download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


TESIS STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK PENDIDIK

Posted: 03 Jul 2014 10:41 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0252) : TESIS STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK PENDIDIK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian
Lembaga pendidikan dipandang sebagai lembaga yang memiliki peran strategis dalam meningkatkan sumberdaya manusia. Pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. Proses pendidikan dengan sengaja dilakukan untuk mencerdaskan bangsa serta mencetak generasi yang unggul. Peran pendidikan sangat urgen dalam pembangunan sumberdaya manusia yang diharapkan mampu berperan aktif dalam pembangunan nasional. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengembangan mutu pendidikan bagi Bangsa Indonesia adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 itu dijelaskan bahwa :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan tidak hanya mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia berilmu, cakap, dan kreatif saja tetapi juga sehat, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, serta berakhlak mulia. Untuk mewujudkan tujuan ini Pemerintah menetapkan standar nasional pendidikan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa Standar Nasional Pendidikan meliputi : (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Satuan Pendidikan formal memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian Pendidikan, masing-masing dalam SNP dan standar mutu diatas SNP. Hal diatas tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, pada pasal 18 ayat 1.3 :
Mutu sumberdaya manusia berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, dan mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang terdapat dalam pendidikan, termasuk pendidik serta tenaga kependidikan.
Berkaitan dengan tuntutan akan sumberdaya manusia yang tinggi adalah salah satu dari tuntutan dunia pendidikan, karena kualitas terdidik akan tergali dan dapat diasah dengan baik dengan proses pendidikan yang baik pula. Asumsi yang terbangun pada pakar pendidikan di Indonesia saat ini adalah bahwa pendidikan yang dilaksanakan bangsa Indonesia belum mampu menjawab permintaan yang besar terhadap mutu sumberdaya manusia. Bahkan Darmaningtyas dengan tegas mengatakan bahwa "Institusi pendidikan itu tidak cerdas dan tidak kritis, terbukti mereka tidak punya kepekaan terhadap masalah kritis". Asumsi-asumsi yang dinyatakan tentang buruknya kondisi mutu pendidikan di Indonesia harusnya dijawab dengan perbaikan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan baik yang ada di bawah koordinasi departemen maupun di luar koordinasi departemen. Adanya berbagai tuntutan tersebut merupakan tugas dari lembaga pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidik sebagai salah satu komponen terpenting dalam dunia pendidikan. Ruh pendidikan sesungguhnya terletak dipundak pendidik. Bahkan, baik buruknya atau berhasil tidaknya pendidikan hakikatnya ada di tangan pendidik.
Mutu pendidikan berkaitan dengan beberapa komponen seperti input, proses, output, sarana dan prasarana serta biaya yang tersedia. Namun yang memiliki peran yang sangat penting adalah pendidik yang bermutu atau berkualitas. Sosok pendidik memiliki peranan yang strategis dalam "mengukir" peserta didik menjadi pandai, cerdas, terampil, bermoral dan berpengetahuan luas. Sehingga strategi pengembangan mutu pendidik menjadi hal yang harus diperhatikan. Menurut Sanusi Sekolah tidak saja membutuhkan penambahan sumber daya manusia tetapi juga memiliki program pengembangan sumber daya manusia (SDM). Program pengembangan bagi guru khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalitas guru. Rasionalnya guru merupakan media utama bagi pembelajaran, yang bertanggung jawab dan memberikan sumbangan pada pengembangan potensi siswa.
Peranan pendidik sangat menentukan dalam usaha pengembangan mutu pendidikan. Untuk itu pendidik sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Pendidik mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 4 menyiratkan bahwa pendidik sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam mendukung harapan itu, pemerintah Indonesia menetapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, pendidik wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu diantaranya adalah kompetensi.
Sebagai tenaga edukatif dalam lingkup sekolah, pendidik harus memiliki kompetensi-kompetensi dasar kependidikan. Sebab dalam interaksi pembelajaran peserta didik, seorang pendidik harus bisa melakukan demonstrasi yang hidup dan menyenangkan bagi peserta didik. Sehingga kompetensi tersebut menyebabkan pembelajaran semakin bertambah baik.
Kompetensi pendidik terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab pendidik pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut pendidik untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Terutama kompetensi pedagogik yang menjadi ruh proses pembelajaran di sekolah. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir a dikemukakan bahwa : 
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Diantara permasalahan mengenai kompetensi pedagogik pendidik berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di MIN X menunjukkan bahwa rata-rata guru di Kota X memiliki kompetensi pedagogik dalam kategori cukup. Satu-satunya dimensi kompetensi pedagogik yang dapat dikategorikan baik adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran. Sedangkan dimensi yang lain, yang meliputi : penguasaan karakteristik anak didik, penguasaan teori dan prinsip-prinsip pembelajaran, pengembangan kurikulum mata pelajaran diampu, penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, upaya memfasilitasi pengembangan dan pengaktualisasian berbagai potensi yang dimiliki anak didik, kemampuan berkomunikasi yang efektif, empatik dan santun kepada semua anak didik, kemampuan penilaian dan evaluasi, serta kemampuan melakukan tindakan reflektif dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, masih berkisar pada kategori cukup. Dengan demikian, pengembangan kompetensi pedagogik menjadi hal yang sangat urgen dalam mewujudkan pendidik yang profesional.
Kompetensi pedagogik menjadi hal yang sangat urgen dalam pembelajaran, termasuk dalam meningkatkan mutu pendidikan. Berkaitan dengan pentingnya pendidik atau guru dalam meningkatkan mutu pendidikan, Tilaar mengatakan bahwa pendidik abad 21 harus memenuhi empat kriteria yaitu : (1) mempunyai kepribadian yang matang (mature and developing personality), (2) menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) mempunyai keterampilan untuk membangkitkan minat peserta didik, dan (4) mengembangkan profesinya secara kesinambungan.
Pendidik yang profesional menurut Muhaimin perlu mempunyai karakteristik yakni : (1) komitmen terhadap profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja serta sikap continuous improvement (2) menguasai ilmu dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis, melakukan internalisasi serta amaliah (implementasi) (3) memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Berdasarkan pendapat Muhaimin tersebut, peningkatan profesionalisme pendidik/pendidik harus menjadi prioritas utama pemerintah dan instansi terkait demi terwujudnya pendidik yang profesional. Beberapa pandangan tersebut sejalan dengan Oemar Hamalik bahwa pentingnya perbaikan proses pendidikan agar lebih bermutu, yaitu diawali dengan perbaikan tenaga pendidikan karena ini merupakan hal yang sangat mendasar. 
Betapapun baiknya visi, misi, kurikulum yang telah di susun oleh para ahli, ketersediaan peralatan dan biaya yang cukup untuk kebutuhan pendidikan, namun pada akhirnya keberhasilan tergantung pada kinerja dan cara mengimplementasikan dalam proses dan situasi pendidikan.
Akhir-akhir ini terjadi gelombang aksi tuntutan mengenai profesionalisme pendidik. Eksistensi pendidik menjadi bagian inheren yang tidak dapat dipisahkan dari satu kesatuan interaksi pedagogis dalam sistem pengelolaan pengajaran pendidikan (sekolah). Hal diatas sejalan dengan cita-cita yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 :
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Karena itu, sikap profesionalisme dalam dunia pendidikan (sekolah), tidak sekadar dinilai formalitas tetapi harus fungsional dan menjadi prinsip dasar yang melandasi aksi operasionalnya. Tuntutan demikian ini wajar karena dalam dunia modern, khususnya dalam rangka persaingan global, memerlukan sumberdaya manusia yang bermutu dan selalu melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga pendidik merupakan cetak biru (blueprint) bagi penyelenggaraan pendidikan.
Seorang pendidik yang baik adalah mereka yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional baik sebagai pendidik maupun sebagai pengajar atau pelatih. Di sinilah letak pentingnya standar mutu profesional pendidik untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang bermutu. Terutama permasalahan disparitas mutu pendidikan yang berkaitan dengan (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya, (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia, dan bila pun tersedia belum didayagunakan secara optimal, (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif; dan penyebaran sekolah yang belum merata, ditandai dengan belum meratanya partisipasi pendidikan antara kelompok masyarakat, seperti masih terdapat kesenjangan antara penduduk kaya dan mi skin, kota dan desa, laki-laki dan perempuan, antar wilayah.
Secara nasional pendidik yang telah berkualifikasi S1 mencapai 42.3%. pendidik yang belum berkualifikasi S1 lebih banyak mengajar di pendidikan dasar serta berada di pedesaan dan sekitar 30% masih berusia dibawah 36 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan mutu pendidik menjadi suatu keharusan mengingat standar kualifikasi dan kompetensi yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Menjadi pendidik yang profesional tidak akan terwujud tanpa adanya upaya untuk meningkatkannya, hal ini membutuhkan dukungan dari pihak-pihak yang mempunyai peran penting, dalam hal ini adalah kepala sekolah, dimana kepala sekolah merupakan pemimpin di lembaga pendidikan yang sangat penting karena berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah. Ketercapaian pendidik profesional sangat bergantung pada kecakapan/kemampuan manajerial kepala sekolah.
Kepala Sekolah sebagai pemimpin di lingkungan Sekolah memiliki peran penting dalam pengembangan kompetensi para pendidik di sekolah. Mengingat Kepala Sekolah sebagai top manajer pada sekolahnya adalah motor penggerak, turut menentukan berhasil atau tidaknya sekolah yang dipimpin, termasuk pengembangan kompetensi pendidik, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi/profesionalisme pendidik, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap pengembangan mutu pendidikan di sekolah. 
Menurut E. Mulyasa kemampuan kepala sekolah yang mandiri dan profesional dengan kemampuan manajemen serta kepemimpinannya yang tangguh mampu mengambil keputusan dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Kemandirian disini selanjutnya diperlukan terutama untuk memobilisasi sumberdaya sekolah dalam kaitannya dengan perencanaan, evaluasi program sekolah, pengembangan silabus, pembelajaran, pengelolaan ketenagaan, sarana dan sumber belajar, keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat dan penciptaan iklim sekolah.
SMAN X adalah salah satu diantara beberapa sekolah yang ditetapkan menjadi sekolah rintisan kategori mandiri. Selain itu, juga merupakan suatu lembaga pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu : kurikulum pendidikan, output, kualitas pendidik, minat orang tua, bangunan gedung serta fasilitas yang ada di sekolah tersebut.
SMAN X tersebut mempunyai output yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat bahwa sekolah tersebut beberapa kali mendapat juara di dalam beberapa kompetisi, baik ditingkat regional maupun nasional. Prestasi yang diraih tersebut memiliki korelasi dengan mutu pendidik SMAN X yang merupakan tenaga yang berkualitas, hal ini dapat dilihat bahwa pendidik yang ada merupakan lulusan sarjana yang sesuai dengan kualifikasi pendidik. Selain itu, kualitasnya juga dilihat dari prestasi yang diraih oleh siswa SMAN X, baik prestasi akademik ataupun non akademik, serta minat orang tua dalam menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut dapat dilihat bahwa tiap tahun ajaran baru pendaftar yang ada selalu dalam jumlah yang tinggi serta dari latar belakang kemampuan siswa yang termasuk siswa-siswa berprestasi di sekolah-sekolah mereka sebelumnya (SLTP). Dengan demikian, SMAN X representatif untuk dijadikan lokasi penelitian yang sesuai dengan fokus penelitian ini.

B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana strategi manajerial yang dilakukan kepala SMAN X dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik ?
2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari strategi kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik di SMAN X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian sesuai dengan fokus penelitian diatas, yakni : 
1. Untuk mendeskripsikan strategi kepala SMAN X dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik di SMAN X.
2. Untuk mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan dari strategi kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik di SMAN X.

D. Manfaat Penelitian 
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan untuk menjadi bahan kajian dan bahan penelitian selanjutnya. Terutama yang berkaitan dengan strategi kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik, bagaimana strategi yang diterapkan untuk mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik atau menambah referensi untuk pelaksanaan pengembangan kompetensi pedagogik pendidik di daerah-daerah pinggiran karena pelaksanaan strategi ini tidak bisa diseragamkan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, sehingga hal ini akan bermanfaat bagi praktisi pendidikan terutama Kepala sekolah dan para pendidik. 
2. Secara Praktis
Dapat memberikan masukan dan sumbang saran untuk semua pihak pengelola SMAN X, sebagai lokasi penelitian, dan lembaga-lembaga lain untuk memproyeksikan agenda pengembangan kompetensi pedagogik pendidik yang lebih baku dan identik dengan strategi pengembangan mutu pendidik ini sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan guna memenuhi harapan masyarakat baik masa sekarang atau yang akan datang.

