download makalah, skripsi, tesis dll. |
- TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X
- TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI
- TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X
- TESIS KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X
- TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
- TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF
- TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH
- TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
- TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X
- TESIS ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL
TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X Posted: 13 Nov 2012 08:54 PM PST (KODE : PASCSARJ-0166) : TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia Indonesia merupakan kebutuhan mutlak, terutama menghadapi perubahan dan perkembangan yang demikian pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan tersebut akan lebih terasa lagi dalam memasuki era pasar bebas. Pada era pasar bebas semua aspek kehidupan mempersyaratkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia relatif jauh tertinggal dibanding dengan Malaysia, Philipina, Tailand dan Singapura. Dalam suatu penelitian oleh suatu badan internasional yang dipublikasikan oleh UNDP (United Nation Development Programme) tahun 2000 menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 109 dari 174 negara. Dalam hal indeks pembangunan SDM (Human Development Index) seperti yang dilaporkan oleh UNDP dalam Human Development Report 2003 menempatkan Indonesia diurutan ke 112 dari 174 negara. Laporan yang sama pada tahun 2005 melorot ke urutan 117 dari 177 negara. Di sisi lain dari laporan WEF (World Economy Forum) tahun 2000 Indonesia hanya berada diurutan 44 dari 59 negara dalam daya saing ekonomi (Rosyada, 2004 : 3). Demikian pula peringkat daya saing sumber daya manusia Indonesia menempati nomor paling buncit di arena internasional. Masyarakat dunia, terutama Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah semakin melebarnya kesenjangan antara kelompok negara maju yang memiliki penguasaan IPTEK dan kelompok negara yang masih tertinggal dalam penguasaan IPTEK. Bagi Indonesia, salah satu upaya untuk mengantisipasinya adalah melalui pembangunan di bidang pendidikan, yakni melalui peningkatan kualitas pendidikan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Upaya peningkatan kualitas pendidikan bukan merupakan masalah yang sederhana, tetapi memerlukan penanganan yang multidimensi dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait. Dalam konteks ini, kualitas pendidikan bukan hanya terpusat pada pencapaian target kurikulum semata, akan tetapi menyangkut semua aspek yang secara langsung maupun tidak langsung turut menunjang terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas. Salah satu upaya yang dilakukan oleh sekolah khususnya dalam pembelajaran IPA yang menjadi pusat perhatian penelitian adalah dengan menggunakan media pembelajaran multimedia, dengan penggunaan media pembelajaran dengan multimedia, diharapkan peserta didik dapat termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Penggunaan media pembelajaran multimedia di sekolah hingga saat ini telah banyak digunakan, namun tentunya hal tersebut tidak berarti semua sekolah telah menggunakan media tersebut untuk pelajaran IPA. Berbagai permasalahan dalam penggunaan media antara lain : guru belum siap sebagai pengguna, sebagian sekolah belum memiliki sarana untuk penggunaan media tersebut, dan kemampuan guru dalam membuat aplikasi yang menarik masih perlu ditingkatkan. Dengan hadirnya perangkat komputer sebagai sarana pembelajaran multimedia, tentunya hal tersebut dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengikuti pembelajaran, namun pada kenyataan sebagian siswa justru tidak termotivasi untuk mengikuti isi pelajaran, lebih tertarik dengan proses pembuatan animasi, dan penggunaan animasi dari media yang digunakan oleh guru.SMAN X, merupakan Sekolah Ketegori Mandiri (SKM) yang saat ini dipersiapkan untuk Rintisan Sekolah Berstandart Internasional (RSBI) telah dilengkapi dengan media pembelajaran multimedia, sehingga setiap guru diharapkan dapat menggunakan media pebelajaran multimedia untuk membantu proses pembelajaran. Dikarenakan adanya perbedaan pembekalan yang dimiliki oleh guru, khususnya guru yang senior dan yunior, maka tidak semua guru menyambut baik multimedia tersebut, bahka beberapa guru hal tersebut merepotkan bagi guru. Kenyataan tersebut di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang penggunaan multimedia di SMAN X dalam usaha meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya dalam pembelajaran IPA. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penggunaan multimedia oleh guru IPA yunior dan Senior di SMAN X ? 2. Bagaimana perencanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X ? 3. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran IP A dengan menggunakan multimedia di SMAN X ? 4. Faktor apa yang menjadi hambatan dan cara mengatasi dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penggunaan multimedia oleh guru IPA yunior dan Senior di SMAN X. 2. Untuk mengetahui perencanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X. 3. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X. 4. Untuk mengetahui Faktor yang menjadi hambatan dan mengatasi dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak atau instansi yang terkait pada dunia pendidikan dalam pengambilan kebijakan dalam rangka peningkatan mutu atau kualitas pendidikan melalui penggunaan media pembelajaran multimedia. 2. Secara Praktis Bagi sekolah penyelenggara dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk peningkatan prestasi belajar IPA melalui penggunaan media pembelajaran multimedia. |
TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI Posted: 13 Nov 2012 08:51 PM PST (KODE : PASCSARJ-0165) : TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI (STUDI DI PONDOK PESANTREN X) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, telah membuat perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia. Beberapa kemudahan telah dapat dirasakan oleh manusia, baik itu dalam bidang transportasi, komunikasi serta kemudahan mengakses berbagai informasi dari segala penjuru dunia dengan berbagai fasilitas teknologi yang canggih. Fenomena tersebut merupakan beberapa ciri dari era globalisasi yang telah menghilangkan sekat pemisah bagi umat manusia di segala penjuru dunia. Globalisasi merupakan sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa era globalisai merupakan suatu masa dimana terjadi pengglobalan dalam segala aspek kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga interaksi antar belahan dunia menjadi semakin mudah.Kondisi ini telah mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Perubahan masyarakat Indonesia terjadi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat informatif yang bertumpu pada teknologi informatika. Masyarakat muslim di Indonesia, mau tidak mau juga merasakan dampak dari globalisasi ini, walaupun sebenarnya fenomena ini menurut Azyumardi Azra bukanlah fenomena baru sama sekali. Jika pada akhir abad 19 dan awal abad 20 globalisasi yang bersifat religio-intelektual telah dirasakan oleh bangsa Indonesia yaitu bersumber dari Timur Tengah, maka proses globalisasi dewasa ini, bersumber dari Barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Dengan melihat sumber globalisasi saat ini, maka bisa dipastikan bahwa dalam proses globalisasi ini ada nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dalam era ini, kehebatan suatu negara-bangsa tidak lagi didasarkan atas sumber daya alam yang melimpah dan alat-alat produksi masal, tetapi sandaran terpenting yang akan menentukan keberlangsungan hidup dan kemajuan negara-bangsa adalah mutu sumber daya manusia yang dimiliki. Dari sini dapat dilihat betapa pentingnya pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Allah SWT. Berfirman : bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (al-Anbiya' : 105) Kata ash-Shalihuun juga bisa diartikan sebagai SDM yang berkualitas. Ayat di atas menunjukkan bahwasnya Allah mewariskan dunia ini kepada hamba-hambanya yang saleh (SDM yang berkualitas), karena pada realitasnya yang memakmurkan bumi ini adalah manusia-manusia yang mempunyai kualitas yang baik. Sebagaimana di ungkapkan di atas, bahwasanya kehebatan suatu bangsa adalah ditentukan oleh kualitas SDM yang dimilikinya. Dan perlu juga di garis bawahi kualitas SDM yang dimiliki harus mampu menyeimbangkan kemampuan IPTEK dan IMTAQ-nya, sehingga benar-benar siap dalam menghadapi berbagai tantangan termasuk tantangan dari era globalisasi ini. Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia sebenarnya mempunyai peluang dalam menciptakan SDM yang berkualitas dengan catatan pondok pesantren mampu beradaptasi dengan globalisasi yang sedang terjadi dengan tanpa meninggalkan watak kepesantrenannya. Menurut Edy Supriyono, minimal ada tiga alasan mengapa pesantren peluangnya lebih besar dibandingkan lembaga pendidikan yang lain.Pertama, pesantren yang ditempati generasi bangsa (mulai anak-anak hinggga pemuda), dengan pendidikan yang tidak terbatas oleh waktu sebagaimana pendidikan umum. Kedua, pendidikan pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir dan batin, Ketiga, paparan Nur Cholish Madjid yang memberikan contoh masyarakat yang terkena "dislokasi", yaitu kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar, seharusnya menyadarkan pesantren. Adapula pendapat yang mengatakan bahwa pondok pesantren yang ada saat ini kurang dapat memainkan peran dengan apik, baik peran sosial di tengah masyarakat, maupun perannya dalam bidang pendidikan, dengan artian alumni yang dihasilkan oleh pondok pesantren kurang mampu bersaing dengan lembaga penidikan non pesantren dalam era globalisasi. Pendapat tersebut tampak dalam pernyataan yang dikutip dari situs sidogiri.com yang mengatakan bahwa banyak yang menaruh rasa kecewa atas eksistensi pendidikan pesantren. Mencuatnya opini keterkungkungan kultural maupun pemikiran untuk kalangan pesantren merupakan penilaian publik yang sebetulnya tidak terlalu jauh dengan kondisi nyatanya. Hal ini diperkuat oleh Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa : Reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas sosial. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara dunia pesantren dengan dunia modern. Sehinggga kadang-kadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Nurcholish Madjid yang menyatakan : Kalau kita tinjau secara agak mendalam anatara dunia pesantren dengan pangggung dunia global abad ke XX, sebenarnya terjadi kesenjanagan atau "gap". Di satu sisi dunia global sekarang ini masih di dominasi oleh pola budaya Barat dan sedang di atur mengikuti pola-pola itu. Sedang di sisi lain pesantren-pesantren kita, disebabkan faktor-faktor historisnya, belum sepenuhnya menguasai pola budaya itu (yang sering dikatakan sebagai budaya "modern"), sehingga kurang memiliki kemampuan dalam mengimbangi dan menguasai kehidupan dunia global. Bahkan untuk memberikan responsi saja sudah mengalami kesulitan. Namun sejak dasawarsa terakhir sebagian pondok pesantren mulai mengambil langkah-langkah tertentu guna meningkatkan kualitas SDM yang mampu menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat yang terus berubah seiring perkembangan zaman. Dalam hal ini Imam Suprayogo mendeskripsikan sebagai berikut : 1. Masa lampau, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah sebagai wahana membina ruh/praktek keagamaan/keislaman, sehingga kegiatan pendidikan yang ada di pesantren lebih banyak di dominasi dengan kegiatan-kegiatan mengaji al-Qur'an, al-Hadits, kitab-kitab kuning, dan praktek-praktek keagamaan. 