download makalah, skripsi, tesis dll. | TUGAS KAMPUS

Forum MT5 (1 Post = 0.2$ )

download makalah, skripsi, tesis dll.

download makalah, skripsi, tesis dll.


TESIS PERAN KELUARGA DAN PETUGAS PUSKESMAS TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI PERUMNAS X

Posted: 24 Apr 2010 02:49 AM PDT


(KODE : PASCSARJ-0034) : TESIS PERAN KELUARGA DAN PETUGAS PUSKESMAS TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI PERUMNAS X (PRODI : KESEHATAN MASYARAKAT)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Demam berdarah dengue menjadi masalah kesehatan yang sangat serius di Indonesia. Kejadian demam berdarah tidak kunjung berhenti walaupun telah banyak program dilakukan oleh pemerintah. Keluarga dan petugas kesehatan memegang peranan yang sangat penting dalam penanggulangan demam berdarah sehingga dengan melihat upaya-upaya yang mereka lakukan untuk mencegah demam berdarah dapat mengurangi terjadinya kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat pada saat ini.
Penyakit Demam Berdarah Dengue atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga, dan berkurangnya usia harapan hidup penduduk. Dampak ekonomi langsung pada penderita adalah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain yang dikeluarkan selain untuk pengobatan seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita (Depkes RI, XXXX).
Kejadian luar biasa atau KLB DBD di Indonesia terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu dengan IR (Insident Rate) sebanyak 35,19 per 100.000 ribu penduduk, lalu menurun pada tahun 1999 dengan IR 10,17 per 100.000 ribu penduduk, mengalami peningkatan kembali pada tahun XXXX dengan IR 15,99 per 100.000 ribu penduduk dan kembali meningkat pada tahun XXXX dengan IR 21,66 per 100.000 ribu penduduk, kembali menurun pada tahun XXXX yaitu IR 19,24 per 100.000 ribu penduduk dan meningkat tajam kembali pada tahun XXXX yaitu IR 23,87 per 100.000 ribu penduduk. Data di atas menunjukkan bahwa penyakit DBD di Indonesia menjadi fenomena yang sangat sulit diatasi di mana kejadian DBD setiap tahunnya berfluktuasi (Depkes RI, XXXX).
Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi X sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi. Berdasarkan data di wilayah Propinsi X terdapat 8 daerah endemis DBD yaitu: Kota X. Daerah Sporadis DBD sebanyak 15 daerah, yaitu: Kota X. Daerah Potensial/Bebas DBD adalah X dikarenakan daerah tersebut berada di tempat dataran tinggi di mana suhu udara rendah sehingga tidak memungkinkan nyamuk hidup dan berkembang biak (Dinkes Kota X, XXXX).
Angka kejadian penyakit DBD di X Utara dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun XXXX jumlah penderita (IR) adalah 3,6/100.000 penduduk (353 penderita), tahun XXXX sampai XXXX naik menjadi 8,79/100.000 penduduk (1093 penderita). Pada tahun XXXX terjadi ledakan kasus yang sangat tajam yaitu 30,75/100.000 penduduk (3.657) penderita dan tahun XXXX terjadi penurunan yaitu 17,58/100.000 penduduk (2.091 penderita), tahun XXXX terjadi kembali peningkatan kasus yaitu menjadi 34,5/100.000 penduduk. Angka ini masih jauh dari target Indonesia Sehat 2010 yaitu 2/100.000 penduduk. Sebaliknya, walaupun jumlah penderita naik, tapi angka kematian DBD (CFR) mengalami penurunan sejak tahun XXXX yaitu 2,84% menjadi 1,53% pada tahun XXXX dan menurun lagi menjadi 0,83% pada tahun XXXX. Penurunan CFR ini menunjukkan bahwa penanganan kasus di sarana pelayanan kesehatan sudah mengalami peningkatan, namun tingginya IR menunjukkan masih banyak tempat-tempat berkembang biak (Breeding Places) dan tempat peristirahatan (Resting Places) nyamuk Aedes aegypti di lingkungan penduduk (Dinkes Provinsi X, XXXX).
Berdasarkan SK Menkes Nomor 581 Tahun 1992, kegiatan pokok upaya penanggulangan penyakit DBD yang dilaksanakan dengan cara tepat guna oleh pemerintah adalah pencegahan, penemuan, pertolongan dan pelaporan, penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit DBD, penanggulangan seperlunya, penanggulangan lain dan penyuluhan (Depkes, 1996).
Pemerintah pada tanggal 12 Nopember 1999 yang bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional ke-40 mencanangkan Gerakan PSN DBD. Oleh karena itu yang menjadi penggeraknya dipilih oleh pemerintah Jumantik (Juru Pemantau Jentik) dan supervisor dari masyarakat sendiri (Depkes RI, XXXX).
Upaya program penanggulangan penyakit DBD yang dilaksanakan sangat banyak tetapi belum optimal karena lebih banyak mempengaruhi epidemiologi penyakit DBD. Angka kematian DBD cenderung menurun walaupun kasus bertambah, hal ini menunjukkan bahwa penatalaksanaan kasus cukup efektif di pelayanan kesehatan yang ada tetapi peran serta masyarakat untuk pencegahan penyakit demam berdarah belum ada (Depkes RI, XXXX).
