download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


TESIS PENGARUH MODEL QUANTUM LEARNING TERHADAP PENCAPAIAN KOMPETENSI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DENGAN MEMPERHATIKAN MINAT BELAJAR

Posted: 12 Jun 2012 08:14 PM PDT



(KODE : PASCSARJ-0150) : TESIS PENGARUH MODEL QUANTUM LEARNING TERHADAP PENCAPAIAN KOMPETENSI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DENGAN MEMPERHATIKAN MINAT BELAJAR (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN 


A. Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas akan bisa mengatasi keterbatasan yang ada dengan pemikiran dan inovasi yang dikembangkannya. Lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini yang serba maju dibidang teknologi dan informasi, membutuhkan keberadaan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang baik, sehingga mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting dan strategis guna menghadapi tantangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dan canggih. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah membawa kita dalam era dengan masyarakat yang tidak dapat berkembang tanpa ilmu pengetahuan, karena setiap upaya peningkatan kesejahteraan hidup memerlukan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan globalisasi secara bersama-sama telah mengakibatkan persaingan yang semakin ketat tentang perlunya penyediaan SDM yang berkualitas, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kualitas SDM tidak bisa terlepas dari dunia pendidikan, dan pendidikan dapat dikatakan sebagai usaha sadar memanusiakan manusia atau membudayakan manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia. Bahkan pendidikan diyakini sebagai kunci keberhasilan kompetisi masa depan.
UU RI No 20 Tahun 2003 pasal 1 menjelaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Lebih lanjut dalam pasal 3 diamanatkan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003 : 6-11).
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah (Depdiknas, 2001 : 1). Disamping permasalahan tersebut, permasalahan klasik di dunia pendidikan yang sampai saat ini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasinya antara lain adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Sebagian besar masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan masih terbatas di tingkat sekolah dasar. Program pendidikan dasar masih belum merata di wilayah Indonesia, kurikulum pendidikan yang belum menyentuh pada kebutuhan dunia kerja, sarana prasarana pendidikan banyak yang kurang memadai bahkan sudah ketinggalan jaman, kualitas guru yang rendah, Dengan kondisi yang seperti ini maka harapan untuk dimilikinya sumber daya manusia yang berkualitas masih jauh dari kenyataan.
Kegiatan pendidikan adalah suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa. Guru menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.
Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para siswa. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan (Williams, 1976 : 116).
Mengajar tidak lagi dipahami sebagai proses menyampaikan ilmu pengetahuan dari guru ke peserta didik, melainkan lebih sebagai tugas mengatur aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang bersifat kompleks dari peserta didik dalam usahanya mencapai tujuan pembelajaran. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Penerapan pembelajaran yang berpusat pada guru, dimana peserta didik terbiasa menerima ilmu pengetahuan secara instan, menjadikannya kurang aktif dalam menggali ilmu pengetahuan dari berbagai sumber belajar. Sehingga untuk menyiasati perlu membuat strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan materi pelajaran dan kemampuan dasar peserta didik (siswa). Strategi pembelajaran yang tepat akan membina siswa untuk berpikir mandiri dan menumbuhkan daya kreatifitas, dan sekaligus adaptif terhadap berbagai situasi.
Guru perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa. Kegiatan belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian ranking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap kemampuan sebagai sesuatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh usaha dan pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan potensi siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha dan pendidikan bisa meningkatkan kemampuan mereka. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa.
Penerapan sistem pengajaran dengan menggunakan model atau metode yang tepat akan memberikan suatu motivasi belajar yang lebih baik bagi anak didik, sehingga lebih berminat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar tersebut selain pendidiknya harus kreatif, dituntut pula adanya partisipasi aktif dari siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk mencintai proses belajar dan mencintai satu sama lain. Dalam suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa. Suasana seperti ini akan menghambat pembentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena itu, pengajar perlu menciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong.
Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui jalur pendidikan khususnya kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dilihat dari cakupan pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang begitu strategis bagi penyiapan sumber daya manusia pembangunan dimasa depan, sudah seharusnya pihak-pihak yang terkait dengan hal ini memberikan perhatian lebih, namun kenyataan dilapangan sungguh berbeda, karena seringkali mata pelajaran ini dianggap tidak begitu penting dibandingkan dengan mata pelajaran yang diujikan secara nasional, siswa kurang begitu berminat dalam mengikuti pembelajaran mata pelajaran ini, sehingga pencapaian kompetensi belajarnya kurang bisa memenuhi harapan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 pasal 6 ayat 5 mengamanatkan bahwa, semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah. Oleh karenanya perlu dicarikan jalan keluar bagaimana agar siswa memiliki minat dalam mengikuti pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang pada akhirnya bisa meningkatkan pencapaian kompetensi belajarnya.
