saat memutuskan untuk membeli sebuah produk dalam hal ini adalah pemilihan penyedia jasa keuangan (bank). Pada kondisi persaingan antar bank, WoM positif menjadi sangat penting. Manfaat WoM diharapkan tidak hanya ditujukan kepada masyarakat yang belum menjadi nasabah, bahkan menjadi lebih baik jika mampu mengambil nasabah bank lain. Haryanto dalam Infobank Februari 2010 menyatakan bahwa debitur dapat direbut dengan memanfaatkan referral (WoM) dari nasabah sendiri. WoM positif menjadi sangat penting. Pentingnya penelitian untuk mengetahui seberapa besar kepuasan nasabah BPD Bali Cabang Karangasem dari pelayanan yang telah diberikan, serta tindakan yang diambil selanjutnya bisa menjadi referensi perencanaan jangka pendek serta jangka panjang perusahaan dalam usaha mencapai misi perusahaan menjadi regional champion. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh dimensi kualitas layanan terhadap kepuasan nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem ? 2. Bagaimanakah pengaruh kepuasan terhadap trust nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem ? 3. Bagaimanakah pengaruh kepuasan terhadap WoM nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem ? 4. Bagaimanakah pengaruh trust terhadap WoM nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh dimensi kualitas layanan terhadap kepuasan nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem. 2. Untuk mengetahui pengaruh kepuasan nasabah terhadap trust pada PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem. 3. Untuk mengetahui pengaruh kepuasan nasabah terhadap WoM pada PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem. 4. Untuk mengetahui pengaruh trust terhadap WoM pada PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem. D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk memperkuat teori tentang faktor yang mempengaruhi suksesnya perusahaan jasa khususnya lembaga keuangan. 2. Kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak manajemen dalam merumuskan kebijakan tentang kualitas layanan dalam menciptakan keunggulan kompetitif dengan para pesaing. |
Posted: 24 Aug 2014 06:49 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0261) : TESIS PENGARUH SERVANT LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN MELAYANI) TERHADAP MOTIVASI PELAYANAN DAN DAMPAKNYA PADA KOMITMEN PELAYANAN MAJELIS JEMAAT (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja Protestan Maluku secara institusi mengenal adanya jabatan organisasi dan jabatan pelayanan fungsional gereja. Jabatan secara organisasi gereja yaitu Ketua Majelis, Wakil, Sekretaris, Bendahara, dan Komisi Pelayanan, atau yang disebut juga Pimpinan Harian Majelis Jemaat (PHMJ). Jabatan pelayanan fungsional yaitu Pendeta, Diaken, Penatua, dan Pengajar. Jabatan organisasi gereja Pendeta sebagai Ketua Majelis jemaat sekaligus pemimpin bagi organisasi gereja. Jabatan pendeta tersebut memiliki peran, tugas dan tanggung jawab pendeta sebagai pelayaan umat dan pemimpin dalam jemaat GPM yang diatur dalam Tata Gereja GPM 1998 : Bab I dan Bab II, demikian : Memimpin serta bertanggungjawab atas ibadah, Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen. Melaksanakan pelayanan penggembalaan bagi semua pelayan dan anggota jemaat. Bersama Penatua dan Diaken bertanggungjawab atas penyelenggaraan katekisasi, pembinaan umat, pendidikan agama Kristen di sekolah. Bersama Penatua dan Diaken bertanggung jawab atas pelaksanaan Pekabaran Injil, Pelayanan Kasih dan Keadilan. Membina serta mendorong semua warga jemaat untuk menggunakan potensi dan karunia yang diberikan Tuhan secara bertanggung jawab. Melaksanakan fungsi organisasi dalam Gereja Protestan Maluku sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja yang berlaku. Proses pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin jemaat (pendeta) dibantu oleh penatua dan diaken. Dan proses koordinasi pelayanan tersebut dikenal dengan asas kolegial (Tata peraturan GPM) artinya, secara struktur memiliki kedudukan yang berbeda. Namun secara koordinasi pelaksanaan pelayanan antara pemimpin jemaat dan partner kerja (penatua dan diaken) memiliki fungsi kontrol yang sama yakni, secara bersama-sama mengkoordinasikan pelayanannya. Proses koordinasi pelayanan itu penting dilakukan secara efektif supaya, tujuan dan proses pelayanan dapat berjalan dengan baik. Terlebih penting pendeta selaku pemimpin mampu memiliki kemampuan manajerial mencakup; perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan, dan evaluasi. Dengan demikian dalam proses kepemimpinannya (pendeta) dapat memberikan pengaruh positif bagi partner kerjanya namun juga bagi warga jemaat. Pengaruh kepemimpinan pendeta terkadang memberikan cara pandang yang berbeda pada setiap anggota organisasi. Penelitian Latumahina (2011) membuktikan bahwa cara pandang anggota jemaat terhadap pemimpinnya dapat di lihat dari dua sisi yang berbeda yakni, dari sisi negatif dan positif. Pemahaman jemaat yang negatif disebabkan, proses manajemen pelayanan kepada anggota jemaat yang kurang baik, timbulnya rasa resah, kegelisahan, dan rasa tidak nyaman terhadap cara hidup pendeta dalam kegiatan formal gereja ataupun juga kehidupan kesehariannya. Sedangkan dari sisi positif pendeta dipandang sebagai hamba Tuhan yang melakukan pelayanan dengan baik dan menjadi teladan. Kerja keras pendeta dengan kesungguhan dan kegigihannya dalam melayani jemaat, serta spiritualitas pendeta telah melahirkan terciptanya rasa hormat jemaat, sehingga menunjukan cara pandang yang positif dari anggota jemaat. Secara umum Maxwell (2012) mendefinisikan kepemimpinan sebagai cara pemimpin mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, mempengaruhi berarti membantu orang lain untuk dapat melakukan perubahan. Artinya kepemimpinan menjadi unsur kunci untuk melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif. Semua bentuk kepemimpinan itu penting bagi semua organisasi, dan kepemimpinan yang efektif adalah penting (www.com/aboutdefinition-leadership-theories). Fungsi dari kepemimpinan yang efektif yaitu, dapat menggerakkan para anggota kelompoknya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi (Prodjowijono : 2008). Sejalan dengan itu, Stutzman dan Shenk (1988) sebagaimana dikutip dalam Bennis dan Nanus mengidentifikasikan pemimpin yang efektif adalah memberi diri untuk memimpin orang lain tetapi, harus menjadi pelayaan kepada komunitas orang yang dipimpinnya. Selain itu penelitian Zaluchu (2011) menunjukan fakta bahwa anggapan banyak orang tentang kepemimpinan yang lebih melekat kepada kekuasaan, posisi atau jabatan dibandingkan menjadi pelayan itu tidak benar. Lebih lanjut diungkapkan, kepemimpinan merupakan posisi atau jabatan tertentu dan kedudukan itu membuat orang menjadi takut dan segan. Kedudukan demikian tidak seharusnya membuat anggotanya menjadi takut dan segan namun, dibutuhkan pemimpin yang mampu memberikan pengaruh yang positif bagi anggotanya. Pendeta sebagai pemimpin dalam organisasi gereja memiliki peran penting yang mampu menguatkan aspek pemberdayaan jemaat dan memanajemen proses pelayanan. Namun menurut Prodjowijono (2008) pendeta tidak hanya melihat aspek-aspek itu saja, tetapi pendeta dalam konteks organisasi gereja diharapkan juga menjadi manajer bagi anggota organisasi. Artinya bahwa, kehadiran atau kepemimpinannya menjadi perekat dan solusi atas masalah-masalah yang di hadapi jemaat. Sebagai pemimpin organisasi gereja dan pelayan perlu menunjukkan karakter kepada jemaat yang dapat memberikan teladan. Untuk itu kekuatan karakter pemimpin yang sesuai dengan lingkungan jemaat sangat diperlukan, yakni bertanggung jawab menjadi pemimpin yang tepat, dalam waktu yang tepat (Right Leader In The Right Time). Kondisi ini memberi gambaran bahwa kepemimpinan dapat diwujudkan melalui suatu pendekatan kepemimpinan yang berbeda. Kepemimpinan yang mampu memberikan pelayanan dan dari pelayanannya dapat memberikan pengaruh kepada anggotanya. Oleh sebab itu dalam mewujudkan kondisi tersebut tentunya ada sebuah model kepemimpinan yang memberikan pembelajaran tentang kepemimpinan sejati yang dikenal dengan servant leadership (kepemimpinan melayani). Zaluchu (2011) berpendapat bahwa, kepemimpinan ini masih relevan sebagai sumber inspirasi bagi kepemimpinan Kristen dimanapun untuk dikembangkan dan dipraktekkan. Menurut Senjaya (1997) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Covey bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) semata-mata bukan hanya melayani untuk mendapat hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya. Pendapat tersebut didukung oleh Blanchard dan Hodges (2006) mengungkapkan, bahwa bagi para pengikut Yesus, kepemimpinan sebagai tindakan pelayanan bukanlah pilihan, itu adalah mandat atau perintah. Dijelaskan servant leadership (kepemimpinan melayani) harus menjadi statemen hidup bila tinggal dalam Yesus, cara memperlakukan sesama memperlihatkan cara hidup Yesus. Cara hidup yang harus menjadi teladan bagi seorang pemimpin bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Pendapat tersebut didukung dengan pendapat (Neuschel : 2008) yang menyatakan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) sebagai seseorang yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, bukan nasib pemimpin untuk dilayani, tetapi adalah hak istimewanya untuk melayani. Salah satu tugas seorang pemimpin meliputi memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan (Yulk : 2010). Bront Kark dan Dina Va Dijk (2007) serta Anderson et al., (2008) mengemukakan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun dengan penelitian Smith, Monlango, Kuzmenko (2004) yang menunjukan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi pengikut atau anggotanya. Tulisan ini diperkuat oleh Patterson (2003) yang memperlihatkan bahwa dasar servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah kasih atau cinta. Kasih atau cinta dapat memberikan motivasi yang kuat pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Dapat disimpulkan kepemimpinan melayani juga dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap motivasi yang terbangun dalam diri individunya. Namun bila tidak bisa memotivasi bawahannya tidak mungkin pemimpin organisasi dapat sukses dalam mencapai tujuan dari organisasi. Secara umum motivasi diartikan sebagai faktor yang timbul dari dalam diri seseorang, sehingga hal itu mendorong dan menggerakkan individu melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan, untuk mencapai satu tujuan tertentu. Menurut Kini dan Hobson (2002), motivasi didefinisikan sebagai suatu kesatuan proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku ke arah pencapaian tujuan. Dengan motivasi yang tinggi akan menciptakan sebuah komitmen terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menyelesaikan setiap pekerjaan (McNeese-Smith et al : 1995). Pendapat ini didukung oleh penelitian Burton, J; Lee Thomas; Holtom, B (2002), yang menunjukan hasil bahwa motivasi anggota organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap komitmen organisasi. Selanjutnya penelitian KuVaas Bard (2006) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Furthermore, Ganesan dan Weitz, menemukan adanya pengaruh positif antara motivasi terhadap komitmen induvidu yang timbul dari dalam dirinya. Penelitian diatas membuktikan motivasi kerja dalam konteks organisasi secara umum bisa memberikan pengaruh terhadap komitmen. Namun perlu dilihat dalam konteks gereja motivasi pelayanan lebih banyak muncul dari kesadaran induvidu secara internal. Motivasi pelayanan itu timbul dari ketulusan hati individu untuk melayani, melayani tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan. Karena motivasi pelayanan tidak bisa diukur dengan uang atau materi. Namun ada nilai yang terkandung dari proses pengabdian yakni kesadaran akan suatu panggilan pelayanan. Dengan demikian individu mampu akan mempunyai komitmen yang tinggi. Motivasi pelayanan itu lebih penting, diperlukan dan harus timbul dari dalam diri individu. Motivasi pelayanan itu muncul lebih kuat dari dalam diri induvidu, sehingga mampu meningkatkan kehidupan rohani atau spiritual individu tersebut. Seorang pendeta yang memiliki servant leadership (kepemimpinan melayani) itu akan bisa meningkatkan motivasi pelayanan individu, dan memberikan tambahan dorongan untuk melakukannya walaupun sudah ada dari dalam diri. Dan servant leadership (kepemimpinan melayani) dari pendeta yang baik mampu menjadi teladan bagi induvidu tersebut. Akibatnya induvidu akan lebih berkomitmen tapi tidak secara langsung. Dimaksudkan tanpa induvidu itu mempunyai motivasi internal pelayanan. Untuk itu servant leadership (kepemimpinan melayani) tidak berpengaruh secara langsung terhadap komitmen namun ada kemungkinan melalui motivasi pelayanan. Dengan demikian motivasi pelayanan menjadi variabel mediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen pelayanan. Penelitian Cavin dan McCuddy (2009) melibatkan responden yang bekerja di gereja Lutheran. Penelitian ini memperlihatkan penerapan sepuluh karakteristik servant leadership dalam kerangka demografis (status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, gender, usia, dan tempat tinggal responden). Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku servant leadership beragam berdasarkan empat karakteristik demografi (status social ekonomi, tingkat pendidikan, usia dan tempat tinggal responden). Cohen, Colwell, dan Reed (2011) melakukan penelitian yang menghasilkan sebuah pengukuran baru terhadap servant leadership para eksekutif dalam konteks kepemimpinan etis dan dampaknya terhadap anggota, organisasi dan masyarakat. Melalui penjelasan di atas bahwa ada pertimbangan lain yang mendasari penelitian ini adalah masih minimnya penelitian yang berorientasi pada servant leadership pendeta, dalam kaitan dengan motivasi dan dampaknya pada komitmen pelayanan khususnya di gereja. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah terdapat pengaruh Servant leadership terhadap motivasi pelayanan pada Majelis Jemaat ? 2. Apakah terdapat pengaruh motivasi pelayanan terhadap komitmen pelayanan pada Majelis Jemaat ? 3. Apakah motivasi pelayanan menjadi variabel pemediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dengan komitmen pelayanan. C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menguji pengaruh Servant leadership terhadap motivasi pelayanan pada Majelis Jemaat. 2. Untuk mengetahui dan menguji pengaruh motivasi pelayanan terhadap komitmen pelayanan pada Majelis Jemaat. 3. Untuk mengetahui dan menguji motivasi pelayanan menjadi variabel pemediasi antara Servant leadership dengan komitmen pelayanan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, antara lain : 1. Secara Teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu bukti empiris bahwa : teori-teori motivasi dan komitmen secara manajemen bisa diterapkan di dalam organisasi gereja. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai informasi, referensi dan pertimbangan bagi pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya. 2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi mengenai pentingnya mengetahui dan memiliki servant leadership (kepemimpinan melayani) sebagai role model kepemimpinan seorang pendeta. Selanjutnya dapat memberikan pengaruh terhadap anggota jemaat (diaken dan penatua) dalam meningkatkan motivasi dan komitmen para (diaken dan penatua) dalam melaksanakan pelayanannya. |
TESIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING Posted: 24 Aug 2014 06:44 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0260) : TESIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia sekarang yang menitikberatkan pada pembangunan dalam bidang ekonomi, hukum mempunyai fungsi yang sangat penting dalam menunjang kemajuan perekonomian di Indonesia. Pelaksanaan Pembangunan dengan penekanan yang lebih menonjol kepada segi pemerataan. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat. Pembangunan dapat dilaksanakan dan berhasil jika situasi Nasional mantap. Makin mantap stabilitas Nasional, makin lancar usaha pembangunan. Pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas adalah unsur yang saling berkaitan, karena itu dalam pelaksanaan pembangunan harus senantiasa diusahakan keseimbangan yang serasi antara ketiga unsur tersebut. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan hukum. Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan. Itu artinya hukum harus bisa menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat. Demikian juga apa yang telah dilakukan oleh PT. PERTAMINA (Persero) selaku BUMN dalam perkembangannya untuk melaksanakan pembangunan telah banyak melakukan aktivitas bisnis, sehingga harus ada ketentuan-ketentuan hukum yang dapat dijadikan payung agar apa yang dilakukan sebagai suatu bentuk usaha yang memberikan rasa aman (baca : norma tertib dan kepastian) sebab selaku pelaku bisnis ketertiban dan kepastian hukum harus mampu mengemban misi dengan sebaik-baiknya, apalagi bila perhatian yang tertuju pada persoalan globalisasi perdagangan yang merupakan persaingan pasar terbuka yang menjadi kata kunci yang paling krusial. Dalam rangka PT. PERTAMINA (Persero) mempersiapkan diri menghadapi pasar dari globalisasi, maka PT. PERTAMINA (Persero) sebagai unit bisnis memerlukan rumusan Visi, Misi, Tata nilai dan Motto yang berwawasan ke masa depan yang lebih baik. Rumusan-rumusan tersebut dituangkan dalam suatu pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam penjabaran aktifitas dari PT. PERTAMINA (Persero), dengan rumusan yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Visi Pertamina "Menjadi Perusahaan Unggul, maju dan Terpandang" 2. Misi Pertamina a. Melakukan usaha dibidang energi dan petrokimia. b. Merupakan entitas bisnis yang dikelola secara professional kompetitif dan berdasarkan tata nilai unggulan. c. Memberikan nilai tambah lebih bagi pemegang saham, pelanggan, pekerja dan masyarakat, serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam melaksanakan tugas-tugas untuk mencapai Visi, misi dan sasaran PT. PERTAMINA (Persero), merumuskan Tata Nilai yang menjadi landasan bertindak yang dituangkan dalam konsep FIVE-M yaitu : 1) F = Focus, menggunakan secara optimum berbagai kompetensi perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah perusahaan. 2) I = Integrity, mampu mewujudkan komitmen ke dalam tindakan nyata. 3) V = Visionary, mengantisipasi lingkungan usaha yang berkembang saat ini maupun yang akan datang untuk dapat tumbuh dan berkembang. 4) E = Excellent, menampilkan yang terbaik dalam semua aspek pengelolaan usaha. 5) M = Mutual Respect, menempatkan seluruh pihak yang terkait sederajat dalam kegiatan usaha. 3. Motto Pertamina "Meraih keunggulan komparatif dan kompetitif". Untuk menunjang terciptanya Visi, Misi tersebut diatas maka sasaran PT. PERTAMINA (Persero) mempersiapkan sarana dan fasilitas yang memadai agar dapat berjalan lebih lancar, sehingga diperlukan pekerjaan yang salah satunya adalah pekerjaan Penyediaan Tenaga Kerja Pemeriksaan Rutin NDT Peralatan Kilang PT. PERTAMINA (Persero), yang meliputi kegiatan untuk membantu Inspector menyiapkan dokumen peralatan dalam rangka pelaksanaan assessment pemeriksaan peralatan Kilang (Column, Vessel, Heat Exchanger, Fin-Fan, Rotating Equipment, Instrument/listrik, dan lain-lain) pada kegiatan rutin maupun Turn Around untuk seluruh peralatan kilang, mengumpulkan data hasil assessment pemeriksaan untuk dimasukan ke dalam History Card masing-masing peralatan, melaksanakan pemeriksaan Non Destructive Testing (NDT) secara rutin pada peralatan di Kilang Pertamina, Produksi LPG Mundu dan WTP Salamdarma, yang pelaksanaan pekerjaannya melalui Pemilihan Langsung pengadaan pekerjaan jasa pemborongan (Outsourcing) yang dilakukan oleh PT. PERTAMINA (Persero) . Pelaksanaan pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja yang dilakukan oleh PT. PERTAMINA (Persero) tersebut diatas, menjadi suatu bukti nyata bahwa harus ada norma hukum yang mampu memberikan rasa ketertiban dan kepastian sehingga dapat memberikan rasa aman dalam melaksanakan prestasinya dari masing-masing pihak yang melaksanakan pemborongan pekerjaan, mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktek ketenagakerjaan. Berkenaan dengan hal itu maka norma hukum telah memberikan pedoman sebagai dasar hukum dari Pemborongan Pekerjaan Outsourcing sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (Pasal 64, 65 dan 66) dan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004 serta Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi. Dengan memenuhi persyaratan sebagai Penyedia Barang/Jasa di PT. PERTAMINA (Persero) dengan mengikuti evaluasi dan verifikasi terhadap keabsahan kelengkapan persyaratan dokumen sertifikasi serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya oleh Panitia Sertifikasi, PT. X sejak tahun 1996 merupakan salah satu perusahaan yang terdaftar di PERTAMINA sebagai perusahaan yang dapat mengikuti kegiatan pengadaan barang/jasa di PT. PERTAMINA (Persero) dengan dikeluarkannya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari PERTAMINA sebagai rekanan. Salah satu kerja sama antara PT. PERTAMINA (Persero) dengan PT. X adalah Pekerjaan Penyediaan Tenaga Kerja Pemeriksaan Rutin NDT Peralatan Kilang PT. PERTAMINA (Persero), yang dilakukan dengan Pemilihan Langsung melalui surat No. 6500037487 tanggal 19 September 2006, Surat Penunjukan Pemenang Pemilihan Langsung dari Manajer Unit Reliabilitas PT Pertamina (Persero) Unit Pengolahan VI No. 0517/E16120/2006-S5 tanggal 28 September 2006 dengan dikeluarkannya Surat Perjanjian Kerja (SPK) antara PT. PERTAMINA (Persero) dengan PT. X, tertanggal 29 September 2006, Nomor 3900053099. Jangka Waktu Pelaksanaan pekerjaan adalah selama 12 (dua belas) bulan kalender terhitung mulai tanggal 01 Oktober 2006 sampai dengan tanggal 30 September 2007, dengan harga borongan seluruh pekerjaan adalah sebesar Rp. 194.416.000,00 (seratus sembilanpuluh empat juta empat ratus enambelas ribu rupiah). Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat, lingkungan yang sangat kompetitif menuntut PERTAMINA sebagai pelaku usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu PERTAMINA (Persero) melakukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Itu merupakan salah satu penyebab PERTAMINA melakukan outsourcing terhadap pekerjaannya. Praktek sehari-hari outsourcing yang lebih menguntungkan bagi perusahaan tetapi tidak demikian dengan pekerja/buruh yang selama ini lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir, sehingga dalam keadaan seperti itu pelaksanaan outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial. Pelaksanaan outsourcing banyak dilakukan untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dibawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh. Dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan kajian ilmiah melalui penelitian dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk Tesis, untuk itu maka penulis memilih judul : "PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DI PT. PERTAMINA (PERSERO)". B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti lebih lanjut dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing PT. X yang bekerja di PT. PERTAMINA (Persero) ? 2. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi PT. X sebagai Penyedia Tenaga Kerja Outsourcing dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerjanya ? 3. Upaya-Upaya apa yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam memberikan perlindungan tersebut ? C. Tujuan Penelitian Dalam penelitian yang dilakukan ini mengindikasikan pada suatu tujuan yang diharapkan mampu dicapai yaitu : 1. Untuk Mengetahui penerapan dalam Praktek Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing PT. X yang bekerja di PT. PERTAMINA (Persero) . 2. Untuk mengetahui Hambatan-hambatan yang dihadapi PT. X sebagai Penyedia Tenaga Kerja Outsourcing dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerjanya yang ditempatkan di PT. PERTAMINA (Persero) . 3. Untuk Mengetahui Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam memberikan perlindungan tersebut. D. Kegunaan Penelitian Penekanan yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan kegunaan yang positif yaitu : 1. Kegunaan Akademis Kegunaan akademis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi pendalaman kajian sehubungan dengan fungsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum Perjanjian Pemborongan Outsourcing pada khususnya. Hasil penelitian in juga diharapkan dapat memberikan referensi bagi dilakukannya penelitian lanjutan dengan obyek yang sama. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksanaan kaidah-kaidah hukum terutama hukum Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing). b. Untuk memberikan sarana tambahan informasi terhadap pihak-pihak pelaku bisnis yang terkait dengan aktivitas Outsourcing dan membutuhkan pengetahuan tentang norma hukum yang mengaturnya, sehingga mampu memahami segala aspek-aspek yuridis yang menyangkut dengan pelaksanaan Outsourcing, c. Memberikan manfaat kepada para praktisi hukum khususnya yang bergerak dalam bidang Pemborongan Pekerjaan Outsourcing. |
Posted: 24 Aug 2014 06:41 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0259) : TESIS KAJIAN HUKUM TERHADAP PELUNASAN KREDIT DENGAN MENYERAHKAN JAMINAN KEPADA BANK DALAM MENYELESAIKAN KREDIT BERMASALAH (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arah kebijakan pembangunan bidang ekonomi sesuai dengan GBHN adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan diprioritaskan berdasarkan sistem pembangunan di bidang ekonomi. Hal tersebut selaras dengan arah, kebijakan pembangunan di bidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Upaya pembangunan ekonomi tersebut bukanlah semata-mata menjadi tugas pemerintah, tetapi sektor swasta juga memegang peranan yang sangat besar. Sektor swasta, baik perorangan maupun badan hukum dapat ikut melaksanakan pembangunan selain dari modal sendiri juga yang sangat diperlukan adalah pembiayaan yang diperoleh dari pengucuran kredit oleh bank. Dalam hal ini perbankan berfungsi sebagai pranata yang strategis dalam kegiatan perekonomian, karena kegiatan usahanya terutama menghimpun dana dan menyalurkan kredit. Secara etimologi kredit dapat diartikan pada dua kegiatan, yaitu menjual dengan kredit atau membeli dengan kredit. Kesamaan dari pengertian di atas terletak pada kegiatan pembayarannya, yaitu pembayaran yang dilakukan dengan angsuran. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya. Jadi seseorang yang telah mendapatkan kredit dari bank berarti ia telah mendapatkan kepercayaan dari bank tersebut. Bank sebagai badan usaha dalam memberikan kredit kepada nasabahnya berusaha mendapatkan keuntungan. Dalam menjalankan usahanya, risiko yang mungkin timbul akibat pemberian kredit yaitu tidak kembalinya pinjaman yang telah diberikan. Risiko kredit merupakan risiko yang paling berpotensi dari seluruh potensi kerugian bank. Menurut Bank Indonesia dalam pedoman penerapan perkreditan, bank dalam melakukan pengelolaan kredit dengan cara mengidentifikasi, mengukur, memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan tersedianya modal yang cukup dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul. untuk melindungi bank dari kerugian, maka dalam Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Hal tersebut lebih dikenal dengan jaminan. Mengingat pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut, lembaga jaminan ini memerlukan perhatian khusus dalam pembinaan hukumnya. Pembinaan hukum terhadap bidang hukum jaminan adalah konsekuensi logis yang merupakan perwujudan tanggung jawab dari pembinaan hukum mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam proyek pembangunan. Oleh karena lembaga jaminan bertugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik adalah : 1. Jaminan yang secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya 2. Jaminan yang tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan/meneruskan usahanya 3. Jaminan yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk menerima utang si pemohon kredit. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian kredit untuk melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit harus memperhatikan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi sebagai berikut : "Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan". Berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan yang sehat sebaiknya dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek. Asas yang digunakan dalam melakukan pertimbangan tersebut dikenal dengan sebutan the Five C 's of Credit Analysis atau prinsip 5 C, yang meliputi : 1. Watak (Character) 2. Kemampuan (Capacity) 3. Modal (Capital) 4. Jaminan (Collateral), dan 5. Kondisi ekonomi (Condition of Economy). Konsep 5 C ini pada prinsipnya akan dapat memberikan informasi mengenai itikad baik dan kemampuan membayar debitor untuk melunasi kembali pinjaman berikut bunga dan beban lainnya. Apabila bank telah memperoleh keyakinan atas kemampuan debitor untuk mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan yang lazim disebut dengan agunan pokok. Namun untuk mengamankan kepentingan bank selaku kreditor dalam hal debitor wanprestasi, bank tidak dilarang untuk meminta agunan tambahan di luar agunan pokok. Dalam prakteknya setiap memberikan fasilitas kredit, bank selalu meminta debitor menyerahkan jaminan untuk menjamin pelunasan utang debitor. Benda yang dapat dijadikan objek jaminan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda tersebut juga harus memiliki nilai ekonomis sehingga mudah diuangkan sewaktu-waktu oleh kreditor jika debitor melakukan wanprestasi. Pada umumnya benda yang diserahkan antara lain hak atas tanah, rumah/bangunan, emas, deposito, mesin-mesin, bahan baku, stok barang dagangan dan sebagainya. Jaminan berupa hak atas tanah adalah jaminan yang lebih diminati oleh bank karena memberikan kepastian dan perlindungan bagi kreditor karena adanya ketentuan hukum yang lebih jelas dan nilai ekonomis yang pada umumnya terus meningkat. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), objek hak tanggungan harus telah dimiliki oleh pemberi hak tanggungan pada saat hak tanggungan dibebankan. Hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan hak tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Hal ini dikarenakan lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarnya hak tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya hak tanggungan yang bersangkutan. Meskipun hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang hak tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan hak tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan di kemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah dimaksudkan oleh UUHT sebagai "benda-benda yang berkaitan dengan tanah". Pemberian kredit oleh bank memerlukan persyaratan yang dituangkan dalam suatu perjanjian kredit. Perjanjian yang merupakan hubungan hukum ini pada prinsipnya harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian kredit bank hingga saat ini belum terdapat pengaturannya secara khusus sehingga dalam pelaksanaannya diserahkan kepada kehendak para pihak yang mengikatkan diri. Dalam mengikatkan diri, debitor lebih diarahkan oleh bank untuk menyesuaikan dengan fasilitas-fasilitas kredit yang dapat diberikan oleh bank. Dalam berbagai fasilitas kredit dirumuskan klausula-klausula sebagai bentuk prestasi dan kontra prestasi yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Klausula yang disusun memiliki urgensi yang sangat besar bagi bank untuk menjamin pengembalian kredit tepat pada waktunya. Kredit bermasalah bagi perbankan merupakan persoalan yang hingga saat ini belum ada suatu formulasi yang mumpuni. Penanganan kredit bermasalah oleh kreditor dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik melalui proses litigasi maupun pendekatan non litigasi, hasilnya masih jauh dari harapan. Sementara itu dengan semakin meningkatnya jumlah kredit bermasalah hingga menekankan perbankan pada kondisi sulit sebagai konsekuensinya banyak diketengahkan berbagai kiat baru yang dilakukan bank untuk menagih kredit bermasalah. Melalui praktek penyelesaian kredit bermasalah melalui pengadilan, bank sering mengalami kendala untuk menegakkan haknya terhadap penerapan hukum yang masih diatur oleh aturan-aturan zaman Belanda, seperti KUHD dan KUH Perdata ataupun aturan-aturan lain yang dianggap semakin usang. Di samping itu terdapat sesuatu yang keliru dalam proses pembentukan undang-undang yang terkesan bertele-tele, lamban dan kurang memenuhi opini publik, dan gambaran bahwa wakil rakyat yang berperan besar dalam pembentukan undang-undang yang menguasai persoalan secara baik, sehingga semakin menambah kurang kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Sistem hukum semakin rumit sehingga yurisprudensi banyak dijadikan sebagai alternatif untuk memproduksi hukum. Yurisprudensi yang digunakan oleh para hakim sering ditafsirkan secara sempit. Undang-undang yang dibentuk sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 UUPA adalah UUHT yang diundangkan dan diberlakukan pada 9 April 1996. UUHT telah mengatur cara yang dapat dilakukan apabila kreditor/bank menghadapi kredit yang bermasalah, antara lain dengan memberikan hak kepada kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan dengan cara menjual benda objek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum seperti ditegaskan di dalam Pasal 6 UUHT yang menyebutkan bahwa : "Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut" Menurut ketentuan KUH Perdata, kekuasaan menjual sendiri objek jaminan harus diperjanjikan terlebih dahulu, berbeda dengan pengaturan dalam UUHT yang memberikan secara langsung kekuasaan untuk menjual sendiri objek hak tanggungan, seperti yang diatur dalam Pasal 6 UUHT. Dengan adanya ketentuan Pasal 6 UUHT, diharapkan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara eksekusi objek jaminan dapat lebih optimal, sesuai dengan salah satu ciri dari hak tanggungan, yaitu mudah dan pasti dalam eksekusinya. Mengenai kuat tidaknya pengikatan jaminan berupa hak tanggungan dimulai dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan format standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah dan Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan. Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya memuat perbuatan hukum membebankan hak tanggungan, tidak memuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan. Di samping membatasi mengenai substansinya, untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan tercapainya kepastian hukum, SKMHT itu juga dibatasi jangka waktu berlakunya sesuai dengan ketentuan dari Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996. Apabila persyaratan tentang jangka waktu itu tidak dipenuhi, maka SKMHT itu batal demi hukum. SKMHT diperlukan jika pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT. Pemberi hak tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasa dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik. Apabila pemberi hak tanggungan langsung memberikan hak tanggungan dengan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) maka SKMHT tidak diperlukan, kemudian dilakukan pembebanan hak tanggungan yang ditandai dengan pembuatan APHT. APHT adalah akta otentik yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT yang ditandatangani kreditor sebagai penerima hak tanggungan dan pemilik hak atas tanah yang dijaminkan. APHT merupakan bentuk standar yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT. APHT ditandatangani oleh pemilik jaminan di hadapan PPAT kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan oleh PPAT. Kantor Pertanahan kemudian menerbitkan sertipikat hak tanggungan untuk diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan. Pembuatan APHT ini menandai bahwa berdasarkan kesepakatan antara kreditor dan debitor, debitor telah menyerahkan jaminan hak tanggungan kepada kreditor untuk menjamin pelunasan hutang debitor apabila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan isi perjanjian kredit, yakni salah satunya berupa terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet. Melalui penyerahan ini tentunya hak-hak kreditor untuk menerima pelunasan dari debitor dapat terlindungi, sehingga risiko kerugian kreditor akibat kredit bermasalah debitor dapat dihindari. Apabila kredit yang disalurkan oleh bank macet, hal inilah yang menjadi permasalahan bagi bank. Dengan demikian, berarti debitor sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian kredit yang dilakukan antara debitor dengan bank (kreditor), sehingga salah satu upaya yang dilakukan oleh bank untuk menyelamatkan dana yang telah digunakan oleh debitor adalah melalui eksekusi atas jaminan debitor yang diikat melalui pengikatan jaminan, seperti hak tanggungan, namun dalam prakteknya tidaklah semudah dan setegas apa yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang terkait lainnya. Salah satu bentuk penyelesaian kredit macet yang dilakukan oleh bank adalah melalui penyerahan jaminan debitor kepada bank atau pengambilalihan asset debitor oleh bank. Praktek pelaksanaan penyerahan jaminan ini dilakukan karena terdapatnya berbagai hambatan atau kendala dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang merugikan pihak bank sebagai kreditor serta salah satu upaya jangka pendek bank untuk mengatasi tingginya jumlah kredit macet yang berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha bank itu sendiri. Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa "Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan umum maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah/debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah : 1. Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan 2. Dilakukan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan 3. Berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan 4. Berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan 5. Debitor tidak memenuhi kewajiban kepada bank 6. Agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya. Dengan demikian, dalam rangka penyelesaian kredit macet, bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan melalui : 1. Pelelangan 2. Di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan, atau kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan Dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. Ketentuan bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan di luar pelelangan merupakan ketentuan yang penyempurnaan dari ketentuan yang mengatur hal yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf ketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Melalui penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk membantu bank agar mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah/debitornya. Dalam prakteknya, penyelesaian kredit melalui penyerahan jaminan ini cukup menyulitkan bank, khususnya bank swasta. Hal ini disebabkan karena berbagai ketentuan umum dalam Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh kreditor apabila debitor cidera janji. Selain itu, ketentuan tentang status hak milik atas tanah dan bangunan menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang tidak dapat dimiliki oleh badan hukum swasta nasional juga cukup menyulitkan bank. Oleh karena itu penyerahan jaminan secara sukarela dari debitor/pemilik jaminan kepada pihak bank dilakukan dengan cara memakai nama karyawan yang ditunjuk oleh bank. Penyelesaian kredit macet melalui penyerahan jaminan telah lama digunakan oleh bank-bank di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Badan Penyehatan dan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengatasi bank-bank bermasalah di Indonesia pada akhir tahun 1990-an. Umumnya penyerahan jaminan dilakukan terhadap jaminan-jaminan berupa tanah dan bangunan serta benda-benda bergerak lainnya yang digunakan oleh debitor dalam kegiatan usahanya, seperti mesin pabrik, kendaraan dan Iain-lain. Namun tidak semua jaminan tersebut serta merta dapat diambil alih oleh bank apabila debitor wanprestasi. Akan tetapi melalui berbagai proses hukum dan pertimbangan bank apakah jaminan/agunan yang diambil alih bermanfaat bagi bank atau tidak. Dalam prakteknya sendiri pelaksanaan penyerahan jaminan ini juga tidak terlepas dari berbagai masalah, terutama menyangkut kepentingan pihak ketiga yang secara tidak langsung berkaitan dengan jaminan atas tanah yang diikat dengan hak tanggungan tersebut. Selain itu, pelaksanaan penyerahan jaminan itu sendiri hanya bersifat sementara sebelum dialihkan kepada pihak lain melalui jual beli. Setelah melihat berbagai hal-hal tersebut di atas yang melatarbelakangi timbulnya praktek pelaksanaan eksekusi hak tanggungan melalui penyerahan jaminan/pengambilalihan jaminan oleh pihak kreditor (bank) dan berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan penyerahan jaminan tersebut, di dalam penelitian ini akan diuraikan praktek pelaksanaan penyerahan jaminan oleh debitor kepada pihak bank sebagai salah satu alternatif penyelesaian kredit macet pada bank, khususnya di PT. Bank X B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adapun latar permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah : 1. Bagaimanakah proses penyerahan jaminan sebagai pelunasan kredit pada PT. Bank X ? 2. Apakah pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X telah sesuai dengan ketentuan yang ada ? 3. Permasalahan apa sajakah yang timbul dalam pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X dan bagaimana upaya penyelesaiannya ? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses penyerahan jaminan sebagai pelunasan kredit pada PT. Bank X. 2. Untuk mengetahui pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X telah sesuai dengan ketentuan yang ada. 3. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul dalam pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X dan upaya penyelesaiannya. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum jaminan kredit perbankan. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai pelaksanaan lembaga jaminan kredit perbankan di dalam masyarakat. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum jaminan kredit perbankan. |
TESIS ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET Posted: 24 Aug 2014 06:38 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0258) : TESIS ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank merupakan lembaga keuangan yang berorientasi pada bisnis yang mempunyai kegiatan pokok untuk membeli uang dengan cara menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menjualnya kembali kepada masyarakat melalui pemberian kredit atau pinjaman. Dari kegiatan jual beli inilah bank dapat memperoleh keuntungan yaitu selisih harga beli (bunga simpanan) dengan harga jual (bunga pinjaman). Kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi ke bank, senantiasa terkait dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, dengan semakin meningkat dan berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam mendukung keberhasilan itu pun semakin dirasakan penting. Keperluan akan dana dalam kehidupan sehari-hari untuk menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat, maka untuk itu diperlukan suatu lembaga perantara sebagai jembatan untuk mempertemukan kedua pihak baik yang kelebihan dan pihak yang kekurangan dana, disinilah bank berperan sebagai financial intermediary, yang akan bertindak sebagai kreditur yang menyediakan dana bagi masyarakat yang kekurangan dana, sehingga dapat terbentuk suatu perjanjian kredit. Kegiatan bank terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan kredit berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan pendapatan jasa-jasa di luar bunga kredit yang biasanya disebut dengan istilah fee base income. Adapun karakteristik yang paling mendasar dalam operasional perbankan adalah, kepercayaan (trust), tanpa adanya kepercayaan kegiatan ekonomi di sektor keuangan terutama di perbankan tidak akan berjalan normal, tenang dan nyaman. Dengan kata lain masyarakat tidak akan menyimpan uangnya di bank jika tidak ada kepercayaan dan bank juga tidak akan menyalurkan kredit atau pinjaman kepada masyarakat jika tidak ada kepercayaan, namun bank dalam prakteknya juga memiliki risiko yang harus dihindari, ada beberapa jenis risiko yang sering dijumpai : a. Risiko Pasar Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar, yang antara lain adalah suku bunga atau nilai tukar mata uang asing. b. Risiko Likuiditas Risiko yang disebabkan ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank. c. Risiko Hukum Risiko ini adalah risiko akibat kelemahan aspek hukum. d. Risiko Kepatuhan Risiko akibat bank tidak mematuhi atau melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. e. Risiko Kredit Risiko yang timbul akibat debitur gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran pokok ataupun bunga sebagaimana disepakati dalam perjanjian kredit sebelumnya. Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, yaitu credere yang berarti kepercayaan, misalnya seorang nasabah atau debitur memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang telah mendapatkan kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit adalah kepercayaan. Pengertian kredit dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu : "Kredit adalah penyediaan uang atau yang dipersamakan dengannya, yang didasari dengan perjanjian pinjam meminjam antara bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dimana bank atas jasanya itu akan mendapatkan bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan". Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan utang piutang pada umumnya, utang piutang pada umumnya disebut dengan pinjaman habis pakai atau disebut juga dengan istilah Verbuikleen dalam bahasa Belanda yang diartikan lebih lanjut dengan pinjaman mengganti. Pinjaman mengganti menurut KUHPerdata yaitu salah satu pihak melepaskan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain yang menghabiskannya apabila dipakai dengan janji bahwa kemudian hari uang atau barang tersebut akan dikembalikan dalam jumlah yang sama, dengan keadaan sejenis dan dalam keadaan yang sama. Ada beberapa tujuan untuk pemberian kredit pada bank, yang umumnya tujuan itu adalah untuk mencari keuntungan, hasil ini dapat diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh pihak bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi pemberian kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank, disamping itu keuntungan juga dapat membesarkan usaha bank. Bagi si penerima kredit ini tentu saja dapat meningkatkan semangat untuk berusaha karena dengan pengambilan kredit dapat menambah modal untuk usaha, memperbesar dan memperluas usahanya, namun dalam hal ini bank juga memiliki beberapa risiko dalam pemberian kredit, faktor risiko kerugian dapat diakibatkan dua hal yaitu risiko kerugian yang diakibatkan nasabah dengan sengaja tidak mau membayar kreditnya padahal mampu membayar, dan risiko kerugian yang diakibatkan karena terjadinya musibah atau bencana alam. Penyebab tidak tertagihnya kredit sebenarnya dikarenakan adanya tenggang waktu pengembalian atau jangka waktu, semakin panjang jangka waktu suatu kredit semakin besar risiko kredit tersebut tidak tertagih, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada prinsip 5C, yaitu : a. Character Bahwa calon nasabah atau debitur memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh dari bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi-informasi dari usaha. Character ini juga dapat dilihat dalam bentuk SID atau Sistem Informasi Debitur yaitu informasi mengenai calon debitur yang akan memohon kredit, sistem ini terhubung secara langsung kepada Bank Indonesia, dimana setiap bank yang telah memberikan kredit kepada nasabahnya wajib melaporkan data-data atau informasi mengenai nasabah atau istilah DIN (Data Informasi Nasabah) yang telah diberikan kredit. b. Capacity Capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah atau debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan dapat memberikan keuntungan, yang akan menjamin bahwa jangka ia mampu melunasi hutang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaan neraca, laporan laba rugi, dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir, dalam capacity ini bank dapat melihat layak atau tidaknya calon debitur tersebut akan diberikan pinjaman dalam jumlah yang sesuai. c. Capital Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ini ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif. Modal atau capital ini dapat dilihat dari neraca keuangan calon debitur atau ratio modal debitur. Penilaian keadaan keuangan arus dana, realisasi produksi, serta pembelian dan penjualan. Laporan sumber dana dan penggunaan dana sangat membantu melakukan penilaian aspek pembiayaan. Atas dasar ini dapat dipahami kelayakan kredit yang dibutuhkan sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan keputusan penyaluran kredit. d. Collateral Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitur di kemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa hutang kredit baik hutang pokok maupun bunganya. Dalam setiap perjanjian kredit harus ada agunan yang menjadi jaminan apabila debitur wanprestasi (cidera janji). e. Condition of Economy Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dan bank untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut. Condition of economy ini juga mempengaruhi untuk keputusan pemberian kredit, misalnya di saat hari-hari besar seperti Hari Raya, Natal atau Tahun Baru kebutuhan masyarakat meningkat maka kemungkinan untuk membayar kredit sangat kecil, atau nilai tukar rupiah turun, suku bunga naik maka tidak mungkin pada kondisi keadaan lebih berhati-hati dalam merealisasi kredit. Kredit yang diberikan oleh bank kepada calon peminjam didasarkan atas kepercayaan, karena itu untuk menjaga keamanannya dalam menyalurkan dana tersebut pihak bank seharusnya benar-benar yakin bahwa peminjam akan mampu mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya, sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. Sehingga harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential principles) agar terjaga keamanannya dan mendapatkan keuntungan dari kredit yang disalurkan oleh bank itu. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam akad kredit dan ditandatangani kedua pihak sebelum pencairan kredit, setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu kredit. Semakin panjang suatu jangka waktu kredit, maka semakin besar risikonya, dan demikian pula sebaliknya. Risiko ini dapat menjadi tanggungan bank baik risiko yang disengaja nasabah maupun yang tidak disengaja. Kondisi yang tidak disengaja misalnya karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur yang kesengajaan lainnya, sehingga nasabah tidak mampu lagi melunasi kredit yang diperolehnya. Berarti kredit yang diberikan berjalan lancar tanpa mengalami hambatan dalam pengembaliannya. Dampak negatif dapat timbul apabila dari pemberian kredit oleh bank mengandung risiko berupa kegagalan dalam pengembalian atau pelunasan kredit (kredit macet) sehingga berakibat timbulnya kerugian di pihak bank juga berpengaruh pada masyarakat karena kredit yang diberikan itu bersumber dari dana masyarakat yang disimpan di bank tersebut. Bank perlu mengamankan kredit yang disalurkannya pada nasabah untuk mengetahui risiko yang akan timbul di kemudian hari sebagai akibat wanprestasinya nasabah, sebab ada larangan bagi bank untuk turut serta menanggung risiko dari nasabah (prinsip comanditering verbod). Apabila debitur sengaja untuk tidak melunasi hutangnya maupun tidak menepati batas waktu pengembalian hutang maka jaminan dapat digunakan untuk mengganti atau membayar hutang, oleh karena itu jaminan sangat penting dalam perjanjian kredit. Sebagaimana yang diketahui bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam, kondisi dimana debitur yang tidak dapat membayar lunas hutangnya setelah jangka waktunya habis adalah wanprestasi. Kondisi wanprestasi seorang debitur perlu secara dini diketahui penyebabnya untuk dapat dilakukan pencegahan ataupun dengan kondisi wanprestasi bank sudah dapat memperkirakan faktor-faktor apa yang menyebabkan seorang debitur wanprestasi. Dalam penelitian ini akan dibahas faktor-faktor yang menyebabkan kredit macet baik yang disebabkan internal perbankan maupun secara eksternal dari nasabah itu sendiri. Juga akan diteliti aturan-aturan hukum baik undang-undang maupun peraturan Bank Indonesia yang berkenaan dengan pemberian kredit termasuk dalam hal ini aturan-aturan PT Bank X mengenai pelaksanaan teknis pemberian kredit. PT Bank X menjadi objek dari penelitian ini disebabkan PT Bank X termasuk Bank Daerah yang cukup maju. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penghargaan dan profile perusahaan termasuk laba perusahaan yang cukup baik pada tahun 2008 s/d 2009. Tahun buku 2009 PT. Bank X mampu meningkatkan pendapatan bunga bersihnya sebesar 16% menjadi Rp. 1.063,8 Miliar dibandingkan Tahun 2008 sebesar Rp. 916,2 Miliar. Laba Bersih Tahun Buku 2009 menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu 77,63% menjadi Rp. 420,8 Miliar dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp. 236,9 Miliar. Aset tahun 2009 juga mengalami pertumbuhan yang cukup besar yaitu Rp. 10,7 Triliun atau tumbuh sebesar 21,59% dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp. 8.8 Triliun. Kesuksesan dalam pertumbuhan aset dan laba tersebut karena dukungan dan kerja yang baik oleh manajemen PT. Bank X. Namun pada tahun 2009 Rasio Kecukupan Modal (CAR) sebesar 12,24% mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 sebesar 16.48%, angka 12,24% tersebut masih diatas angka minimal CAR sebesar 8%. Penurunan rasio CAR tersebut akibat kesuksesan dalam pertumbuhan kredit yang tinggi tidak diimbangi dengan pertumbuhan modal perusahaan. Rasio Kredit Bermasalah terhadap Total Kredit (NPL) pada tahun 2009 sebesar 2,47% atau mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 sebesar 0.99%, angka 2,47% tersebut masih dibawah batas maksimal 5%. Dalam perjanjian kredit banyak masalah-masalah yang akan timbul dan juga berbagai cara menyelesaikan masalah tersebut baik dari pihak bank maupun dari pihak pemohon atau kreditur, dan masalah kredit macet ini juga berkaitan erat dengan penegakan hukum, hukum disini berfungsi dengan baik terutama dalam penyelesaian kredit macet, oleh karena itu berdasarkan uraian di atas penulis akan mencoba mengetengahkan judul "ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET (STUDI PADA PT BANK X)". B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut selanjutnya dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kredit macet ? 2. Bagaimana pengaturan hukum dibidang perbankan terkait upaya bank dalam mencegah dan menyelesaikan kredit macet ? 3. Bagaimana pencegahan dan penyelesaian kredit macet pada PT. Bank X ? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan perbankan yang mengatur mengenai upaya pencegahan dan penyelesaian kredit macet. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya PT. Bank X dalam mencegah dan menyelesaikan kredit macet. D. Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum guna mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan sebagai bahan masukan atau informasi pada penelitian lebih lanjut. b. Secara Praktis Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam upaya pencegahan dan penyelesaian jika terjadi kredit macet yang dapat bermanfaat bagi pihak bank dan nasabah. Bagi pihak Bank dapat meningkatkan kolektabilitas sehingga terjadinya kredit macet dapat di kurangi. Bagi nasabah dapat menentukan langkah-langkah yang terbaik dalam menyelesaikan kreditnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Pada akhirnya berjalannya fungsi Bank sebagai intermediary institution dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan pemberian kredit yang lancar dan berguna. |
TESIS INISIASI MENYUSUI DINI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF Posted: 24 Aug 2014 06:34 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0257) : TESIS INISIASI MENYUSUI DINI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF (PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang alami yang disediakan untuk bayi. Pemberian ASI secara eksklusif serta proses menyusui yang benar merupakan sarana yang dapat diandalkan untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, karena ASI adalah makanan satu-satunya yang paling sempurna untuk menjamin tumbuh kembang bayi pada enam bulan pertama. Selain itu dalam proses menyusui yang benar, bayi akan mendapatkan perkembangan jasmani, emosi maupun spiritual yang baik dalam kehidupannya. Namun demikian masih banyak ibu-ibu yang mengalami kesulitan untuk menyusui bayinya. Hal ini disebabkan antara lain karena kemampuan bayi untuk menghisap ASI kurang sempurna sehingga secara keseluruhan proses menyusu terganggu. Di samping itu selama ini penolong persalinan selalu memisahkan bayi dari ibunya segera setelah lahir, untuk dibersihkan, ditimbang, ditandai, dan diberi pakaian sehingga proses menyusu dalam satu jam pertama setelah kelahiran tidak terlaksana. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses alami mengembalikan bayi manusia untuk menyusu, yaitu dengan memberi kesempatan kepada bayi untuk mencari dan menghisap ASI sendiri, dalam satu jam pertama pada awal kehidupannya, untuk menjamin berlangsungnya proses menyusui yang benar, dengan menyusu secara baik dan benar maka kematian bayi serta gangguan perkembangan bayi dapat dihindari (Roesli, 2008). Pelaksanaan IMD pada saat setelah bayi lahir yang diterapkan pada setiap ibu yang akan melahirkan sangat bermanfaat bagi ibu dan bayi karena proses alami mengembalikan bayi manusia untuk menyusu, yaitu dengan memberi kesempatan pada bayi untuk mencari dan mengisap ASI sendiri dalam satu jam pertama pada awal kehidupannya. Menurut Karen dan Edmon (2006) dengan pelaksanaan IMD 22% dapat menyelamatkan nyawa bayi umur di bawah 28 hari dan ternyata bayi yang diberi kesempatan untuk menyusu dini delapan kali lebih berhasil diberi ASI eksklusif (Fika dan Syafiq, 2003). Manfaat dari IMD yaitu apabila terjadi kontak kulit dan hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di puting susu ibu dan sekitarnya, emutan, jilatan bayi pada puting ibu, merangsang pengeluaran hormon oksitosin, hormon oksitosin ini sangat membantu rahim ibu untuk berkontraksi sehingga merangsang pengeluaran plasenta dan mengurangi perdarahan setelah melahirkan. Pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berumur enam bulan pada setiap ibu yang mempunyai bayi sangat diharapkan, karena mempunyai manfaat baik untuk ibu maupun untuk bayi itu sendiri. Apabila bayi diberikan ASI secara eksklusif maka bayi akan memperoleh nutrisi yang mengandung zat yang sangat sempurna, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kecerdasan. Juga dirasakan manfaatnya oleh sang ibu apabila menyusui secara eksklusif, dapat mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, lebih cepat langsing, mengurangi kemungkinan menderita kanker payudara, lebih ekonomis, tidak merepotkan dan menghemat waktu, serta memberi kepuasan bagi sang ibu. Karena kurang pemahaman tentang inisiasi menyusu dini dan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif tidak dihiraukan : bayi tidak dilakukan IMD, pemberian pisang sebagai makanan utama, memberi susu formula, memberikan makanan siap saji, padahal penyuluhan tentang IMD dan ASI eksklusif semakin gencar, petugas kesehatan sudah banyak dilatih baik itu pelatihan IMD maupun ASI eksklusif, posyandu semakin aktif, promosi bidan delima dan lain-lain. Pemahaman tentang IMD dan pemberian ASI secara eksklusif merupakan persoalan yang sangat penting. Yang memungkinkan terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif apabila individu, keluarga, petugas kesehatan serta masyarakat sudah memahami tentang pengertian, manfaat, serta tujuan dari IMD dan pemberian ASI secara eksklusif. Anggapan ini sejalan dengan pendapat Roesli (2008), bahwa ketidak keberhasilan ibu menyusui bayinya sampai usia enam bulan, sebenarnya hanya satu masalah, yaitu ibu belum memahami sepenuhnya cara menyusui yang benar termasuk teknik dan cara memperoleh ASI terutama saat mereka harus bekerja. Tidak terlaksana IMD sering terjadi pada ibu yang melahirkan secara operasi disebabkan karena ibu dilakukan anestesi yang menyebabkan ibu mengantuk sehingga kurang respon terhadap bayi, petugas di kamar operasi terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk melakukan IMD. Padahal menunda permulaan menyusu lebih dari satu jam menyebabkan kesukaran menyusui (Lennart, 1999). Pemberian ASI tidak secara eksklusif sering terjadi karena ibu dan keluarga menganggap bahwa ASI saja tidak mencukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi sehingga diperlukan makanan tambahan, hal ini dapat mengganggu kehidupan bayi, Karena pada umur 0-6 bulan bayi hanya memerlukan ASI sebagai makanan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan otak sehingga tidak menyebabkan "otak kosong". Otak kosong dapat menimbulkan "lost generation", yaitu generasi yang tidak mampu bersaing atau berkompetisi secara sehat di masyarakat (Nency, 2005). Menurut Nency (2005), bahwa otak merupakan suatu aset yang vital bagi anak untuk dapat menjadi manusia yang berkualitas di kemudian hari. otak kosong adalah rendahnya tingkat kecerdasan anak yang menyebabkan rendahnya kemampuan untuk mengikuti pendidikan dan tidak memiliki daya saing. Tingkat kecerdasan yang rendah diakibatkan rendahnya asupan protein, zat besi, vitamin dan asam lemak omega 3 pada masa pembentukan otak yaitu usia 0-2 tahun (Soesilawati dalam Seminar harapan, 25 januari 2002). Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas X, jumlah bayi dari mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2009 sebanyak 262 orang, bidan yang melakukan IMD pada bayi yang baru lahir sebanyak 30% dari persalinan yang ditolong oleh bidan. Sedangkan bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif hanya 35% diberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia sampai 6 bulan. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan X. Karena dari 12 Kecamatan yang ada, Kecamatan X yang banyak penduduknya serta tenaga bidan yang bertugas di Puskesmas X juga cukup memadai yaitu sebanyak 25 orang, baik yang bertugas di Puskesmas maupun yang membina Desa. Persalinan pada umumnya ditangani oleh tenaga kesehatan, hanya sebagian kecil yang masih ditangani oleh dukun kampung. Bidan yang bertugas di Puskesmas maupun yang membina desa sebagian besar sudah mengikuti pelatihan baik itu pelatihan asuhan persalinan normal (APN), inisiasi menyusu dini (IMD), dan konselor air susu ibu (ASI). Namun pada kenyataannya masih ada ibu-ibu yang mempunyai bayi pada saat melahirkan tidak dilakukan IMD, dan pemberian ASI secara eksklusif. Dengan berbagai alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian untuk dapat mengangkat penyebab-penyebab tidak terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta penyebab-penyebab terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif di Kecamatan X. B. Permasalahan Pengkajian dalam penelitian ini adalah penyebab tidak terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan, serta penyebab terlaksana IMD dan pemberian ASI secara eksklusif. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis alasan/penyebab mengapa sebagian masyarakat kecamatan X tidak melaksanakan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta alasan/penyebab melakukan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten X sebagai bahan masukan evaluasi keberhasilan program pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga dapat membuat suatu kebijakan untuk menanggulangi permasalahan tersebut. 2. Sebagai bahan masukan kepada Puskesmas X untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta bahaya pemberian makanan terlalu dini pada bayi yang baru lahir juga dapat meningkatkan peran kader posyandu di masyarakat. |