2. Masa kini, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah memperkokoh keberadaannya sebagai lembaga pendidikan jalur pesantren (kurikulum pesantren) dan pendidikan jalur sekolah (mengikuti kurikulum pemerintah Depag dan Depdikbud). Pada jalur pendidikan pesantren dituntut untuk menghasilkan lulusan yang mampu memahami dan mengkaji kitab-kitab keagamaan terutama yang berbahasa Arab dan memiliki kedalaman spiritual dan keagungan akhlak. 3. Masa yang akan datang, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah mampu menjawab tantangan masa depan. Sehingga masyarakat berharap agar pendidikan pesantren membuat kurikulum muatan lokal atau kegiatan ekstra kurikuler yang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman. Jika melihat realitas yang ada, tampaknya masyarakat saat ini telah sampai pada masa yang oleh Suprayogo disebut masa yang akan datang, sehingga pondok pesantren pada saat ini dituntut untuk mampu mengadakan berbagai inovasi pendidikan. Menurut Sulthon dan Khusnuridlo, inovasi pendidikan tersebut diperlukan agar pelayanan yang diberikan pesantren tetap up-to-date. Allah berfirman dalam surat ar-Ra'du : "Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa perubahan ke arah perbaikan (inovasi) merupakan salah satu perintah Allah, dimana manusia memiliki potensi yang dinamis dalam memperbaiki keadaannya sebaik mungkin. Tentunya jika pesantren melakukan inovasi pendidikan maka pada hakikatnya pesantren telah konsisten dengan ajaran Islam. Inovasi pendidikan dapat menyangkut berbagai bidang baik itu hardware maupun software pondok pesantren. Kurikulum sebagai salah satu bagian dari software merupakan salah satu aspek yang cukup urgen untuk di perbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman. Kurikulum merupakan salah satu instrumen pendidikan yang penting keberadaannya, karena dengan kurikulum segala bentuk aktivitas pendidikan akan terarah dalam rangka pencapain tujuan pendidikan. Dalam UU SISDIKNAS di jelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam Islam, kurikulum dipandang sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul tanggung jawab terhadap diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Adapun karakteristik kurikulum Islami, menurut Abdurrahman An-Nahlawi adalah : 1) Kurikulum islami harus memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memeliharanya dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagaimana di isyratkanhadits qudsi berikut ini : "Hamba-hambaku diciptakan dngan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu setan menyesatkannya." "Setiap anak dilahirkan secara fitrah. Maka orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi." 2) Kurikulum islami harus dapt mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang fundamental : memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. 3) Tingkatan setiap kurikulum islami harus sesuai dengan tingkatan pendidikan, baik dalam hal karakteristik, usia, tingkat pemahaman, jenis kelamin, serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dicanangkan dalam kurikulum. 4) Aplikasi, kegiatan, contoh, atau teks kurikulum islami harus memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut kehidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal, seperti merasa bangga menjadi umat Islam dan lain-lain. 5) Sistem kurikulum islami harus terbebas dari kontradiksi, mengacu kepada kesatuan Islam, dan selaras dengan integritas psikologis yang telah Allah ciptakan untuk manusia serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberikan kepada anak didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem, maupun realitas alam semesta. 6) Kurikulum islami harus realistis sehingga dapat diterpkan selaras dengan kesanggupan negara yang hendak menerapkannya sesuai dengan kondisi dan tuntutan negara itu sendiri. 7) Kurikulum islami harus memilih metode yang elastis sehingga dapat diadaptasikan ke dalam berbagai kondisi, lingkungan, dan keadaan tempat ketika kurikulum itu diterapkan. 8) Kurikulum islami harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik, dan tidak meninggalkan dampak emosional yang meledak-ledak dalam diri generasi muda. 9) Setiap kurikulum islami harus sesuai dengan berbagai tigkatan usia anak didik. 10) Kurikulum islami harus herus memperhatikan pendidikan tentang segi-segi perilaku islami yang bersifat aktivitas langsung, seperti berjihad, dakwah Islam serta pembangunan masyarakat muslim dalam lingkungan persekolahan sehingga kegiatan itu dapat mewujudkan rukun Islam dan syiarnya, metode pendidikan dan pengajarannya, srta etika dalam kehidupan siswa secara individual dan sosial. Dari paparan di atas dapat dilihat betapa pentingnya fungsi kurikulum dalam pendidikan, sehinggga dari sinilah peneliti tertarik untuk meneliti penerapan kurikulum pondok pesantren dalam era globalisasi. Adapun alasan pemilihan lokasi di Pondok Pesantren X karena setelah melakukan survey pendahuluan, pondok pesantren yang telah berdiri pada tahun 1948 ini, sejak masa-masa awal berdirinya tampak telah mampu menjawab tuntutan masyarakat pada zaman tersebut. Fakta ini diperoleh dari dokumen yang menyatakan bahwa selain melaksanakan kurikulum salafiyah seperti model bandongan, sorogan dan takhassus, pesantren ini juga melaksanakan kurikulum khalafiyah yaitu dengan berdirinya lembaga formal yaitu MIA (Madrasah Ibtidaiyah Agama) yang menggunakan sistem klasikal. B. Kajian Terdahulu Untuk mengetahui posisi dari penelitian ini maka perlu dipaparkan beberapa kajian terdahulu, baik itu berupa penelitian lapangan maupun kajian literatur. Ada beberapa kajian yang telah membahas tentang pondok pesantren X ini antara lain : 1. Umi Mahmuda, Kepemimpinan Kyai Zaini dalam Pengembangan Pondok Pesantren X, (Skripsi; 1994). 2. Nur Ali, Strategi Pembelajaran Kitab-kitab Islam Klasik di Pesantren (Studi Kasus Pondok Pesantren X) (Tesis; 1996). 3. Eni Halimiyah, Peranan K.H. Zaini Mun'im dalam Pembinaan Masyarakat X. (Skripsi; 1997) 4. M. Irfan, Pengelolaan Pendidikan Keterampilan di Pondok Pesantren X. (Tesis; 1997) Adapun penelitian yang berkaitan dengan tema, penulis menemukan antara lain : 1. Mujamil Qomar, Politik Pendidikan Pesantren Melacak Transformasi Institusi, dan Metode (Tesis; 1996) kemudian dicetak menjadi buku dengan judul Pesantren : Dari Transformasi metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa kurikulum pesantren itu jika diamati dengan melihat kondisi pada dua kutub secara ekstrim (masa permulaan dan keadaan sekarang) memang menunjukkan perubahan yang sangat fundamental, tetapi ketika perubahan itu dilihat secara setahap demi setahap, ternyata hanya terjadi perubahan yang amat lamban. Perubahan yang terjadi lebih imitatif daripada upaya pembuatan model sendiri. 2. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsusr dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Desertasi; 1983) kemudian oleh INIS diterbitkan pada tahun 1994. Penelitian yang mengambil 6 pesantren sebagai situsnya mengemukakan bahwa jenis pendidikan di pesantren ada yang bersifat formal dan non formal. Untuk yang bersifat non formal, hanya mempelajari agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Kurikulum pada jenis pendidikan ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Sedangkan untuk pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) berlaku kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah (Depag dan Depdikbud). Dari beberapa penelitian di atas, dapat dilihat bahwa penelitian yang mengkaji kurikulum pondok pesantren secara khusus masih belum peneliti temukan, terutama jika dikaitkan dengan era globalisasi. C. Rumusan Masalah Dari latar belakang dan kajian terdahulu di atas, maka akan diuraikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana struktur kurikulum pondok pesantren X ? 2. Apa landasan pengembangan kurikulum di pondok pesantren X ? 3. Apakah kurikulum yang diterapkan di pondok pesantren X relevan dengan era globalisasi ? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui struktur kurikulum di pondok pesantren X. 2. Mengetahui landasan pengembangan kurikulum di pondok pesantren X 3. Mengetahui relevansi kurikulum di pondok pesantren X dengan era globalisasi. E. Manfaat Penelitian Diharapkan dari penelitian ini, dapat memberikan manfaat kepada dua hal : 1. Teoritis a. Diperoleh pemikiran tentang model kurikulum yang baik bagi pendidikan di Indonesia umumnya dan pendidikan di pondok pesantren pada khususnya dalam menghadapi era globalisasi. b. Sebagai bahan kajian dan rujukan bagi penelitian di bidang yang serupa. 2. Praktis a. Sebagai bahan perbandingan bagi Pondok Pesantren X dalam mengembangkan kurikulum yang lebih baik. b. Sebagai salah satu model percontohan bagi lembaga pendidikan lain khususnya pondok pesantren. F. Definisi Operasional Kurikulum : rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, metode dan evaluasi yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pondok Pesantren : lembaga pendidikan Islam yang mempunyai ciri-ciri antara lain : masjid/mushala, pondok, kyai, santri, dan literatur yang khas. Era globalisasi : suatu masa dimana terjadi pengglobalan seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, iptek, sosial dan budaya. |
TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X Posted: 13 Nov 2012 08:47 PM PST (KODE : PASCSARJ-0164) : TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis hingga proses yang terjadi didalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini sekolah sebagai suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam tataran mikro menempati posisi penting, karena di lembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan mempersiapkan mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan agar lebih mampu berperan dalam kehidupan masyarakat. Kedudukan sekolah sangat penting dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat memiliki peran penting dan menentukan dalam perkembangan masyarakat. Kepala sekolah sebagai top manajer di sekolah diharapkan dapat memainkan perannya dalam mempengaruhi bawahannya, khususnya para guru dalam meningkatkan kinerja atau prestasi kerjannya. Untuk melaksanakan pekerjaan seperti ini tidaklah mudah karena pekerjaan itu menuntut adanya sejumlah kompetensi yang harus dimiliki. Kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan/pengetahuan, keterampilan mengendalikan emosi untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain. Berdasarkan hasil studi pendekatan sifat (the trait approach), ada tiga macam sifat pribadi yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin agar dapat berhasil dalam memimpinnya, yakni : 1) ciri-ciri fisik (physical characteristics), seperti tinggi badan dan penampilan; 2) kepribadian (personality), seperti menjunjung tinggi harga diri (self esteem); berpengaruh (dominant), dan stabilitas emosi; dan 3) kemampuan atau kecakapan (ability), seperti kecerdasan umum (general intelegence), keaslian (originality), dan wawancara sosial (social insght). Jika dilihat dari sudut kewenangannya dalam organisasi sekolah, maka kepala sekolah mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam proses penciptaan iklim sekolah yang baik dan kondusif bagi proses kegiatan pendidikan di sekolah, oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya, Kepala Sekolah harus mampu menguasai tugas-tugasnya serta melaksanakannya dengan baik. Kepala Sekolah bertanggungjawab terhadap seluruh aktivitas Sekolah, mengelola sumber-sumber daya yang ada baik sumber daya manusia, maupun sumber daya lainnya agar semua itu dapat menunjang terciptanya efektivitas kerja dalam proses pencapaian tujuan pendidikan di Sekolah, selain itu Kepala Sekolah juga adalah pemimpin pendidikan yang tugas utamanya adalah membantu guru mengembangkan daya kesanggupannya untuk menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan dan untuk mendorong guru, murid dan orang tua murid supaya mempersatukan kehendak, pikiran dan tindakan dalam kegiatan-kegiatan bersama secara efektif