Tugas guru disamping menyampaikan materi juga menciptakan suasana dan lingkungan belajar yang kondusif serta menarik bagi siswa untuk lebih giat belajar dan dapat memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajarnya. Sehingga diharapkan dengan rancangan pembelajaran yang tepat yang dibuat oleh guru maka siswa akan memiliki prestasi belajar yang maksimal. Untuk itu guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai model pembelajaran, agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang sangat beranekaragam dan kompleks. Tidaklah cukup bagi guru hanya menggantungkan diri pada satu pendekatan atau model pembelajaran. Bermodalkan kemampuan melaksanakan berbagai model pembelajaran, guru dapat memilih model yang sangat baik dan tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu atau yang sangat sesuai dengan lingkungan belajar atau sekelompok siswa tertentu serta dapat melibatkan secara aktif dalam proses belajar mengajar. Karena pada hakekatnya belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa.
Model Quantum Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang dilakukan dengan adanya penggubahan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar situasi belajar, antara lain dengan menerapkan metode pembelajaran bervariasi serta pengkondisian suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat merangsang minat siswa. Dengan demikian siswa yang tadinya tidak berminat dengan sebuah mata pelajaran akan menjadi berminat untuk mempelajarinya. Manfaat lainnya adalah siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dunne & Wragg dalam Anwar Jasin (1996 : 12-13) menjelaskan bahwa pembelajaran efektif mempunyai beberapa karakteristik antara lain memudahkan murid belajar dan merupakan sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, ketrampilan, nilai dan konsep bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan.
Quantum Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai "suggestology" atau "suggestopodia". Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberi sugesti positip dan negatip. Beberapa tekhnik yang digunakan adalah mendudukkan murid dengan nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster untuk memberi kesan menonjolkan informasi dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif.
Quantum Learning mencakup aspek-aspek penting dalam menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri, pelayanan pada gaya belajar visual, auditorial dan kinestik, belajar berdasar pengalaman serta simulasi/permainan. Sejalan dengan itu guru (pengajar) diharapkan mempunyai kemampuan dan ketrampilan dalam pembelajaran mata pelajaran termasuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan penggunaan model Quantum Learning yang memadukan metode pembelajaran yang variatif serta pengkondisian suasana belajar yang menyenangkan, dengan mendudukkan murid dengan nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster untuk memberi kesan menonjolkan informasi, dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diperkirakan akan dapat merangsang minat dan kecerdasan emosi siswa. Dengan demikian siswa yang tadinya tidak berminat mengikuti pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan menjadi berminat untuk mengikutinya. Manfaat lainnya adalah siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran yang pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa, karena dengan model quantum learning siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan memudahkan siswa belajar serta merupakan sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, ketrampilan, nilai dan konsep bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan. (Dunne & Wragg dalam Anwar Jasin, 1996 : 12-13).
Disamping itu untuk mencapai tujuan pembelajaran, diperlukan adanya minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. S.C. Utami Munandar (1992 : 11) menyatakan bahwa prestasi seseorang selalu dipengaruhi macam dan intensitas minatnya, anak yang berminat terhadap matematika akan bekerja keras untuk mencapai nilai yang tinggi dalam matematika. Minat belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis dari dalam siswa yang mampu membangkitkan atau menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai tujuan belajar, yang terwujud dalam perilaku (1) ketertarikan pada suatu objek tertentu, (2) respon terhadap suatu objek tertentu, dan (3) keinginan terhadap sesuatu hal.
Ketertarikan, respon dan keinginan terhadap suatu hal, misalnya terhadap kegiatan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan dapat mendorong siswa dengan sungguh-sungguh mengikuti proses pembelajaran, dan mempelajari materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, sehingga akan dapat meningkatkan pencapaian kompetensi belajar Pendidikan Kewarganegaraan.
Kenyataan dilapangan masih banyak guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang masih belum beranjak dari model pembelajaran lama, seperti ekspositori yang cenderung teacher centered learning, siswa lebih banyak bersikap pasif, mereka lebih banyak menerima informasi dari guru dalam bentuk ceramah, dan tanya jawab, kemudian melakukan peningkatan pemahaman melalui pemberian tugas yang di berikan oleh guru. Pada model ekspositori ini keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangatlah sedikit. Semua rancangan pembelajaran sudah dipersiapkan sepenuhnya oleh guru, dan siswa tinggal menerima dan mengikuti saja dan menurut apa yang diperintahkan guru, kondisi ini sangat tidak menguntungkan karena sering menimbulkan rasa bosan, masa bodoh, dan rasa malas siswa dalam mengikuti pelajaran bahkan cenderung sekedarnya, tidak berminat mengikuti pelajaran dan bahkan merasa tertekan yang akibatnya pencapaian kompetensinya kurang baik., guru belum berani mencobakan model pembelajaran lain seperti model quantum learning yang lebih mengedepankan kepentingan perkembangan pribadi siswa, dan kebebasan berpikir dan berkreasi serta memberikan rasa senang dan nyaman mengikuti proses pembelajaran, yang menjadikan pencapaian kompetensi belajar siswa meningkat.
Berdasar latar belakang dan perkiraan-perkiraan yang penulis kemukakan perlu diuji kebenarannya, untuk itulah kiranya perlu adanya penelitian mengenai pendekatan pembelajaran quantum, dan minat belajar serta pengaruhnya terhadap pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa SMA Negeri di Kabupaten X.