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN TERHADAP KEPUASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN LOYALITAS MAHASISWA

Posted: 03 Jul 2014 10:39 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0251) : TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN TERHADAP KEPUASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN LOYALITAS MAHASISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang memiliki intelektual dan unggul, mampu bersaing dalam bidangnya maka tidak terlepas dari peranan Perguruan Tinggi sebagai institusi pendidikan. Perguruan Tinggi bertugas menghasilkan alumni-alumni yang berkualitas. Proses belajar dan mengajar saja tidak cukup tetapi perlu didukung dengan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya terutama perpustakaan. Karena perpustakaan adalah tempat dimana masyarakat, pelajar, dan mahasiswa dapat memperoleh informasi dan belajar mandiri guna untuk meningkatkan kualitasnya. Sebagai pusat informasi, perpustakaan tidak hanya sebatas gedung dan buku. Perpustakaan yang modern memiliki tugas dan fungsi untuk mencari, mengumpulkan, mengorganisasikan, mendokumentasikan dan menyajikan informasi kepada pengguna baik dalam bentuk cetakan maupun dalam bentuk elektronik.
Bagi kebanyakan masyarakat, perpustakaan selalu dipersepsikan identik dengan ruangan yang sepi, koleksi yang out of date dan tidak menarik. Segala kekurangan ini masih ditambah dengan keluhan pelayanan yang diberikan kadang kurang profesional dan kurang simpatik
Perlu diketahui bahwa status Perpustakaan di Indonesia keberadaannya masih terpinggirkan. Ada yang menganggap penting tapi masih sebatas retorika. Sebuah perpustakaan, merupakan salah satu ukuran dalam menilai sejauh mana kualitas knowledge yang dimiliki dan dihasilkan oleh institusi tersebut. Karena itu perpustakaan menjadi sumber yang sangat penting dalam pengembangan knowledge di institusinya, begitu juga dengan peranan perpustakaan perguruan tinggi.
Perpustakaan sebagai organisasi publik nonprofit memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat pemakainya dengan mengutamakan kepuasan pelanggan. Berbeda dengan organisasi bisnis yang memberikan layanan umum dengan mengutamakan keuntungan (profit). Namun di antara organisasi profit dan nonprofit terdapat kesamaan tugas, yakni melayani masyarakat pengguna. Perpustakaan adalah pelayanan. Tidak ada perpustakaan jika tidak ada pelayanan. Karena itu sebenarnya perpustakaan identik dengan pelayanan. Maka perpustakaan dan petugas perlu mengubah pola pikir bahwa pemakai adalah pelanggan (customers). Kepuasan pelanggan menjadi salah satu tujuan pelayanan suatu perpustakaan.
Untuk mencapai tujuan pelayanan yang berkualitas, perpustakaan dituntut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penggunanya. Tidak saja terpenuhinya sumber-sumber informasi tetapi perlu juga diperhatikan fasilitas-fasilitas fisik, kualitas pelayanan, dan teknologi yang dapat membantu proses pelayanan sehingga tercapainya kepuasan pemakai, karena kepuasan dan loyalitas adalah berkaitan, walaupun keterkaitannya ada, tidak selalu beriringan.
PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa perpustakaan merupakan unsur penunjang pendidikan tinggi. Secara harfiah, unsur penunjang dapat diartikan sebagai sesuatu yang harus ada untuk kesempurnaan yang ditunjang. Peran strategis ini juga terlihat jelas dalam proses akreditasi sebuah pendidikan tinggi, dimana perpustakaan merupakan unsur utama, walau bukan yang pertama. Jika suatu lembaga pendidikan tinggi ingin mendapatkan akreditasi resmi, maka perpustakaan dan segala isinya wajib ada. Artinya, akreditasi tidak akan diperoleh jika lembaga tersebut tidak memiliki perpustakaan. Secara teori, perpustakaan sebetulnya memiliki peran strategis dalam eksistensi pendidikan tinggi. Sebagai unsur penunjang penting, perpustakaan tidak dapat diabaikan, khususnya dalam hal pencapaian visi. Jika sebuah universitas ingin menjadi 'universitas bertaraf internasional', otomatis perpustakaan juga harus ikut menjadi 'perpustakaan bertaraf internasional'.
Ketidakstabilan frekuensi kunjungan dan jumlah pinjaman setiap bulannya, menunjukan bahwa minimnya kualitas pelayanan yang ada di Perpustakaan Universitas X. Kualitas pelayanan perpustakaan adalah salah satu variabel yang sangat menentukan untuk mencapai kepuasan dan loyalitas mahasiswa terhadap pemanfaatan perpustakaan, untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan tersebut terhadap kepuasan mahasiswa serta keeratan hubungan antara kepuasan dengan loyalitas mahasiswa, peneliti mencoba melihat pengaruh tersebut berdasarkan pada lima dimensi, yaitu : Bukti fisik, adalah aspek-aspek nyata yang bisa dilihat dan diraba, termasuk sumber daya manusia. Kehandalan, adalah aspek-aspek kehandalan sistem pelayanan yang diberikan oleh perpustakaan, apakah jasa yang diberikan sesuai dengan standar-standar umum atau kemampuan mewujudkan jasa sesuai dengan yang telah dijanjikan secara cepat. Ketanggapan, adalah keinginan untuk membantu mahasiswa dan menyediakan jasa yang dibutuhkan atau kecepat-tanggapan dari pustakawan dalam memberikan jasa serta dapat menangkap aspirasi-aspirasi yang muncul dari mahasiswa. Jaminan, adalah bahwa jasa yang diberikan memberikan jaminan kenyamanan, kemampuan sumber daya dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar. Empati, adalah kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, keramahan, komunikasi, dan kemampuan memahami kebutuhan mahasiswa.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dirumuskan masalah sebagai berikut : 
a. Sejauhmana pengaruh kualitas pelayanan perpustakaan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati terhadap kepuasan mahasiswa Universitas X
b. Bagaimana hubungan kepuasan mahasiswa dengan loyalitas mahasiswa dalam memanfaatkan Perpustakaan Universitas X.

C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan perpustakaan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati terhadap kepuasan mahasiswa Universitas X.
b. Untuk mengetahui variabel yang paling dominan dari kualitas pelayanan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa Universitas X
c. Untuk mengetahui hubungan kepuasan dengan loyalitas mahasiswa Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi;
a. Perbaikan kepada Manajemen Perpustakaan Universitas X dalam menentukan kebijakan dan perencanaan ke depan guna untuk meningkatkan kualitas pelayanan
b. Dapat memberikan sumbangan (contribution) empirik bagi para akademisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang kualitas pelayanan yang mempengaruhi kepuasan dan hubungannya dengan loyalitas mahasiswa terhadap perpustakaan Universitas X
c. Bagi peneliti, dapat melatih dan berpikir secara ilmiah serta menambah wawasan pengetahuan di bidang manajemen pemasaran, khususnya yang berkaitan dengan kualitas pelayanan .
d. Bagi akademisi dan peneliti lanjutan, dapat menjadi bahan referensi atau bahan acuan untuk penelitian selanjutnya terutama yang berminat untuk meneliti tentang kualitas pelayanan.

TESIS ANALISIS PENGARUH JOB STRESSOR DAN KONFLIK KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEKERJAAN UMUM

Posted: 03 Jul 2014 10:36 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0250) : TESIS ANALISIS PENGARUH JOB STRESSOR DAN KONFLIK KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEKERJAAN UMUM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Setiap perusahaan atau organisasi dituntut untuk dapat menggunakan sumber daya yang dimiliki seoptimal mungkin, dalam arti perusahaan harus dapat menciptakan keunggulan kompetitif, sehingga diharapkan dapat menghadapi para pesaingnya. Salah satu permasalahan yang dihadapi perusahaan atau organisasi adalah mencari metode yang tepat untuk mengatur dan mengkoordinasikan sumber daya manusia secara efektif dan efisien. Meskipun terdapat banyak teori tentang manajemen sumber daya manusia, namun pada prakteknya untuk mencapai hal tersebut bukan merupakan satu hal yang mudah, sebab sumber daya manusia ini terdiri dari berbagai manusia dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Pada zaman sekarang banyak organisasi yang mengubah konsep operasional dalam manajemen sumber daya manusia, yang dulunya organisasi memperlakukan pegawai secara individu tetapi sekarang para pegawai tersebut diperlakukan sebagai bagian dari suatu kelompok atau tim kerja dalam suatu kelompok, dengan tujuan dapat mengoptimalkan aspek sosial, teknis serta kinerja dari individu itu sendiri dalam lingkungan kerja. Dalam suatu kelompok atau tim kerja terdiri dari berbagai macam individu dengan berbagai latar belakang, pendidikan, dan sifat yang berbeda sehingga konflik dapat muncul setiap saat. Jika suatu konflik tidak dapat terselesaikan dengan baik, maka akan dapat berdampak buruk bagi kelompok secara langsung maupun kinerja organisasi secara tidak langsung.
Di samping, konflik dapat terjadi pada setiap organisasi, maka konflik dapat menyebabkan akibat bagi organisasi tersebut. Akibat itu, dapat merupakan hal yang negatif, tetapi dapat juga merupakan hal yang positip, bergantung bentuk konflik itu sendiri. Pada hakikatnya konflik tidak bisa dihindari tetapi bisa diminimalkan agar konflik tidak mengarah ke perpecahan, permusuhan bahkan mengakibatkan suatu organisasi mengalami kerugian. Tetapi jika konflik dapat diolah dengan baik maka suatu organisasi memperoleh keuntungan yang maksimal seperti menciptakan persaingan sehat antar karyawan. Jadi, pihak manajemen harus dapat menangkap gejala-gejala dan indikator-indikator konflik yang berdampak konstruktif dan konflik yang berdampak destruktif. Pihak manajemen harus benar-benar jeli dalam melihat, memperhatikan dan merasakan perilaku-perilaku karyawannya agar konflik yang berdampak negatif dapat ditekan
Stres dan konflik merupakan salah satu masalah yang mungkin timbul dalam organisasi. Hal tersebut bisa disebabkan adanya ketidakpuasan pegawai terhadap apa yang diinginkan dan apa yang diharapkan dalam lingkungan kerja, bisa juga terjadi di luar lingkungan kerja pegawai. Stress bisa terjadi karena faktor-faktor yang menyebabkannya, atau bisa juga disebut job stressor. Stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi mental seseorang. Konflik kerja dalam organisasi merupakan ketidaksesuaian antara dua individu atau kelompok dalam suatu perusahaan atau organisasi yang timbul karena ada kenyataan bahwa pihak satu dengan yang lain harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan kerja dan atau kenyataan kedua belah pihak mempunyai status, tujuan, nilai-nilai, dan persepsi yang berbeda-beda. Job stressor dan konflik kerja dapat menimbulkan dampak yang positip dan negatif terhadap organisasi atau perusahaan, itu semua tergantung pada sifat stres pekerjaan dan konflik itu sendiri dan bagaimana cara mengatasinya. Konflik dapat berperan positip (fungsional), tetapi dapat pula berperan negatif (disfungsional). Ini berarti konflik harus dapat dikelola sebaik-baiknya, karena potensial untuk dapat berkembang "positif" dan "negatif" dalam kegiatan organisasi untuk mencapai tujuannya.
Job stressor dan konflik kerja merupakan masalah yang timbul pada pegawai pada Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kabupaten X. Masalah yang dihadapi pegawai bisa bersifat sementara atau jangka panjang, ringan, atau berat, tergantung seberapa besar kekuatan dan kemampuan pegawai dalam menghadapinya. Apabila setiap persoalan yang ada pada Dinas Pekerjaan Umum dapat terselesaikan dengan baik, maka akan meningkatkan kinerja pegawai, yang pada gilirannya akan dapat menimbulkan dampak positip bagi Dinas Pekerjaan Umum dalam meningkatkan kinerjanya, sebaliknya, apabila masalah-masalah tersebut tidak dapat terselesaikan dengan baik, maka akan dapat menurunkan kinerja pegawai, karena masalah yang terjadi secara terus menerus dan dihadapi oleh pegawai dapat menimbulkan stres dan konflik yang berkepanjangan sehingga akan dapat menimbulkan dampak yang negatif.
Pada dasarnya kinerja pegawai merupakan cara kerja pegawai dalam suatu perusahaan atau selama periode tertentu. Suatu organisasi atau perusahaan yang memiliki pegawai yang kinerjanya baik maka besar kemungkinan kinerja organisasi atau perusahaan tersebut juga baik, sehingga dalam hal ini terdapat hubungan yang sangat erat antara kinerja individu (pegawai) dengan kinerja organisasi atau perusahaan, hal ini juga berlaku bagi pegawai negeri yang bekerja di Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota, maupun Pemerintah Kabupaten.
Kabupaten X adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia yang memiliki beberapa dinas-dinas sebagai pelaksana kebijakan pemerintah di antaranya adalah Dinas Pekerjaan Umum. Kabupaten X sebagai sebuah kabupaten yang baru berdiri perlu membangun infrastruktur-infrastruktur demi jalannya pembangunan di kabupaten tersebut. Pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X bekerja di berbagai bagian atau sub dinas, dimana bagian bagian tersebut saling berhubungan, dan dari beberapa bagian tersebut terdapat banyak sekali perbedaan-perbedaan dari pendapatan, gaji, kondisi kerja, mutu supervisi, tantangan tugas, sampai pada perbedaan jabatan yang tercakup dalam kebutuhan-kebutuhan dasar manusia seperti yang dikemukakan Maslow, di mana perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan bidang pekerjaan suatu individu pegawai/pegawai tersebut.
Fenomena melatarbelakangi penelitian ini adalah tingginya beban kerja di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X menimbulkan job stressor dan konflik kerja yang pada akhirnya dapat menurunkan kinerja pegawai. Job stressor yang paling nyata adalah stressor yang datang dari individu dan stressor yang datang dari lingkungan kerja, maupun stressor yang bersumber dari teknis maupun non-teknis, misalnya perbedaan nilai kompensasi di luar gaji yang berbeda antara seorang pegawai dengan pegawai lain di mana banyak pegawai merasa banyak melakukan pekerjaan tetapi kompensasi yang mereka terima lebih kecil dari pegawai yang sedikit pekerjaannya, demikian pula dari segi promosi dimana banyak pegawai merasa pengangkatan pimpinan pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X baik sebagai kepala seksi, kepala bagian dan lain lain, bukan dinilai dari kinerja tetapi dikarenakan pegawai tersebut mempunyai kedekatan hubungan dengan pimpinan. 
Kinerja pegawai dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X juga sangat rendah hal ini ditunjukkan dengan waktu penyelesaian pekerjaan yang cukup lama khususnya apabila pekerjaan tersebut berhubungan dengan administrasi, Dinas PU Kabupaten X harus membuat laporan mingguan dan laporan bulanan untuk setiap proyek yang sedang berjalan, laporan mingguan ini sering baru selesai setelah dua minggu demikian juga dengan laporan bulanan tidak pernah selesai pada waktu yang telah ditetapkan, pada umumnya rendahnya kinerja ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan sumber daya manusia yang bekerja di kantor ini, khususnya apabila berhubungan dengan komputer dan penyusunan anggaran keuangan ataupun pembukuan.
Konflik yang timbul terjadi antara unit kerja dan antar seksi {intergroup conflict), karena beranggapan bahwa seksi atau bagian kerja merekalah yang paling memiliki target yang terlalu besar dan beranggapan seksi lain memiliki target yang terlalu kecil. Hal ini dapat menimbulkan kecemburuan dan rasa ketidakadilan oleh pegawai.
Adanya berbagai bentuk stres pekerjaan, konflik kerja, perbedaan tanggapan atau pengelolaan konflik individu dan akibatnya terhadap kinerja pegawai di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X tersebut, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul : "ANALISIS PENGARUH JOB STRESSOR DAN KONFLIK KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KABUPATEN X".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : apakah job stressor dan konflik kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh job stressor dan konflik kerja terhadap kinerja pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X secara simultan maupun parsial.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 
1. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X, sebagai masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan, strategi dan program kerja dalam meningkatkan kinerja pegawai di instansi tersebut
2. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan, membuka cakrawala berpikir dan menambah wawasan mengenai job stressor, konflik kerja dan kinerja pegawai. 
3. Peneliti selanjutnya, sebagai referensi untuk melakukan penelitian yang sama pada masa mendatang.