bagi tercapainya maksud-maksud sekolah. Kinerja kepala sekolah merupakan faktor yang signifikan dalam proses pencapaian tujuan-tujuan pendidikan sekolah, sehingga apabila kinerja kepala sekolah baik maka kemajuan sekolah akan tercapai, demikian juga sebaliknya. Sebagai pemimpin pendidikan, Kepala Sekolah dituntut untuk berupaya keras mengelola seluruh kegiatan di sekolah seefektif dan seefisien mungkin agar proses pendidikan di sekolah sesuai dengan yang diharapkan.Kepala sekolah perlu meningkatkan kemampuannya dalam pengetahuan dan wawasan serta sikap antisipatif terhadap perubahan sosial masyarakat, hal ini tentu saja dimaksudkan agar pelaksanaan tugas sebagai kepala sekolah dapat berjalan dengan baik sehingga pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan secara efektif dan efisien, namun demikian kondisi tersebut nampaknya masih memerlukan proses. Masih rendahnya kemampuan kepala sekolah dianggap gagal di mana "sebab" utama dari kegagalan kepala sekolah ini terletak pada organisasi intern sekolah lanjutan itu sendiri. Keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi di SMP X Kabupaten X. Kinerja Kepala Sekolah bukan sesuatu yang berdiri sendiri, dia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor eksternal berkaitan dengan supra sistem sekolah yakni otoritas yang secara hirarkhis berada di atasnya seperti Dinas Pendidikan Kecamatan, Dinas Pendidikan Kabupaten serta Pemerintah Daerah Setempat. Supra sistem ini jelas akan berpengaruh pada kinerja Kepala Sekolah sebab Dinas Pendidikan punya peran koordinasi, pengawasan dan Pembinaan terhadap sekolah-sekolah, termasuk kinerja kepala sekolah, sedangkan faktor internal berkaitan dengan kemampuan atau ketrampilan kepala sekolah, serta kualitas individu kepala sekolah itu sendiri seperti sikap, minat, persepsi, kebutuhan, kompensasi serta kepribadian yang semua ini akan berpengaruh terhadap kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan peran dan fungsinya dalam proses pendidikan di sekolah. Seorang kepala sekolah perlu memiliki kemampuan atau ketrampilan dalam hal konsep, teknis dan kemanusiaan (Conceptual Skill, technical Skill, Human Skill). Keterampilan itu disebut keterampilan manajer, dan kemampuan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan dimensi intelektual dan dimensi emosional, sehingga kedua dimensi kemampuan ini dari sudut internal akan mempengaruhi terhadap kinerja Kepala Sekolah, disamping faktor-faktor internal lainnya seperti bakat, pengalaman dan latar belakang pendidikan. Kinerja kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) X masih perlu dioptimalkan, banyak faktor yang menyebabkanya diantaranya adalah motivasi kerjanya masih rendah, lingkungan, sistem pembagian insentif, kepemimpinan kepala sekolah, sarana-prasarana, hubungan interpersonal, komunikasi antar pribadi guru dengan guru, guru dengan kepala sekolah, guru dengan murid perlu ditingkatkan. Berbagai faktor tersebut yang penulis anggap penting dan merupakan solusi dalam peningkatan kinerja kepala sekolah melalui pola pengambilan keputusan kepala sekolah di SMP X Kabupaten X. B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian Banyak faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kepala sekolah, antara lain pendidikan, fasilitas mengajar, pelatihan, penataran, pengalaman kerja, motivasi kerja, tingkat kesejahteraan, lingkungan kerja, kepuasan kerja, dan kepemimpinan sekolah. Oleh karena berbagai keterbatasan yang ada pada peneliti, dalam penelitian ini memfokuskan permasalahan 1. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang input dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ? 2. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang proses dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ? 3. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang output dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini ingin mendeskripsikan pola pengambilan keputusan kepala sekolah di SMP X Kabupaten X. 2. Tujuan Khusus a. Pola pengambilan keputusan tentang input dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X b. Pola pengambilan keputusan tentang proses dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X c. Pola pengambilan keputusan tentang output dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X D. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis penelitian ini adalah dapat menambah referensi dan pengembangan penelitian berikutnya yang sejenis. Sedangkan manfaat praktisnya, bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan pola pengambilan keputusan kepala sekolah yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan dalam sekolah yang dipimpinnya. Bagi para guru, hasil penelitian ini sebagai masukan dalam rangka memotivasi diri dan pengembangan diri untuk meningkatkan kinerja sehingga mutu pendidikan yang diharapkan dapat terwujud, dan bagi para pembaca, dapat menambah pengetahuan sehingga dapat memberikan sumbang saran kepala sekolah dalam rangka ikut mendukung usaha peningkatan mutu pendidikan. |
Posted: 13 Nov 2012 08:45 PM PST (KODE : PASCSARJ-0163) : TESIS KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pendidikan berperan untuk meningkatkan kualitas manusia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, mandiri, maju, kreatif, trampil, bertanggung jawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu menghadapi segala pembahan era globalisasi yang menuntut kesiapan sumber daya manusia bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga harus mampu sebagai pelaku. Konsekuensi dari masuknya budaya asing, pelaku bisnis, politik, ekonomi, dan sebagainya, bahkan nilai-nilai budaya asing, seperti perilaku free sex, pergaulan bebas tanpa batas dan bertolak belakang dengan budaya bangsa Indonesia, yang mampu menggeser budaya bangsa Indonesia. Untuk itu, yang mampu menghadapi masalah dan perubahan zaman adalah pemahaman budaya masyarakat perlu ditanamkan pada siswa sehingga mampu memilah dan memilih yang terbaik untuk menentukan sikap perilaku yang terbaik bagi diri sendiri dan bangsa Indonesia. Kegiatan interaksi belajar mengajar harus selalu ditingkatkan efektifitas dan efisiensinya. Dengan banyakya kegiatan pendidikan di sekolah, dalam usaha meningkatkan mutu dan frekuensi isi pembelajaran, maka sangat menyita waktu siswa untuk mengatasi keadaan tersebut, guru perlu memberikan tugas-tugas di luar jam pelajaran. Disebabkan bila hanya menggunakan seluruh jam pelajaran. Disebabkan bila hanya menggunakan seluruh jam pembelajaran yang ada untuk tiap mata pelajaran hal itu tidak akan mencukupi tuntutan di dalam kurikulum. Dengan demikian perlu diberikan tugas-tugas, sebagai selingan untuk variasi teknik penyajian ataupun dapat berupa pekerjaan nimah. Tugas semacam itu dapat dikerjakan di luar jam pelajaran, di rumah maupun sebelum pulang, dan atau kegiatan ekstrakurikuler, sehingga dapat dikerjakan bersama temannya.Seperti yang berlangsung pada kegiatan ekstrakurikuler yang berupa seni budaya yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian, menanamkan kesadaran, dan membina mental siswa serta menumbuhkembangkan sikap perilaku siswa agar sanggup menerima, memahami, dan mengerti tentang kebudayaan, baik budaya tradisional, budaya masyarakat maupun budaya asing yang bersifat selektif. Apakah budaya ? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang telah ditanyakan dan dicari jawabnya sejak era Ibnu Khaldun sampai saat ini. Seolah-olah jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah ada, atau mungkin ketika ditemukan jawabannya oleh seseorang, maka yang didefinisikan itu (budaya) lantas berubah. Oleh karenanya orang tak pernah sampai pada keputusan final yang disepakati oleh semua orang. Apalagi budaya dilihat dari kacamata berlainan tergantung yang melihatnya. Alhasil konsep budaya berbeda-beda tergantung siapa yang mendefinisikan konsep tersebut. Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri. Bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu psikologi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan emosi akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental (Mendatu, 2007. "Apakah Budaya". www.psikologi.omline.co.id.) Kemampuan beradaptasi atau penyesuaian diri merupakan bentuk perilaku pada umumnya yang didasarkan atas keseimbangan kemampuan akal (kognisi) dan kemampuan rasa (afeksi), dan psikomotor, karena manusia tidak hanya memiliki otak tetapi juga mempunyai emosi dan keterampilan, baik keterampilan berkomunikasi maupun keterampilan fisik jasmaniah. Oleh karena itu, kesadaran terhadap perbedaan daya pikir, emosi, dan keterampilan manusia merupakan aspek penting keberhasilan penyesuaian diri. Mengingat manusia tidak hanya berperilaku atas dasar kemampuan akal semata, tetapi juga didasarkan pada kemampuan rasa, yakni kemampuan menilai perasaan kepuasan diri sendiri dan orang lain dalam masa perkembangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Keseimbangan antara komponen kognisi, afeksi, dan psikomotor mutlak diperlukan. Seseorang yang terlalu mengagungkan kecerdasan akalnya tanpa diimbangi dengan kemampuan emosional atau sikap, dan psikomotor diprediksikan bahwa dia akan dapat mengalami kegagalan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecakapan emosi bukan berarti memanjakan perasaan dan mengistimewakan sikap, dalam arti memuaskan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, tetapi mengelola perasaan, sikap, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama. B. Identifikasi Masalah Kemampuan beradaptasi atau penyesuaian diri merupakan bentuk perilaku pada umumnya yang didasarkan atas keseimbangan kemampuan akal (kognisi) dan kemampuan rasa (afeksi), dan psikomotor, karena manusia tidak hanya memiliki otak tetapi juga mempunyai emosi dan keterampilan, baik keterampilan berkomunikasi maupun keterampilan fisik jasmaniah. Perbedaan daya pikir, emosi, dan keterampilan manusia merupakan aspek penting keberhasilan penyesuaian diri. Mengingat manusia tidak hanya berperilaku atas dasar kemampuan akal semata, tetapi juga didasarkan pada kemampuan rasa, yakni kemampuan menilai perasaan kepuasan diri sendiri dan orang lain dalam masa perkembangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Keseimbangan antara komponen kognisi, afeksi, dan psikomotor mutlak diperlukan. Seseorang yang mengagungkan kecerdasan akalnya tanpa diimbangi dengan kemampuan emosional/sikap, dan psikomotor diprediksikan dia akan dapat mengalami kegagalan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecakapan emosi bukan berarti memanjakan perasaan dan mengistimewakan sikap, dalam arti memuaskan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, tetapi mengelola perasaan, sikap, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga secara tepat memungkinkan bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama. Aktivitas bebajar siswa, baik yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah, rumah atau tempat lain, senantiasa perlu memperhatikan kemampuan beradaptasinya, sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal, yaitu menguasai mated yang dipelajari dan mampu berprestasi dengan baik. C. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada masalah budaya masyarakat, pergaulan teman sebaya, dan perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X. D. Rumusan Masalah 1. Adakah kontribusi budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ? 2. Adakah kontribusi budaya masyarakat terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ? 3. Adakah kontribusi pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ? E. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang budaya masyarakat, pergaulan teman sebaya, dan perilaku sosial siswa. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini ingin mendeskripsikan tentang kontribusi budaya masyarakat terhadap perilaku sosial siswa, kontribusi pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa, dan kontribusi budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dapat digunakan sebagai referensi dan penelitian berikutnya yang sejenis. 2. Manfaat Praktis Sedangkan manfaat praktis bagi siswa, memberikan informasi arti pentingnya budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X, bagi masyarakat, memberikan masukan bahwa budaya masyarakat dapat membentuk perilaku sosial dan membangun nilai-nilai pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X. |
TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Posted: 13 Nov 2012 08:43 PM PST (KODE : PASCSARJ-0162) : TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanana undang-undang tersebut. Peraturan Pemerintah yang telah dikeluarkan dan harus segera dilaksanakan penyesuaian-penyesuaian aturan dibawahnya adalah Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan mengatur tentang stndar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, stadar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Dalam aturan tersebut ditetapkan pula kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/akademik yang berlaku dalam satu tahun pelajaran. Sejatinya, sekolah adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa. Aktifitas didalamnya adalah proses pelayanan jasa. Murid datang ke sekolah untuk mendapatkan pelayanan, sementara kepala sekolah, guru dan tenaga lain adalah para profesional yang terus menerus berinovasi memberikan pelayanan yang terbaik untuk kemajuan sekolah. Mengembangkan model pembaharuan adalah tugas yang sulit karena proses pembaharuan adalah usaha yang multidimensional. Tidak ada satu model pun yang dapat menjelaskan dengan sempurna betapa rumitnya pengembangan sekolah. Yang akan diusulkan oleh para konsultan adalah kerangka kerja yang memberi pedoman pada proses pembaharua. Dalam mengkaji-ulang data pada model "pengembangan sekolah" yang telah dipilih, dua proses utama telah diidentifikasi. Pertama, keinginan kepala sekolah untuk meningkatkan intensitas komunikasi di antara para pemegang peran merupakan alat untuk mengundang mereka untuk menjadi mitra dalam transformasi sekolah. Kesadaran yang lebih tinggi tentang berbagai masalah dan pandangan para pemegang peran dapat menciptakan peluang untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh sekolah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan. Kedua, dalam menggambarkan tanggung jawab pengambilan-keputusan oleh para pemegang peran mengakibatkan pemecahan masalah yang lebih cepat dan membebaskan kepala sekolah untuk berfungsi sebagai fasilitator dalam pengembangan sekolah. Kedua proses tersebut menyebabkan adanya tanggung jawab yang lebih besar bagi para pemegang peran. Hal ini meningkatkan motivasi dan jati diri para pemegang peran. Pemegang peran menggunakan berbagai istilah, misalnya kemitraan dan suasana kekeluargaan untuk menggambarkan adanya hubungan yang baru di sekolah (Depdiknas. 2007. "Model Pembaharuan pada Sekolah Menengah Umum : Pengalaman Indonesia"). (www.school.development.com). Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi menarik untuk diperdebatkan. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumberdaya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan administratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah. Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi (Dharma, 2003. "Manajemen Berbasis Sekolah". www.depdiknas.go.id). MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang dan meningkatkan pemberdayaan mutu pendidikan sekolah.Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di tingkat yang paling operasional, yaitu sekolah B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian Era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management (manajemen berbasis sekolah/MBS). Segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah. Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut : (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan. Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung. Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan NEM (nilai ebtanas murni) secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi. (Suyanto, 2007. "Kepemimpinan Kepala Sekolah". www.diknas.go.id ) Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru ? 2. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam pengelolaan sarana prasarana ? 3. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam hal pengelolaan dana pendidikan ? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang kinerja kepala sekolah dalam manajemen berbasis sekolah, dan tujuan khusus ingin mendiskripsikan kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru. pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan dana pendidikan. D. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis dapat digunakan sebagai referensi dan pengembangan penelitian berikutnya yang sejenis. Sedangkan manfaat praktis, bagi kepala sekolah, dapat meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru. pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan dana pendidikan. |
TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF Posted: 13 Nov 2012 08:38 PM PST (KODE : PASCSARJ-0161) : TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF (PROGRAM STUDI : ILMU KOMUNIKASI) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana demokrasi yang menjadi ajang bagi kedaulatan rakyat. Dalam negara demokratis, pemilu yang notabene merupakan cerminan suara rakyat menjadi penentu bagi keberlangsungan sebuah negara untuk menentukan nasib dan tujuan sebuah bangsa. Suara-suara inilah yang akan diwadahi oleh partai politik-partai politik yang mengikuti pemilu menjadi wujud wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilihan Umum menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada tahun 2009 bangsa Indonesia telah mengadakan pemilihan umum untuk kesepuluh kalinya. Pelaksanaan pemilu secara periodik menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem negara demokrasi. Sejak Pemilihan Umum tahun 1999 Indonesia telah dianggap sebagai negara terbesar ketiga yang menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis. Pemilihan umum ini menjadi wahana aspirasi politik rakyat Indonesia yang digelar setiap lima tahun sekali, sebagai amanat dari Undang-Undang Dasar 1945. Pemilu juga menjadi ajang paling massif, bebas, dan adil untuk menentukan partai dan tokoh yang berhak mewakili rakyat. Dalam sistem perwakilan, tak ada cara lain yang paling absah untuk memilih para wakil rakyat kecuali melalui pemilu. Pemilihan umum legislatif tahun 2009 di ikuti oleh 38 partai politik yang lolos seleksi verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditambah enam partai politik lokal di Aceh (www.kpu.go.id/index.php). Adanya banyak partai politik yang mengikuti pemilu 2009, sebagai konsekuensi sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia. Terdapatnya banyak partai politik juga berdampak pada ketatnya kompetisi antar partai politik dalam menggaet suara pemilih untuk memperebutkan kursi di parlemen. Keberhasilan sebuah partai politik dalam perolehan suara, membuktikan betapa besarnya dukungan dan kepercayaan rakyat terhadap partai politik tersebut. Guna memenangkan kompetisi di ajang pemilu, para kontestan partai politik saling bersaing satu sama lain dengan menerapkan berbagai strategi komunikasi politik yang jitu. Tentu, komunikasi politik yang dilakukan oleh partai politik menyesuaikan dengan sistem politik yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, sistem politik mau tidak mau turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukan oleh partai politik. Almond (1990 : 34) melihat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu masukan yang menentukan bekerjanya semua fungsi dalam sistem politik. Komunikasi politik menyambungkan semua bagian dari sistem politik sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan.Strategi komunikasi politik partai dalam menghadapi pemilu harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada tentang pemilu, walaupun perumusan undang-undang itu sendiri sempat menjadi perdebatan panjang antar partai politik, karena terjadi tarik-menarik kepentingan, yaitu bagaimana undang-undang yang dibuat bisa menguntungkan partai politik tertentu. Untuk mengatur pelaksanaan pemilu tahun 2009, maka dibuatlah UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilanm Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada dasarnya Undang-undang Pemilu tahun 2008 dengan Undang-undang Pemilu tahun 2003 mempunyai kesamaan arti, namun terdapat beberapa pasal yang berbeda isi. Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 107, ayat 2, menyebutkan : Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu Daerah Pemilihan, dengan ketentuan : a. nama calon yang mencapai angka BPP ditetapkan sebagai calon terpilih; b. nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan. Isi pada UU Pemilu tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 107, ayat 2 di atas hampir sama dengan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 214, ayat 2 yang menyebutkan : Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan : a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP; b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP; c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut. Perubahan isi pada UU Pemilu tahun 2008 muncul ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 214 huruf a.b.c.d.e. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dinyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf, b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian penetapan calon legislatif untuk pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak bukan berdasarkan nomor urut (Dumadi, 2009). Perbedaan isi undang-undang pemilu tahun 2003 dan tahun 2008 (setelah keluarnya putusan MK) inilah yang diduga berimplikasi terhadap strategi komunikasi politik partai politik dalam menghadapi pemilu legislatif 2009. Dengan demikian masing-masing partai politik dalam strategi komunikasi politiknya cenderung mengalami perubahan dibanding pada pemilu 2004, karena harus menyesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang ada. Secara prinsip, sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu 2009 adalah sistem pemilu yang lebih demokratis berdasarkan kebutuhan peningkatan derajat keterwakilan dan geopolitik Indonesia. Implikasi dari perbedaan isi UU Pemilu tahun 2003 dan tahun 2008 adalah ada dua hal. Pertama, UU Pemilu tahun 2003 berdampak pada aktifnya peran partai politik dalam berkampanye dan berkomunikasi politik dibandingkan calon anggota legislatifnya. Kedua, UU Pemilu tahun 2008 berimbas pada lebih aktifnya para calon anggota legislatif dalam kampanye dan berkomunikasi politik dibandingkan partai politik itu sendiri. Kenyataan inilah yang dapat dilihat dan ditemukan pada pemilu tahun 2009. Para calon anggota legislatif saling jor-joran menggelontorkan dana dan tenaga bahkan kelewat batas dalam beriklan dan berkampanye memperebutkan suara pemilih. Kondisi ini terjadi karena para calon anggota legislatif menyadari bahwa penetapan calon didasarkan para suara terbanyak bukan nomor urut, oleh sebab itu tidak bisa hanya mengandalkan pada partai politik dalam berkampanye. Implikasi lain dari perbedaan isi Undang-undang Pemilu tahun 2003 dengan tahun 2008 adalah pola strategi penggunaan media oleh partai politik. Sebagaimana diketahui bahwa belanja iklan politik yang dilakukan oleh partai politik dan pemerintah tahun 2009 naik 100 persen, yaitu sebesar Rp. 800 milyar dibanding pada pemilu 2004 sebanyak Rp. 400 milyar (www.okezone.com). perbedaan inilah yang disinyalir bahwa sebuah Undang-undang dapat mempengaruhi terhadap keputusan partai politik dalam berkomunikasi melalui media dalam kampanye pemilihan umum. Penggunaan media sangatlah penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik pada pemilu. Menurut Pawito (2009 : 91) "Dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian yang integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik." Dengan sifatnya yang massif, media massa menjadi kekuatan yang besar dalam menginformasikan pesan-pesan politik dari partai politik. Dengan karakter yang dimilikinya, media menjadi kekuatan yang bisa menyatukan isu dan opini di masyarakat dengan memberikah arah ke mana mereka harus harus berpihak dan prioritas-prioritas apa yang harus dilakukan. Dengan kemampuannya media dapat memberi semangat, menggerakkan perubahan, dan memobilisasi masyarakat untuk suatu tujuan.Salah satu kontestan pada pemilu legislatif 2009 adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS merupakan partai dakwah yang berazaskan islam. Pada pemilu 1999 nama PKS adalah partai keadilan (PK) tetapi karena tidak memenuhi ambang batas 2% sebagai syarat mengikuti pemilu tahun 2004, maka partai Keadilan berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Kehadiran. PKS -bagi sebagian orang- telah memberi secercah harapan bagi rakyat Indonesia bahwa ada partai yang bermoral (bersih), anti korupsi, dan peduli pada rakyat. PKS juga dinilai mampu menumbuhkan kembali kepercayaan orang pada partai Islam. Indikatornya adalah meningkatnya jumlah konstituten mereka di Pemilu 2004 lalu (Irfan, 2004). Hasil pemilu 2009 menunjukkan perolehan suara PKS 7.88% atau 8.206.955 suara. Perolehan suara pemilu 2009 ini bagi PKS relatif stabil atau ada kenaikan sedikit dibanding pada pemilu sebelumnya yaitu 7.34% secara Nasional (www.calegindonesia). Dan untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, PKS memperoleh 176,645 suara atau 7 kursi di DPRD Propinsi, dengan tingkat partisipasi pemilih sebanyak 72,95% dalam pemilu 2009 ((www.kpud-diyprov.go.id). Perolehan suara partai secara Nasional ini menjadi alasan mengapa penelitian ini memilih PKS sebagai studi kasus penelitian tentang strategi komunikasi politik partai politik dalam pemilu legislatif 2009. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa, disaat suara Partai Demokrat naik secara tajam dan partai-partai besar lainnya cenderung mengalami penurunan seperti Partai Golkar, PDIP, PKB, dan PPP, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa stabil dengan mempertahan perolehan suaranya seperti pada pemilu 2004. Kenyataan ini juga menimbulkan pertanyaan yang memerlukan jawaban, kiranya strategi apa yang di pakai oleh PKS dalam pemilu legislatif 2009. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana penyikapan Partai Keadilan Sejahtera terhadap perubahan UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD ? 2. Bagaimana strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera sesudah perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu legislatif 2009 ? 3. Bagaimana penggunaan media oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam kampanye pemilu legislatif 2009 ? 4. Apa dampak dari penerapan strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera terhadap perolehan suara partai pada pemilu legislatif 2009 ? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan masalah strategi komunikasi politik partai politik dalam menghadapi pemilu 2009, dengan mengarahkan kajiannya pada : 1. Penyikapan Partai Keadilan Sejahtera terhadap perubahan UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD ? 2. Strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera sesudah perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu legislatif 2009 ? 3. Penggunaan media oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam kampanye pemilu 2009. 4. Dampak dari penerapan strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera terhadap perolehan suara partai pada pemilu legislatif 2009. D. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan ilmu komunikasi, khususnya pada kajian komunikasi politik yang berkaitan dengan strategi komunikasi politik oleh partai politik dalam menghadapi pemilihan umum. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini juga diharapkan bisa bermanfaat sebagai informasi dan bahan masukan bagi para pengurus dan kader partai politik secara umum dan khususnya Partai Keadilan Sejahtera serta masyarakat luas dalam menentukan kebijakan dan strategi komunikasi pada pemilu-pemilu selanjutnya. |
TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH Posted: 13 Nov 2012 08:36 PM PST (KODE : PASCSARJ-0160) : TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH (PROGRAM STUDI : HUKUM EKONOMI SYARIAH) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupan senantiasa berinteraksi antara satu dengan yang lain. Masing-masing individu saling bergantung satu sama lain dalam memenuhi hajat hidupnya. Tidak ada satu orang pun di dunia yang dapat hidup dengan sempurna tanpa jasa orang lain. Dari sifat kehidupan manusia yang saling bergantung satu sama lain ini, muncullah berbagai problematika kehidupan baik yang meliputi aspek ritual maupun sosial. Problem kehidupan ini tentunya harus segera direspon dengan serangkaian garis-garis hukum yang mampu memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam kehidupan manusia. Dalam menjawab pemasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum lslam dalam konteks kekinian dan kemoderenan dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan jaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik dan bisa memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Mendasarkan pada kemaslahatan tersebut maka Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk saling bantu membantu, yang kaya membantu yang miskin. Bentuk saling membantu ini dapat berupa pemberian tanpa ada pengembalian dari yang diberi (karena berfungsi sosial), seperti infaq, zakat dan shodaqoh, ataupun berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang memberi pinjaman minimal mengembalikan pokok pinjamannya. Syari'at Islam juga memerintahkan umatnya supaya saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam konteks pinjam-meminjam hukum Islam membolehkan baik melalui individu maupun melalui lembaga keuangan, Mengenai Pembiayaan didalam Hukum Islam, Kepentingan Kreditur sangat diperhatikan dan dijaga jangan sampai dirugikan. Oleh sebab itu, dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Dalam Dunia Finansiil barang itu dikenal dengan obyek jaminan (collateral) atau barang agunan. Konsep tersebut dalam fikih Islam dikenal dengan istilah rahn. Kontrak gadai yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan rahn sebenarnya bukan hal baru dalam praktek perekonomian. Kontrak gadai sudah ada dalam tradisi bangsa Arab sebelum Islam. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Sabiq bahwa : Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab, bahwa apabila orang yang menggadaikan barang tidak mampu melunasai utangnya maka barang gadai itu dikeluarkan dari miliknya.Sampai Islam datang, ternyata perjanjian gadai masih berlaku, tentunya dengan batasan syarat dan rukun tertentu, bahkan mendapat legitimasi hukum sebagai perbuatan jaiz atau dibolehkan, baik menurut ketentuan al Qur'an, Sunnah maupun ijma' Ulama. Dalam al Qur'an (QS al Baqoroh 283) disebutkan : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis. maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berepiutang) akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhan-nya ;dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang berdosa hatinya ; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 283). Kalimat "Hendaklah ada barang tanggungan" dapat diartikan sebagai "gadai". Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah SAW dapat ditemukan dalam ketentuan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah r.a. berkata : Artinya : "Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau." (HR. Bukhori Muslim). Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur Ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih. Dalam Islam gadai mempunyai pengertian yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan uang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang, atau bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Menurut aturan dasar pegadaian, bahwa barang-barang yang dapat digadaikan di lembaga ini hanyalah berupa barang-barang bergerak padahal mempunyai berbagai resiko yang tinggi. "Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kcnyataannya dalam masyarakat konsep tersebut dinilai tidak adil. Dilihat dari segi komersial, yang meminjamkan uang merasa dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan berlarut-larut,sementara barang jaminan tidak laku." Seiring dengan kemajuan zaman dan tuntutan masyarakat Muslim di Indonesia yang sangat merindukan bertransaksi berdasarkan prinsip -prinsip Islam dalam berbagai aspek termasuk di bidang Pegadaian, kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, Undang-undang memberikan peluang untuk diterapkan praktek perekonomian sesuai Syariah dibawah perlindungan hukum positif, sebagaimana termuat pada pasal 1 ayat 12 dan 13 : "Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara Bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudhorobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarokah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murobahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah), atau adanya pilihan pemindahan kepemilikan barang atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (Ijarah wa iqtina).Berdasarkan Undang-undang tersebut kemudian terwujudlah lembaga keuangan syariah, pada awalnya Perbankan Syariah, Asuransi Syariah kemudian Pegadaian Syariah dan lain-lain, dari sekian banyak lembaga keuangan Syariah yang sudah mempunyai payung Hukum Positif adalah Perbankan Syariah, sedangkan lembaga keuangan syariah yang lainnya belum mempunyai payung hukum tersendiri, seperti Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah dan Pegadaian Syariah. "Pegadaian Syariah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang jasa keuangan non bank dengan kegiatan utama menyalurkan pinjaman kepada Masyarakat berdasarkan hukum gadai, fidusia dan usaha lain yang menguntungkan". Pegadaian Syariah Cabang X beberapa produknya telah dibeli oleh masyarakat, nasabah di Pegadaian Syariah belum tentu orang Islam yang tau dan taat menjalankan Syariatnya bahkan non muslim boleh bertransaksi di Pegadaian Syariah, Pada bidang transaksi bisnis Agama bukan suatu keharusan non muslim boleh menundukkan diri pada Hukum Islam darisitulah tergambar Islam rohmatan HI alamin, mereka kebanyakan dari kalangan bawah yang amat sangat terpaksa kekurangan uang untuk kebutuhan hidup sehari hari sehingga tidak tau prinsip Syariah atau bukan Syariah yang penting datang bawa barang pulang bawa uang, lain lagi bagi kalangan menengah keatas, bukan karena kekurangan uang untuk kebutuhan sehari-hari, akan tetapi kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya sehingga mereka mengetahui ada pilihan yang tepat untuk mencari modal yang Islami. Adapun landasan hukum operasional Pegadaian adalah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2000 yaitu : a. Penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai. b. Penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko emas, dan insutri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan. Disamping berdasarkan ketentuan tersebut di atas untuk penerapan prinsip Syariah. mendasarkan pada : a. Pasal 1 ayat 12 dan 13 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 9 /DSN-MUI/IV/2000. Tentang Pembiayaan Ijarah c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor Nomor : 29/DSN-MUI/IV/2002. Tentang Rahn. d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas. e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murobahah Pegadaian Syariah masih menggunakan kebijakan gadai konvensional, disisi lain harus menerapkan prinsip-prinsip