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut ;
1. Masih rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia sehingga tidak mampu bersaing untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada di masyarakat. Bagaimanakah langkah yang dapat diambil dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia di Indonesia ?
2. Pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang rendah, jauh dari kriteria kelulusan yang ideal membuktikan bahwa banyak siswa yang kurang menguasai materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bagaimanakah langkah yang dapat diterapkan untuk meningkatkan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ?
3. Proses pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan belum terlaksana dengan nyaman dan menyenangkan, sehingga siswa kurang berminat dalam mengikuti pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bagaimanakan proses pembelajaran yang tepat agar siswa dapat merasa nyaman dan senang mengikuti pembelajan Pendidikan Kewarganegaraan ?
4. Belum digunakannya model pembelajaran yang dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan yang mampu meningkatkan keaktifan siswa. Bagaimanakah model pembelajaran yang tepat sehingga dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran ?
5. Belum tersentuhnya faktor-faktor lain seperti minat belajar yang pada kenyataannya sangat berpengaruh terhadap peningkatan prestasi dan hasil belajar siswa. Bagaimanakah cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan faktor minat belajar ?

C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas, maka peneliti dalam hal ini membatasi permasalahan sebagai berikut ;
1. Usaha peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
2. Masalah model pembelajaran yang tepat diterapkan. Model quantum learning diharapkan mampu menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan, serta mampu meningkatkan keaktifan siswa.
3. Memperhatikan faktor minat belajar siswa yang diperkirakan juga berperan penting dalam usaha peningkatan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

D. Perumusan Masalah
Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut ;
1. Apakah terdapat perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara penerapan model quantum learning dengan model pembelajaran ekspositori ?
2. Apakah terdapat perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan rendah ?
3. Apakah terdapat interaksi pengaruh terhadap pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara model pembelajaran dan minat belajar siswa ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara penerapan model quantum learning dengan model pembelajaran ekspositori
2. Perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan rendah.
3. Interaksi pengaruh terhadap pencapaian kompetensi belajar Pendidikan Kewarganegaraan antara model pembelajaran dan minat belajar.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Segi Teoritis
Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan mengenai upaya peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa dengan digunakannya beberapa alternative model pembelajaran, antara lain model pembelajaran quantum learning, terutama dari segi peningkatan minat belajar siswa.
2, Segi Praktis
a. Bagi Guru
1) Menawarkan alternatif model pembelajaran yang mampu untuk meningkatkan minat belajar pada siswa, sehingga akan tercipta proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan efektif.
2) Meningkatkan kualitas komunikasi dengan siswa dalam proses pembelajaran.
b. Bagi siswa :
Menumbuhkan minat siswa sehingga diharapkan dapat meningkatkan pencapaian kompetensi belajarnya.
c. Bahan pertimbangan bagi dinas pendidikan dan pihak terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penggunaan model quantum learning.

TESIS POLA INTERAKSI KONFLIK DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER

Posted: 12 Jun 2012 08:12 PM PDT



(KODE : PASCSARJ-0149) : TESIS POLA INTERAKSI KONFLIK DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan, memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, pelestarian nilai-nilai tradisi masyarakat yang merupakan modal dasar untuk memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Akan tetapi sampai saat ini pendidikan belum sepenuhnya berhasil membentuk individu yang memiliki keterampilan resolusi konflik serta gagal membentuk karakter, watak kepribadian yang berdampak pada degradasi moral dan kehancuran bangsa.
Sejak Indonesia merdeka, kebudayaan di berbagai tempat tidak mendapatkan tempat yang layak dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk diekspresikan sehingga melahirkan berbagai akibat yang saat ini dialami bersama : gerakan pemisahan diri dari pusat, konflik sosial yang meluas, kredibilitas negara yang rendah, teror, dan masalah etnisitas (Abdullah 2006 : 63). Abdullah mengemukakan bahwa mengerasnya batas-batas kelompok (group boundaries) sebagai akibat langsung dari kesalahan sejarah dalam pengelolaan keragaman budaya. Mulai dari manajemen keragaman budaya di Indonesia hingga masalah ruang politik bagi keragaman budaya yang akhirnya menjadikan kita sekarang dihadapkan pada jalan panjang penataan persatuan dalam keragaman budaya (Abdullah 2006 : 65-79).
Setelah rezim Orde Baru berakhir, masalah konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan agama dan etnisitas yang belum hilang dari bumi Indonesia. Bahkan di era otonomi daerah ada kecenderungan agama dan etnisitas menguat. Lokalitas dan kembalinya etnisitas menumt Kalidjernih (2009) merupakan salah satu dampak globalisasi, selain homogenisasi dan hibridisasi. Di era globalisasi, identitas nasional tetap kuat, khususnya dalam hal yang bertalian dengan hak-hak legalitas dan warganegara, tetapi identitas lokal, regional dan komunitas menjadi semakin signifikan.
Pada tingkat nasional, fenomena agama dan etnisitas dalam dinamika politik lokal di Indonesia dapat dipahami sebagai keinginan untuk menunjukkan eksistensi dan identitas yang terkait dengan permasalahan ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan dan terpaksa mereka terima. Pada tingkat lokal, akar permasalahan etnisitas biasanya berhulu pada aspek yang berkaitan dengan ikatan primordial, terutama suku dan agama, serta berkaitan dengan aspek keruangan di mana para pelaku berada (biasanya elite dan institusi lokal) yang membutuhkan ruang gerak (space) untuk mewujudkan eksistensi dan identitasnya sesuai dengan keinginan mereka (Setyanto dan Pulungan 2009 : 20).
Selanjutnya bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik dengan keanekaragaman suku bangsa (etnis), budaya, adat istiadat, bahasa dan agama. Setiap suku bangsa atau etnis memiliki identitas kebudayaan, adat istiadat, dan bahasa sendiri yang khas. Keanekaragaman suku bangsa atau etnis dengan keunikan kebudayaan dan adat istiadatnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Namun di lain sisi keanekaragaman dan perbedaan tersebut merupakan potensi untuk memicu terjadinya konflik budaya dan konflik sosial yang pada akhirnya mengancam terjadinya disintegrasi pada bangsa Indonesia, jika tidak mampu dikelola dengan baik. Hasil studi dari Suwarsih Warnaen (2002 : 44) menunjukan bahwa salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai bangsa multietnis adalah masalah integrasi nasional. Ekspresi rasa kesukubangsaan tampak masih sering menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar suku bangsa.
Konflik adalah aspek instrinsik dan tidak dihindari dalam perubahan nilai. Konflik merupakan ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan kenyakinan yang timbul oleh perubahan sosial. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Setiap pilihan resoluasi konflik yang diambil selalu mempertimbangkan kesesuaian-kesesuaian budaya dan lingkungan dimana resolusi konflik itu dipergunakan, sehingga dapat menghindari hambatan-hambatan kultural dan structural sosial (Salahudin, 2002;34).
Sementara itu perkembangan kreatifitas individu, menurut Simmel (Munandar, 1988 : 65-66) menuntut untuk menginternalisasikan produk budaya obyektif yang ada dalam kesadaran subyektifnya meskipun kenyataan subyektif ini jarang sempurna dan mungkin justru menghasilkan ketegangan-ketegangan baru. Meskipun kreativitas individu ini dapat menimbulkan ketegangan baru atau konflik, namun konflik dapat diarahkan sebagai pemeliharaan solidaristas, menciptakan aliansi, mengaktifkan peranan individu yang terisolasi dan sebagai sarana komunikasi sehingga posisi masing-masing lawan yang berkonflik saling diketahui.
Konflik sosial cenderung di nilai banyak orang sebagai sesuatu yang buruk. Pandangan seperti ini ada benarnya walaupun tidak selumhnya, karena secara teoritik konflik di samping memiliki beberapa dampak negatif ternyata konflik juga memiliki sejumlah fungsi yang positif. Dari segi negatif, konflik menjadi pengganggu ketertiban sosial, menimbulkan inefisiensi, menciptakan ketidakstabilan, menyulut persengketaan dan menyebabkan kehancuran. Sedangkan segi positifnya, konflik dapat menjadi pencegah bagi terciptanya konflik yang lebih serius, sebagai pemacu kreativitas dan inovasi masyarakat, sarana mempercepat kolusi sosial, dan mempakan alat saling kendali antar orang atau kelompok, antar pemerintah dan masyarakat yang diperintahnya (Amstuts, dalam Harjadmo, 1996 : 37)
Konflik dalam bentuk kekerasan terjadi bukan hanya dalam suatu masyarakat atau negara, tetapi juga di kampus, meskipun dalam skala yang sedang. Konflik atau kekerasan diantara mahasiswa akhir-akhir ini meningkat. Peningkatan konflik/kekerasan ini pada umumnya merupakan suatu masalah yang serius, misalnya : membawa senjata tajam, perkelahian fisik, mengancam mahasiswa lain dan dosen, menggunakan narkotika, dan sebagainya. Konflik atau kekerasan antar mahasiswa di Indonesia telah meningkat dalam bentuk perkelahian fisik secara masal atau tawuran yang merupakan masalah yang paling pelik bagi perguruan tinggi. Selain itu, banyak mahasiswa yang juga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan obat-obat terlarang, perampokan, perusakan fasilitas kampus dan fasilitas umum serta kekerasan yang merusak lainnya, bentuk lainnya dalam kegiatan perguruan tinggi sehari-hari yang mengancam mahasiswa lainnya dan dosen baik secara fisik maupun psikologis.