Menurut Kepala Dinas Kesehatan melalui Kasubdin Program Pencegahan Penyakit/P2P (Pulungan, XXXX), bahwa DBD bukan hanya menyerang orang dewasa, hal tersebut sesuai data tahun XXXX, yang diketahui 27% penderita penyakit yang berasal dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti di X korbannya balita, dan dari 27% tersebut, 9% balita 0-4 tahun dan 18% berusia 5-12 tahun dan sisanya paling banyak berusia 20-24 tahun. Saat ini seluruh kecamatan di X berstatus endemis DBD. Kecamatan tersebut adalah X Tuntungan sebanyak 69 orang, X Johor sebanyak 74 orang, X Amplas sebanyak 69, X Denai sebanyak 92 orang, X Area sebanyak 27 orang, X Kota sebanyak 68 orang, X Maimun sebanyak 12 orang, X Polonia sebanyak 27 orang, X Baru sebanyak 113 orang, X Selayang sebanyak 83 orang, X Sunggal sebanyak 127 orang, X sebanyak 213 orang, X Petisah sebanyak 77 orang, X Barat sebanyak 28 orang, X Timur sebanyak 65 orang, X Perjuangan sebanyak 51 orang, X Tembung sebanyak 75 orang, X Deli sebanyak 53 orang, X Labuhan sebanyak 12 orang, X Marelan sebanyak 28 orang dan X Belawan sebanyak 15 orang. Kecamatan X merupakan daerah yang terbanyak penderita demam berdarah (Dinkes Kota X, XXXX).
Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi dan mencegah penyakit DBD oleh Dinas Kesehatan Kota X antara lain: (1) Pertolongan pertama pada penderita DBD, dan selanjutnya dirujuk kerumah sakit apabila perlu (2) Penyuluhan terus menerus kepada masyarakat (berkoordinasi dengan Sie. Promosi Kesehatan dan Lintas Sektoral) (3) Fogging Foccus dan Fogging ULV (4) Penaburan bubuk Abate pada tempat-tempat penampungan air (5) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara bergotong royong yang melibatkan masyarakat dan Lintas Sektoral. Namun upaya yang telah dilakukan belum dapat merubah status daerah endemis DBD di Kota X. Kondisi di atas mengingatkan bahwa kasus penyakit DBD belum dapat ditanggulangi secara maksimal walaupun telah dilakukan berbagai upaya (Dinkes Kota X, XXXX).
Pada tahun XXXX, Sub Direktorat Arbovirus Departemen Kesehatan yang membidangi upaya pemberantasan penyakit yang bersumber dari binatang termasuk di dalamnya upaya pemberantasan penyakit DBD, mensosialisasikan Rencana Strategis (Renstra) Program Pemberantasan Penyakit DBD Tahun XXXX-XXXX. Dalam Renstra tersebut dikemukakan banyak faktor yang mendukung peningkatan kasus, antara lain kurangnya upaya penggerakan masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN DBD), kurangnya keterlibatan keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dan kurang aktif petugas dalam menjalankan fungsinya.
Terlihat dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti tanggal 3 Nopember XXXX pada keluarga yang salah seorang anggota keluarganya terkena penyakit demam berdarah dengue didapat bahwa pada awalnya si ibu tidak tahu akan pentingnya PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dikarenakan kurangnya petugas memberi informasi dan penyuluhan. Petugas menjadi aktif apabila ada kasus dan petugas kesehatan di Puskesmas X yang bertugas untuk menangani pencegahan demam berdarah dengue hanya 1 (satu) orang.
Pengadaan kampanye kebersihan yang intensif dan penyebaran leaflet merupakan upaya di tingkat masyarakat yang telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi hal ini sering gagal karena tidak adanya keterlibatan keluarga di dalamnya. Peran keluarga sangat dibutuhkan untuk mendorong mereka mau melaksanakan kegiatan 3M secara intensif di rumah dan juga melibatkan keluarga agar turut serta dalam kegiatan PSN yang ada di lingkungannya (Depkes, XXXX).
Petugas mempunyai peran yang juga tidak kalah pentingnya. Selama ini petugas hanyalah sebatas penyuluh kesehatan yang bertugas memberikan informasi. Padahal seorang petugas kesehatan bukan hanya memberikan informasi tetapi juga harus membagi pengetahuan mereka di setiap kesempatan di manapun petugas berada. Pada dasarnya pemeliharaan kesehatan dasar adalah keterlibatan masyarakat. Hubungan yang erat antara petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat sangat penting dan harus merupakan proses dua arah. Petugas kesehatan harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang mereka layani (Tarimo, 1994).
Seharusnya melalui program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD yang matang dan ditunjang oleh informasi kesehatan khususnya yang menyangkut penyakit DBD, maka diharapkan keikut sertaan masyarakat terutama keterlibatan keluarga dalam pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M di lingkungan tempatnya tinggal, sehingga penyebaran penyakit DBD dapat diatasi (Depkes RI, 1992).
Berdasarkan paparan di atas, di mana program penanggulangan penyakit demam berdarah dengue belum sepenuhnya dapat menanggulangi kasus penyakit demam berdarah dengue maka sangat penting dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat khususnya keluarga, sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat menggali peran keluarga dan petugas puskesmas dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah dengue.