syariah, dan pengawasannya secara kolektif dari pusat, hal yang demikian itulah yang menarik untuk dikaji dan dievaluasi secara kritis. Lembaga tersebut mengklaim dirinya mengatasi masalah tanpa masalah, apakah hal itu betul atau justru tidak mengatasi masalah tetapi membuat masalah. Pada zaman sekarang ini banyak bermunculan lembaga keuangan baik bank atau bukan bank yang yang mengklaim dirinya sebagai lembaga keuangan Syariah dan banyak juga yang hanya kulitnya saja tapi prakteknya tidak Syariah. Perum Pegadaian Syariah Cabang X berdiri pada tahun 2004 dan mulai efektif bekerja melayani gadai yang sesuai Syariah, sampai sekarang sudah berusia lima tahun berjalan, perkembangan gadai syariah tersebut tidak sepesat Perbankan Syariah yang memang diminati banyak nasabah kelas menengah keatas, karena kesan gadai adalah hanya diminati oleh masyarakat kelas bawah yang bersifat konsumtif, hal ini terlihat dari produk yang ditawarkan oleh gadai Syariah X belum banyak karena peminatnya masih relatif didominasi oleh kalangan bawah yang dengan terpaksa lari ke Pegadaian karena kebutuhan yang mendesak, hal ini penulis ketahui ketika berada di Pegadaian dan mencoba wawancara dengan nasabah yang datang di Pegadaian Syariah. Sepintas yang menarik adalah Pegadaian mengatasi masalah tanpa masalah, hal ini terlihat dari kredit pinjaman yang ditawarkan oleh Pegadaian dengan garis batas minimal Rp. 20.000 sampai dengan Rp 150.000,- dengan proses yang amat sederhana dan cepat cukup dengan waktu lima belas menit uang sudah bisa diterima, dari sinilah sepintas benar-benar mengatasi masalah tanpa masalah, akan tetapi dari sisi lain yang terkait dengan sewa modal dan akad yang dibuat oleh nasabah dengan Pegadaian apakah tidak akan menimbulkan masalah, terkait dengan barang agunan yang tidak mempunyai setandar pasar yang pasti seperti barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor, dari sinilah yang mendorong penulis untuk mengkaji hal-hal yang terkait dengan akad Rahn Ijarah di Pegadaian Syariah, apakah gadai Syariah menggunakan konsep Islami yang sesuai dengan al Qur'an dan al Hadits yang di Implemntasikan oleh Ulama Imam Mazhab dalam Kitab-kitab Fiqih, ataukah hanya sekedar merobah akad konvensional menjadi akad Syariah akan tetapi sistemnya tetap sama seperti konvensional. Berdasarkan klaim Perum Pegadaian dan uraian tersebut diatas Penulis tertarik untuk meneliti dan mengevaluasi tentang Implementasi akad ijarah pada Pegadaian Syariah Cabang X. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka kajian ini hanya dibatasi pada masalah : Apakah Implementasi akad ijarah pada Perum Pegadaian Syariah Cabang X sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah. C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan bagian pokok Ilmu Pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis dan praktis. Tujuan Penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui sistem gadai dengan akad Ijarah pada Perum Pegadaian Syariah Cabang X. 2. Mengetahui sejauhmana penerapan prinsip Syariah pada akad Ijarah di Perum Pegadaian Syariah Cabang X. D. Manfaat Penelitan Dari hasil penelitian dapat diharapkan memberi manfaat penelitian sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi berbagai pihak, yang senantiasa antusias dengan sebuah sistem yang Islami, terutama sekali kepada segenap Penegak Hukum, Penasehat Hukum, Konsultan Hukum, Ekonom dan para Mahasiswa Fakultas Hukum untuk dapat memahami dan mendalami sistem ekonomi Syariah (di bidang Pegadaian) yang kini berkembang pesat. 2. Manfaat Praktis Sebagai tambahan pengetahuan, sehingga masyarakat mengetahui tentang mekanisine aktivitas perjanjian gadai yang sesuai dengan prinsip Syariah, sehingga gadai Syariah menjadi pilihan utama bagi masyarakat Muslim khususnya di sekitar wilayah X dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk bertransaksi yang benar-benar Islami. |
TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Posted: 13 Nov 2012 08:31 PM PST (KODE : PASCSARJ-0159) : TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan pemerintahan kecamatan memerlukan adanya seorang pemimpin yang selalu mampu untuk menggerakkan bawahannya agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara berdayaguna dan berhasil guna. Keberhasilan pembangunan akan terlihat dari tingginya produktivitas, penduduk makmur dan sejahtera secara merata (Budiman, 1995 : 4). Kondisi seperti ini tentunya tidak terlepas dari peranan sumber daya manusia (Rachbini, 2002 : 198). Pendapat seperti tersebut di atas sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya pegawai negeri. Kecamatan dilihat dari sistem pemerintahan Indonesia, merupakan ujung tombak dari pemerintahan daerah yang langsung berhadapan dengan masyarakat luas. Citra birokrasi pemerintahan secara keseluruhan akan banyak ditentukan oleh kinerja organisasi tersebut. Masyarakat perkotaan yang peradabannya sudah cukup maju, mempunyai kompleksitas permasalahan lebih tinggi dibandingkan pada masyarakat tradisional sehingga diperlukan aparatur pelayanan yang profesional.Ketidaktergantungannya kepada alam menyebabkan masyarakat kota sangat menghargai waktu. Persaingan yang ketat dan tajam menuntut adanya kecepatan, ketepatan, serta kecermatan pengambilan keputusan. Masyarakat perkotaan pada umumnya berorientasi ke masa depan. Penjelasan ini sejalan seperti yang dikemukakan oleh Ndraha (1991 : 88) bahwa dalam masyarakat yang tak berdaya (powerless) bersifat nrimo atau dibuat seperti itu, tuntutan tidak setajam dan tekanan terhadap struktur supra pada sistem politik tidak seberat jika masyarakat peka, sensitive, aktif, responsif dan vokal. Menghadapi kondisi pertama beban para pejabat lebih ringan dan tidak begitu pusing memikirkan distribusi nilai secara adil ke dalam masyarakat. Kondisi semacam ini secara teoritis dapat dijelaskan melalui konsep yang dikemukakan oleh Riggs (1985) dengan model masyarakat prismatic-nya. Masyarakat yang masih sederhana, berbagai fungsi masih memusat pada segelintir orang atau badan tertentu. Kemudian setelah melalui tahap perubahan, yang digambarkan seperti sinar yang memasuki kaca prisma, fungsi-fungsi tersebut akan memencar kearah spesialisasi. Gambaran seperti tersebut di atas berkaitan dengan beban kerja yang harus dipikul oleh seorang pimpinan organisasi. Beban tugas yang besar harus dipikul oleh seorang pimpinan menurut Manila (1996 : 3) dapat diatasi dengan tiga hal yaitu penerapan asas staf umum, pendelegasian wewenang dan tanggungjawab serta penyelesaian melalui bantuan suatu tim. Adanya de-birokratisasi di Indonesia pada hakekatnya adalah untuk menjawab tantangan masyarakat yang sedang berubah. Konsep pelayanan one-stop service yang menghendaki adanya kejelasan prosedur, biaya maupun waktu menjadi dambaan semua kalangan masyarakat terutama kaum usahawan. Semangat de-birokratisasi menyongsong era industrialisasi sudah mulai dijiwai oleh aparat pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Tetapi semangat tersebut saja tidak cukup untuk mengatasi berbagai masalah manajerial yang masih melilit organisasi kecamatan dalam usaha mencapai tujuan organisasi secara berhasil guna dan berdaya guna. Padahal hasil capai organisasi di tingkat kecamatan sebagai sebagai subsistem, berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap hasil capai organisasi pemerintahan secara keseluruhan. Hal ini sejalan yang dikemukakan oleh Supriatna (1999 : 30) bahwa kualitas sumber daya manusia dan kualitas pemimpin khususnya merupakan faktor penentu sukses tidaknya organisasi atau usaha baik didunia bisnis maupun di dunia pendidikan, kesehatan, agama, sosial, politik, pemerintahan, dan menentukan keberhasilan lembaga atau organisasinya. Pemimpin harus mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi, dapat mengoreksi kelemahan, sanggup membawa organisasi kepada sasaran dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Kecamatan merupakan line office dari pemerintah daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan mempunyai tugas membina desa/kelurahan harus pula diselenggarakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sebagai sebuah organisasi yang hidup dan melayani kehidupan masyarakat yang penuh dinamika, kecamatan mengalami banyak masalah sebagai organisasi administratif. Masalah yang dihadapi juga lebih banyak bersifat manajerial dibandingkan dengan masalah yang bersifat politik. Kompleksitas masalah yang dihadapi berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk yang dilayani, tingkat heterogenitasnya (asal usul, pendidikan, umur, kemapuan ekonomi) banyaknya desa/kelurahan bawahan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Wasistiono (1991 : 55) bahwa di tingkat kecamatan, camat adalah manajer puncak, oleh karena itu camat juga menjalankan keempat fungsi manajemen secara berimbang. Tanpa adanya dukungan pegawai yang memadai kualitas maupun kuantitasnya, maka camat akan lebih banyak menghabiskan waktu dan pemikirannya dibelakang meja menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis administratif. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kunci keberhasilan organisasi terletak pada kinerja pegawai-pegawainya (Cushway dan Lodge, 1987 : 133).Pelaksanaan pekerjaan oleh para pegawai di lingkungan organisasi pemerintahan kecamatan pada dasarnya berlangsung dalam kondisi pegawai sebagai manusia, suasana batin dan psikologis seorang pegawai sebagai individu dalam masyarakat organisasi yang menjadi lingkungan kerjanya sangat besar pengaruhnya pada pelaksanaan pekerjaannya. Suasana batin itu terlihat dalam semangat atau gairah kerja yang menghasilkan kegiatan kerja sebagai kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi tempatnya bekerja. Kenyataan menunjukkan bahwa dari segi psikologis, bergairah atau bersemangat dan sebaliknya tidak bergairah atau tidak bersemangat seorang pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh motivasi kerja yang mendorongnya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka setiap aparatur pemerintah memerlukan motivasi yang kuat agar bersedia melaksanakan pekerjaan secara bersemangat, bergairah dan berdedikasi sehingga dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat, karena hubungan antara motivasi dan prestasi kerja menurut Armstrong (1988 : 75) adalah sesuatu yang positif, meningkatnya motivasi akan menghasilkan lebih banyak usaha dan prestasi kerja yang lebih baik. Prinsip tersebut tidak menutup kemungkinan kondisi bahwa dalam keadaan terpaksa seseorang mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Seiring dengan besarnya tuntutan akan penerapan good governance, tuntutan akan pelayanan publik yang berkualitas juga menjadi semakin besar. Pemerintah merespon tuntutan ini dengan menetapkan tahun 2004 sebagai tahun peningkatan pelayanan publik. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayanan, seperti misalnya pelayanan prima dan standar pelayanan minimal. Akan tetapi perbaikan kualitas masih belum berjalan sebagaimana diharapkan. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah Kecamatan X dalam berbagai sektor pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat (seperti pelayanan KK, KTP, UUG, IMB, Akta Kelahiran dan sebagainya) masih belum seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari banyaknya pengaduan atau keluhan dari masyarakat dan dunia usaha, baik melalui surat pembaca maupun media, sebagaimana dimuat dalam pemberitaan AP Post terbitan 23 Maret 2005 yang mengungkapkan keluhan konsumen berupa keberatan terhadap biaya pengurusan KTP di Kecamatan X. Fakta lainnya adalah hasil Laporan Observasi Lapangan Diklatpim Tingkat IV Kabupaten Sambas Tahun 2005 yang menyimpulkan bahwa pengelolaan produk layanan penerbitan KTP oleh Kecamatan X tahun 2004 belum optimal, hal ini terbukti dari data 37.398 wajib KTP, hanya 7.796 atau 20,84% penduduk memiliki KTP. Selanjutnya pengelolaan layanan izin gangguan dan izin mendirikan bangunan juga belum optimal, hal ini terbukti dengan tidak terdapatnya data yang akurat tentang kepemilikan izin gangguan dan IMB oleh masyarakat yang memanfaatkan ruang publik untuk kegiatan usahanya. Fenomena sebagaimana tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa manajemen sebagai proses mendayagunakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan, hanya akan berlangsung efektif dan efisien jika para pimpinan mampu memotivasi para bawahan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Organisasi pemerintahan perlu didukung oleh seorang pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang profesional, mempunyai strategi yang mampu menggerakkan dan memotivasi bawahan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Hal yang menarik dalam paradigma baru administrasi publik, dikembangkannya kepemimpinan visioner yaitu kepemimpinan organisasi publik yang menuntut visi, misi dan strategi untuk mampu bertindak simultan sebagai pemberi arah, agen pembaharuan, juru bicara dan pembimbing dalam rangka menyatukan, mengerakkan dan menciptakan iklim organisasi yang kondusif. Kenyataan yang kita hadapi, pendekatan motivasi klasik masih seringkali dilakukan oleh pimpinan yaitu dengan mengatur sistem gaji dan promosi. Pendekatan ini perlu disadari bukan merupakan cara terbaik, karena kebutuhan pegawai sebagai manusia sangat komplek. Mereka bisa terdorong bekerja dengan semangat kalau memiliki pimpinan yang akomodatif, penuh kreatif, inovatif, memberikan kesempatan dalam perencanaan, pengembangan potensi diri, keadilan, memiliki teman-teman yang baik dimana mereka dihargai dan diperhitungkan sebagai bagian dari organisasi. Fakta menunjukkan bahwa di instansi pemerintah pemenuhan kebutuhan tersebut di atas sering diabaikan oleh pimpinan dengan alasan belum ada anggaran atau panjangnya rantai birokrasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemenuhan akan kebutuhan pegawai baik materi maupun non materi belum menjadi skala prioritas, yang terpenting bagi organisasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Namun mereka belum sadar bahwa kunci keberhasilan organisasi tergantung dari sumber daya manusianya. Hal tersebut di atas diperparah lagi dengan munculnya isu yang sangat popular di setiap organisasi publik yaitu menyebarnya gejela parkinson. Di Indonesia gejela ini dapat dilihat ketika para pejabat memasukkan anggota keluarganya, teman dekat, dan sebagainya sebagai hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun beban kerja relatif tetap. Hal ini tentunya merugikan beban anggaran negara karena telah terjadi pemborosan yaitu mempekerjakan orang-orang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Berdasarkan data kepegawaian yang ada di Kecamatan X menunjukkan bahwa terdapat 34 orang pegawai yang berstatus PNS dan 3 orang yang berstatus pegawai honorer. Jumlah pegawai 37 orang dirasakan sudah lebih dari cukup untuk melayani masyarakat setiap harinya dengan kualitas yang prima. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dirasakan perlunya mengadakan kajian mengenai strategi memotivasi kerja pegawai. Beberapa hasil penelitian seperti yang dilakukan oleh Ma'rifah (2005) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pekerja Sosial pada UPT Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur, dan penelitian yang dilakukan oleh Suwandi (2004) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Kejelasan Peran dan Motivasi Kerja terhadap Efektifitas Pelaksanaan Tugas Jabatan Kepala Sub Bagian di Lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur, memfokuskan pada pengaruh motivasi terhadap kinerja dan pelaksanaan tugas pegawai. Penelitian tersebut di atas belum membahas strategi yang digunakan oleh pimpinan untuk motivasi kerja pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Berdasarkan hal tersebut di atas penelitian ini dianggap sebagai upaya baru untuk mengkaji strategi yang diterapkan oleh pimpinan untuk memotivasi kerja pegawai. Penelitian mengenai strategi memotivasi kerja pegawai di Kecamatan X belum pernah dilakukan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat aparatur di tingkat kecamatan merupakan ujung tombak pelayanan. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam sebuah tesis yang berjudul Strategi Peningkatan Motivasi Kerja Aparatur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan : Studi Kasus di Kecamatan X. B. Ruang Lingkup Masalah Mengingat ruang lingkup permasalahan motivasi kerja pegawai cukup luas dan komplek, maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan pada strategi yang dilakukan oleh pimpinan untuk memotivasi pegawai. C. Perumusan Masalah Berdasarkan ruang lingkup permasalahan tersebut di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana strategi yang dilakukan oleh pimpinan untuk memotivasi pegawai ? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang dilakukan oleh pimpinan unit kerja untuk memotivasi pegawai agar bekerja lebih giat. E. Kegunaan Penelitian Ada 2 (dua) manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu : 1) Kegunaan Akademik Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang Administrasi Negara. 2) Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kecamatan X dalam membuat suatu kebijakan untuk meningkatkan motivasi kerja aparatur. |
TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X Posted: 13 Nov 2012 08:28 PM PST (KODE : PASCSARJ-0158) : TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman yang semakin maju, dibutuhkan pemerintahan yang responsif dan mandiri. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih kreatif mencari terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari komponen Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS), Dana Alokasi dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Pinjaman daerah dan penerimaan lain yang sah. Pendapatan daerah dari sektor pajak termasuk dalam komponen pendapatan asli daerah yang nilainya signifikan dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Pada sektor pajak, sumbangan terbesar untuk PADS Kabupaten X diberikan oleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu sebesar 23,3% pada tahun 2005. Penerimaan daerah dari sektor PBB telah diatur dalam undang-undang nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, sebagimana telah disempurnakan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, dimana pembagiannya ditetapkan untuk pemerintah pusat 10%, Pemerintah Provinsi 16,2%, Pemerintah Kabupaten 64,8% dan Upah Pungut 9%. Bagi pemerintah daerah pemasukan dari pembagian pemasukan PBB ini cukup penting dalam menopang jalannya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, oleh karena itu dibutuhkan adanya menajemen yang baik untuk mengendalikan penagihan PBB ini.Kenyataan yang terjadi di Kabupaten X, pendapatan dari sektor PBB belum dapat mencapai target seperti yang diharapkan. Data penerimaan PBB dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang fluktuatif. Setiap tahun terjadi peningkatan realisasi penerimaan yang cukup besar. Meskipun pada tahun sebelumnya masih ada tunggakan tetap saja terjadi kenaikan realisasi PBB. Besarnya tunggakan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan trend yang konstan melainkan bersifat fluktuatif. Perolehan pemungutan PBB di tingkat kecamatan sejak tahun 2000 juga selalu menyisakan adanya tunggakan PBB. Dari tahun ke tahun selalu ada tunggakan PBB yang berkisar antara 5 sampai 15 persen per tahun. Besarnya tunggakan PBB di Kecamatan X Membutuhkan perhatian serius karena Kecamatan X merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar dari penerimaan sektor PBB dibandingkan 16 Kecamatan lainnya di wilayah Kabupaten X. Kontribusi penerimaan PBB Kecamatan X terhadap total penerimaan PBB tingkat Kabupaten X cukup signifikan. Penerimaan PBB dari Kecamatan X menyumbangkan 23 sampai dengan 30 persen total penerimaan PBB di Kabupaten X. Adanya tunggakan yang selalu terjadi setiap tahun merupakan permasalahan rutin yang tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk menjawab permasalahan ini dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberikan arah bagi pelaksanaan kebijakan yang komprehensif dan menyentuh akar permasalannya. Penyusunan strategi yang tepat membutuhkan informasi yang cukup dan akurat mengenai hambatan-hambatan dalam proses implementasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan X Kabupaten X. Permasalahan yang menyebabkan tidak optimalnya pemungutan PBB dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya dari segi kebijaksanaan publik yang meliputi Formulasi maupun implementasi kebijakannya. Dari segi otoritas pelaksana kebijakan pemungutan PBB, Kewenangan Pemungutan PBB telah dilimpahkan oleh pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 1007/KMK/04/1995. Pelimpahan tersebut meliputi pelimpahan mekanisme penagihannya sedangkan urusan prinsipal mengenai pendataan subyek dan obyak pajak, penetapan besarnya nilai PBB sampai pada pemaksaan dan sanksi masih berada pada Departemen Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Pemerintah Kabupaten dan Kantor Pelayanan pajak, seringkali terjadi permasalahan dan kendala dalam implementasi pemungutan PBB antara lain : 1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) seringkali terlambat disampaikan kepada masyarakat maupun tempat pembayaran, 2. Setiap ada kesalahan administratif mengenai data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus diselesaikan melalui KP PBB. 3. Penentuan besaran pajak oleh KP PBB seringkali tidak akurat sehingga masyarakat yang merasa tidak diperlakukan secara adil atau merasa keberatan tidak mau melunasi PBB, sedangkan untuk mengajukan keberatan harus dilakukan di KP PBB. 4. KP PBB X memiliki cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas meliputi Kabupaten Sragen, Kota X dan Kabupaten X dengan jumlah Wajib pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang seharusnya diberikan. Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai juga menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal pengadministrasian mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya mutasi kepemilikan tanah yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi PBB, sehingga pada saat penagihan nama yang tercantum dalam SPPT tidak mau membayar dengan alasan sudah tidak menguasai tanah yang tercantum dalam SPPT PBB nya ditagihkan kepadanya. Akibatnya petugas pemungut yang notabene merupakan aparat pemerintah desa setempat pun menemui kesulitan untuk melakukan penagihan. Tidak adanya penegakan hukum berupa sanksi yang tegas kepada para penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak optimalnya pemungutan PBB. Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100%, tetapi selalu menyisakan tunggakan dari tahun ketahun. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana implementasi pemungutan PBB di Kecamatan X Kabupaten X ?" C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan X Kabupaten X 2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Kecamatan X Kabupaten X dalam rangka meningkatkan penerimaan dari sektor PBB. 2. Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB. 3. Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk mlelaksanakan penelitian sejenis. |