Ketika mahasiswa pada umumnya mempunyai konflik, mereka cenderung untuk menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalahnya. Banyak diantara mereka tidak mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. Dalam banyak kasus, konflik antara mahasiswa dan dosen diselesaikan oleh pihak yang memiliki otoritas. Keterlibatan pihak otoritas untuk memecahkan konflik antar mahasiswa dan dosen terjadi karena dalam banyak kasus tidak ada yang mengajari/memberikan contoh kepada mahasiswa tentang bagaimana menyelesaikan konflik dalam cara-cara yang konstruktif melalui pendekatan langsung (seperti melalui pembelajaran).
Menurut Freud (1856-1939) manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar "unconscious mind", sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Di lain sisi dapat dikatakan bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual "sexual drive") yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle) (Wade and Tavris, 1992; Craig, 1986; Ross and Vasta, 1990). 
Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan dikuasai oleh id-nya, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan dikuasai oleh super-egonya. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilaku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.
Thomas Lickona (1992) mendukung pendapat Freud dengan mengatakan terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu : meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.
Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu upaya penanggulangan melalui dunia pendidikan, Horace Mann (1796-1859) mengatakan bahwa sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Pendapat tersebut mendapatkan dukungan dari Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Namun disisi lain, menurut Kosasih Djahiri (Budimansyah dan Syaifullah, 2006 : 8) Visi pendidikan nilai-moral disamping membina, menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan nilai, moral dan norma luhur adalah juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berahklak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society). Pendidikan nilai, moral dan norma membawakan misi : (1) memelihara/melestarikan dan membina nilai, moral dan norma menjadi lima sistem kehidupan yang mengikat (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal, dan sistem organik); (2) mengklarifikasi dan merevitalisasi sub (1) sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana yang bersangkutan berada; 3) memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia dan kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/value based). Insan/masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian; (4) membina dan menegakkan "law and order" serta tatanan kehidupan yang manusiawi-demokratis-taat azas; (5) khusus dinegara kita, disamping hal-hal diatas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang modern namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualifikasi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Paradigma lain yang mengharuskan pendidikan nilai, moral dan norma adalah : (1) kehidupan manusia menurut Talkot Parsons merupakan kehidupan yang organis (lahir-tumbuh-berkembang-mati/hilang), selalu memiliki lima sistem yang norm-based (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal, dan sistem organik) yang selalu mengacu pada salah satu atau sejumlah sumber norma baku yang hidup/diakui masyarakat yang bersangkutan. Khusus dalam masyarakat Indonesia sumber norma baku itu meliputi norma : agama (sebagai syariah yang normatif-imperatif dan agama sebagai norma budaya kehidupan beragama), norma budaya/cultural, hukum positif (regional-nasional-internasional), hukum/dalil keilmuan dan norma metafisis. Kelima sistem kehidupan organis yang diutarakan diatas ada dalam setiap aspek kehidupan (Ipoleksosbudag) dan diwarnai oleh salah satu atau sejumlah norma baku serta hidup dalam lingkaran kehidupan (diri pribadi dan keluarga; masyarakat sekitar dan bangsa-negara)dimana manusia berada, sehingga jika dijumlahkan sistem nilai-moral jumlahnya tak terhingga; (2) maka oleh karenanya lahirlah postulat bahwa kehidupan manusia sarat dengan perangkat nilai-moral dari pelbagai sumber norma; yang berakibat adanya keharusan buat manusia untuk mampu : memahami, menyerap/mempribadikan, menganut, memilih dan memilah/menentukan dan melaksanakan pilihan nilai-moral yang menurutnya paling baik/sesuai/fungsional. Kemahiran menentukan/menampilkan kelayakan pilihan nilai-moral inilah yang menentukan kualifikasi insan bermoral-tidaknya seseorang; (3) bahwa agama sebagai rujukan normatif utama bukan hanya karena tuntutan normatif-imperatif semata melainkan juga karena secara faktualnya manusia/masyarakat Indonesia selalu menyatakan dirinya beragama (sekalipun hanya "akuan" saja) serta selalu menetapkan rujukan kelayakan/kepatutan dari rujukan norma dan budaya agama (haram, halal, dosa, pahala). Bahkan sejumlah penelitian keilmuan (a.l. Prof. DR. Yus Rusyana) menentukan temuan bahwa budaya Indonesia umumnya diwarnai oleh rujukan normatif keagamaan/Islam. (Budimansyah dan Syaifullah, 2006 : 53-54)
Namun kenyataan yang terjadi Indonesia khususnya pendidikan karakter yang diungkapkan oleh Doni Koesoema A (2007) dalam bukunya "Pendidikan Karakter" mencatat alasan kemunduran pendidikan karakter, antara lain : (1) adanya perbedaan pandangan dan visi tentang pendidikan karakter sehingga tidak semua orang sepakat dan sepaham tentang pendidikan karakter; (2) filosofis positivisme yang membedakan antara fakta ilmiah, teruji didukung bukti dengan nilai yang bagi kaum positivistik dipahami hanya sekedar ekspresi perasaan bukan sebagai kebenaran obyektif; (3) personalisme yang merayakan nilai subyektif. Otonomi, dan rasa tanggung jawab pribadi; (4) pluralisme sosio-politik-kultural.
Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam penelitian sejarah yang dilakukan oleh Bigalke (Jamie S.Davidson & David Henley,Sandra Moniaga, 2010 : 43-44), menyingkapkan bahwa konflik dan ketidakstabilan bahkan dalam tata agraria yang tampaknya paling indah sekalipun. Hal ini menegaskan bahwa gagasan tentang adat sebagai sebuah jaminan perdamaian dan keselarasan adalah menyesatkan bukan saja sebagai sebuah preskripsi bagi masa depan, melainkan juga sebagai interpretasi tentang masa lampau.
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan sangat determinan dalam pembentukan karakter dan internalisasi nilai-nilai moral dan etika. Demoralisasi yang terjadi di masyarakat selama ini disinyalir salah satunya disebabkan oleh disorientasi pendidikan dan paradigma yang salah dalam proses pendidikan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan yang berlangsung selama ini hanya diartikan sebagai proses transfer dalam pembelajaran dan tidak memperhatikan pembentukan jati diri yang dipengaruhi oleh lingkungan dan akan bertumbuh menjadi karakter yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku peserta didik.