1.2. Permasalahan
Bagaimana peran keluarga dan petugas Puskesmas dalam penanggulangan penyakit demam berdarah dengue di Perumnas X.

1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran keluarga dan petugas Puskesmas dalam upaya penanggulangan penyakit demam berdarah dengue, sehingga didapat suatu model pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan penyakit demam berdarah dengue yang tepat dan sesuai dengan keinginan masyarakat.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Dinas Kesehatan Kota X mendapat masukan bagaimana kinerja petugas pelayan kesehatan dan keberhasilan program penanggulangan serta pencegahan penyakit demam berdarah dengue.
2. Memotivasi keluarga agar dapat mencegah penyakit demam berdarah dengue secara berkelanjutan.
3. Sebagai bahan masukan kepada petugas kesehatan di Puskesmas X dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue tentang metode promosi yang tepat sebagai upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
4. Menambah wawasan penulis dalam bidang penelitian kualitatif.

TESIS PENGARUH PERSEPSI TENTANG MUTU PELAYANAN SPESIALISTIK EMPAT DASAR TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP

Posted: 24 Apr 2010 02:48 AM PDT


(KODE : PASCSARJ-0033) : TESIS PENGARUH PERSEPSI TENTANG MUTU PELAYANAN SPESIALISTIK EMPAT DASAR TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP (PRODI : KESEHATAN MASYARAKAT)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional untuk tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat menwujudkan derajat kesehatan yang optimal. Selaras dengan tujuan pembangunan kesehatan adalah terdapatnya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional, untuk itu perlu ditingkatkan upaya guna memperluas dan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau (Mulyadi, XXXX)
Rumah Sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan memberikan dua jenis pelayanan kepada masyarakat, yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit rawat inap. Rumah Sakit merupakan insitusi yang komplek, dinamis dan kompetitif, padat modal, padat karya yang multi disiplin, serta padat teknologi dan dipengaruhi lingkungan yang selalu berubah. Rumah Sakit secara konsisten tetap dituntut untuk menjalankan misinya sebagai institusi pelayanan sosial dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat (Muninjaya, XXXX).
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan, maka peningkatan sumber daya manusia menjadi tuntutan masyarakat, sehingga kinerja pelayanan dapat diandalkan, bermutu dan berorentasi kepada pelanggan yang dapat memberikan kepuasan pasien. Tata cara penyelenggaraanya harus juga sesuai dengan standar kode etik yang telah ditetapkan (Azwar, XXXX).
Mutu pelayanan yang diberikan tidak akan pernah sempurna, karena setiap pasien adalah pribadi yang unik, sehingga pelayanan tidak selalu dapat memuaskan, karena mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien sangat ditentukan oleh pelaksana pelayanan (Rangkuti, XXXX).
SK Menteri Kesehatan RI No/983/Menkes/SK/X11/1992 menyebutkan bahwa Rumah Sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialis dan subspesialis. Rumah Sakit ini mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Rumah Sakit biasanya dibagi menurut kapasitas serta jenis pelayanan yang dilakukan. menjadi Rumah Sakit kelas A, B, dan C. Rumah Sakit tipe C merupakan Rumah Sakit yang memberikan pelayanan spesialis empat dasar, seperti kebidanan, penyakit dalam, bedah dan anak. Setiap kabupaten di tanah air pada umumnya mempunyai Rumah Sakit tipe C, sedang Rumah Sakit tipe B mempunyai pelayanan yang lebih lengkap dan Rumah Sakit tipe A merupakan Rumah Sakit yang paling lengkap dengan pelayanan spesialistik dan subspesialistik (Muninjaya, XXXX).
Mutu pelayanan Rumah Sakit dipengaruhi oleh sumber daya manusia, peralatan dan sistem kerjanya. Pelayanan diRumah Sakit salah satunya diberikan oleh dokter. Dalam memberikan pelayanan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dokter ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam hal pengetahuan, keterampilan, komunikasi dan perilaku dari dokter tersebut.
Di Indonesia penilaian mutu dan Quality Ansurance(QA) telah mendapat perhatian yang sejak tahun 1978. Rumah Sakit Gatot Subroto adalah yang pertama menerapkan upaya penilaian mutu, yang didasarkan atas derajat kepuasan pasien. Setelah itu beberapa Rumah Sakit juga menerapkan pengembangan kegiatan mutu pelayanan dengan cara yang berbeda. Rumah Sakit Husada Jakarta membuat penilaian mutu atas dasar kepuasan pasien sejak 1984, Rumah Sakit Adi Husada Surabaya membuat penilain mutu atas dasar penilaian perilaku dan pelaksanaan kerja (performan) perawat, serta RS dr. Sutomo Surabaya telah melaksanakan penilaian infeksi nosokomial (Jacobalis, XXXX).