Posted: 13 Nov 2012 08:25 PM PST (KODE : PASCSARJ-0157) : TESIS ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA) BAB I PENYAJIAN MASALAH PENELITIAN A. Latar Belakang Masalah Direktorat Penilaian Kekayaan Negara adalah unit organisasi setingkat eselon II yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara diberi tugas untuk melaksanakan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, analisis, supervisi, evaluasi, rekomendasi, dan pelaksanaan tugas di bidang penilaian kekayaan negara, berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Direktorat Penilaian Kekayaan Negara mulai dibentuk pada pertengahan tahun 2006 seiring dengan pengembangan organisasi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Pada awal pembentukannya, sebagai unit organisasi yang relatif baru, pengisian jabatan Eselon II dan Eselon III pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara berasal dari promosi pejabat atau pegawai yang berada satu tingkat di bawahnya. Hal ini dilakukan karena untuk menduduki jabatan pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara di samping harus memiliki kemampuan manajerial atau kepemimpinan, juga dibutuhkan keahlian khusus di bidang penilaian. Di lain pihak, jumlah pejabat yang memiliki keahlian di bidang penilaian jumlahnya masih relatif sedikit. Pada pertengahan tahun 2007, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mencanangkan program penertiban barang milik negara, yang didalamnya termasuk kegiatan penilaian atas barang milik negara yang berada pada seluruh Kementerian/Lembaga yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Program tersebut harus diselesaikan pada bulan Maret 2010. Selain melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam penyusunan kebijakan teknis penilaian, pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara juga harus melakukan pelayanan penilaian atas permohonan pemanfaatan atau pemindahtanganan barang milik negara yang diajukan oleh pimpinan Kementerian/Lembaga serta memberikan bantuan teknis penilaian kepada instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang tersebar di seluruh Indonesia. Beban kerja yang tinggi serta tuntutan kinerja yang semakin baik dan pencapaian target yang harus diselesaikan telah mendorong jajaran pimpinan untuk mendorong kinerja para pegawai. Akibatnya tanpa disadari para pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara lebih berorientasi pada tugas dibanding orientasi pada hubungan manusia. Di sisi lain, kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara memiliki potensi risiko yaitu merugikan keuangan negara, apabila hasil penilaiannya ternyata dibawah nilai yang seharusnya atau batalnya pemanfaatan atau pemindahtanganan barang milik negara, apabila hasil penilaiannya terlalu tinggi. Gaya kepemimpinan Pejabat Direktorat Penilaian Kekayaan Negara yang demikian sering kali dikeluhkan oleh Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai pelaksana dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Keluhan tersebut mengindikasikan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai pelaksana dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum mendapatkan kepuasan yang optimal atas gaya kepemimpinan Pejabat di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, pada tahun 2007 Menteri Keuangan mencanangkan secara resmi program reformasi birokrasi sebagai program prioritas di Kementerian Keuangan. Program reformasi birokrasi mencakup penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia. Penataan organisasi meliputi modernisasi dan pemisahan, penggabungan, serta penajaman fungsi organisasi. Perbaikan proses bisnis meliputi analisa dan evaluasi jabatan, analisa beban kerja, dan penyusunan standard operating procedure (SOP). Sedangkan peningkatan manjemen sumber daya manusia meliputi penyelenggaraan pendidikan dan latihan berbasis kompetensi, pembangunan assessment , penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin dan pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Pegawai. Sebagai bagian dari program reformasi birokrasi, untuk meningkatkan kinerja pegawai dan mengurangi tindak korupsi, pada akhir tahun 2007 para pegawai Kementerian Keuangan termasuk pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara diberikan remunerasi yang besarannya tergantung dari grading jabatan yang diukur berdasarkan beban kerja dan risiko pekerjaannya. Dengan demikian, besaran penerimaan yang diterima masing-masing pegawai berbeda-beda. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, program reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan telah memberikan perbaikan penghasilan, namun dengan adanya penilaian kinerja yang cukup ketat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.01/2008 tentang Pedoman Penetapan, Evaluasi, Penilaian, Kenaikan dan Penurunan Jabatan dan Peringkat Bagi Pemangku Jabatan Pelaksana di Lingkungan Kementerian Keuangan, para pegawai merasakan adanya tuntutan pekerjaan yang semakin berat dan menuntut penyelesaian yang semakin cepat dan akurat, sehingga dirasakan besaran penghasilan yang diterima belum memenuhi harapan para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.Rumitnya penggunaan fasilitas asuransi kesehatan serta kecilnya besaran pertanggungan juga belum sesuai dengan harapan para pegawai. Tidak adanya perlindungan asuransi jiwa dalam pelaksanaan pekerjaan para pegawai serta kebijakan cuti bersama juga sering dikeluhkan oleh para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, patut diduga bahwa kompensasi finansial yang diterima belum memberikan kepuasan yang optimal bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Saat ini pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara menempati separuh lantai 6 Gedung Syafrudin Parwiranegara yang kondisinya telah cukup tua, pernah mengalami kebakaran sebanyak dua kali, mengalami keretakan pada struktur bangunan, dan mengalami kemiringan sebesar tiga centi meter akibat gempa yang mengguncang Jakarta pada tahun 2009. Ruangan Pejabat Eselon II dan III dipisahkan oleh sekat atau partisi, sedangkan ruangan eselon IV dan pelaksana menggunakan satu ruangan terbuka yang tidak dipisahkan oleh sekat atau partisi. Karena ruangan tidak sebanding dengan jumlah pegawai, maka meja pegawai berdesakan dan mengakibatkan suhu di ruangan terasa panas. Di samping itu, kenyamanan pegawai dalam bekerja terganggu karena kegaduhan dan privasi pegawai kurang terjaga. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, patut diguga bahwa kondisi kerja yang ada saat ini belum memberikan kepuasan yang optimal bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Untuk mencapai tujuan organisasi, sumber daya organisasi baik sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal harus dikelola secara efektif dan efisien. Di antara sumber daya tersebut, sumber daya manusia mempunyai peran yang sangat penting bagi pencapaian tujuan organisasi karena seluruh sumber daya organisasi dikendalikan oleh sumber daya manusia. Oleh karena itu, pengelolaan atau manajemen sumber daya manusia harus dilakukan secara hati-hati mengingat baik subjek maupun objek pengelolaannya adalah manusia. Di samping itu, upaya pencapaian tujuan organisasi sering menghadapi kendala yang berasal dari sumber daya manusia, yang salah satu sumber penyebabnya adalah adanya ketidakpuasan kerja dari para pegawainya yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai maupun kinerja organisasi.Berdasarkan hasil pengamatan, diduga kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum memberikan kepuasan kerja yang optimal bagi pelaksana dan Pejabat Eselon IV Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Oleh karena itu, pimpinan perlu menaruh perhatian pada usaha-usaha untuk memberikan kepuasan kerja, karena kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja. Pada saat pegawai merasakan kepuasan dalam bekerja maka pegawai tersebut dengan segenap kemampuan yang dimilikinya akan berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugasnya yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi organisasi. Dari sisi organisasi, kepuasan kerja pegawai secara langsung maupun tidak langsung akan pengaruh terhadap produktivitas organisasi. Ketidakpuasan pegawai merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik pimpinan bawahan dan perputaran pegawai. Sedangkan dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Penelitian mengenai kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan pegawai, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, dan masyarakat. Atas dasar fakta-fakta yang ada di lapangan perlu dilakukan penelitian apakah kompensasi yang telah diberikan kepada para pegawai, gaya kepemimpinan pimpinan, dan kondisi kerja Direktorat Penilaian Kekayaan Negara telah memberikan kepuasan kerja bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara yang dituangkan tesis yang berjudul "Analisis Pengaruh Kompensasi, Gaya Kepemimpinan, dan Kondisi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara". B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pengamatan penulis di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, ditemukan masalah bahwa : 1. Kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum optimal karena pengaruh faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, baik secara sendiri-sendiri maupun secara serentak. 2. Kepuasan kerja para Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara masih harus ditingkatkan. 3. Sistem kompensasi di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara masih harus disempurnakan. 4. Beban kerja pelaksana dan Pejabat Eselon IV Direktorat Penilaian melebihi kapasitasnya. 5. Remunerasi di Kementerian Keuangan diikuti dengan tuntutan kualitas pekerjaan dan kecepatan penyelesaian pekerjaan, sehingga besaran remunerasi masih dirasakan belum sebanding dengan beban pekerjaan dan risiko pekerjaan. 6. Pelaksanan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum didukung dengan peralatan keselamatan dan asuransi jiwa. 7. Asuransi kesehatan yang telah diberikan belum secara penuh menjamin kesehatan Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. 8. Pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara lebih berorientasi pada tugas, dibanding orientasi pada hubungan kemanusiaan. 9. Ruangan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum memberikan keleluasaan gerak dan privasi. C. Ruang Lingkup Penelitian Mengingat keterbatasan waktu, dana, dan tenaga, maka penelitian dibatasi pada masalah pengaruh kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara di Jakarta yang berkedudukan sebagai pelaksana dan Pejabat Struktural setingkat Eselon IV. D. Perumusan Masalah Kepuasan kerja merupakan pokok bahasan yang menarik bagi para ahli psikologi industri maupun manajemen karena kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda dalam dirinya sehingga tidak mudah memuaskan pegawai. Setelah diketahui identifikasi masalah dan ruang lingkup penelitian, dapat ditentukan rumusan masalah dalam tesis ini yaitu : 1. Apakah terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ? 2. Apakah terdapat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ? 3. Apakah terdapat pengaruh kondisi kerja terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ? 4. Apakah terdapat pengaruh kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ? 5. Diantara faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, faktor manakah yang paling berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ? E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, baik secara sendiri-sendiri maupun simultan terhadap kepuasan kerja yang diperoleh Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. 2. Kegunaan Penelitian a. Bagi pegawai, penelitian tentang kepuasan kerja memungkinkan usaha-usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja dan kebahagiaan pegawai. b. Bagi organisasi, khususnya bagi Bagian Kepegawaian dan jajaran pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, penelitian mengenai kepuasan kerja berguna untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui perbaikan sikap dan perilaku pegawai. c. Bagi masyarakat, penelitian mengenai kepuasan kerja akan membantu masyarakat menikmati kapasitas maksimun pelayanan organisasi serta naiknya nilai manusia dalam konteks pekerjaan. |
You are subscribed to email updates from gudang makalah, skripsi dan tesis To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Post a Comment