Posted: 24 Aug 2014 06:31 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0256) : TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN BANK SYARIAH MANDIRI TERHADAP KEPUASAN NASABAH MELALUI PENDEKATAN ZONE OF TOLERANCE (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara-negara di dunia kini tengah berusaha mempersiapkan diri dalam menghadapi krisis ekonomi global yang berawal dari krisis keuangan di Amerika Serikat (subprime mortgage). Sistem ekonomi kapitalis yang menjadi pionir di hampir seluruh belahan dunia saat ini sedang menunjukkan tanda-tanda keruntuhannya. Salah satu penyangga ekonomi dalam suatu negara adalah peran yang dijalankan oleh perbankan. Perbankan konvensional yang merupakan bagian dari sistem ekonomi kapitalis telah memperlihatkan sistem yang rapuh. Perbankan konvensional dengan sistem ribawi memiliki kecenderungan untuk merusak tatanan perekonomian suatu bangsa. Ketimpangan yang disebabkan oleh sistem ribawi adalah terhapusnya konsep keadilan. Tujuan utama dari sistem ribawi adalah pembenaran pemenuhan kebutuhan pribadi tanpa mempedulikan kepentingan atau hak orang lain. Sistem perekonomian yang tidak dilandasi dengan prinsip keadilan maka output yang dihasilkan cenderung menimbulkan chaos (kekacauan). Solusi terhadap keadaan perekonomian yang tengah dilanda krisis keuangan global adalah merombak sistem dalam perbankan. Sistem ribawi yang merupakan penggerak utama aktivitas perbankan harus dihapuskan. Penghapusan sistem ribawi menciptakan suatu panduan untuk melakukan transaksi yang berkeadilan. Prinsip keadilan merupakan sikap yang dijunjung tinggi dalam Islam, dalam setiap aspek kehidupan, tidak terkecuali sistem perekonomian. Landasan utama aktivitas muamalah adalah Al-Qur'an dan Hadist. Rasulullah Muhammad telah bersabda dalam Hadist, yaitu "Barangsiapa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadist maka tidak akan tersesat selama-lamanya". Ekonomi syariah merupakan solusi utama dalam menciptakan keadilan dalam bertransaksi dan melakukan aktivitas ekonomi. Salah satu unsur penggerak ekonomi syariah adalah perbankan syariah, yang mendasarkan setiap transaksi keuangan dengan mengacu pada prinsip-prinsip syariah. Perbankan syariah yang telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1992 tergolong 'tertinggal' bila dibandingkan dengan negara-negara Islam bahkan negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Hal ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia sebab institusi keuangan Islam (perbankan syariah) akan berkembang dengan instrumen pendukung yang prematur. Instrumen pendukung dapat berupa kebijakan pemerintah yang terdiri dari aspek regulasi, hukum, kebijakan permodalan minimum, atau adaptasi produk-produk perbankan terhadap kesesuaian dengan fiqh. Tantangan yang cukup banyak terhadap pengembangan perbankan syariah menuntut pegiat-pegiat perbankan syariah untuk semakin meningkatkan inovasi terhadap produk serta melakukan strategi yang komprehensif dalam rangka meningkatkan citra perbankan syariah di mata masyarakat. Pemerintah merespon pegiat-pegiat perbankan syariah dengan mengakomodasi keberadaan bank syariah pada Undang-Undang Perbankan No. 10/1998, maka dari tahun 2000 hingga tahun 2004, dapat dirasakan pertumbuhan bank syariah cukup tinggi, rata-rata lebih dari 50 persen setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, pertumbuhan bank syariah melebihi 90 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Walaupun, sejak tahun 2005, pertumbuhan bank syariah di Indonesia melambat (Bank Syariah Mandiri, 2008). Sementara, dari sisi dana pihak ketiga mengalami peningkatan pesat sejak tahun 2003. Pada tahun 2003, dana pihak ketiga (DPK) tercatat sebesar Rp 5,7 triliun, sementara pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 36,85 triliun. Dari sisi pembiayaan bank syariah pun meningkat, dari Rp 5,53 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 38,19 triliun pada tahun 2008 (Republika, 5 Februari 2009). Aset perbankan syariah mencapai Rp 50 triliun pada tahun 2008 atau memiliki market share sebesar 2,1 persen dari total perbankan nasional. Pangsa pasar perbankan syariah selalu meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 tercatat pangsa pasar sebesar 1,4 persen, tahun 2006 1,6 persen, dan tahun 2007 1,8 persen (Republika, 5 Februari 2009). Pada saat ini, bank syariah di Indonesia berjumlah 31 bank yang terdiri dari 3 bank umum syariah dan 28 unit usaha syariah (Bank Syariah Mandiri, 2008). Dari sisi jaringan kantor, perbankan syariah juga menunjukkan kemajuan yang berarti. Menurut data Bank Indonesia, jaringan kantor bank syariah terus menunjukkan peningkatan. Pada Januari 2008, terdapat 548 jaringan, hingga November lalu, jaringan tersebut meningkat menjadi 749. Perinciannya adalah kantor cabang syariah sebanyak 254 buah, kantor cabang pembantu syariah sebanyak 262 buah, unit pelayanan syariah sebanyak 28 buah, dan kantor kas syariah sebanyak 205 buah. Perkembangan perbankan syariah semakin mantap dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan progress perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65 persen per tahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan (Republika, 4 Februari 2009). Bank Indonesia telah mengeluarkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia pada tahun 2002, yang berisi visi, misi, dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Data yang dikeluarkan Bank Indonesia menyebutkan bahwa jumlah masyarakat yang menggunakan perbankan syariah semakin meningkat. Pada November 2008 tercatat sebanyak 3.799 juta nasabah yang membuka rekening di perbankan syariah (Republika, 4 Februari 2009). Negara Indonesia merupakan negara dengan pemeluk agama mayoritas, yaitu Islam. Indonesia juga merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim paling banyak di dunia. Jumlah penduduk Indonesia yang menganut agama Islam merupakan potensi yang sangat berharga bagi perkembangan kemajuan perbankan syariah. Tentu pengembangan kedudukan perbankan syariah di kancah persaingan dengan perbankan konvensional harus disertai dengan strategi dan taktik yang komprehensif dari masing-masing bank syariah. Pasar yang dapat dibidik oleh perbankan syariah sebenarnya meliputi seluruh penduduk Indonesia. Prinsip yang diterapkan dalam perbankan syariah pada hakikatnya merupakan kaidah-kaidah yang berlaku secara universal. Prinsip ekonomi Islam (syariah) dapat menembus berbagai perbedaan agama, demografi, ras, dan suku. Pangsa pasar (market share) yang dapat dibidik oleh perbankan syariah pada dasarnya merupakan gabungan aset dari beberapa Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam perspektif mikro maka antar bank syariah pasti akan terjadi kompetisi atau persaingan untuk dapat memperebutkan niche (ceruk) pasar. Setiap bank syariah akan dengan giat dan aktif merekrut atau menarik orang supaya memiliki kemauan untuk menjadi nasabah pada bank syariah tersebut. Bank Syariah Mandiri merupakan salah satu pemain dalam industri perbankan syariah dan eksis sejak November 1999. Pada awal berdiri aset Bank Syariah Mandiri hanya Rp 448 milyar dan per Maret 2008 telah tumbuh 31 kali lipat lebih dengan aset mencapai Rp 14 trilyun. Pangsa Bank Syariah Mandiri diantara bank syariah, saat ini merupakan yang terbesar, yakni 36 persen dari total aset perbankan syariah nasional. Nasabah Bank Syariah Mandiri sampai dengan Maret 2008 berjumlah 1.102.640 orang. Nasabah merupakan aset utama bagi pertumbuhan perbankan syariah. Melalui nasabah maka bank syariah dapat memperoleh dana dari masyarakat untuk selanjutnya diputar kembali untuk menghidupkan sektor riil. Peran bank syariah yang utama diharapkan dapat memfasilitasi pengusaha kecil dan menengah supaya dapat mengembangkan usahanya. Perbankan syariah memerlukan strategi dan taktik untuk dapat menarik nasabah baru. Namun hal yang terpenting adalah siasat yang dilakukan bank syariah supaya dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi nasabah. Tujuannya supaya nasabah selalu dapat merasakan kepuasan ketika bertransaksi dengan bank syariah. Seorang pengunjung bank yang melakukan transaksi di bank syariah belum dapat dikatakan sebagai nasabah bila orang tersebut belum melakukan transaksi secara berulang kali (kontinu). Saat frekuensi bertransaksi seseorang dengan bank syariah semakin meningkat maka orang tersebut dapat disebut sebagai nasabah. Kepuasan nasabah merupakan salah satu faktor penting yang memerlukan perhatian dari pihak internal bank syariah. Bank Syariah Mandiri melakukan survei terhadap nasabah dengan hasil sebagai berikut. Survei yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri langsung kepada nasabah yang tersebar di wilayah Jabodetabek dan 8 provinsi, kesan nasabah terhadap Bank Syariah Mandiri secara menyeluruh adalah 26 persen menyatakan sangat puas, 41 persen puas, 25 persen cukup puas, 7 persen biasa saja, dan 1 persen yang tidak puas. Survei yang dilakukan Divisi Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Kinerja 2008. Bank Syariah Mandiri menunjukkan nasabah secara keseluruhan belum mendapatkan kepuasan optimal terhadap Bank Syariah Mandiri. Pengukuran yang dilakukan Bank Syariah Mandiri menyatakan bahwa nasabah yang telah puas akan menghasilkan Indeks Kepuasan Optimal > 85. Tingkat kepuasan nasabah terhadap Bank Syariah Mandiri secara nasional masih memerlukan perbaikan (tingkat kepuasan nasabah Bank Syariah Mandiri secara nasional berada pada indeks 76.82). Satu-satunya wilayah yang hampir mencapai tingkat kepuasan optimal adalah nasabah Bank Syariah Mandiri di wilayah Sumatera Selatan (indeks = 81.70). Untuk itu, masih diperlukan sedikit peningkatan agar kepuasan optimal nasabah di daerah tersebut terpenuhi. Lima provinsi lain (Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, dan DI Yogyakarta) masih memerlukan perbaikan sebagaimana kondisi nasional untuk mencapai tingkat kepuasan optimal nasabah. Rata-rata indeks kepuasan optimal nasabah Bank Syariah Mandiri di kelima provinsi diatas adalah 77.45. Sedangkan di wilayah Jabodetabek dan Provinsi Jawa Barat serta Jawa Timur dengan Indeks Kepuasan berturut-turut adalah sebesar 74.55, 74.75, dan 74.73. Wilayah Jabodetabek dan kedua propinsi (Jawa Barat dan Jawa Timur) bahkan memerlukan perubahan dari kondisi saat ini agar nasabah dapat memperoleh kepuasan optimal. Nasabah yang telah mendapatkan pelayanan yang prima akan merasakan kepuasan saat melakukan transaksi dengan bank syariah. Sedangkan nasabah yang merasakan pengalaman dalam memperoleh pelayanan yang tidak memenuhi harapannya maka kepuasan yang dirasakan nasabah akan berkurang. Setiap nasabah memiliki persepsi masing-masing dalam menilai kualitas pelayanan yang telah diperolehnya. Harapan terhadap suatu kualitas pelayanan juga berbeda dari nasabah satu ke nasabah lainnya. Perbedaan yang terbentuk antara persepsi dan tingkat harapan akan mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan oleh nasabah. B. Perumusan Masalah Bank Syariah Mandiri memiliki target, yaitu membentuk kepuasan nasabah yang optimal dengan indeks kepuasan lebih dari 85. Melalui hasil survei yang dilakukan oleh Divisi Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Kinerja 2008; maka ada beberapa wilayah di Indonesia dengan indeks kepuasan nasabah di bawah optimal. Salah satu wilayah dengan indeks kepuasan di bawah optimal yaitu wilayah Jabodetabek dengan indeks kepuasan nasabah sebesar 74.55. Pihak manajemen Bank Syariah Mandiri memiliki tujuan supaya semua nasabah mendapatkan kepuasan yang optimal ketika mengakses pelayanan yang diberikan Bank Syariah Mandiri. Pada kenyataannya ada nasabah yang merasakan kepuasan yang diperolehnya belum optimal ketika bertransaksi dengan Bank Syariah Mandiri. Nasabah yang puas dicerminkan melalui persepsi yang sama dengan ekspektasi terhadap kualitas pelayanan. Sedangkan nasabah yang memiliki persepsi lebih tinggi dibandingkan dengan ekspektasinya terhadap kualitas pelayanan maka akan diperoleh kepuasan yang optimal. C. Pertanyaan Penelitian Melalui perumusan masalah yang telah disusun diatas maka dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1) Bagaimanakah batas kualitas pelayanan yang dapat ditoleransi oleh nasabah ? 2) Bagaimanakah batas kualitas pelayanan yang diinginkan (diharapkan) nasabah ? 3) Kapankah saat yang paling efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap nasabah ? D. Tujuan Penelitian Melalui perumusan masalah diatas maka dapat disusun tujuan penelitian sebagai berikut : 1) Mengetahui pengaruh antara kualitas pelayanan yang spesifik dengan tingkat kepuasan nasabah Bank Syariah Mandiri Cabang 'X'. 2) Meneliti pengaruh antara kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan nasabah melalui analisis terhadap persepsi dengan tingkatan ekspektasi yang dimiliki oleh nasabah. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1) Akademisi lainnya, sebagai bahan rujukan terhadap penelitian-penelitian yang akan dilakukan selanjutnya. 2) Pihak internal Bank Syariah Mandiri Cabang 'X' sebagai referensi dalam merencanakan strategi yang tepat dalam mengalokasikan sumberdaya dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan. 3) Praktisi lainnya yang bergerak pada bidang ekonomi dan keuangan syariah. 4) Masyarakat, sebagai sarana untuk menambah pengetahuan mengenai perbankan syariah, khususnya aspek pemasaran bank syariah. |
TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPS BERBASIS PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILL) DI SEKOLAH DASAR Posted: 24 Aug 2014 06:28 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0255) : TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPS BERBASIS PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILL) DI SEKOLAH DASAR (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan pendidikan menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan seseorang, hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan dapat menunjukkan kualitas sumber daya yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan. Dewasa ini, pendidikan telah mengalami perkembangan yang semakin pesat, hal ini mengakibatkan adanya persaingan yang sangat ketat di dunia pendidikan, karena itu untuk menghadapinya diperlukan kualitas pendidikan yang bermutu dan semakin meningkat. Istilah Ilmu pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu Paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Paedagogie berarti pendidikan, sedangkan Paeda artinya Ilmu Pendidikan. Paedagogiek atau Ilmu Pendidikan ialah yang menyelidiki, merenung tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Semua ilmu yang ada di muka bumi ini mempunyai tujuan, baik itu ilmu pendidikan maupun ilmu yang lainnya. Setiap kegiatan pendidikan diharapkan untuk menuju tujuan yang jelas, tujuan-tujuan ini ditentukan oleh tujuan akhir yang harus dicapai oleh peserta didik dalam mengikuti semua mata pelajaran atau bidang studi yang diberikan oleh pendidik. Tujuan Pendidikan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3, menyebutkan bahwa "Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Mutu pendidikan yang ada di Indonesia telah lama dilakukan perbaikan dari waktu ke waktu dengan menggunakan berbagai strategi. Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan berbagai upaya guna memperbaiki mutu pendidikan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan perubahan kurikulum secara berkala diantaranya adalah diterapkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum 2004 sebelum ditetapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum 2006. Upaya perbaikan kurikulum melalui pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin berkembangnya dunia pendidikan, guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar dituntut menggunakan berbagai strategi pembelajaran yang mengaktifkan interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan lingkungannya. Dengan demikian, paradigma pembelajaran dapat dikatakan bergeser dari teacher centered ke student centered. Paradigma tersebut memberikan dasar bahwa peranan guru juga mengalami pergeseran dari satu-satunya sumber ilmu di kelas bergeser menjadi fasilitator bagi siswa. Siswa, buku-buku pelajaran, lingkungan sekitar dan teman sejawat untuk dijadikan sebagai sumber belajar. Pelajaran yang bersifat teacher centered mengharuskan guru yang lebih aktif melatih dan menentukan apa yang harus diketahui subjek didik atau siswa. Namun, hal itu berbeda kondisinya dengan student centered yang lebih memfokuskan situasi belajar pada peranan siswa dan peranan guru hanyalah sebagai fasilitator bagi siswa dalam proses pembelajaran. Tugas guru yang utama bukan lagi menyampaikan pengetahuan, melainkan memupuk pengertian, membimbing mereka untuk belajar sendiri. Tidak hanya itu saja tetapi selama ini peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai inovasi, misalnya perbaikan kurikulum, peningkatan kualitas SDM, pengadaan sumber belajar dan sarana dan prasarana lainnya. Seminar, pelatihan, dan berbagai program sosialisasi dan pembinaan telah dilakukan, namun upaya ini belum menampakkan hasil yang berarti. Dari studi komparasi internasional menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia kurang menggembirakan. Hasil studi Human Development Index (HDI) dengan 17 indikator, Indonesia menduduki peringkat ke 112 dari 175 negara yang disurvei, dan tiga tingkat dibawah Vietnam. Demikian pula The Political Economic Risk Consultant (PERC) melaporkan Indonesia ada pada peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvei dan satu tingkat lagi dibawah Vietnam. Sedangkan berdasarkan laporan UNDP tahun 2004 posisi dari 177 negara, Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), Filipina (83), Indonesia (111), Vietnam (112), Kamboja (130), Myanmar (132), dan Laos (135). Hal ini dapat dimaklumi karena memang permasalahan dunia pendidikan sangat kompleks, permasalahan yang masih menjadi beban/pemikiran adalah a) masalah relevansi pendidikan, b) pemerataan pendidikan, c) masih tingginya angka drop-out dan juga mahalnya biaya pendidikan, d) tingginya jumlah siswa yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan e) tantangan globalisasi. Data tersebut menggambarkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih dipertanyakan. Sementara dari sisi perilaku keseharian siswa, banyak berdampak terhadap ketidakpuasan masyarakat. Tawuran antar siswa kini sudah menjadi berita biasa. Tawuran antar siswa kini sudah menjalar sampai ke SMP/MTs di kota kabupaten. Dari dunia usaha juga muncul keluhan bahwa bekal lulusan SD/MI kurang baik untuk memasuki SMP/MTs, kalangan SMA/MA merasa lulusan SMP/MTs tidak siap mengikuti pembelajaran di Sekolah Menegah, dan kalangan Perguruan Tinggi merasa bekal lulusan SMA/MA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan. Problema tentang kesiapan lulusan sekolah kita semakin berat ketika dihadapkan pada era globalisasi. Terbukanya arus informasi, komunikasi, dan transformasi peradaban dunia pada era global merupakan tantangan mereka agar siap menghadapi hidup semakin kompetitif. Lebih-lebih setelah berlakunya AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) sejak 1 Januari 2003 persaingan dunia semakin ketat, baik persaingan dunia kerja yang semakin terbuka. Konsekuensinya mereka harus mampu bersaing secara terbuka dengan tenaga kerja asing. Jika tidak, mereka akan tersisih dalam hal ini akan menambah jumlah pengangguran yang sampai saat ini belum teratasi. Keadaan seperti ini akan lebih fatal jika lulusan sekolah kita tidak memiliki kesiapan mental spiritual dan bimbingan moral agama untuk bangkit berusaha, tidak putus asa, dan tetap teguh berada pada jalan hidup yang benar. Berbagai problematika diatas menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia mempunyai banyak kendala yang perlu diperbaiki baik dari aspek kurikulum, manajemen, strategi pembelajaran, sistematika pembelajaran maupun profesionalisme guru. Dengan demikian agar pendidikan di Indonesia mengalami perubahan yang lebih baik perlu adanya upaya langkah-langkah penyempurnaan mendasar konsisten dan sistematika paradigma pendidikan yang kita bangun sesuai dengan paradigma tersebut. Penyempurnaan ini adalah pendidikan dimana dapat mengembangkan potensi anak didik agar berani menghadapi tantangan hidup sekaligus tantangan global, tanpa ada rasa tertekan, pendidikan kita harus mampu mendorong anak didik memiliki pengetahuan, keterampilan, memiliki percaya diri yang tinggi yang mampu cepat beradaptasi dengan lingkungan. Pendidikan yang ingin diwujudkan ke depan adalah pendidikan yang dapat mengarahkan dan membekali kehidupan anak didik dan tidak berhenti pada penguasaan materi secara tertulis. Sementara hasil survei dari Balitbang Diknas tahun 2000 menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia belum menggembirakan, tantangan masa depan sangat berat. Di dalam negeri, krisis ekonomi menyebabkan angka pengangguran terus meningkat hingga mencapai 40 juta. Di dalam dunia pendidikan sendiri, tercatat 12,3% tamatan SD tidak melanjutkan, 34,4% tamatan SLTP tidak melanjutkan, dan 53,12% tamatan Sekolah Menengah tidak melanjutkan. Mereka perlu diperhatikan agar tidak menambah jumlah deretan angka pengangguran. Belum lagi para lulusan SD, SLTP, dan Sekolah Menengah, bahkan Perguruan Tinggi yang terdampar sebagai pengangguran karena tidak mampu bersaing di pasar kerja dan tidak mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Hal ini berarti bahwa perlu dipikirkan bagaimana pendidikan dapat berperan mengubah manusia beban menjadi manusia produktif. Bekal apa yang harus diberikan kepada peserta didik agar dapat memasuki dunia kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sehingga mampu menghidupi diri sendiri, syukur dapat menghidupi keluarga dan lingkungannya. Dari urian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia kini menghadapi masalah yang serius, yakni (1) banyaknya peserta didik yang putus sekolah, (2) banyaknya lulusan SD, SLTP, SMU/K yang tidak mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka pelajari di sekolah ke dalam dunia kerja, sehingga mereka terasing di lingkungannya sendiri, (3) Sementara AFTA akan segera diberlakukan, tenaga kerja asing akan masuk ke Indonesia dan menggusur tenaga kerja Indonesia yang tidak profesional. Kita akan menjadi pecundang di negara sendiri. Mengingat fungsi utama dari tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan). Dengan demikian diperlukan adanya pematangan peserta didik untuk mampu bersaing dan mempunyai peran aktif dalam lingkungan masyarakat. Terutama peserta didik dituntut untuk lebih mempersiapkan dirinya dengan berbagai keahlian (skill) yang kompeten dengan era globalisasi. Era reformasi ini oleh para ahli dipandang telah menggantikan era industri. Dengan dukungan IPTEK era reformasi mampu mengubah pola kehidupan dan mempercepat pekerjaan. Kini orang harus siap menghadapi berbagai kemungkinan perubahan pada pekerjaan yang selama ini telah ditekuni. Untuk itu penyesuaian diri terhadap perubahan selalu diperlukan dengan meningkatkan kecakapan yang kompeten. Sementara semangat kompetensi yang cenderung individualistis, kini telah bergeser ke arah kolektivistik yang memerlukan kesadaran untuk bekerjasama, saling mengerti dan saling membantu. Dengan demikian perkembangan aspek sosial perlu mendapat perhatian dari pendidikan disamping aspek mental spiritual, personal, intelektual dan pekerjaan (vocational). Problem-problem sosial-pendidikan sebagaimana telah disebutkan perlu diatasi dengan peningkatan kualitas program pendidikan yang lebih tepat guna dan efektif dalam mempersiapkan lulusan sebagai generasi yang berkepribadian tangguh, memiliki kemandirian, keberanian, dan kemampuan mencari alternatif dan memecahkan permasalahan hidup secara bertanggung jawab. Peningkatan kualitas program pendidikan ini harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya baik jasmani maupun rohani, dengan mengembangkan aspek-aspek spiritual, moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga dan perilaku. Selain itu, untuk bahan ajar untuk semua mata pelajaran yang beredar untuk kalangan SD/MI khususnya pada mata pelajaran IPS hanya menyangkut pelajaran IPS itu sendiri dan belum adanya berbasis yang mencerminkan tentang pendidikan Life Skill. Dimana konsep dari pendidikan Life Skill itu diintegrasikan melalui semua mata pelajaran yang ada di sekolah. Kemudian untuk sosialisasi dari pendidikan Life Skill untuk guru mengenai implementasi dan evaluasi belum sepenuhnya terealisasikan, sehingga pendidikan Life Skill itu sendiri belum optimal pelaksanaannya di sekolah. Sedangkan, untuk siswanya sendiri masih belum banyak yang mengerti mengenai pendidikan Life Skill dan diperlukan adanya penjelasan dan pemahaman terlebih dahulu. Pengembangan aspek-aspek tersebut haruslah didasarkan pada kerangka dan bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life skills) diwujudkan melalui pencapaian berbagai kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri dan berhasil di masa mendatang, serta dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan yang menyentuh seluruh jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian dalam rangka peningkatan mutu pendidikan madrasah/sekolah, perlu dilakukan pengembangan dan penyempurnaan kurikulum pada masa jenjang pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan berbasis masyarakat luas (Broad Based school), berorientasi pada kecakapan untuk hidup (life skills), tetapi tidak mengubah sistem pendidikan yang ada. Orientasi kecakapan hidup ini merupakan sebuah paradigma dalam analisis kurikulum yang ada, sebagai alternatif pembaharuan pendidikan yang prospektif untuk mengantisipasi tuntutan masa depan. Dengan titik berat pendidikan pada kecakapan untuk hidup, diharapkan pendidikan benar-benar dapat meningkatkan taraf hidup dan martabat masyarakat. Oleh karena itu kurikulum pada semua jenjang pendidikan dan jenis sekolah haruslah mengarah pada Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills education) dengan porsi dan kadar yang serasi. Berbasis kecakapan hidup pada pendidikan tingkat dasar (MI/SD dan MTs/SMP) sudah tentu berbeda dengan arahnya dengan tingkat MA/SMA atau sekolah kejuruan (Vocational School). Selain itu relevansi dengan kebutuhan masyarakat dan geografisnya, sosio-budaya nasional dan lokal, serta tentang waktu ikut dipertimbangkan. Berbasis pendidikan kecakapan hidup dalam kurikulum yang dimaksud bukanlah menempel sejumlah kecakapan hidup sebagai unsur baru, tetapi menjadikan kecakapan-kecakapan tersebut sebagai kompetensi yang mendasari dan mengarahkan pengembangan kurikulum. Pengembangan bahan ajar pembelajaran Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) mata pelajaran IPS ini dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan antara kondisi ideal dengan kondisi riil yang ada di lapangan. Kondisi ideal yang dimaksud adalah (1) Tersedianya model buku ajar pembelajaran Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) untuk mata pelajaran IPS sesuai dengan karakteristik konsep bidang ilmu IPS untuk meningkatkan hasil pendidikan yang terpadu tidak hanya dari segi kognitif (pengetahuan), Afektif (sikap), maupun psikomotorik akan tetapi ada berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) sehingga diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran nilai-nilai dan mempunyai kecakapan-kecakapan hidup untuk membekali peserta didik lebih mandiri dalam menghadapi problema hidup yang terjadi. (2) Hadirnya buku ajar IPS yang mengakomodir faktor-faktor yang diharapkan ada dalam sebuah buku ajar yang baik dan efektif. (3) Mengatasi kondisi pembelajaran IPS melalui ketersediaan bahan ajar yang dapat meningkatkan keefektifan, efisiensi, dan kemenarikan pembelajaran di sekolah. Dalam studi pendahuluan yang telah dilakukan, teridentifikasi bahwa buku ajar pembelajaran IPS yang sudah dilakukan dalam proses pembelajaran adalah "IPS Terpadu Untuk Sekolah Dasar Kelas IV yang penerbit Erlangga". Adapun hasil temuan ketika dilakukan review terhadap buku ajar tersebut ditemui bahwa buku ajar yang digunakan belum menunjukkan adanya berbasis kecakapan dengan indikasi bahwa kurang memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam buku ajar yang baik dari faktor isi maupun desain. Dari segi isi terlihat hanya mengutamakan ranah kognitif dan psikomotorik dalam pembelajaran IPS, akan tetapi belum adanya pembelajaran mengenai penanaman nilai (sikap) dan berbasis kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh peserta didik. Sehingga kesan yang ditunjukkan hanya mengutamakan pembelajaran pengetahuan yang harus dicapai oleh peserta didik, sedangkan untuk pembelajaran mengenai penanaman sikap dan kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh siswa dalam menghadapi berbagai macam problematika kehidupan belum berbasis sepenuhnya. Dari segi desain, ilustrasi yang digunakan cenderung menampilkan gambar pendukung materi ulasan yang disajikan secara keseluruhan dalam bentuk animasi, sementara yang diharapkan adalah bahwa gambar pendukung materi yang digunakan selain mengakomodir gambar animasi sesuai ulasan juga terdapat gambar pendukung materi yang riil dalam rangka untuk memberikan pengetahuan yang nyata tentang sesuatu hal terhadap peserta didik. Dalam segi tampilan narasi atau teks yang ditampilkan terlalu padat dalam satu halaman dan penggunaan font yang terlalu kecil ukurannya sehingga terkesan padat isinya dalam satu halaman sehingga membuat peserta didik jenuh untuk membacanya. Warna yang digunakan kurang bervariasi, ragam bahasa yang digunakan cenderung menggunakan bahasa baku, sementara yang diharapkan adalah penggunaan bahasa komunikatif, karena pada dasarnya bahasa komunikatif menginginkan pembaca diajak berdialog secara intelektual melalui sapaan, pertanyaan, ajakan, dan penjelasan yang seakan berdialog dengan orang kedua itu benar-benar terjadi. Penggunaan bahasa komunikatif akan membuat siswa merasa seakan berinteraksi dengan gurunya sendiri melalui tulisan-tulisan yang disampaikan dalam buku ajar. Terkait dengan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) mata pelajaran IPS yang dikembangkan melalui buku ajar akan mengakomodasi analisis kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dengan memberikan berbagai macam kecakapan yaitu kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan ini dimaksudkan untuk memberikan solusi mengenai pemantapan diri peserta didik dan penanaman nilai untuk mencapai kematangan diri peserta didik untuk lebih mandiri. Dengan demikian dengan ketersediaan buku ajar yang dikembangkan diharapkan akan membantu para guru untuk dapat memberikan yang terbaik dalam pembelajaran di kelas khususnya pembelajaran IPS, karena sebelumnya para guru belum sepenuhnya menggunakan model pembelajaran IPS dengan berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) sesuai dengan karakteristik pembelajaran IPS dimana tujuan utama yang diajarkan kepada peserta didik adalah bagaimana mengatasi masalah secara mandiri, berkelompok dan mampu berinteraksi dengan baik. Dari beberapa temuan yang ditemukan dalam studi pendahuluan, maka diasumsikan bahwa pengembangan terhadap buku ajar pembelajaran IPS dengan berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) sesuai dengan karakteristik konsep bidang studi yaitu pembelajaran IPS. Bertolak dari masalah tersebut, perlu konsolidasi agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yakni keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan perlu mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang. Dengan bekal kecakapan hidup tersebut diharapkan para lulusan sekolah akan mampu memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari dan menciptakan pekerjaan. Sehingga berdasarkan permasalahan diatas, maka dipandang perlu untuk diadakan penelitian tentang "PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPS BERBASIS PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS) DI SD X". B. Fokus Masalah Mengacu dari penjelasan latar belakang diatas maka penulis dapat menguraikan beberapa fokus masalah, diantaranya : 1. Apakah bahan ajar mata pelajaran IPS berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) yang dikembangkan untuk kelas IV di SD X sudah efektif untuk diterapkan ? 