Seiring dengan peningkatan pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka sistem nilai dan orientasi dalam masyarakat mulai berubah. Masyarakat mulai menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih ramah dan lebih bermutu, termasuk juga pelayanan kesehatan ini. Dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan, maka fungsi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan dalam Rumah Sakit secara bertahap perlu terus ditingkatkan, agar menjadi lebih efektif dan efisien, serta memberi kepuasan terhadap pasien, keluarga maupun masyarakat (Mulyadi, XXXX).
Dokter adalah andalan utama suatu Rumah Sakit, perlu disadari bahwa dokterlah yang dicari oleh pelanggan ekternal untuk kesembuhan dari penyakit yang diderinya. Dokter di Rumah Sakit adalah koordinator pelayanan medis bagi seorang pasien.meskipun dokter tidak dapat bekerja sendiri untuk tugasnya itu, dokter diakui memegang peran sentral dalam memberikan citra dan kinerja di Rumah Sakit (Suroso, XXXX).
Dokter spesialis empat dasar di Rumah Sakit dapat meningkatkan penerimaan rawat inap, terutama dokter bedah dan ahli penyakit dalam. Peningkatan pasien rawat inap pada pelayanan bedah dan penyakit dalam disebabkan kasus bedah memerlukan penanganan di Rumah Sakit, meningkatnya usia harapan hidup di masyarakat Indonesia, akan terjadi peningkatan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif, untuk dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta spesialis anak, kemungkinan mempunyai praktek pribadi atau klinik diluar Rumah Sakit (Trisnantoro, XXXX).
RSU X berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan No.069.A/Menkes/SK/I/1993 tanggal 9 Januari menjadi Rumah Sakit tipe C. RSU X merupakan Rumah Sakit tipe C dengan kapasitas 126 tempat tidur. RSU X tidak mempunyai pesaing dengan RS Swasta di kota X sehingga masyarakat mendapat pelayanan kesehatan di tingkat RS hanya di RSU X, tetapi banyak masyarakat berobat keluar daerah seperti X, setelah ada bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami Desember XXXX, masyarakat banyak menggunakan pelayanan kesehatan ke RSU X, ini merupakan suatu peluang untuk melayani pasien dalam pelayanan kesehatan.
Hasil pengamatan di lapangan RSU X pada tahun XXXX Bed Ocupation Rate (BOR) 48,28% dan XXXX BOR 57,73%, terlihat jelas pada BOR Rumah Sakit masih dibawah 70%. RSU X merupakan tipe C yang memberi pelayanan pada pasien didasarkan pada empat dasar spesialis yaitu pelayanan spesialis penyakit dalam, pelayanan spesialis bedah, pelayanan spesialis kandungan dan pelayanan spesialis anak.
BOR di Rumah Sakit X dalam empat pelayanan dasar spesialistik pada tahun XXXX dan tahun XXXX, menggambarkan secara umum pelayanan spesialistik empat dasar yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan anak dan pelayanan kebidanan dan kandungan rata-rata BOR dibawah 70%. Dalam hal ini tampak rendah, BOR pelayanan spesilistik empat dasar pada tahun XXXX adalah 48,28% yang terdiri dari pelayanan penyakit dalam 60,2%, pelayanan bedah 40,27%, pelayanan anak 33,05%, dan pelayanan kebidanan 59,59 sedangkan tahun XXXX ada peningkatan BOR menjadi 57,75% tetapi masih tetap rendah yaitu pelayanan penyakit dalam 63,38%, pelayanan bedah 68,32%, pelayanan anak 36,12, dan pelayanan kebidanan 63,18% (BPK RS X).
Pada tahun XXXX terjadi peningkatan sedikit kunjungan pasien ke RSU X, sedangkan tahun XXXX kunjungan rendah. Hal ini disebabkan kondisi keamanan di daerah X khususnya di Kabupaten X tidak aman sehingga masyarakat enggan untuk keluar rumah.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah adalah bagaimana mutu pelayanan spesialistik empat dasar mempengaruhi kepuasan pasien rawat inap di BPK RSU. X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis pengaruh persepsi tentang mutu pelayanan spesialistik empat dasar terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2. Tujuan khusus
1.3.2.1. Untuk menganalisis pengaruh pelayanan spesialistik empat dasar berdasarkan reliability terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2.2. Untuk menganalisis pengaruh mutu pelayanan spesialis empat dasar berdasarkan responsivines terhadap kepuasan pasien di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.
1.3.2.3. Untuk menganalisis pengaruh pelayanan pelayanan spesialistik empat dasar berdasarkan tangible terhadap kepuasan pasien rawat inap di Badan Pelayanan Kesehatan RSU. X.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi pimpinan BPK RSU X dapat memberikan masukan tentang mutu pelayanan dokter spesialistik empat dasar.
1.4.2. Bagi dokter spesialistik empat dasar di BPK RSU X dapat mengetahui tentang mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien.
1.4.3 Bagi peneliti berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperoleh ilmu pengetahuan setelah penelitian tentang mutu pelayanan kinerja dokter spesialistik.