B. Rumusan Dan Pembatasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan identifikasi masalah dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan situasi konflik dapat terjadi dikalangan mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas ?
b. Bagaimana pola interaksi konflik yang dilakukan oleh mahasiswa dan fakultas pada tingkat universitas ?
c. Bagaimana reaktualisasi pendidikan karakter pada personal, lingkungan belajar, pelaksanaan pembelajaran dan program-program kerja di tingkat fakultas dan universitas ?
d. Bagaimanakah upaya pengelolaan situasi konflik yang digunakan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas ?
2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dari penelitian ini adalah :
a. Pola interaksi konflik dibatasi pada : (1) metode resolusi konflik; (2) gaya manajemen konflik; (3) situasi konflik.
b. Mahasiswa dibatasi pada : mahasiswa Papua dan mahasiswa Non Papua

C. Maksud Dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan mengenai pola interaksi konflik dan reaktualisasi pendidikan karakter di universitas Cenderawasih. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan pula untuk mengkaji faktor-faktor dominan yang mempengaruhi reaktualisasi pendidikan karakter dan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pembangunan karakter individu, karakter baik dan karakter bangsa.
2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan situasi konflik dapat terjadi dikalangan mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji pola interaksi konflik yang dilakukan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas.
c. Untuk mengetahui dan mengkaji reaktualisasi pendidikan karakter pada personal, lingkungan belajar, pelaksanaan pembelajaran dan program-program kerja di tingkat fakultas dan universitas.
d. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya pengelolaan situasi konflik yang digunakan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas.

D. Kegunaan Penelitian
Di harapkan dengan pelaksanaan penelitian ini akan dapat memberikan minimal dua kegunaan antara lain :
a. Aspek Pengembangan Ilmu
Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berpusat pada pendidikan resolusi konflik melalui pengintegrasian dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya yang berkaitan dengan membangun karakter mahasiswa yang mampu menyelesaikan konflik secara damai dengan keluaran konflik berupa solusi atas suatu konflik, seperti win & win solution, win & lose solution, serta lose & lose solution. Keluaran konflik juga bisa menciptakan suatu perubahan sistem sosial.
b. Aspek Guna Laksana
Secara praktis penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam menentukan program pendidikan resolusi konflik melalui pendekatan komprehensif, yang berarti melibatkan seluruh aktivitas perguruan tinggi yang terintegrasikan ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga masuk ke dalam kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler, meskipun tidak berdiri sendiri sebagai mata kuliah tersendiri. Pengintegrasian pendidikan resolusi konflik ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini karena sejalan dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah yang membina mahasiswa menjadi warga negara yang baik, demokrasi dan bertanggungjawab. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi dan dijadikan acuan bagi model resolusi konflik yang terjadi di luar masyarakat kampus.