2. Apakah bahan ajar mata pelajaran IPS berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) yang dikembangkan untuk kelas IV di SD X sudah menarik dan sesuai untuk digunakan ? C. Tujuan Pengembangan Berdasarkan fokus masalah yang diambil maka penulis dapat menjelaskan tujuan dari penelitian, diantaranya : 1. Untuk menganalisis tingkat efektivitas bahan ajar mata pelajaran IPS berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) yang dikembangkan untuk kelas IV A di SD X. 2. Untuk menganalisis tingkat kemenarikan dan kesesuaian bahan ajar mata pelajaran IPS berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) yang dikembangkan untuk kelas IV A di SD X. D. Kegunaan Pengembangan Dengan penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap pengembangan pendidikan, yaitu sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan untuk menambah pengetahuan dalam meningkatkan dan mengembangkan proses pendidikan kecakapan hidup (Life Skills) pada umumnya melalui proses belajar mengajar pendidikan kecakapan hidup (Life Skills) pada mata pelajaran IPS di kelas pada khususnya. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Sekolah Dasar (SD) maupun Madrasah Ibtidaiah (MI) pada umumnya kemudian dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan General Life Skills siswa pembelajaran berbasis kecakapan hidup (Life Skills) yang akan digunakan untuk proses belajar mengajar mata pelajaran IPS di kelas di SD X pada khususnya. |
TESIS KAJIAN PENGARUH PROSES REKRUTMEN DAN SELEKSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DEPARTEMEN ESDM Posted: 24 Aug 2014 06:23 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0254) : TESIS KAJIAN PENGARUH PROSES REKRUTMEN DAN SELEKSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DEPARTEMEN ESDM (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mencapai keberhasilan di era globalisasi saat ini, organisasi perlu memberi perhatian lebih cermat terhadap sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. SDM sebagai alat utama dalam organisasi mempunyai peran yang sangat potensial, sehingga perlu mendapat pengelolaan yang efektif dan dapat dikembangkan untuk menunjang organisasi masa depan. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, perlu menyempurnakan Organisasi dan Tata Kerja DESDM. Seiring dengan penataan kelembagaan itulah maka ditata pula organisasi yang diikuti penataan SDM sebagai penggerak organisasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 DESDM tidak berubah, hanya ditambah dengan satu unit Eselon I, yaitu Badan Geologi. Untuk itulah terjadi rotasi dan mutasi, terutama pada posisi jabatan vital. Padahal di sisi lain SDM yang kompeten yang ada saat ini dan tersedia pada organisasi sebenarnya cenderung terbatas dan semakin berkurang, karena secara alamiah pegawai akan mengalami masa pensiun, berhenti, pindah kerja, meninggal dunia, cuti panjang atau mungkin juga adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini merupakan proses alami dan implikasinya yang perlu diantisipasi oleh organisasi. Oleh karena itu, agar kinerja organisasi tetap terjaga maka setiap terjadi kekosongan jabatan, pihak-pihak yang berkompeten dengan masalah SDM perlu menyiapkan pegawai pengganti yang memiliki kompetensi sesuai dengan kompetensi yang dituntut oleh jabatan tersebut. Untuk itu, perencanaan SDM mulai dari proses rekrutmen, seleksi, penempatan pegawai, pendidikan dan latihan serta pembinaan karir akan sangat berpengaruh terhadap kinerja organisasi di masa depan. Pembinaan dan pengembangan profesionalitas SDM menjadi salah satu upaya yang tepat untuk menghadapi dan merespon segala tantangan yang berkaitan dengan perubahan lingkungan strategis. Sebagai upaya untuk mewujudkan tuntutan profesionalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS), Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 telah menetapkan beberapa perubahan dalam manajemen PNS. Perubahan tersebut membawa konsekuensi bahwa setiap organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah harus memiliki Sumber Daya Manusia Pegawai Negeri Sipil (SDM-PNS) yang memenuhi persyaratan baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional. Secara umum salah satu hambatan penyelenggaraan manajemen SDM-PNS adalah bentuk dan struktur organisasi konvensional yang mengarah kepada Bureaucratic atau hierarchical organization, yang cenderung memperlakukan SDM nya sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor sumber daya lainnya. Morgan (1977) dalam Majalah Usahawan (1998) mengatakan bahwa organisasi birokrasi cenderung mematikan kreativitas dan inovasi serta jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) SDM, karena segala aktivitas dan tindakan selalu harus melalui prosedur hierarkis atau atas perintah dari atasan. Apabila secara hipotesis dapat dikatakan bahwa masalah yang dihadapi organisasi secara umum adalah masalah kualitas SDM-PNS, maka persoalan yang harus segera dicermati dan ditelusuri adalah tentang proses rekrutmen dan seleksi SDM-PNS dalam organisasi. Proses rekrutmen dan seleksi merupakan fungsi manajemen SDM yang berperan penting karena berbagai keahlian SDM yang dibutuhkan akan dapat disediakan oleh fungsi ini. Ketersediaan SDM yang memiliki keahlian dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan tersebut tentunya akan berpengaruh positif terhadap tercapainya tujuan dan efektifitas organisasi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Rivai (2004 : 3-6), yang menyatakan bahwa keputusan yang buruk menyangkut kebutuhan staffing dapat menyebabkan persoalan ketenagakerjaan, penempatan, kepatuhan sosial, hubungan antara serikat buruh, manajemen dan kompensasi. Apabila pengelolaan SDM dilaksanakan secara profesional, maka diharapkan nantinya SDM tersebut dapat bekerja secara produktif. Pengelolaan SDM yang dilakukan secara profesional ini harus dimulai sejak perekrutan, seleksi pengklasifikasian, sesuai kemampuan atau kompetensi, penataran atau pelatihan dan pengembangan kariernya. Rekrutmen sebagai suatu proses pengumpulan calon pemegang jabatan yang sesuai dengan rencana SDM untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam fungsi pemekerjaan (employee function) SDM-PNS selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan PP No. 11 Tahun 2002 dan PP No. 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan PP No. 54 Tahun 2003 serta PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan PP No. 13 Tahun 2000. Penerapan kebijakan tersebut sebenarnya bertujuan untuk memperoleh pegawai yang berkualitas, yakni pegawai yang pintar, terampil dan memiliki kompetensi, dapat bekerja keras, kreatif dan bermoralitas tinggi. Namun, dalam implementasinya belum memenuhi kebutuhan yang dapat menunjang keberhasilan kinerja dan profesionalitas SDM-PNS. Kondisi yang demikian ini antara lain disebabkan oleh perencanaan kepegawaian yang pada saat ini belum didasarkan pada kebutuhan nyata sesuai dengan kebutuhan organisasi, dan penempatan pegawai masih berdasarkan pesanan sehingga kurang menonjolnya upaya mewujudkan prinsip the right man on the right place. Secara konseptual, sistem perencanaan SDM dimaksudkan agar pegawai memiliki kinerja yang tinggi selama bekerja dalam organisasi, sehingga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap kinerja organisasi. Oleh karena itu, rendahnya kinerja ini terjadi karena sistem perencanaan SDM yang dimiliki oleh organisasi masih rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Rivai (2004 : 12-15 dan 196) yang menyatakan bahwa kinerja buruk dapat berarti bahwa penyeleksian, pelatihan atau pengembangan harus direvisi, karena apabila tidak, hal ini kemungkinan dapat menimbulkan masalah yang menyangkut hubungan antar pegawai. Pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM, rekrutmen dan seleksi, penempatan dan pembinaan karir serta pendidikan dan pelatihan yang baik akan meningkatkan potensi SDM untuk berkarya karena telah memperoleh bekal pengetahuan dan keterampilan serta di tempatkan pada kedudukan yang tepat (the right man on the right place). Oleh karena itu, penataan seleksi dan rekrutmen yang lebih baik mempunyai dampak yang besar terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi SDM lainnya, seperti orientasi dan penempatan, latihan dan pengembangan, perencanaan dan pengembangan karir, evaluasi kinerja dan kompensasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja pegawai dalam menjalankan pekerjaannya dapat memberikan umpan balik (feedback) tentang keberhasilan organisasi dalam menjalankan rekrutmen, seleksi, penempatan pegawai. Namun, perlu dipahami juga bahwa komponen-komponen di atas bukanlah satu-satunya yang berperan dan mempengaruhi kinerja pegawai, karena terdapat komponen lain yang juga berperan, seperti sistem kompensasi, reward and punishment system, dan kebijakan pengembangan karir serta fungsi-fungsi manajemen kepegawaian lainnya. Sebelum pegawai dapat direkrut untuk mengisi suatu jabatan tertentu, urusan kepegawaian harus memiliki gambaran yang jelas tentang tugas-tugas dan kewajiban yang dipersyaratkan untuk mengisi jabatan yang ditawarkan. Oleh sebab itu, analisis jabatan merupakan langkah pertama dalam proses rekrutmen dan seleksi. Jika uraian jabatan telah tersusun dengan baik, maka spesifikasi jabatan atau disebut juga hiring specification, yaitu suatu uraian tertulis tentang pendidikan, pengalaman dan ketrampilan yang diperlukan untuk dapat mengisi suatu jabatan tertentu sehingga dapat berfungsi secara efektif. Analisis jabatan merupakan hal yang mendasar dalam pengembangan SDM. Tanpa adanya data yang akurat tentang profil dari masing-masing jabatan, jenis-jenis kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan, serta pengalaman dan pendidikan yang dipersyaratkan untuk menduduki jabatan tersebut, maka proses pengembangan SDM akan menjadi sulit. Rekrutmen dan seleksi akan timpang karena tidak diimbangi informasi yang memadai dan akurat, pengembangan dan pelatihan mungkin tidak dapat mencapai tujuan, begitu juga halnya dengan manajemen penilaian kinerja. Berdasarkan landasan konseptual dan kondisi faktual di atas adalah penting, menarik dan menantang bagi penulis untuk meneliti proses rekrutmen dan seleksi pegawai serta kinerja pegawai Sekretariat Jenderal DESDM. Oleh karena itu, penulis menetapkan judul penelitian untuk penyusunan tesis ini adalah "PENGARUH PROSES REKRUTMEN DAN SELEKSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL". B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah ada pengaruh rekrutmen terhadap seleksi ? 2. Apakah ada pengaruh rekrutmen terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Jenderal DESDM ? 2. Apakah ada pengaruh seleksi terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Jenderal DESDM ? C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam rangka penulisan tesis ini adalah untuk : a. Menguji adanya pengaruh rekrutmen terhadap seleksi ? b. Menguji adanya pengaruh rekrutmen terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Jenderal DESDM ? c. Menguji adanya pengaruh Seleksi terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Jenderal DESDM ? 2. Signifikansi Penelitian Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini memiliki signifikansi dalam bidang : a. Akademis Dilihat dari bidang akademis, maka hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang manajemen SDM. b. Praktis Dilihat dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat langsung bagi penentu kebijakan di Sekretariat Jenderal DESDM, terutama yang terkait dengan kebijakan rekrutmen dan seleksi pegawai selama ini. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan alternatif pilihan yang dapat dipertimbangkan untuk membenahi sistem rekrutmen dan seleksi pegawai agar mampu mendorong terwujudnya kinerja yang tinggi di Sekretariat Jenderal DESDM. D. Sistematika Penelitian Tesis ini terdiri dari 5 (lima) Bab termasuk Bab Kesimpulan dan Saran dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan gambaran singkat mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penelitian. Bab II. Tinjauan Literatur dan Metode Penelitian, dalam bab ini penulis membahas tinjauan literatur dan obyek penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampling skala pengukuran serta instrumen penelitian dan teknik analisis data. Bab III. Gambaran Umum Obyek Penelitian, dalam bab ini penulis memberikan gambaran umum tentang kondisi pegawai, visi dan misi organisasi, struktur organisasi, kedudukan, tugas pokok dan fungsi Sekretariat Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Bab IV. Pembahasan Hasil Penelitian, dalam bab ini penulis menyajikan berbagai hasil penelitian, yaitu gambaran tentang karakteristik responden yang dilibatkan, deskripsi tentang kondisi variabel-variabel yang dianalisis, gambaran tentang pola hubungan antar variabel yang dianalisis. Bab V. Simpulan dan Saran, dalam bab ini, penulis membuat kesimpulan dan saran-saran hasil bahasan penyusunan tesis ini. |