TESIS DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KESENJANGAN WILAYAH DI INDONESIA

Posted: 03 Jul 2014 10:33 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0249) : TESIS DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KESENJANGAN WILAYAH DI INDONESIA (PROGRAM STUDI : EKONOMI KEBIJAKAN PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak tanggal 1 Januari 2001 Indonesia memasuki era baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai dengan mulai diberlakukannya otonomi daerah. Implementasi pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan adanya perubahan struktur pemerintahan yang menjadi lebih terdesentralisasi. Secara teoritis terdapat empat tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi ekonomi, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Sidik : 2002). Penerapan sistem desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan secara bersamaan dengan penerapan sistem otonomi daerah yang ditandai dengan diterapkannya Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang mengatur pelimpahan wewenang di bidang fiskal (desentralisasi fiskal). Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut kemudian direvisi dengan Undang-undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Desentralisasi Fiskal dapat didefinisikan sebagai penyerahan sebagian kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkat pemerintahan di bawahnya. Berdasarkan definisi ini maka daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dengan dukungan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau menganut prinsip Money follows function. Hal ini berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Desentralisasi fiskal menjadi penting untuk diterapkan karena beberapa alasan. Pertama, semakin langkanya sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan. Kedua, mengurangi ketergantungan daerah pada Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga, banyak sumber penerimaan daerah yang besar dikelola oleh pemerintah tingkat propinsi, bahkan pungutan pada level pemerintahan propinsi lebih besar daripada subsidi yang diberikan kepada kabupaten dan kota (Ermaya dalam Makmun : 2004).
Dengan demikian, maka pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan menghasilkan manfaat seperti : a). Mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan; b). Mendorong pemerataan hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Pemerataan hasil pembangunan, yang ditunjukkan oleh makin meratanya distribusi pendapatan ataupun berkurangnya tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, menjadi penting dikaji karena merupakan salah satu masalah pokok pembangunan, selain masalah pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan (Arsyad : 2004). Disamping itu juga, kesenjangan antar wilayah juga dapat menimbulkan berbagai macam masalah seperti kecemburuan antarwilayah serta berbagai masalah kependudukan seperti migrasi, urbanisasi, pengangguran, dan Iain-lain. Pada gilirannya, masalah-masalah tersebut akan berpengaruh pada stabilitas nasional.
Dalam kenyataannya, terdapat dua macam pandangan yang sangat berbeda mengenai pengaruh atau dampak dari penerapan desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan wilayah. Pandangan yang pertama, yang lebih dikenal dengan pandangan konvensional menyatakan bahwa desentralisasi fiskal kemungkinan besar dapat meningkatkan kesenjangan wilayah. 
Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dengan diterapkannya desentralisasi fiskal, maka wewenang pemerintah pusat dalam menerapkan kebijakan distribusi pendapatan antar wilayah akan semakin mengecil, sehingga menyebabkan makin meningkatnya kesenjangan wilayah. Namun, belakangan ini timbul kontroversi terhadap pandangan tersebut, yang menyatakan bahwa penerapan desentralisasi fiskal justru dapat mendorong terjadinya pemerataan atau mengurangi tingkat kesenjangan antar wilayah. Pandangan kedua ini didasari pemikiran bahwa dengan diterapkannya desentralisasi, maka pemerintah daerah akan menghadapi kendala dalam hal pembiayaan pembangunan daerahnya. Hal ini mendorong pihak pemerintah daerah untuk dapat meningkatkan penerimaan daerah dengan usahanya sendiri, sehingga kesenjangan yang terjadi antar daerah menjadi semakin berkurang.
Dalam prakteknya di Indonesia, keberhasilan proses desentralisasi dalam mengurangi kesenjangan ekonomi/pendapatan antar daerah tersebut masih menjadi pertanyaan. Dalam hal ini telah dilakukan beberapa studi di tingkat propinsi di Indonesia, namun hasilnya bervariasi dalam artian ada yang mendukung pandangan pertama (konvensional) maupun pandangan kedua. Pandangan konvensional diperkuat oleh beberapa hasil studi dari Shovie (2004), Wijayanti (2006), Astuti (2007) dan Antonius (2007). Berdasarkan temuan dari Astuti dan Wijayanti, ada hubungan positif antara desentralisasi dengan pendekatan Penerimaan (Pendapatan Asli Daerah/PAD maupun total penerimaan) dengan kesenjangan ekonomi antar wilayah. Hal ini berarti bahwa desentralisasi fiskal makin melebarkan kesenjangan ekonomi antar wilayah. Sedangkan pandangan kedua, juga diperkuat oleh beberapa studi seperti hasil studi dari Suhartono (2005), Wijayanti (2006) dan Widhiyanto (2006). Suhartono (2005) menyatakan bahwa penerapan desentralisasi fiskal, yang diukur dengan indikator transfer fiskal, telah memberikan efek berkurangnya kesenjangan ekonomi antar daerah (Suhartono dalam Wijayanti : 2006). Selain itu, Wijayanti (2006) dalam tesisnya juga menemukan bahwa ada hubungan negatif antara desentralisasi dengan pendekatan pengeluaran (total expenditure maupun total expenditure dan revenue) dengan kesenjangan ekonomi antar daerah. Hal ini berarti bahwa upaya pemerintah untuk membantu daerah melalui dana perimbangan cukup berhasil secara signifikan dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah. Studi terbaru yang mendukung pandangan kedua ini dilakukan oleh Widhiyanto dalam tesisnya, dengan menggunakan rasio antara pendapatan dengan pengeluaran pemerintah daerah sebagai indikator desentralisasi fiskal.
Dari segi ruang lingkup waktu, pada umumnya studi-studi yang telah dilakukan tersebut hanya mengkaji kesenjangan antar wilayah pada saat kebijakan desentralisasi fiskal telah diberlakukan. Padahal untuk mendapatkan gambaran yang cukup lengkap, perlu juga dikaji bagaimana kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah baik sebelum maupun setelah kebijakan desentralisasi fiskal tersebut telah diberlakukan. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan desentralisasi fiskal, seperti halnya studi evaluasi terhadap dampak dari suatu kebijakan yang biasa dilakukan, perlu dilakukan analisa kondisi pada saat sebelum (pra) dan sesudah (post) kebijakan tersebut diterapkan.
Dari segi indikator desentralisasi fiskal, dalam studi-studi terdahulu sudah tercakup pendekatan baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Namun belum ada studi yang mencoba melihat desentralisasi fiskal dari sisi alokasi penggunaan dana oleh pemerintah daerah itu sendiri, yang merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah daerah. Dalam tesis ini akan ditambahkan indikator tersebut.
Berdasarkan uraian diatas serta untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar wilayah propinsi di Indonesia, menjadikan studi ini menarik untuk dibahas. Apakah penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berhasil menurunkan atau justru makin meningkatkan kesenjangan wilayah di tiap propinsi di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1) Bagaimana profil kesenjangan ekonomi di tiap-tiap wilayah propinsi di Indonesia dalam era sebelum  dan setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan
2) Bagaimana dampak/pengaruh desentralisasi fiskal, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran, terhadap kesenjangan ekonomi antar wilayah di tiap propinsi di Indonesia

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 
1) Mengetahui profil kesenjangan ekonomi/penerimaan di tiap-tiap wilayah propinsi di Indonesia dalam era sebelum dan setelah desentralisasi fiskal
2) Mengetahui dampak/pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kesenjangan ekonomi di tiap wilayah propinsi di Indonesia

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini secara umum dapat disampaikan sebagai berikut : 
1) Sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu kebijakan publik, pengambil kebijakan serta peminat masalah-masalah perekonomian daerah, khususnya yang berkaitan dengan bidang desentralisasi fiskal dan kesenjangan ekonomi regional
2) Sebagai bahan referensi penelitian lainnya yang berkaitan dengan bidang desentralisasi fiskal dan kesenjangan ekonomi regional di Indonesia

TESIS ANALISIS PRO POOR GROWTH DI INDONESIA MELALUI IDENTIFIKASI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

Posted: 03 Jul 2014 10:30 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0248) : TESIS ANALISIS PRO POOR GROWTH DI INDONESIA MELALUI IDENTIFIKASI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN (PROGRAM STUDI : EKONOMI KEBIJAKAN PUBLIK)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Sedangkan tujuan yang paling penting dari suatu pembangunan adalah pengurangan tingkat kemiskinan yang dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan/atau melalui redistribusi pendapatan (Kakwani dan Son, 2003). Hal ini dilandasi pada teori trickle-down effect yang dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954) dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968). Teori tersebut menjadi salah satu topik penting di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (Least Develop Countries/LDCs) pada dekade 1950-an dan 1960-an.
Teori trickle-down effect menjelaskan bahwa kemajuan yang diperoleh oleh sekelompok masyarakat akan sendirinya menetes ke bawah sehingga menciptakan lapangan kerja dan berbagai peluang ekonomi yang pada gilirannya akan menumbuhkan berbagai kondisi demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi yang merata. Teori tersebut mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh aliran vertikal dari penduduk kaya ke penduduk miskin yang terjadi dengan sendirinya. Manfaat pertumbuhan ekonomi akan dirasakan penduduk kaya terlebih dahulu, dan kemudian pada tahap selanjutnya penduduk miskin mulai memperoleh manfaat ketika penduduk kaya mulai membelanjakan hasil dari pertumbuhan ekonomi yang telah diterimanya. Dengan demikian, maka pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan angka kemiskinan merupakan efek tidak langsung oleh adanya aliran vertikal dari penduduk kaya ke penduduk miskin. Hal ini berarti juga bahwa kemiskinan akan berkurang dalam skala yang sangat kecil bila penduduk miskin hanya menerima sedikit manfaat dari total manfaat yang ditimbulkan dari adanya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini dapat membuka peluang terjadinya peningkatan kemiskinan sebagai akibat dari meningkatnya ketimpangan pendapatan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih memihak penduduk kaya dibanding penduduk mi skin.
Oleh sebab itu, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berdampak positif bagi pengurangan kemiskinan bilamana pertumbuhan ekonomi yang terjadi berpihak pada penduduk miskin (pro-poor growth/PPG). Siregar (2006) juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan, sedangkan syarat kecukupannya (sufficient condition) adalah pertumbuhan ekonomi tersebut harus efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, hal itu berarti diperlukan pemerintah yang cukup efektif me redistribusi manfaat pertumbuhan.
Kasus di beberapa negara cukup membuktikan kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Kesuksesan negara-negara Asia Timur di tahun 1970-an dan 1980-an menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi yang dikombinasi dengan rendahnya ketimpangan pendapatan dapat secara signifikan mengurangi kemiskinan (World Bank, 1993 dalam Cord, 2007). Analisa yang dilakukan oleh Kakwani dan Son (2006) terhadap beberapa negara Asia menunjukkan bahwa selama tahun 1990-an pertumbuhan ekonomi Korea dan Vietnam tergolong pro-poor. Analisa yang menggunakan data panel negara-negara berkembang di tahun 1980-an dan 1990-an juga menunjukkan pentingnya pertumbuhan ekonomi bagi penurunan kemiskinan (Dollar dan Kraay, 2002; Kraay 2005). Terkait dengan hal tersebut, maka saat ini pro-poor growth menjadi salah satu konsep pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara khususnya negara sedang berkembang, dimana pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai salah satu alat untuk mengurangi kemiskinan.
Meskipun hingga sebelum krisis jumlah penduduk miskin selalu mengalami penurunan, namun ketika pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali meningkat ke pertumbuhan positif sebesar 0.79% dan tahun berikutnya kembali meningkat menjadi 4.92 %, kondisi ini belum mampu menciptakan lapangan kerja dan menyerap tambahan angkatan kerja. Akibatnya, jumlah pengangguran meningkat sebesar 9.76 juta orang pada tahun 2001 hingga 2004. Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah pengangguran mengakibatkan jumlah penduduk miskin belum dapat diturunkan setelah paska krisis, tercatat bahwa pada tahun 2002 penduduk miskin sebesar 38.4 juta jiwa (18.2 persen) dimana angka ini lebih besar jika dibandingkan sebelum krisis, yaitu sebesar 22.5 juta jiwa (11.34 persen) pada tahun 1996. Bahkan sampai pada tahun 2008, persentase penduduk miskin pun masih lebih besar dibanding sebelum krisis ekonomi yaitu 15.4 persen atau 34.54 juta. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, jelas sekali bahwa penanggulangan kemiskinan di Indonesia belum mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi kemiskinan ini diperburuk dengan adanya kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan, paling tidak sejak 2002, saat Indonesia mulai mencoba keluar dari krisis.
Kondisi kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia tersebut bertolak belakang dengan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 1981 hingga 2008 menunjukkan bahwa Indonesia tergolong mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu hampir mencapai angka 5 persen (4.82 persen). Bahkan selama kurun waktu 1989 hingga 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran angka 7 persen. Kondisi ini terkait dengan konsep pembangunan trickle down effect yang dianut oleh pemerintahan orde baru. Strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah saat itu terpusat pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, akselerasi pembangunan yang dilakukan pemerintah paska krisis juga belum menyentuh golongan bawah. Pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat dan mendekati angka 5 persen di tahun 2002, ternyata justru diikuti oleh meningkatnya ketimpangan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat paska krisis pun tidak diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam konteks kebijakan, penelitian mengenai pro-poor growth di Indonesia melalui analisa pengaruh pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan menjadi hal yang menarik dan penting untuk dilakukan. Dengan mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan, perencanaan dan kebijakan ekonomi dapat dibuat lebih baik dan lebih terarah. Jika pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama ini ternyata tidak pro-poor (tidak mengurangi ketimpangan dan tingkat kemiskinan secara signifikan), maka pemerintah harus mulai berpikir untuk dapat mengarahkan kebijakannya pada pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Saat ini pro-poor growth menjadi konsep yang menjadi dasar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara khususnya di negara sedang berkembang. Sebagai negara berkembang, Indonesia pun seharusnya menerapkan konsep pro-poor dalam pertumbuhan ekonominya. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Namun demikian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia masih dihadapkan pada masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan meskipun pertumbuhan ekonomi yang dicapai tergolong cukup tinggi. Data regional pada tingkat propinsi juga menunjukkan hal yang cukup menarik yaitu terdapat propinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tingkat kemiskinan pun cenderung sangat tinggi dan terdapat pula propinsi yang pertumbuhan ekonominya tidak terlalu tinggi tetapi tingkat kemiskinannya rendah.
Oleh sebab itu, maka pertanyaan-pertanyaan penting yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan ?
2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan ?
3. Apakah pertumbuhan ekonomi di Indonesia pro-poor ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan yang ingin dijawab, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan
2. Menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan
3. Menganalisa keberpihakan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.