TESIS IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) TERHADAP MASYARAKAT DI LINGKUNGAN PTPN X

Posted: 24 Apr 2010 02:47 AM PDT


(KODE : PASCSARJ-0032) : TESIS IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) TERHADAP MASYARAKAT DI LINGKUNGAN PTPN X (PRODI : ILMU HUKUM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan peradaban modern eksistensi suatu perusahaan atau dunia usaha terus menjadi sorotan. Salah satu isu penting yang masih terus menjadi perhatian dunia usaha hingga saat ini adalah soal tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang selanjutnya dalam penulisan ini disingkat CSR. Sebagai bagian dari konfigurasi hubungan antara dunia bisnis dan masyarakat, persoalan tanggung jawab sosial perusahaan mengalami rumusan konseptual yang terus berubah, sejalan dengan perkembangan yang dialami oleh dunia usaha itu sendiri. Pada awalnya dan untuk waktu yang sangat panjang, dunia usaha barang kali tidak perlu atau tidak pernah berfikir mengenai tanggung jawab sosial. Hal ini karena proposi teori klasik, sebagaimana dirumuskan oleh Adam Smith tugas korporasi diletakkan semata-mata mencari keuntungan, "the only duty of the corporation is to make profit. Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meningkatkan keuntungan.
Secara perlahan ideologi " the only duty of the corporation is to make profit" yang dianut oleh korporasi telah berubah dengan munculnya kesadaran kolektif bahwa kontiunitas pertumbuhan dunia usaha tidak akan terjadi tanpa dukungan yang memadai dari stakeholder yang melingkupinya seperti, manajer, konsumen, buruh dan anggota masyarakat. Inti dari pandangan ini adalah bahwa dunia usaha tidak akan sejahtera jika stakeholdernya juga tidak sejahtera.
Perusahaan itu sesungguhnya tidak hanya memiliki sisi tangung jawab ekonomis kepada para shareholders seperti bagaimana memperoleh profit dan menaikkan harga saham atau tanggung jawab legal kepada pemerintah, seperti membayar pajak, memenuhi persyaratan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan ketentuan lainnya. Namun, jika perusahaan ingin eksis dan ekseptabel, harus disertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial.
CSR pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik sejak hadirnya tulisan Howard Bowen, Social Responsibility of the Businessmen tahun 1953 (Harper and Row, New York). CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Singkatnya, konsep CSR mengandung makna, perusahaan atau pelaku bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan. Lebih khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari perilaku korporasi, seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktik tenaga kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan, perlindungan konsumen, sumbangan sosial, standar-standar pelimpahan kerja dan barang, serta operasi antar negara.
Wacana CSR semakin terasa dengan diterbitkannya buku "Silent Spring" karangan Rachel Carson yang membahas pertama kalinya tentang persoalan lingkungan dalam tataran global. Karyanya menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran.Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian kian luas.Pemikiran korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam The future Capitalism yang ditulis Lester Thurow tahun 1966. Menurutnya, kapitalisme-yang menjadi mainstream saat itu tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang nantinya disebut sustainable society.