TESIS PERAN MUTASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA DI PD PASAR

Posted: 12 Jun 2012 08:08 PM PDT



(KODE : PASCSARJ-0148) : TESIS PERAN MUTASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA DI PD PASAR (PROGRAM STUDI : STUDI PEMBANGUNAN)




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam menggerakkan organisasi, karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Birokrasi merupakan sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintah di era masyarakat yang semakin modern dan kompleks, namun masalah yang dihadapi oleh masyarakat tersebut adalah bagaimana memperoleh dan melaksanakan pengawasan agar birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak.
Setelah berjalan 12 tahun era reformasi, Indonesia berusaha bangkit dari keterpurukan yang melanda di setiap bidang baik itu ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya. Hal ini dapat kita lihat dari sistem pemerintahan, dimana Pemerintah cenderung tidak lagi dipercaya masyarakat. Sejak reformasi, sudah 4 (empat) orang Presiden yang memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan visi dan misi terbaiknya berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintahan yang dipimpinnya.
Pentingnya kejelasan mekanisme dan prosedur kerja berkaitan erat dengan pengelolaan suatu organisasi dengan pendekatan kesisteman. Mekanisme dan prosedur kerja merupakan "peraturan permainan" yang harus ditaati dalam penyelesaian tugas lintas sektoral dan muldimensional. Karena ini menyangkut interaksi, interdependensi, dan koordinasi antar instansi di samping berlaku secara internal dalam lingkkuan satu-satuan kerja.
Kejelesan mekanisme dan prosedur kerja berkaitan erat dengan transparansi dan keterbukaan pemerintah dalam penyelenggaraan fungsi dan kegiatannya, termasuk dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perumusan dan penentuan kebijaksanaan, penegakan disiplin masyarakat, dalam malakukan pemungutan dana dari masyarakat serta penggunaannya, dan dalam memeberikan pelayanan umum kepada masyarakat luas.
Pemerintah dengan segala perangkatnya sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan kepada kompleksitas global. Peranannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan, melalui hirearki yang lebih tinggi sampai kepada hirearki yang terendah.
Sesuai dengan Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural dimana dijelaskan bahwa untuk menciptakan sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keunggulan kompetitif dan memegang teguh etika birokrasi dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan dan keinginan masyarakat.
Masalah pelayanan publik merupakan suatu masalah tersendiri bagi birokrasi Pemerintahan. Pelayanan pemerintah pada umumnya dicerminkan oleh kinerja biroraksi pemerintah, apabila saat sekarang terjadi ekonomi biaya tinggi dan segala bentuk inefisiensi di sektor pemerintah, hal ini setidak-tidaknya bersumber dari kinerja birokrasi yang masih belum baik dan memuaskan masyarakat, dengan kata lain Prestasi Kerja birokrasi itu belum tercapai.
Prestasi kerja merupakan suatu hasil dari keterampilan dan kemampuan dari pegawai atau anggota pada suatu organisasi atau instansi-instansi pemerintah tertentu. Adapun faktor yang mempengaruhi dalam mencapai prestasi kerja tersebut adalah Mutasi Kerja. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka Mutasi harus berjalan sesuai dengan prosedurnya agar pelaksanaan terhadah rencana berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Mutasi harus mempunyai kategori atau standarisasi agar prestasi kerja dapat dikatakan atau dapat dinilai apakah baik ataupun kurang baik. Mutasi Kerja merupakan salah satu faktor utama agar pengawai mempunyai disiplin yang tinggi bertanggung jawab atas wewenang yang diberikan kepada pegawai tersebut.
Perusahaan daerah merupakan suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk mengembangkan perekonomian daerah dan menambah penerimaan daerah. Berhubungan dengan itu Perusahaan Daerah didasarkan atas azas-azas ekonomi perusahaan yang sehat, dengan kata lain harus melakukan kegiatannya secara berdaya guna dan berhasil guna.
Perusahaan bertugas dalam lapangan sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut peraturan-peraturan yang mengatur pokok-pokok pemerintahaan daerah. Sejalan dengan prinsip desentralisasi dimana menghendaki daerah yang dibentuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya maka perlunya sumber-sumber keuangan bagi pembiayaan pemerintah daerah sehingga daerah dapat mendirikan perusahaan tersebut adapun modal perusahaan daerah dapat seluruhnya atau sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.
PD. Pasar Kota X merupakan suatu instansi pemerintah yang berada dibawah naungan Pemerintah Kota X. Tujuan dibentuknya PD. Pasar adalah untuk mengelola berbagai unit pasar yang ada di Kota X, baik itu pasar tradisional maupun pasar modern guna untuk memenuhi ataupun menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota X.
Dalam mewujudkan prestasi kerja tersebut, PD.Pasar Kota X telah menetapkan suatu target. Target yang dimaksud adalah ketetapan peningkatan pendapatan dalam pemenuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dimana target tersebut merupakan tujuan utama PD. Pasar Kota X sendiri. Dalam mencapai target tersebut PD. Pasar telah menetapkan berusaha semaksimal mungkin, hal ini dapat dilihat dari penetapan yang sesuai dengan fungsi manajemen baik itu seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan koordinasi. Namun kenyataan di lapangan, tujuan yang telah ditetapkan tidak tercapai. Dari target 3 tahun terakhir (2007-2009) yaitu Rp. 15.400.078.000 (tahun 2007), Rp. 15.405.080.000 (tahun 2008), dan Rp. 15.407.100.000 (tahun 2009) PD.Pasar Kota X hanya memenuhi ataupun mampu memperoleh pendapatan rata-rata hanya 80%. Dimana pendapatan 3 tahun berturut-turut adalah Rp. 12.320.062.400 (80%) untuk tahun 2007, Rp. 12.940.267.200 (84%) untuk tahun 2008, dan Rp. 11.707.860.800 (76%) untuk tahun 2009.
Adapun penyebab tidak tercapainya tujuan sehingga prestasi kerja buruk adalah Mutasi Kerja yang masih berbau Kolusi bukan prestasi ataupun kemampuan kerja dari seorang pegawai. Dimana pegawai yang dimutasi masih dianggap kurang pas dalam menduduki jabatan yang diberikan oleh atasan. Hal ini mengakibatkan Satuan Kerja yang telah ditetapkan kurang berjalan maksimal.
Komponen organisasi dan Sumber Daya Manusia yang paling penting adalah penentuan pekerjaan atau jabatan. Untuk mencapai tujuan, organisasi perlu menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang harus dilaksanakan. Manajemen perusahaan khususnya manajemen sumber daya manusia mutlak perlu mempunyai informasi dan data yang lengkap dan tepat mengenai semua jabatan yang ada agar dapat melaksanakan setiap fungsi manajemen secara keseluruhan. Informasi dan data jabatan tersebut diperoleh dari analisis jabatan.
Analisis jabatan merupakan proses untuk mempelajari dan mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan suatu jabatan. Untuk itu, perlu diketahui pekerjaa apa saja yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan mengapa pekerjaan itu harus dilakukan serta persyaratan untuk menduduki suatu jabatan. Dengan kata lain, analisis jabatan dapat diartikan sebagai suatu proses yang sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis data dan informasi suatu jabatan.
Analisis jabatan ini sendiri perlu seorang pimpinan dalam menganalisis hasil kerja seorang atau beberapa pegawai dalam pencapaian suatu prestasi kerja. Dengan analisis kerja ini juga, seorang pimpinan akan mampu menempatkan pegawainya sehingga mengadakan mutasi kepada berbagai pegawai baik itu yang berpotensi maupun kurang potensi sesuai dengan kemampuan masing-masing pegawai.
Mutasi bukanlah bertujuan untuk mencari-cari kesalahan terhadap apa dan siapa yang akan di angkat ataupun dipindah tugaskan, tetapi apa dan bagaimana masalah tersebut dapat diatasi dengan pengangkatan ataupun pemindahan seorang pegawai sehingga prestasi kerja pegawai baik.
Pemimpin atau atasan merupakan orang yang berhak membawa ke arah mana tujuan organisasi yang dipimpinnya. Dengan demikian, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mendengarkan keluhan-keluhan bawahan, memberikan masukan atau bimbingan pengarahan kepada bawahan, serta menghargai prestasi pegawai dengan suatu pengangkatan jabatan.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa Mutasi kerja sangat penting dalam peningkatan prestasi pegawai. Dari hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : "Peran Mutasi Dalam Meningkatkan Prestasi Kerja di PD. Pasar Kota X".