D. Manfaat Penelitian
Tesis ini diharapkan akan memberikan manfaat, terutama bagi pemerintah sebagai policy maker. Hasil dari tesis ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang salah satu alternatifnya bisa distimulasi melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan tesis ini diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih efektif dan tepat sasaran. Tesis ini juga bermanfaat bagi bidang keilmuan karena akan memperkaya khasanah kajian mengenai pro-poor growth di Indonesia.

TESIS KINERJA APARAT PELAYANAN PADA KANTOR PERTANAHAN

Posted: 03 Jul 2014 10:27 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0247) : TESIS KINERJA APARAT PELAYANAN PADA KANTOR PERTANAHAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam era pembangunan dewasa ini, arti dan fungsi tanah bagi negara Indonesia tidak hanya menyangkut kepentingan ekonomi semata, tetapi juga mencakup aspek sosial dan politik serta aspek pertahanan keamanan. Kenyataan menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk pembangunan, maka corak hidup dan kehidupan masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan menjadi lain.
Adanya perubahan sikap yang demikian dapat dimaklumi karena tanah bagi masyarakat Indonesia merupakan sumber kemakmuran dan juga kesejahteraan dalam kehidupan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah bagi masyarakat Indonesia merupakan salah satu hal yang amat penting guna menjamin kelangsungan hidupnya. Menyadari akan fungsi tersebut maka pemerintah berusaha meningkatkan pengelolaan, pengaturan dan pengurusan di bidang pertanahan yang menjadi sumber kemakmuran dan kesejahteraan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Tanah-tanah yang ada di Indonesia ini diatur dengan Undang-Undang Pokok Agraria yaitu Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 yang dikeluarkan pada tanggal 24 September 1960. Ketentuan lebih lanjut mengenai Undang-Undang Pokok Agraria ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, dinyatakan 2 (dua ) kewajiban pokok yaitu : 
1. Kewajiban pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
2. Kewajiban para pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dipegangnya.
Pendaftaran hak atas tanah yang dilakukan berarti pihak yang didaftar akan mengetahui subyek atas tanah dan obyek hak atas tanah yaitu mengenai orang yang mejadi pemegang hak atas tanah itu, letak tanahnya, batas-batas tanahnya serta panjang dan lebar tanah tersebut. Hasil akhir dari pendaftaran hak atas tanah dinamakan "Sertifikat Tanah". Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk mewujudkan harapan-harapan yang ingin dicapai sebagaimana yang telah ditetapkan pada kebijaksanaan catur tertib Pertanahan, maka dalam kenyataan praktek sehari-hari, Kantor Pertanahan sebagai institusi resmi pemerintah yang berwenang mengatur dan mengeluarkan sertifikat tanah, dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari tidak luput dari perhatian publik berkaitan dengan kinerja pelayanan yang mereka berikan bagi masyarakat yang menggunakan jasanya.
Sebagai ilustrasi untuk memperlihatkan gambaran kinerja aparat pelayanan, yang dalam hal ini sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan maka difokuskan pada kinerja aparat pelayanan kantor pertanahan, berikut ini contoh keluhan yang timbul menyangkut permasalahan dalam hal pelayanan yang dikutip dari suara pembaca harian Kompas 11 Nopember 2008, sebagai berikut : 
"Mengurus sertifikat yang murah, mudah, dan cepat ternyata hanya di televisi. Kenyataannya, di Badan Pertanahan Nasional Kota X tidak demikian. Untuk mengurus sertifikat tanah, ada banyak hal harus ditempuh dan perlu waktu. Pertama, mendaftar pengukuran. Pemohon harus mencari petugas ukur untuk diajak ke lapangan atau ke lokasi tanah yang akan dibuatkan sertifikat. Kedua, mendaftar SKPT. Ketiga, mendaftar ke Panitia A. Keempat mendaftar SK Sertifikat. Jadi untuk pendaftaran sertifikat saja perlu empat kali mendaftar. Mengenai biaya tentu saja bertambah persoalan karena tiap mendaftar ada istilah percepatan, yakni perlu pelicin. Jika tidak, pemohon harus menunggu sejadinya, tidak ada batas waktu. Untuk Panitia A, si petugas biasanya melihat lokasi tanah. Jika SK sudah jadi, tidak langsung dikirim. Pemohon harus membuat perjanjian atau kesepakatan lebih dulu, terutama untuk pemohon yang tanahnya luas dan berlokasi dijalan besar. Alasannya untuk mengisi kas dan memberi ke atasannya. Setelah semua itu selesai, SK baru dikirim ke loket pengambilan. Untuk pendaftaran SK yang tinggal buat saja kok lama sekali. Pemohon harus menemui petugas. Di situ membuat kesepakatan dulu baru dikerjakan. Kalau tidak mau membuat kesepakatan, tunggu saja sampai jadi entah kapan. Beginilah BPN. Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah.
Selain itu sebagai contoh seorang warga yang mengeluhkan akan keterlambatan Surat Keputusan mengenai perpanjangan Hak Guna Bangunan yang diterimanya. Contoh lain seperti dimuat pada harian suara merdeka 26 Mei 2008 yang menyatakan bahwa Pemerintah Kota X (pemkot) hanya bisa mensertifikatkan tanahnya sebanyak 1.519 buah dari 2.897 bidang tanah yang diajukan ke Kantor Pertanahan Kota X, sedangkan 1.378 bidang lainnya tidak diketahui keberadaannya, karena arsip yang mendukung kepemilikannya tidak tersimpan di BPN. Tentunya aset-aset yang belum bersertifikat ini rawan mendapatkan masalah, karena bukti kepemilikannya yang belum jelas.
Dari contoh keluhan dan kasus tentang pelayanan pada Kantor Pertanahan tersebut di atas menunjukkan bahwa permasalahan pelayanan publik dalam sertifikasi tanah merupakan salah satu permasalahan pokok bagi kinerja institusi. Agar tidak mendapat sorotan yang lebih jauh di era reformasi ini maka kinerja pelayanan pada Kantor Pertanahan harus segera diperbaiki. Disampaikan juga oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota X bahwa kinerja institusi yang menduduki ranking 2 paling buruk dalam memberikan pelayanan adalah institusi Pertanahan.
Kinerja Pertanahan yang masih buruk juga disampaikan pada Pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada peringatan Hari Ulang Tahun Agraria dan Undang-Undang Pokok Agraria tanggal 24 September 2008 yang dibacakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah yang menyatakan bahwa berdasarkan penemuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kinerja Institusi Badan Pertanahan masih menduduki ranking 2 paling buruk.
Hasil survey yang dilakukan oleh EPPS (Enter fur Population and Policy Studies) Universitas Gajah Mada tentang "Public Service Performance" di Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan yang dimuat dalam Policy Brief No. 02 (2001 : 1) dengan judul "Bureaucratic Corruption in Indonesia" pada Kantor Pertanahan disebutkan 58% masyarakat pengguna jasa dari tiga propinsi itu memberi uang pelicin untuk memperlancar permintaan pelayanan mereka pada Kantor Pertanahan. Padahal dalam menunjukkan kinerja pelayanan pada masyarakat seharusnya disesuaikan dengan prosedur dan janji Pegawai Negeri, sehingga tidak ada lagi embel-embel uang pelicin. Hal ini menunjukkan tidak adanya komitmen moral aparat dan kurangnya profesionalisme pegawai/aparat dalam menjalankan kinerjanya dalam melayani masyarakat.
Kurangnya profesionalisme pegawai Kantor Pertanahan dalam melayani masyarakat juga ditunjukkan dalam Policy Brief No. 2 (2001) dengan judul "Paternalism in Public Service Bureaucracy" yang menunjukkan hasil penelitian di tiga provinsi tersebut menemukan 44% bawahan atau Pegawai Negeri Sipil memprioritaskan kepentingan-kepentingan atasan mereka ketika memberikan pelayanan publik. Dicontohkan juga sebuah kasus apabila klien yang menginginkan pelayanan cepat melibatkan orang penting, maka pimpinan yang akan menanganinya. Ironisnya apabila klien itu orang biasa, pelayanan yang diberikan cenderung berbeda.
Agus Dwiyanto menyebutkan dalam makalahnya, bahwa khusus mengenai pelayanan sertifikasi tanah ketidakpastian waktu dan biaya sangat tinggi. Di samping itu upaya yang selama ini dilakukan Pemerintah untuk melaksanakan pelayanan sertifikasi tanah secara massal ternyata belum mampu membuat kinerja pelayanan sertifikasi menjadi baik.
Agus Dwiyanto menuturkan kisah seorang anggota masyarakat yang stress karena berkas sertifikat tanah yang diserahkan ke Kantor Pertanahan ternyata hilang di kantor tersebut. Padahal itu adalah berkas satu-satunya yang dimiliki. Seorang anggota masyarakat lainnya mengeluh karena sudah 7 (tujuh) tahun mengurus sertifikat tanah tetapi tak kunjung selesai dan tidak tahu kapan akan selesainya. Kisah tersebut menggambarkan bahwa aparat/pegawai kurang disiplin dalam melaksanakan tugasnya.
Berbagai keluhan masyarakat terus mewarnai penyelenggaraan pelayanan di bidang pertanahan. Rasa enggan dan gambaran negatif masih dirasakan masyarakat jika harus berurusan dengan Kantor Pertanahan. Ketidakpastian waktu dan biaya sering dikeluhkan masyarakat, hal ini karena belum ditaatinya standar waktu dan biaya yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 6 tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan (SPOPP) untuk Jenis Pelayanan Pertanahan tertentu. Sebagai contoh mengenai SPOPP pemecahan sertifikat perorangan waktu penyelesaiannya paling lama 15 hari dengan biaya pendaftaran dua puluh lima ribu rupiah, akan tetapi yang terjadi di lapangan ketika ada warga masyarakat yang mengurus sertifikat perorangan sudah hampir sebulan tetapi belum selesai.
Alasan yang disampaikan oleh aparat/pegawai adalah karena tidak adanya koordinasi dan komunikasi yang baik antar seksi sehingga menyebabkan jika ada berkas yang "berhenti" di satu seksi akan menambah lamanya waktu penyelesaian sertifikat, karena pengerjaan sertifikat seperti roda berjalan. Jika "mandek" di satu seksi maka berkas tidak dapat diteruskan ke seksi berikutnya.
Mulai bulan Desember 2008 Kantor Pertanahan Kota X menjalankan program komputerisasi dan LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah), dimana Kantor Pertanahan berusaha untuk memperbaiki kinerjanya dengan meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Tetapi program ini memerlukan peningkatan ketrampilan dan keahlian dari aparat, sehingga perlu adanya pelatihan khusus bagi aparatnya. Program ini membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai dan tenaga yang profesional karena menggunakan Sistem Teknologi Tinggi. Oleh karena itu dalam menjalankan program ini diperlukan kesiapan sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia yang handal. Belum konsistennya pelaksanaan reformasi pelayanan pertanahan, berjanji tidak akan memberikan toleransi karena ada sanksi administratif jika beliau menemukan penyimpangan yang dilakukan oleh aparat kantor pertanahan di daerahnya. Warga juga diminta secara proaktif memberikan informasi yang lengkap atau bersedia menjadi saksi apabila ada aparat kantor pertanahan yang menyimpang, seperti meminta pungutan di luar ketentuan.
Permasalahan yang dihadapi Kantor Pertanahan Kota X hampir sama dengan Kantor Pertanahan lainnya. Permasalahan yang paling menonjol adalah masalah penyelesaian pensertifikatan tanah yang tidak sesuai dengan jumlah permohonan setiap tahunnya. 
Permasalahan dan contoh-contoh keluhan yang disampaikan di atas dalam pengurusan sertifikat tanah, membuat penulis tertarik untuk meneliti Kinerja Aparat Pelayanan pada Kantor Pertanahan Kota X. Sebagai alasan utama adanya keinginan dari masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan cepat sesuai dengan jadwal pelayanan tanpa adanya proses yang berbelit-belit dan alasan yang tidak masuk akal sesuai dengan semangat reformasi.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti tersebut di atas, maka permasalahan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 
a. Kurangnya profesionalisme aparat;
b. Ketidakpastian waktu dan biaya;
c. Kurangnya komitmen moral aparat;
d. Rendahnya disiplin aparat;
e. Budaya dilayani bukan melayani;
f. Kurangnya koordinasi yang baik;
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini perumusan masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut : "Bagaimana kinerja aparat pelayanan pada Kantor Pertanahan Kota X dalam memberikan pelayanan sertifikasi tanah kepada masyarakat" ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Secara praktis bertujuan untuk menganalisis kinerja pelayanan yang diberikan oleh aparat Kantor Pertanahan Kota X, sehingga ditemukan strategi peningkatan kinerja aparat.
2. Secara teoritis bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai kinerja aparat pelayanan pada Kantor Pertanahan Kota X.