Posted: 24 Aug 2014 06:20 PM PDT (KODE : PASCSARJ-0253) : TESIS ANALISIS PELAKSANAAN REKRUTMEN SELEKSI DAN PENGEMBANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITJEN PAJAK (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemungutan pajak yang dianut Indonesia sejak tahun 1983 adalah self assessment system yang ditandai dengan dikeluarkannya undang-undang pajak baru sebagai awal era baru reformasi perpajakan. Secara umum self assessment system diartikan sebagai suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menjalankan kewajiban pajaknya secara mandiri, mulai dari menghitung hutang pajak, menyetor, dan melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dalam self assessment system Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bertugas mengawasi pelaksanaan perpajakan, artinya DJP harus dapat memastikan Wajib Pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Beralihnya sistem perpajakan dari official assessment system menjadi self assessment system terbukti memberikan dampak positif bagi penerimaan pajak. Hal tersebut dapat dilihat dari makin besar kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan APBN setiap tahun. Negara yang sehat adalah negara yang pembiayaannya datang dari rakyat. Partisipasi aktif masyarakat dalam pembiayaan negara akan menghindari ketergantungan yang berlebihan dari negara kepada bantuan luar negeri. Disamping itu dengan pembiayaan yang cukup pembangunan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat. Perekonomian suatu negara semakin maju dan berkembang seyogianya ditandai semakin banyaknya warga masyarakat yang masuk golongan mampu serta diikuti juga dengan peningkatan penerimaan pajak. Partisipasi masyarakat dalam membayar pajak tidak tumbuh begitu saja. Diperlukan berbagai cara untuk membuat masyarakat sadar akan hak dan kewajibannya membantu pemerintah dalam pembiayaan pemerintahan dan pembangunan. Sementara itu sistem self assessment yang dianut perpajakan Indonesia, keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh kesadaran Wajib Pajak. Jadi, tugas besar bagi DJP untuk dapat menumbuhkan kesadaran tersebut pada Wajib Pajak. Tugas besar DJP tersebut umumnya dirumuskan dalam tiga tindakan, yaitu pertama, sebagai tindakan preventif, DJP melakukan persuasi kepada Wajib Pajak dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan sehingga tumbuh kesadaran Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sebagaimana seharusnya yang ditentukan peraturan perpajakan. Kedua, DJP melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada Wajib Pajak, sehingga Wajib Pajak merasa nyaman menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Pelayanan itu dapat berupa kemudahan administrasi, kejelasan peraturan dan lain sebagainya. Tugas yang berikutnya adalah menjalankan peran sebagai pengawas pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Tugas sebagai pengawas dijalankan melalui pemeriksaan dengan berbagai bentuk. Tugas sebagai pengawas ini bukan pekerjaan tunggal, melainkan serangkaian kegiatan yang harus dijalankan secara bertahap, sistematis, dan berkesinambungan mengikuti perkembangan Wajib Pajak. Pemeriksaan dimulai dari pemeriksaan sederhana kantor sampai dengan pemeriksaan di lapangan. Berbagai teknik digunakan agar pemeriksaan berhasil mengungkapkan kecurangan jika memang dilakukan Wajib Pajak. Untuk kegiatan pemeriksaan ini, semakin patuh Wajib pajak semestinya tidak banyak hasil yang diperoleh, namun jika Wajib Pajak banyak yang tidak patuh akan ditemukan banyak penyelewengan. Hasil pemeriksaan dapat berupa dua kemungkinan, jika indikasinya adalah pelanggaran ketentuan pajak maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Ada kalanya hasil pemeriksaan menunjukkan adanya indikasi tindak pidana perpajakan yang dapat menimbulkan kerugian negara, maka pemeriksaan dapat ditingkatkan pada pemeriksaan bukti permulaan. Jika indikasi tindak pidana lemah, maka pemeriksaan bukti permulaan dapat diakhiri dengan menerbitkan SKP. Jika indikasi tindak pidana perpajakan semakin kuat, maka ditingkatkan menjadi penyidikan. Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 1 angka 31 yang dimaksud dengan penyidikan adalah : "Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya". Dari bunyi ketentuan tersebut, dapat dinyatakan bahwa penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik, artinya tidak semua pegawai pajak dapat menjadi penyidik. Mendengar kata penyidik yang lebih dikenal luas adalah polisi, bukan pegawai pajak. Dalam perpajakan penjelasan tentang penyidik baru dijumpai dalam UU KUP tahun 2007, UU KUP sebelumnya tidak menegaskan tentang penyidik dalam penjelasan yang terpisah. Dalam Pasal 1 angka 32 UU KUP yang dimaksud dengan penyidik adalah : "Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Dalam bidang perpajakan dapat ditunjuk pegawai pajak yang jelas adalah Pegawai Negeri Sipil, untuk diberikan wewenang khusus menjadi penyidik tindak pidana dibidang perpajakan. Penegasan tentang penyidikan pajak diatur dalam UU KUP Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan : "Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan". Penjelasan Pasal 44 Ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Dari penjelasan tersebut di atas, jelas bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memiliki kewenangan yang berbeda dibandingkan dengan pegawai pajak yang lain. Wewenang tersebut diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU KUP sebagai berikut : a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa; h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan; dan/atau k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan 11 wewenang yang diatur UU tersebut, tampak bahwa PPNS memiliki kewenangan yang sangat besar. Hal ini terasa wajar karena jika diamati dengan seksama, peran penyidik melalui serangkaian kegiatan penyidikan merupakan penghadang terakhir bagi penjagaan pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dijalankan Wajib Pajak. Jika penyidik tidak berhasil mengidentifikasi adanya tindak pidana perpajakan, dapat saja negara dirugikan secara material, artinya kerugian sumber kas negara, dan kerugian lain, misalnya lemahnya pengawasan oleh pemerintah dapat menurunkan kepatuhan Wajib Pajak. Mengingat pentingnya peran penyidikan bagi DJP dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja di bidang perpajakan. Salah satunya adalah melakukan reorganisasi di lingkungan DJP. Mulai tahun 2006 dibentuk lah beberapa direktorat baru, salah satunya adalah Direktorat Intelijen dan Penyidikan. Sebelum 2007, unit yang menangani penyidikan adalah unit setingkat eselon III yaitu Subdirektorat Penyidikan yang merupakan bagian dari Direktorat Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak. Sekarang ini, unit tersebut ditingkatkan menjadi unit setingkat eselon II yaitu Direktorat Intelijen dan Penyidikan (Dit Inteldik) yang membawahi empat Subdit yaitu Subdit Intelijen, Subdit Rekayasa Keuangan, Subdit Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Subdit Penyidikan. Keempat Subdit tersebut merupakan satu rangkaian pekerjaan untuk membina dan menindak Wajib Pajak yang terindikasi melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, mengajukannya ke pihak penuntut umum yaitu kejaksaan melalui kepolisian untuk dilakukan penuntutan hingga keluarnya vonis pengadilan terhadap tersangka. Adapun kasus pelanggaran administratif akan ditangani Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan. Penggunaan nama intelijen pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan karena selain melakukan tugas penegakan hukum perpajakan, Dit Inteldik juga melakukan tugas-tugas intelijen yang berlangsung secara terbuka maupun tertutup guna mendukung penyidikan. Proses penyidikan pajak dilakukan penyidik, baik yang berada di Kantor Pusat DJP maupun di Kanwil masing-masing yang bertujuan mengumpulkan bukti dan saksi untuk mengungkap tindak pidana pajak serta menemukan dan menahan tersangkanya. Tugas Pokok Direktorat Intelijen dan Penyidikan (Dit Inteldik) adalah menyiapkan kebijakan, standarisasi, bimbingan teknis pelaksanaan dan evaluasi di bidang intelijen dan penyidikan pajak berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Sementara itu, fungsinya adalah penyiapan bahan penelaahan dan penyusunan kebijakan teknis operasional di bidang pengumpulan dan penelaahan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan, intelijen, penyidikan, dan rekayasa keuangan. Dari uraian tugas dan fungsi tersebut, Dit Inteldik dapat mengajukan wajib pajak yang tidak menunaikan kewajiban perpajakan ke pengadilan, baik karena alpa atau sengaja, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 melalui proses penyidikan yang bekerja sama dengan Polri dan Kejaksaan. Dasar pemikiran pembentukan Dit Inteldik adalah untuk menjamin penegakan hukum dilaksanakan secara konsisten dan professional untuk mengawal penilaian diri. Dari uraian panjang tentang peran penyidikan dalam pengawasan yang dijalankan DJP dalam self assessment system, sedangkan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya dapat dijalankan oleh penyidik yaitu PPNS, maka perlu dilakukan beberapa langkah untuk mendapatkan PPNS yang berkualitas, professional dan handal dalam menjalankan tugasnya. Jika upaya mendapatkan PPNS tidak seperti yang diharapkan karena pegawai pajak memang bukan polisi yang terlatih khusus untuk melakukan penyidikan, masih dapat dilakukan upaya pengembangan yang merupakan salah satu cara peningkatan kinerja PPNS. Disadari atau tidak peran PPNS dalam melakukan penyidikan pajak sangat sentral. Oleh karenanya perlu diteliti bagaimana latar belakang pengetahuan dan tingkat kemampuan PPNS agar dapat menyelesaikan tugas yang diembannya dan kinerjanya dapat mencapai tingkat yang diharapkan. Keberhasilan dalam menjalankan tugas tentulah harus didukung dengan berbagai kemampuan, namun hal yang tidak kalah penting adalah dimulai dari memilih calon yang terbaik dalam proses seleksi kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan latihan. Proses seleksi PPNS yang dilakukan DJP selama ini diperoleh dari sumber internal yaitu pegawai pajak yang diseleksi ulang untuk menjadi PPNS. Kenyataan ini menuntut beberapa hal, yaitu seleksi harus dilakukan dengan ketat karena Pegawai pajak direkrut dengan pertimbangan tertentu dan perlu dikaji apakah salah satu pertimbangannya adalah kemampuan untuk menjadi penyidik. Kegagalan dalam proses rekrutmen berarti masalah dalam proses kerja lainnya. Jika kesalahan tidak fatal, artinya karyawan yang menjadi PPNS masih sesuai keahliannya dengan tugas penyidik, maka dapat dilakukan pengembangan untuk meningkatkan pengetahuan pegawai. Proses rekrutmen dan seleksi PPNS telah dilakukan dan menghasilkan PPNS yang ada saat ini sejumlah 564 orang. Proses rekrutmen pada awal tahun 1983 sejak berlakunya self assessment system dilakukan dengan cara penunjukkan langsung oleh atasan calon PPNS. Proses seleksi tidak ada karena sifatnya sangat subyektif, artinya pimpinan lah yang melakukan seleksi tanpa dasar yang jelas, sehingga sangat memungkinkan berperannya perasaan suka atau tidak suka dari seorang pimpinan dalam menyeleksi calon PPNS. Proses rekrutmen yang dilakukan dengan cara tertutup (penunjukan langsung) juga tidak dapat menjangkau seluruh pegawai DJP karena informasi tentang peluang menjadi PPNS tidak dapat diakses oleh seluruh pegawai DJP. Hal itu juga rawan kesalahan karena dapat saja terjadi pegawai yang dinilai atasan layak menjadi PPNS tidak berminat dan berdampak pada aspek psikologis dalam menjalankan penyidikan. Proses seleksi yang tidak memiliki standar tertentu dapat juga menjadi suatu kesalahan karena PPNS yang dihasilkan dari seleksi tersebut sangat bervariasi keahlian yang dimiliki. Dalam berbagai teori tentang rekrutmen, diperlukan setidaknya analisis pekerjaan dan analisis beban kerja sehingga dapat diketahui kualifikasi orang yang sesuai untuk suatu pekerjaan dan berapa jumlah yang ideal untuk jabatan tersebut. Menarik untuk dikaji apakah PPNS yang ada telah sesuai dengan kebutuhan DJP baik mutu maupun jumlahnya. Kelebihan atau kekurangan jumlah PPNS akan berdampak pada kinerja. Apalagi jika kualitas PPNS yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan, maka diperlukan berbagai langkah pengembangan agar kemampuan PPNS sebanding dengan kebutuhan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Selain proses rekrutmen dan seleksi yang belum terencana, DJP juga mengalami masalah dalam pengembangan PPNS karena pengembangan yang dilakukan lebih banyak diikutsertakan dalam pelatihan dengan instansi lain yang khusus bertugas menjadi penyidik dan Intelijen, misalnya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Badan Intelijen Negara (BIN). Pelatihan bersama instansi yang competence memang bagus, namun untuk DJP, tugas yang dipegang lebih khusus karena ada unsur penerimaan pajak yang harus dipertimbangkan sebagai prioritas dan UU yang mengatur penyidikan pajak juga masih setengah-setengah. Artinya sebagian ketentuan penyidikan tunduk pada Hukum Acara Pidana dan sebagian harus taat pada ketentuan pajak yang berlaku. Oleh karena itu menarik untuk diteliti bagaimana DJP melaksanakan proses rekrutmen dan seleksi untuk mendapatkan PPNS yang berkualitas yang akan ditempatkan sebagai penyidik tindak pidana perpajakan. Bagaimana juga pelaksanaan pengembangan kemampuan PPNS untuk mencapai tingkat tertentu yang diharapkan. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini mengambil judul "ANALISIS PELAKSANAAN REKRUTMEN, SELEKSI, DAN PENGEMBANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) PADA DIREKTORAT INTELIJEN DAN PENYIDIKAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK" B. Perumusan Masalah Pokok Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah bagaimanakah upaya yang dilakukan DJP untuk meningkatkan kinerja PPNS. Adapun masalah pokok tersebut dapat dirinci menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana proses rekrutmen dan seleksi PPNS pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak ? 2. Bagaimana program pengembangan PPNS yang dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak ? 3. Bagaimanakah cara mengatasi masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan rekrutmen, seleksi, dan pengembangan PPNS pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan dari masalah pokok penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses rekrutmen dan seleksi PPNS pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan DJP. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis program pengembangan PPNS yang dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan DJP. 3. Untuk menganalisis cara mengatasi masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan rekrutmen, seleksi, dan pengembangan PPNS pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan DJP. D. Sistematika Penulisan Penyusunan tesis ini dilakukan dengan sistematis agar memudahkan peneliti dan pembaca memahami isi penelitian. Tesis terbagi menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut : Bab I Pendahuluan Bab pendahuluan ini berisi fenomena, data, dan fakta yang menjadi latar belakang munculnya masalah dalam penelitian ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan lah masalah pokok penelitian. Tujuan penelitian disusun setelah merumuskan masalah pokok penelitian dan selanjutnya dapat diidentifikasi signifikansi penelitian ini bagi perkembangan ilmu dan untuk kepentingan praktis. Terakhir berisi sistematika penulisan yang menggambarkan susunan penulisan laporan penelitian. Bab II Tinjauan Pustaka Untuk membantu menganalisis masalah pokok, maka disusun teori-teori yang relevan yaitu tentang Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), Proses Rekrutmen, Seleksi, dan Penempatan. Pengembangan SDM, manfaat pengembangan SDM dan lain sebagainya sehingga dapat disusun kerangka teori yang sistematis, logis, dan tepat untuk menjadi dasar analisis. Bab III Metode Penelitian dan Gambaran Umum Obyek Penelitian Bab ini diawali dengan metode penelitian yang meliputi, pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Gambaran umum yang dikemukakan adalah seputar masalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berkaitan dengan siapa yang bisa menjadi PPNS, bagaimana perekrutannya, kualifikasi yang harus dipenuhi dan lain sebagainya. Gambaran kondisi PPNS yang saat ini ada dengan dukungan data yang akurat juga dijabarkan sehingga diperoleh gambaran menyeluruh tentang obyek penelitian. Bab IV Analisis dan Pembahasan Data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dianalisis dan diuraikan dalam bab ini. Analisis dilakukan untuk setiap masalah yang dirumuskan dalam penelitian sehingga diperoleh pembahasan yang detail dan komprehensif. Bab V Penutup Bab penutup berisi simpulan yang diperoleh dari hasil analisis masalah penelitian berdasarkan data dan temuan di lapangan. Berdasarkan simpulan yang diambil direkomendasikan saran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya di bidang sumber daya manusia. |
You are subscribed to email updates from gudang makalah, skripsi dan tesis To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Post a Comment