1.2 Perumusan Masalah 
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam proposal itu dipandang menarik, penting dan perlu diteliti. Di dalamnya dirumuskan dengan jelas dan tegas permasalahan yang perlu diteliti sehingga mudah diketahui ruang lingkup masalah dan arah penelitian yang akan dilakukan.
Gambaran Mutasi Kerja yang baik, merupakan kondisi dilematis dalam peningkatan prestasi dalam suatu organisasi. Sehingga setiap organisasi mengharapkan mempunyai pimpinan yang baik bagi kemajuan organisasi.
Dari uraian di atas, maka perlu dibuat suatu perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam penelitian sehingga dapat terarah dalam membahas masalah yang akan diteliti.
Adapun perumusan masalah yang dibuat penulis dalam penelitian ini yaitu : "Seberapa besar peran Mutasi dalam meningkatkan Prestasi Kerja Pegawai di PD. Pasar Kota X".

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Merupakan bagian yang secara tegas apa yang hendak dijawab atau dapat diperoleh dari suatu penelitian. Adapun yang mejadi tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah :
a. Untuk mengetahui Pelaksanaan Mutasi Kerja yang ada di PD. Pasar Kota X.
b. Untuk Mengetahui seberapa besar tingkat prestasi kerja pegawai di PD. Pasar Kota X.
c. Untuk Mengetahui seberapa besar tingkat Peran Mutasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Pegawai di PD. Pasar Kota X.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Berisi uraian tentang kegunaan Penelitian dan operasionalisasi hasilnya. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagi penulis, penelitian ini menambah wawasan, meingkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Magister Studi Pembangunan.
b. Diharapkan secara teoritis dapat mendukung pengembangan PD. Pasar Kota X dalam meningkatkan Prestasi Kerja sehingga memperoleh hasil kerja yang maksimal. Secara praktis dapat mendukung kebijakan-kebijakan pimpinan dalam menerapkan Mutasi Kerja di PD. Pasar Kota X.

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template