D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Kantor Pertanahan Kota X khususnya para pimpinan kantor dalam meningkatkan kinerja pelayanan .
2. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bahan penelitian selanjutnya dalam rangka menambah khasanah akademik sehingga berguna untuk pengembangan ilmu.

TESIS EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU SMK MATA PELAJARAN BIMBINGAN KONSELING

Posted: 03 Jul 2014 10:24 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0246) : TESIS EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU SMK MATA PELAJARAN BIMBINGAN KONSELING (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu upaya dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas guru sebagai ujung tombak yang secara langsung berhadapan peserta didik. Upaya peningkatan kualitas guru telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang tersebut pada pasal 40 ayat 1 butir (c) pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh pembinaan karir sesuai dengan tuntutan kualitas; ayat 2 butir (b) pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pada pasal 44 ayat 1 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dengan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan kependidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Selanjutnya pada pasal 44 ayat 3 disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. Undang-Undang tersebut menunjukkan hak dan kewajiban guru dalam meningkatkan profesionalitasnya karena apabila kemampuan guru lemah akan menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
Guru sebagai salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan karena keberhasilan penyelenggaraan pendidikan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Namun demikian posisi strategis guru dalam meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi kemampuan profesional mengajarnya.
Mengingat pentingnya guru bagi peningkatan mutu pendidikan, maka perlu adanya upaya-upaya meningkatkan kemampuan dan kesanggupan kerjanya maka dalam hal ini Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Departemen Pendidikan Nasional ditunjuk sebagai pembina/pelaksana program peningkatan mutu guru tersebut, salah satunya yaitu melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang ada di tiap propinsi.
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan X yang selanjutnya disingkat LPMP X ditunjuk menjadi unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional yang ada di Propinsi X, sejak tahun 1992 yang pada hakikatnya telah berfungsi sebagai lembaga peningkatan mutu guru hampir dua dasawarsa yang lalu. Pada masa itu masih bernama Balai Penataran Guru X (BPG) tugas pokok dan fungsi pada masa itu murni berfokus pada pelaksanaan penataran guru dan pendidikan bagi guru.
Sejalan dengan kemajuan serta tuntutan perkembangan dunia pendidikan, Balai Penataran Guru (BPG), kurang lebih empat tahun yang lalu berubah nama menjadi Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) yang berfungsi menjadi lembaga pengembangan yang menangani kegiatan-kegiatan meliputi pembinaan, fasilitasi dan pendataan jumlah dan mutu guru/tenaga kependidikan melakukan pelayanan teknis yang menyeluruh terhadap aspek-aspek yang mendukung terlaksananya proses pembelajaran di sekolah, melakukan pelayanan pada masyarakat berupa produksi dan jasa. Agar tetap bisa berkiprah dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan X menyelenggarakan program diklat/peningkatan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia. Untuk itu pemetaan kompetensi, pengkajian mutu pendidikan dan fasilitasi sumber daya pendidikan di seluruh Kabupaten/Kota Propinsi X yang telah dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan mutu profesionalisme guru-guru se-propinsi X.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X harus terus meningkatkan profesionalisme dan menciptakan terobosan-terobosan baru sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan/peningkatan kompetensi yang berkualitas dapat tercapai. Dengan dukungan personil 136 orang dengan tingkat pendidikan pegawai/karyawan baik tenaga administrasi dan tenaga edukatif dengan latar pendidikan S3 sebanyak 1 orang, S2 sebanyak 5 orang, S1 sebanyak 82 orang D3 sebanyak 11 orang, SMA sebanyak 33 orang, SMP sebanyak 1 orang dan SD sebanyak 2 orang. Sudah selayaknya penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat terlaksana dengan baik.
Namun pada kenyataannya dalam proses pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sering terbentur pada permasalahan-permasalahan teknis, seperti tingkat kesiapan pengelolaan diklat, koordinasi dengan dinas pendidikan/sekolah pengirim peserta dan lain-lain, sehingga dianggap program dan pelayanan di dalam penyelenggaraan diklat yang diberikan oleh institusi penyelenggara diklat kualitasnya dinilai rendah. Hal ini dapat terlihat dari masih adanya peserta yang tidak hadir memenuhi panggilan untuk mengikuti diklat. Kemudian dilihat dari komposisi tingkat pendidikan penatar masih relatif banyak yang berlatar belakang S1 dan beberapa berlatar belakang S2, sehingga ada kecenderungan tenaga penatar memiliki kemampuan yang relatif sama dengan peserta dan selanjutnya banyak faktor-faktor lain dari pegawai yang mempengaruhi masalah efektivitas kerja pegawai seperti kurangnya kesadaran dan kerelaan dalam melaksanakan tugas, kemampuan dan keterampilan pegawai, pengetahuan dan sikap dari pegawai itu sendiri dan pengaruh manajemen yang tidak kondusif.
Keadaan tersebut di atas, bila tidak ditindaklanjuti akan menghambat pencapaian tujuan organisasi karena efektivitas kerja pegawai bagaimanapun juga merupakan salah satu ujung tombak pemberdayaan pegawai dalam memberikan pelayanan yang prima. Sedangkan kita mengetahui bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan akan tercapai dengan baik bila dikelola dengan baik dan didukung penuh oleh seluruh potensi sumber daya yang ada secara maksimal.
Dengan mengimplementasikan manajemen yang baik dalam artian adanya cara yang sistematik dan terorganisir melalui pendekatan Total Quality Management yaitu suatu pendekatan yang seharusnya dilaksanakan oleh organisasi masa kini yang diarahkan untuk memperbaiki kualitas product-nya dan meningkatkan produktivitas kerjanya, maka diharapkan proses yang dilalui dalam penyelenggaraan diklat dapat berjalan mencapai suatu tujuan yang ditetapkan dan berpengaruh terhadap hasil diklat.
Dari uraian tersebut di atas sangat menarik untuk dikaji dan ditindaklanjuti bagaimana pelaksanaan pendidikan dan pelatihan peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling serta bagaimana hasil dari perubahan tingkah laku peserta didik setelah mengikuti diklat, apakah dapat memberikan suatu kontribusi yang bermakna terhadap institusi dimana ia bertugas. Hal ini dapat diketahui dengan pasti manakala diadakan suatu penelitian secara sistematis dan komprehensif.
Disamping itu untuk mengetahui dan mengungkap berhasil tidaknya suatu program maka diperlukan suatu evaluasi, karena hal tersebut digunakan untuk menentukan kebijakan atau tindak lanjut terhadap program pelatihan tersebut.
Mencermati evaluasi saat ini dirasa baru menekankan pada evaluasi input dan proses, karena belum tampak adanya hasil penilaian prestasi peserta pelatihan selama mengikuti pelatihan serta belum adanya monitoring dan evaluasi yang sistematik maupun terprogram untuk menindaklanjuti hasil pelatihan yang dilaksanakan (Depdiknas 2003 : 2) sehingga masih perlu dilaksanakan evaluasi penyelenggaraan diklat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan X. 
Pendekatan yang digunakan dalam mengevaluasi penyelenggaraan diklat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X merujuk pada pendekatan CIPP (Context, Input, Process, dan Product) yang dikembangkan Stuff beam dan kawan-kawan (1967) di Ohio State University. CIPP merupakan singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu; Context evaluation adalah evaluasi terhadap konteks, Input evaluation adalah evaluasi terhadap masukan, Process evaluation adalah evaluasi terhadap proses dan Product evaluation adalah evaluasi terhadap hasil. (Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar, 2004 : 29). 

B. Perumusan Masalah
Seiring dengan maraknya perubahan di berbagai bidang pendidikan, pengelolaan diklat diselenggarakan secara profesional sehingga membawa pengaruh terhadap hasil diklat. Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan diklat tersebut Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X melakukan terobosan-terobosan dalam usaha peningkatan proses pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya lembaga pendidikan kejuruan di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti dan membahas evaluasi diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling, yang merujuk pada pendekatan CIPP (Context, Input, Process and Product) yang meliputi evaluasi terhadap situasi atau latar belakang, perkiraan kebutuhan yang akan dicapai dalam diklat dan tujuan program, persiapan, penyelenggaraan, dan dampak diklat, sehingga dirumuskan masalahnya sebagai berikut : 
1. Evaluasi Context, bertujuan untuk mengetahui latar belakang, tujuan, sasaran, dampak yang ingin dicapai dalam kegiatan diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
2. Evaluasi Input, bertujuan untuk mengetahui masukan awal dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan maka permasalahan yang digali dalam hal ini adalah bagaimana kriteria input peserta diklat yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
3. Evaluasi Process, bertujuan untuk menilai proses berlangsungnya kegiatan atau pelaksanaan diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X maka permasalahan yang digali dalam hal ini adalah : 
1). Bagaimana program pembelajaran diklat yang disusun oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
2). Bagaimana proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
4. Evaluasi Product, bertujuan untuk menilai keberhasilan peserta setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan maka permasalahan yang digali dalam hal ini adalah : 
1). Bagaimana standar kompetensi lulusan diklat yang disusun oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 
2). Seberapa tinggi tingkat keberhasilan peserta diklat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 
3). Seberapa besar kinerja lulusan dalam mengikuti diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Evaluasi terhadap pendidikan dan pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru, merupakan kegiatan yang jarang dilakukan oleh setiap institusi. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui tingkat keberhasilan dari program pendidikan dan pelatihan di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X.
2. Tujuan Khusus
a. Evaluasi context untuk mengetahui latar belakang, tujuan, sasaran, dampak yang ingin dicapai dalam kegiatan diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X.
b. Evaluasi Input untuk mengetahui bagaimana kriteria input peserta diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X.
c. Evaluasi Process untuk mengetahui tentang : 
1). Program pembelajaran diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling yang disusun oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X.
2). Proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
d. Evaluasi Product, untuk mengetahui : 
1). Standar kompetensi lulusan diklat yang disusun oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 
2). Mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan peserta diklat di Lembaga Penjaminan Mutu (LPMP) X ?
3). Mengetahui seberapa besar kinerja lulusan dalam mengikuti diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 

D. Manfaat Hasil Penelitian
1. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan penulis dapat memberikan sumbangan berupa kajian konseptual tentang terhadap staf, penanggungjawab kegiatan, pimpinan dan pelaksanaan diklat di lingkungan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan X khususnya, dan umumnya terhadap Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) serta Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) yang ada di Indonesia. 
2. Secara praktis, akan memberikan penyajian empirik tentang faktor-faktor penting yang melatarbelakangi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran Bimbingan Konseling. Berdasarkan hal tersebut, hasilnya diharapkan dapat menjadikan panduan bagi penyempurnaan program berikutnya.

TESIS PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DI SEKOLAH DASAR NEGERI

Posted: 03 Jul 2014 09:52 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0245) : TESIS PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DI SEKOLAH DASAR NEGERI (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan yang penuh perubahan untuk berbagai faktor, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, zaman yang semakin mengglobal, dan persaingan hidup yang makin ketat, membawa implikasi pentingnya reorientasi proses pembelajaran.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa masih banyak diantara guru-guru sekolah dasar menyelenggarakan pembelajarannya secara tidak menarik dan karenanya kurang dapat mencapai sasaran-sasaran yang diharapkan. Penggunaan metode ceramah masih mendominasi kegiatan guru sehari-hari. Peserta didik kegiatannya berulang-ulang di sekitar mendengarkan, memperhatikan penjelasan dan mencatat hal-hal yang diperintahkan guru. Kegiatan belajar telah menjadi sesuatu yang rutin, monoton dan membosankan, bukan lagi sebagai kegiatan yang menarik, menantang dan menuntut partisipasi aktif dari peserta didik.
Proses pembelajaran seperti digambarkan di atas, jelas tidak mungkin dapat mempersiapkan peserta didik yang mampu bersaing dalam kehidupan dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tantangan yang makin berat. Pembelajaran harus diorientasikan pada kemampuan bersikap dan berpikir kritis, dibangun di atas konsep-konsep dari sistem filosofis yang kuat, dilakukan melalui proses pembelajaran yang memberikan berbagai peluang dan pengalaman belajar yang penuh arti, dan dilakukannya penilaian yang benar-benar akurat, jujur, objektif, dan penuh antisipasi dalam menjawab tantangan hidup masa depan.
Wawasan pendidikan sepanjang hayat tidak boleh terabaikan dari perhatian guru dan peserta didik sebagaimana keterlibatannya (mereka) dalam proses belajar mengajar sehari-hari. Motivasi yang kuat dari peserta didik maupun guru untuk mau belajar terus mesti tumbuh, terpelihara dan dapat dikembangkan. Sikap dan etos untuk lebih keras belajar nampaknya perlu dikenalkan dan dilatihkan. Mereka sepantasnya dibiasakan untuk menghadapi masalah dan berusaha mencoba mencari jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi itu. Mereka harus benar-benar dipersiapkan untuk belajar sesungguhnya dan mampu bersaing tidak hanya dengan teman-teman sekelasnya, tetapi juga dengan siapa saja sebayanya di daerahnya, di tingkat wilayahnya, secara nasional, bahkan untuk bersaing dengan bangsa lain secara internasional.
Upaya-upaya pembaharuan di bidang pendidikan sudah sejak lama dilakukan dan digalakkan, meliputi tenaga pendidik (guru), kurikulum strategi pembelajaran yang meliputi : metode, alat, sistem penilaian, administrasi pembelajaran dan sebagainya, yang implikasi dari pembaharuan itu adalah keberhasilan proses belajar mengajar guru di kelas.
Pembelajaran yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pemahaman kurikulum, fasilitas yang tersedia, wawasan pengetahuan guru yang luas tentang semua bidang, tetapi lebih menekan pada bagaimana seorang guru mampu mengelola pembelajaran yang baik sehingga tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai dengan efektif dan efisien, serta upaya guru dalam menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang menguntungkan peserta didik, sehingga tumbuh iklim belajar yang berkualitas.
Usaha pencegahan dan tindakan perlu dilaksanakan dalam upaya menciptakan kondisi kelas yang diharapkan. Usaha pencegahan dimaksud tercipta dan dapat dipertahankannya kondisi kelas yang kondusif yang harus dirancang dan diusahakan oleh guru secara sengaja agar hal-hal yang merugikan dapat dihindari. Sedangkan upaya tindakan yaitu usaha mengembalikan kepada kondisi yang optimal apabila terjadi hal-hal yang merusak situasi pembelajaran yang disebabkan oleh tingkah laku peserta didik.
Upaya guru untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang diharapkan akan efektif bila : (1) diketahui secara tepat faktor-faktor yang dapat menunjang terciptanya kondisi-kondisi yang menguntungkan dalam proses pembelajaran, (2) diketahuinya masalah-masalah yang diperkirakan dan mungkin tumbuh yang dapat merusak iklim belajar mengajar, (3) dikuasainya berbagai pendekatan dalam manajemen kelas dan diketahui pula kapan dan untuk masalah mana satu pendekatan digunakan (M. Entang dan T. Raka Joni dalam Maman Rachman, 1999 : 2).
Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang bermaksud memfasilitasi peserta didik (siswa) agar dapat mencapai tujuan pendidikan secara langsung, sedangkan manajemen kelas merupakan serangkaian kegiatan/tindakan yang bermaksud menciptakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya pembelajaran dengan baik. Dengan demikian tampaklah jelas bahwa manajemen kelas merupakan persyaratan penting yang menentukan terciptanya pembelajaran yang efektif.
Di kelas segala aspek pembelajaran bertemu dan berproses. Guru dengan segala kemampuannya. Siswa dengan segala latar belakang dan potensinya, kurikulum dengan segala komponennya, metode dengan segala pendekatannya, media dengan segala perangkatnya, materi dengan segala sumber belajarnya, semuanya bertemu dan berinteraksi di dalam kelas, hasil interaksi (proses pembelajaran) tersebut ditentukan oleh situasi yang tercipta dalam kelas, sehingga selayaknya perlu adanya manajemen kelas yang baik, profesional, dan berkelanjutan.
Peran guru sangatlah besar dalam pengelolaan kelas, karena guru sebagai penanggung jawab kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru harus penuh inisiatif dan kreatif dalam mengelola kelas, guru lah yang mengetahui secara pasti situasi dan kondisi kelas terutama keadaan siswa dengan segala latar belakangnya.
Peran ini mewajibkan guru menyampaikan sejumlah materi pelajaran sesuai dengan Garis-garis Besar Program Pengajaran yang berupa informasi, fakta serta tugas dan keterampilan yang harus dikuasai oleh siswa (Djauzak Ahmad, 1995 : 3) Untuk itu guru harus menguasai materi pelajaran, metode, alat, teknik-teknik penilaian dan sebagainya. Dalam peran ini guru dianggap sumber informasi dan sumber belajar utama, oleh karena itu guru harus selalu menambah dan memperluas wawasannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang.
Kurikulum sebagai program pendidikan secara utuh mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan program pendidikan dan pembelajaran. Kurikulum memberikan arah dalam merencanakan kegiatan pembelajaran baik menyangkut materi, metode, media dan sebagainya sebagaimana digariskan.
Terkait dengan pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru dituntut menguasai strategi pembelajaran. Strategi dalam proses belajar mengajar dimaksudkan untuk menyiasati peserta didik agar terlibat aktif belajar. Di sini implementasi strategi belajar dan pengembangannya ditujukan bagi pembelajaran anak usia sekolah dasar yang memiliki karakteristik tersendiri.
Strategi pembelajaran secara utuh memuat beberapa aspek, yaitu pemilihan materi yang sesuai (esensial), pemilihan metode, media dan alat pelajaran, sistem penilaian yang tepat, serta memperhatikan lingkungan proses pembelajaran.
Guru sekolah dasar tidak hanya dituntut menyelesaikan bahan pelajaran yang sudah ditetapkan, tetapi harus menguasai dan menghayati secara mendalam materi-materi yang akan diajarkan, sehingga diperlukan kreativitas sehingga mampu memilih materi-materi pelajaran yang esensial.
Salah satu kelemahan mendasar yang biasanya terjadi dalam kegiatan belajar mengajar terletak pada inti aktivitas pembelajaran itu sendiri, yaitu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa serta interaksinya satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini guru harus menguasai berbagai metode mengajar, pemilihan media ataupun alat yang digunakan disesuaikan dengan kondisi siswa (kecerdasan) digunakannya tujuan yang direncanakan dapat tercapai.
Dengan memperhatikan segi individualitas dan karakteristik anak usia sekolah dasar serta berbagai dimensi perkembangannya, maka seorang guru harus penuh pertimbangan dalam mengembangkan pembelajaran di kelasnya, dengan tidak menyimpang prinsip-prinsip psikologis anak (M. Sumantri dan Johor Permana, 2000 : 14). Kenyataan tersebut menjadi alasan kuat agar sistem pembelajaran yang dikembangkan guru diharapkan akan semakin dapat melayani kebutuhan individual peserta didik/siswa (individually guided education) dan pembelajaran benar-benar menjadi menarik dan bermakna.
Seorang guru perlu memahami berbagai hal yang tidak bisa digolongkan ke dalam penyebab terjadinya kegiatan belajar. Gagne dalam M. Sumantri dan Johar Permana (2000 : 15), menerangkan bahwa proses alamiah, kedewasaan, atau keadaan organisme yang bersifat temporer seperti misalnya kelelahan, pengaruh obat-obatan, rasa takut, persepsi, motivasi dan seterusnya atau gabungan kesemuanya. Apabila peserta didik telah belajar suatu hal, maka pada dirinya akan terjadi perubahan dalam kesiapannya menghadapi lingkungan.
Namun perlu disadari bahwa proses pendidikan (di sekolah dasar) merupakan kompleksitas artinya mencakup banyak faktor diantaranya kepala sekolah, guru, siswa, lingkungan, masyarakat dan sebagainya, sehingga diperlukan usaha-usaha tertentu secara bersama dan atau mandiri agar tercapai mutu sebagaimana diharapkan. Mutu pendidikan bukan sesuatu yang statis, melainkan suatu konsep yang bisa berkembang seirama dengan tuntutan kebutuhan hasil pendidikan yang berkaitan dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang melekat pada wujud pengembangan kualitas sumber daya manusia.
Dengan demikian, pengertian mutu pendidikan di sekolah adalah : "kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma dan standar yang berlaku" (Djauzak Ahmad, 1996 : 8).
Adapun komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah tersebut dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, antara lain : siswa, guru, pembina/pengelola sekolah, sarana/prasarana dan proses belajar mengajar.
Secara sederhana pengelolaan terhadap komponen tersebut dapat memperlihatkan gambaran mutu pendidikan yang dapat dikenali melalui antara lain : keluaran/lulusan relevan dengan kebutuhan masyarakat, nilai akhir sebagai ukuran prestasi belajar siswa, prosentase lulusan dicapai secara maksimal, penampilan kemampuan dan budi pekerti.
Dari sekian banyak mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar untuk mendukung komponen penampilan kemampuan dan budi pekerti sesuai dengan usia anak salah satu yang dikembangkan adalah diajarkannya mata pelajaran muatan lokal. Khususnya di wilayah Kabupaten X muatan lokal mencakup : muatan lokal propinsi dan muatan lokal kabupaten serta muatan lokal sekolah. Untuk muatan lokal propinsi adalah bahasa Jawa, muatan lokal kabupaten adalah bahasa Inggris, muatan lokal sekolah berupa keterampilan yang antara sekolah satu dengan lainnya dimungkinkan berbeda.
Terkait dengan budi pekerti yang secara umum terintegrasi pada sejumlah mata pelajaran termasuk di dalamnya adalah bahasa Jawa bertujuan : "Memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari, dalam konteks sosial budaya yang Bhinneka (Udin S. Winataputra dkk., 2001 : 6).
Di dalam struktur program pendidikan dasar terdapat mata pelajaran muatan lokal yang harus diajarkan di satuan pendidikan sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang alokasi waktunya telah ditetapkan.
Pendidikan di Jawa Tengah tidak boleh terlepas dari struktur program pendidikan nasional. Oleh karena itu, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah selayaknya menetapkan jenis muatan lokal tersebut. Mata pelajaran muatan lokal ada dua macam pilihan yaitu : mata pelajaran muatan lokal wajib dan pilihan. Adapun yang wajib adalah bahasa Daerah (Jawa) dengan pertimbangan bahasa potensi ini terdapat di seluruh wilayah Jawa Tengah dan merupakan kebutuhan masyarakat yang harus dikembangkan.
Bahasa Jawa mempunyai kedudukan sebagai bahasa pertama bagi sebagian besar anak-anak masyarakat penutur Bahasa Jawa, terutama yang tinggal di pedesaan. Masyarakat penutur Bahasa Jawa yang tinggal di pedesaan masih menduduki prosentase yang cukup tinggi diantara penduduk Indonesia yang menempati wilayah Propinsi Jawa Tengah dan DIY. Dengan demikian, berarti Bahasa Jawa sebagai bahasa pertama yang menduduki tempat yang penting di kalangan anak-anak masyarakat pedesaan di wilayah Jawa Tengah dan DIY.
Di sisi lain sebagai pekerja profesional guru dituntut untuk dapat melakukan/melaksanakan tugasnya dengan keahlian yang dimiliki dalam kegiatan belajar mengajar di depan kelas. Sejalan dengan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diharapkan guru lebih kreatif dalam menggali materi pelajaran maupun strategi pembelajarannya, sehingga output pendidikan benar-benar dirasakan bagi masyarakat. Melalui KTSP diharapkan potensi yang ada pada SD tersebut dapat tergali sebagai bentuk/wujud kompetensi, termasuk di dalamnya muatan lokal Bahasa Daerah (Jawa).
Bahasa Daerah (Jawa) sebagai muatan lokal dalam KTSP tersebut merupakan satu mata pelajaran yang terpisah. Dewasa ini ada kecenderungan pendapat bahwa pelajaran Bahasa Daerah (Jawa) dianggap mata pelajaran yang tidak penting, sehingga sering dinomorduakan bahkan ada kalanya jam-jam pelajaran Bahasa Jawa digunakan untuk mata pelajaran yang lain khususnya di SD karena mengejar kompetensi mata pelajaran yang lain.
Pada hakikatnya tidak ada mata pelajaran yang tidak penting, karena semua mata pelajaran pada akhirnya berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya. Bahkan dalam pelajaran Bahasa Jawa secara tidak langsung siswa belajar memahami budi pekerti, tata krama, dan etika (unggah-ungguh), karena dalam pelajaran Bahasa Jawa baik tata bahasa, parama sastra, maupun susastra sangat menekankan pada sikap perilaku (budi pekerti), tata krama dan etika (unggah-ungguh) yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Banyak keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh kalangan orang tua yang menyebutkan bahwa banyak anak-anak sekarang yang tidak dapat menggunakan Bahasa Jawa dengan benar. Barang kali pernyataan tersebut dapat diidentikkan dengan kurangnya tata krama dan atau etika Bahasa Jawa.
Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X dialokasikan waktu 2 jam pelajaran dalam satu minggu. Jika dibandingkan dengan materi pelajaran yang lain, mata pelajaran bahasa Jawa (waktu 2 jam pelajaran) sangatlah kurang, maka dalam hal ini perlu seorang guru melakukan kiat-kiat tertentu agar kompetensi bahasa Jawa dapat tercapai sesuai dengan harapan. Keterampilan dan kreatifitas guru sangat diperlukan baik dalam perencanaan pembelajaran, pemilihan metode, maupun media/alat yang digunakan sehingga pembelajaran Bahasa Jawa berhasil baik serta bagi siswa dapat dirasakan sebagai pelajaran yang menyenangkan.
Masyarakat Desa X sebagian besar (mayoritas) dalam kesehariannya menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan dan bahasa ibu (interaksi dalam keluarga). Hal yang demikian mewarnai juga dalam lingkungan sekolah (SD). Sedangkan dalam pelajaran Bahasa Jawa materinya mengacu/berpedoman kepada Bahasa Jawa standar (Jogjakarta/Surakarta) dengan segala kulturnya.
Akhir-akhir ini sering nampak pada diri siswa kecenderungan yang beranggapan bahwa mata pelajaran Bahasa Jawa adalah pelajaran yang sulit. Contohnya tidak sedikit siswa yang mengeluh bahwa menulis Jawa merupakan hal yang sulit. Melihat hal yang demikian ada beberapa hal yang mungkin terjadi dalam diri siswa diantaranya : siswa mungkin tidak menyukai mata pelajaran Bahasa Jawa, atau mungkin justru guru yang kurang bisa memilih strategi pembelajaran Bahasa Jawa tersebut, atau diperlukan media atau peraga sehingga siswa termotivasi. Melihat realita yang demikian maka peneliti ingin mengetahui pelaksanaan pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan keadaan yang melatarbelakangi pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X tersebut di depan baik dari sisi guru, siswa, materi maupun strategi pembelajaran, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 
1. Sejauh mana ketepatan pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas dalam proses pembelajaran ?
2. Sejauh mana ketepatan strategi pembelajaran dan penilaian dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa ?
3. Sejauh mana ketepatan penggunaan metode dan alat peraga dalam pembelajaran Bahasa Jawa ?
4. Sejauh mana peran guru dalam pembelajaran Bahasa Jawa ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 
1. Ketepatan pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X
2. Ketepatan strategi pembelajaran dan penilaian dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X
3. Ketepatan penggunaan metode dan alat peraga dalam pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X 
4. Peran guru dalam pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X

D. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu : 
1. Praktis
a. Bagi siswa
Dapat meningkatkan prestasi pembelajaran bahasa Jawa.
b. Bagi guru
Dapat meningkatkan keterampilan dalam pengelolaan strategi pembelajaran dan perencanaan program-program pendidikan sehingga prestasi belajar siswa dapat tercapai.
c. Bagi kepala sekolah
Dapat meningkatkan kualitas dan keterampilan manajerial serta inovasi pendidikan. 
2. Teoritis
a. Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut
b. Memberikan informasi dalam mengembangkan teori-teori yang berkaitan dengan proses pembelajaran bahasa Jawa dan mutu pendidikan secara umum.

TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT

Posted: 03 Jul 2014 09:49 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0244) : TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan, sehingga pengembangan rumah sakit tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan kesehatan, saling keterkaitan ini terlihat jelas dari visi pembangunan kesehatan yakni Indonesia sehat 2010 yang terwujud dalam undang-undang bidang kesehatan no 23/1992.
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI. No. 983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit adalah tempat yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar spesialistik dan subspesialistik serta memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sebagai salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting rumah sakit merupakan salah satu industri jasa. Bentuk pelayanan ini bersifat sosio ekonomi yaitu suatu usaha yang walau bersifat sosial namun diusahakan agar bisa mendapat surplus keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsip ekonomi (Djododibroto, 1997).
Pelayanan kesehatan yang kini berkembang di rumah sakit bukan saja menyangkut masalah bangunannya (seperti ukuran kompleksitas, jumlah unit, jumlah kualifikasi staf medis dan non medis, si stem keuangan serta si stem informasi) tetapi menyangkut pula pada kwalitas pekerja kesehatan dalam memberikan pelayanan.
Dalam bidang pelayanan kesehatan, pemerintah telah merencanakan visi "Indonesia Sehat 2010". Dimana dalam visi tersebut pemerintah bertekad untuk dapat meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh (Bambang, 2002). Dalam mencapai visi tersebut, salah satu strategi yang harus di lakukan adalah meningkatkan profesionalisme termasuk profesionalisme masyarakat pekerja rumah sakit. Pekerja di rumah sakit termasuk kelompok masyarakat yang turut berperan dalam mencapai" Indonesia Sehat 2010. Oleh karena itu pekerja rumah sakit merupakan sumber daya manusia yang harus dibina agar menjadi produktif dan berkualitas (Depkes RI, 2003).
Rumah sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang bersifat dasar sampai yang spesialistik dan mempunyai karakteristik pelayanan yang berbeda dengan industri jasa lainnya.
Menurut Yanuar Hamid (2004) Rumah Sakit mempunyai karakteristik sebagai berikut : 
1. Diberikan selama 24 jam terus menerus selama 365 hari dalam setahun
2. Pelayanan bersifat individual
3. Setiap saat bisa terjadi kedaruratan medik
4. Setiap saat bisa menghadapi kejadian luar biasa
5. Padat teknologi, modal dan tenaga.
Di Rumah Sakit, sumber daya manusia terbanyak yang berinteraksi secara langsung dengan pasien adalah perawat, sehingga kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat dapat dinilai sebagai salah satu indikator baik buruk nya kwalitas pelayanan di Rumah Sakit.
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Rumah sakit membuat pemisahan terhadap pelayanan perawatan pasien yaitu pelayanan pasien yang memerlukan penanganan emergensi, tidak emergensi dan yang diopname. Penanganan pada pelayanan tersebut dilaksanakan oleh pekerja kesehatan rumah sakit. Pekerja kesehatan rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang berjumlah sekitar 60% dari tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Perawat merupakan salah satu pekerja kesehatan yang selalu ada di setiap rumah sakit dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah sakit. Perawat di rumah sakit bertugas pada pelayanan rawat inap, rawat jalan atau poliklinik dan pelayanan gawat darurat.(Hamid, 2001).
Peran perawat sangat penting karena sebagai ujung tombak dirawat inap dan merupakan tenaga yang paling lama kontak dengan pasien yaitu selama 24 jam. Hal ini akan menyebabkan stressor yang kuat pada perawat di lingkungan pekerjaan nya (Anna Keliat, 1999)
Gibson dalam Heater Marr (1987) mengatakan, salah satu unsur yang sangat menentukan dan saling mempengaruhi dalam mutu pelayanan keperawatan adalah unsur proses yang dilakukan perawat, tindakan yang tidak sesuai dengan standard keperawatan akan sulit untuk mencapai kualitas mutu pelayanan keperawatan.
Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan perawatan pasien atau asuhan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang bervariasi, tergantung pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik tersebut meliputi karakteristik tugas (yang membutuhkan kecepatan, kesiagaan serta kerja shift), karakteristik organisasi, serta karakteristik lingkungan kerja baik lingkungan fisik dan sosial. Selain itu perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan kegiatan yang bukan fungsinya.
Menurut Schroder dalam Heater Marr (1991), perawat yang terlibat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan harus dapat melaksanakan pengkajian yang mendalam di area praktek nya dan dapat melaksanakan riset, memperlihatkan rasa tanggungjawab dalam menentukan aspek keperawatan sesuai dengan keahliannya, dapat berkomunikasi dengan rekan sejawat serta dapat menerapkan disiplin ilmu.
Hal ini sejalan dengan penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (2005) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas kebersihan, 63,6% melakukan tugas administratif dan lebih dari 90% melakukan tugas non keperawatan (misalnya menetapkan diagnosa penyakit, membuat resep dan melakukan tindakan pengobatan) dan hanya 50% yang melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsinya.
Seorang perawat diharapkan bersikap penuh perhatian dan kasih sayang terhadap pasien maupun keluarga pasien dalam melaksanakan tugasnya, namun pada kenyataannya di masa sekarang ini masih banyak dijumpai keluhan masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang ditulis di berbagai media masa.
Menurut Kariyoso (1994) di masa sekarang ini masih saja ada stigma yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa perawat merupakan sosok yang tidak ramah dan tidak bersikap hangat terhadap pasiennya.
Tugas dan tanggung jawab perawat bukan hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah yang bisa menimbulkan stres kerja pada perawat. Stres yang dihadapi oleh perawat di dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat (Robbins, 1998).
Sebuah survei di Prancis menyebutkan persentase kejadian stres sekitar 74% di alami perawat, mereka mengeluh dan kesal terhadap lingkungan yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan, hal ini merupakan penyebab stres Perawat (Frasser, 1997).
Tingkah laku negatif pekerja yang mengalami stres berkorelasi dengan hasil kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, tendensi mengalami kecelakaan kerja, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan merupakan hambatan baik dalam management maupun oprasional kerja serta dapat menurunkan produktivitas kerja terutama mutu pelayanan (Scholler, 1980).
Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya.
Hasil penelitian Plaut dan Friedman (1981), Baker, (1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting disease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama karena produksi sel-sel kekebalan menurun.
Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi perusahaan tempat bekerja, dimana perusahaan akan mengalami kerugian finansial karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak pekerja yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena kelambanan atau kesalahan yang berulang (Rini, 2002).
Kondisi kerja mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman sekerja, hubungan atasan dengan bawahan dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri saat melakukan pekerjaan (Anoraga, 2006).
Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu, kebisingan juga mengambil andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).
Beban kerja sebagai sumber stres disebabkan karena kelebihan beban kerja baik beban kerja kualitatif maupun beban kerja kuantitatif (French dan Kaplan, 1973). Beban kerja perawat di rumah sakit meliputi beban kerja fisik dan mental. Beban kerja bersifat fisik meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien, membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur, mendorong brankas pasien. Sedangkan beban kerja yang bersifat mental dapat berupa bekerja dengan shift atau bergiliran, kompleksitas pekerjaan (mempersiapkan mental dan rohani pasien dan keluarga terutama yang akan memerlukan operasi atau dalam keadaan kritis), bekerja dengan keterampilan khusus dalam merawat pasien, tanggung jawab terhadap kesembuhan serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.
Beban kerja yang terbagi atau mendadak tidaknya suatu tugas, kesulitan tugas, ketercukupan waktu penyelesaian, teman kerja yang bisa membantu dan kelelahan menyelesaikan tugas.
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka di katakan individu itu mengalami stres kerja. Stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq, 2008).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956). Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
Rumah sakit Umum X adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah sekitar lokasi Rumah Sakit tersebut. Unit perawatan rawat inap yang ada di Rumah Sakit Umum X, terdiri dari Ruang Perawatan Bedah, Ruang Perawatan Anak, Ruang Perawatan Kebidanan dan Perawatan Dewasa. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum X Kabupaten X terdapat 58 perawat di ruang Rawat Inap yang tersebar di ruang rawat bedah 9 orang, di ruang perawatan kebidanan 10 orang, di ruang perawatan anak 10 orang, dan di ruang perawatan dewasa 29 orang. Perawat jaga dibagi dalam 3 shift kerja yaitu pagi dari jam 08.00 WIB-14.00 WIB, siang dari 14.00 WIB-21.00 WIB, malam dari jam 21.00 WIB-08.00 WIB.
Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada perawat ruang rawat inap di rumah sakit tersebut yang mengalami stres kerja. Hal ini terlihat dengan banyaknya keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah, dan nafsu makan menurun. Menurut Anoraga (2001), hal ini merupakan gejala-gejala stres kerja. Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya suatu penelitian yang berkaitan dengan hubungan beban kerja dan kondisi kerja dengan stres kerja perawat di ruang rawat inap rumah sakit umum X Kabupaten X.

B. Permasalahan
Bagaimana pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

C. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stress kerja pada perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan pada Rumah Sakit Umum X tentang pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja pada perawat di ruang rawat inap.
2. Menambah wawasan bagi peneliti lain guna pengembangan ilmu pengetahuan tentang stres dalam lingkungan pekerjaan.

TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

Posted: 03 Jul 2014 09:45 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0243) : TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini nyaris di temukan diseluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan.
Menurut Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2, 5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010).
Di Asia Tenggara termasuk Indonesia epidemik DBD merupakan problem abadi dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai pada anak-anak di bawah usia 15 tahun, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan proporsi penderita DBD pada golongan dewasa dan tidak dikemukakan perbedaan signifikan dalam kerentanan terhadap serangan DBD antar gender (Djunaedi, 2006).
Penyakit DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim penghujan atau beberapa minggu setelah hujan. Pada awalnya kasus DBD memperlihatkan siklus lima tahun sekali selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan perubahan iklim dan kelembaban, terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis penyakit virus dengue atau dari pedesaan ke perkotaan terutama pada daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu (Soegijanto, 2008).
Kota X merupakan salah satu wilayah endemis DBD yang mempunyai mobilitas penduduk cukup tinggi yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya KLB penyakit DBD. Berdasarkan data dari Bidang PMK Dinas Kesehatan Kota X pada tahun 2007 angka kesakitan DBD di Kota X adalah sebesar 132, 12 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan kenaikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tahun 2008 angka kesakitan DBD di kota X sebesar 101.72 per 100.000 penduduk, dimana dari angka tersebut terjadi penurunan bila dibandingkan tahun 2007. Pada tahun 2009, angka kesakitan DBD di kota X sebesar 61, 4 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi mengalami peningkatan yang sangat berarti bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 243, 7 per 100.000 penduduk, kasus tertinggi ditemukan di kecamatan X dengan 216 kasus, sedangkan pada tahun 2011 angka kesakitan DBD sebesar 60, 16 per 100.000 penduduk (142 kasus) mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya (Profil Kesehatan Kota X, 2011).
Berdasarkan hasil pencatatan Penyakit Menular Kesehatan (PMK) Dinkes Kota X (2011) seluruh kecamatan di Kota X berstatus endemis DBD. Kecamatan yang paling sering mengalami peningkatan kasus DBD adalah Kecamatan X, dimana rata-rata angka IR demam berdarah dengue lima tahun terakhir jauh diatas target IR nasional yaitu < 55/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD di Kecamatan X tahun 2007 sebesar 198, 4 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebesar 163, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2009 sebesar 50, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 400, 5 per 100.000 penduduk, dan tahun 2011 sebesar 100, 1 per 100.000 penduduk.
Diduga tingginya angka kejadian DBD ini disebabkan masih banyaknya tempat perindukan nyamuk yang berupa bak mandi, ember, gentong, TPA yang bukan untuk keperluan sehari-hari misalnya vas bunga, ban bekas, tempat sampah, tempat minum burung, dan Iain-lain, serta tempat penampungan air alamiah yaitu lubang pohon, pelepah daun keladi, lubang batu, dan Iain-lain (Depkes, 2005).
Meningkatnya jumlah kasus DBD serta bertambah luasnya wilayah yang terjangkit dari waktu ke waktu di Indonesia disebabkan multi faktorial antara lain semakin majunya sarana transportasi masyarakat; kian padatnya pemukiman penduduk; perilaku manusia seperti kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk; kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air yang tertampung di dalam wadah-wadah dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3M Plus; dan terdapatnya nyamuk Aedes Aegipty sebagai vektor utama penyakit DBD hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus Dengue yang bersirkulasi setiap sepanjang tahun (Ginanjar, 2008 & Kemenkes RI, 2004).
Demikian juga menurut Soegijanto (2006) banyak faktor yang memengaruhi kejadian penyakit DBD di Indonesia antara lain faktor hospes, lingkungan (environment), dan respon imun. Faktor hospes yaitu kerentanan (susceptibility), dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, kebiasaan, sosial ekonomi penduduk, jenis dan kepadatan nyamuk sebagai vektor penular penyakit. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue yang hingga saat ini diketahui ada 4 jenis seroptipe vims Dengue yaitu Dengue 1, 2, 3, 4.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka kejadian DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penelitian Rose (2008) tentang hubungan sosio demografi dan lingkungan fisik dengan kejadian DBD di Kota Pekan Baru, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan fisik seperti jarak rumah, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dengan kejadian DBD (OR= 1, 79. dan OR= 0, 34). Demikian juga halnya dengan penelitian Marsaulina (2005) menyatakan penampungan air terhadap kejadian DBD (dengan OR 5, 8 dan 4, 6). Penelitian Fathi, et.al, (2005) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan antara keberadaan kontainer dengan kejadian KLB penyakit DBD, dan penelitian Nugrahaningsih (2010) menunjukkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk penular DBD adalah keberadaan kontainer.
Faktor kebiasaan masyarakat seperti kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari, dan kebiasaan menggantung pakaian juga berpotensi menimbulkan tingginya kejadian DBD. Sebagaimana hasil penelitian Sitio (2008) tentang hubungan prilaku PSN dan kebiasaan keluarga dengan kejadian DBD tahun 2008 mengungkapkan bahwa ada hubungan signifikan antara kebiasaan keluarga memakai anti nyamuk di siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian siap pakai dengan kejadian DBD (p = 0, 026 ; OR = 4, 34 dan p = 0, 018; OR = 5, 50).
Departemen Kesehatan telah mengupayakan pelbagai strategi untuk mengatasi peningkatan kejadian DBD ini. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD menurut Depkes adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larva sida yang ditaburkan ke tempat penampungan air. Namun kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambah jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan virus vaksin untuk membunuh virus Dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah DBD ialah dengan PSN melalui gerakan 3M Plus yaitu menguras, menutup dan mengubur, ikanisasi di kolam/bak-bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, menggunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, yang dilaksanakan oleh masyarakat secara teratur setiap minggunya.
Berdasarkan kajian tersebut diduga kuat ada pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Kecamatan X merupakan wilayah berstatus endemis DBD dimana angka kejadian DBD terus menerus meningkat dan berfluktuasi setiap tahunnya dan sampai saat ini belum diketahui faktor risiko yang memengaruhi kejadian DBD serta keeratan hubungannya. 

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut : 
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kota X melalui Dinas Kesehatan Kota X dalam merencanakan strategi yang tepat dalam pengendalian dan pencegahan penyakit DBD di Kota X.
2. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue.
3. Menambah referensi ilmiah tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD.

TESIS PENGARUH KARAKTERISTIK KADER DAN STRATEGI REVITALISASI POSYANDU TERHADAP KEAKTIFAN KADER

Posted: 03 Jul 2014 09:41 PM PDT

(KODE : PASCSARJ-0242) : TESIS PENGARUH KARAKTERISTIK KADER DAN STRATEGI REVITALISASI POSYANDU TERHADAP KEAKTIFAN KADER (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan gizi pada anak dibawah usia lima tahun (balita) pada umumnya secara kuantitas kasusnya tidak pernah berkurang, demikian pula halnya terjadi di Indonesia selama ini, cenderung meningkat akibat krisis ekonomi tahun 1997. Akibat kurang gizi dikhawatirkan dapat mengancam kualitas sumberdaya manusia generasi penerus, sesungguhnya kita memiliki sarana untuk mengatasinya. Apabila posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit pemantau tumbuh kembang anak, melaksanakan imunisasi, memberi makanan tambahan (PMT) dan penyuluhan kesehatan kepada ibu dan anak (Depdagri, 2001).
Pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak-anak sejak usia dini, merupakan strategi dalam upaya pemenuhan pelayanan dasar yang meliputi peningkatan derajat kesehatan dan gizi yang baik, lingkungan yang sehat, aman, pengembangan daya pikir dan daya cipta serta perlindungan terhadap anak. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar masyarakat dengan fokus pada ibu dan anak dapat dilakukan di posyandu. Karena posyandu merupakan wadah peran serta masyarakat untuk menyampaikan dan memperoleh pelayanan kesehatan dasarnya, maka diharapkan pula strategi operasional secara dini dapat dilakukan di setiap posyandu (Depkes RI, 2001).
Posyandu merupakan sarana kesehatan berbasis masyarakat yang paling memasyarakat dewasa ini. Posyandu yang meliputi 5 program prioritas (KB, KIA, Gizi, Imunisasi dan penanggulangan diare) terbukti mempunyai manfaat besar terhadap penurunan angka kematian bayi. Sejak dicanangkan pada tahun 1984 oleh presiden Soeharto, pertumbuhan jumlah posyandu bertambah besar dan ternyata juga dibarengi dengan peranannya yang menonjol, khususnya dalam meningkatkan cakupan program. Dapat kita lihat bahwa posyandu membawa kontribusi yang besar pada peningkatan cakupan program, khususnya pada sasaran populasi bayi bawah lima tahun (Balita) dan ibu (Depdagri, 2001).
Selama ini banyak ditemukan kasus gizi buruk yang disebabkan kurang berfungsinya posyandu, rendahnya kemampuan kader, banyak kader yang tidak aktif dari pada yang aktif, kurang pembinaan dan perhatian dari unsur Pemerintah desa dan dinas/instansi/lembaga terkait, yang mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan posyandu. Akibat lebih lanjut adalah banyak hal yang sesungguhnya dapat bermanfaat bagi ibu-ibu untuk memahami cara merawat anak secara baik sejak dalam kandungan, dapat meningkatkan keselamatan ibu saat melahirkan. Oleh karena itu perlu diupayakan langkah dalam memberdayakan kader agar lebih profesional dalam melayani masyarakat di posyandu (Depdagri, 2001).
Upaya yang perlu dilakukan agar posyandu aktif khusus di daerah penelitian ini adalah : pada masyarakat nelayan pembina harus mempunyai pengalaman lebih dari 24 bulan dan jumlah posyandu yang dibina tidak lebih dari 15 posyandu. Kader posyandu sebaiknya tidak mempunyai pekerjaan tetap dan kader mempunyai pengalaman menjadi kader sekurangnya 60 bulan. Tidak boleh pergantian kader sedikitnya dalam setahun dan jumlah kader sedikitnya 5 orang. Layanan yang diharapkan oleh pengguna posyandu agar mendapatkan PMT untuk balita dan kesediaan pengguna memberi imbalan untuk kader. Pada masyarakat tani Pembina posyandu harus mempunyai pendidikan SLTA ke atas. Layanan yang diharapkan berupa penyuluhan gizi dan kesehatan serta layanan KB, kesediaan pengguna posyandu memberi imbalan berupa uang untuk kader diterapkan (Depkes RI, 2000).
Menurut keterangan dari beberapa tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat yang di wawancarai saat survey pendahuluan di posyandu-posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas X mengatakan bahwa, di kecamatan X terdapat 27 buah desa dan 29 buah posyandu, jumlah kader seluruhnya 145 orang, yang aktif 77 (53, 10%) kader. Tahun berikutnya jumlah kader seluruhnya 145 orang, aktif 87 (60%) kader, tahun 2007 jumlah kader 145 orang, aktif 87 (60%) kader, pencapaian target yang diharapkan masing-masing setiap tahunnya 95%. hasil pengamatan penulis banyak posyandu tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, banyak kader yang tidak aktif dari pada kader yang aktif pada kegiatan posyandu, fasilitas kerja tidak memadai, tugas dan fungsi kader tidak sesuai sebagaimana yang diharapkan, disamping strategi pelaksanaan kegiatan Posyandu tidak jelas jadwal, struktur, fungsi dan tugas masing-masing kader yang tidak tertata secara rapi sebagaimana yang diharapkan (Dinkes, 2007).
Tempat pelaksanaan kegiatan posyandu tidak tepat/layak, begitu juga dengan gaya pimpinan posyandu terhadap pelaksanaan strategi tidak berperan secara aktif. Seharusnya jumlah kader yang aktif setiap bulan untuk kegiatan posyandu sebanyak 5 orang, mempunyai 5 meja kegiatan, adanya makanan tambahan (PMT), ada tempat khusus yang sesuai dan layak untuk pelaksanaan kegiatan posyandu, ada jadwal, struktur yang tertata dengan jelas, ada laporan bulanan, dan ada salah seorang ditunjuk sebagai pemimpin kader. Umur kader yang banyak dijumpai berkisar 30-40 tahun, pendidikan rata-rata SLTP sederajat yang diharapkan SLTA ke atas. Kader sudah menikah, mempunyai anak balita, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, kader kurang termotivasi dalam melaksanakan kegiatan posyandu alasannya karena tidak pernah mendapatkan insentif dari pemerintah daerah maupun pihak lainnya.
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka Pelaksanaan revitalisasi posyandu untuk menunjang keaktifan kader di Kabupaten X perlu dilakukan penelitian, agar ke depan dapat terselenggaranya posyandu dengan baik juga tercipta alur pelaporan yang jelas, dengan sinkronisasi kerja yang baik antara kader dengan petugas kesehatan secara berkesinambungan, maka laporan hasil kegiatan posyandu maupun di lapangan dapat mengalir dari tingkat desa secara berjenjang sampai pada Dinas Kesehatan Kabupaten dan untuk seterusnya melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkes, 2007).

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana pengaruh karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi terhadap perilaku kader dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Bagaimana pengaruh strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis pengaruh karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Untuk menganalisis pengaruh strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

D. Hipotesis Penelitian
1. Karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur mempunyai pengaruh terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan pelayanan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintahan daerah khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam merumuskan kebijakan-kebijakan guna mendukung strategi peningkatan keaktifan kader sebagai tumpuan upaya optimalisasi revitalisasi posyandu.
2. Bagi program studi administrasi dan kebijakan kesehatan Universitas merupakan tambahan kekayaan penelitian kasus untuk dapat dipergunakan dan dikembangkan khususnya yang menyangkut dengan pemberdayaan tenaga kesehatan dan keaktifan kader posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
3. Menambah dan memperluas wawasan serta pengalaman bagi peneliti dalam mengaplikasikan keilmuan di bidang administrasi kebijakan kesehatan yang berhubungan dengan Keaktifan kader posyandu.
4. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan perbandingan dan acuan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan kebijakan pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar di posyandu.

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template