Di era 1970 an CSR dianggap sebagai isu marjinal tetapi kemudian para pebisnis dan pemimpin pemerintahan menyadari sepenuhnya bahwa mustahil membebankan seluruh pemecahan masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan dipundak pemerintah, sementara di lain sisi, pihak perusahaan punya kekuatan yang hampir sama dengan pemerintah karena kemampuan ekonominya.
Di Indonesia kesadaran para pelaku bisnis dalam menerapkan CSR relatif baru, yaitu awal 1990. Adanya anggapan para pelaku bisnis di Indonesia bahwa tanggung jawab sosial dipandang sebagai aktivitas yang bersifat buang-buang biaya. Padahal program CSR justru memberikan banyak keuntungan pada perusahaan.
Secara perlahan dalam dunia usaha di Indonesia mulai muncul spektrum baru berkaitan dengan pentingnya dunia usaha mempertajam kesadaran mereka tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Korporasi harus memandang bahwa tanggung jawab sosial perusahaan perlu diupayakan di lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Dalam lingkup internal perusahaan, implementasi CSR merupakan keputusan strategis perusahaan yang secara sadar di desain sejak awal untuk menerapkan lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan karyawan, aspek bahan baku dan limbah yang ramah lingkungan, serta semua aspek dalam menjalankan usaha dijamin tidak menerapkan praktek-praktek jahat. Dalam lingkup eksternal implementasi CSR harus dapat memperbaiki dalam aspek sosial dan ekonomi pada lingkungan sekitar perusahaan pada khususnya serta lingkungan masyarakat pada umumnya. Tanggung jawab eksternal ini menjadi kewajiban bersama antar entitas bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan yang berkelanjutan. Maka tidak berlebihan seperti judul dalam konperensi CSR, bahwa dalam sebuah entitas bisnis, responsible business is good business.
Pembangunan industri sebenarnya memiliki dampak positif dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, dan dapat menjadi aset pembangunan nasional maupun daerah. Namun kenyataan selama puluhan tahun praktik bisnis dan industri korporasi Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat sekitar, tetap tidak bisa ditampik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) XXXX- XXXX, mengenai permasalahan dan agenda pembangunan, menegaskan bahwa telah terjadi ekses negatif dari pembangunan, yaitu kesenjangan antar golongan pendapatan, antar wilayah dan antar kelompok masyarakat.
Masyarakat yang sejak awal telah miskin, kenyataannya semakin termarginalkan dengan kehadiran berbagai jenis korporasi. Korporasi tidak melaksanakan CSR secara baik terhadap masyarakat. Alih-alih melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar dengan melakukan community development, korporasi cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan oleh korporasi, biasanya bersifat charity, seperti memberi sumbangan, santunan, sembako, dan lain-lain. Program charity ini menjadi dalih bahwa mereka juga memiliki kepedulian sosial. Dengan konsep charity, kapasitas dan akses masyarakat tidak beranjak dari kondisi semula, tetap marginal. Charity menjadi program yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa memutus rantai kemiskinan.
Hukum sebagai perangkat norma-norma kehidupan dalam bermasyarakat merupakan salah satu instrumen terciptanya aktivitas bisnis yang lebih baik. Para pelaku bisnis (perusahaan) dan masyarakat hendaknya tercipta hubungan yang harmonis. Untuk itulah perusahaan dan masyarakat harus dapat bersinergi, dalam hal ini perusahaan harus mampu menghapus segala kemungkinan kesenjangan yang terjadi. Perusahaan merupakan badan usaha yang berbadan hukum yang merupakan subjek hukum dengan demikian perusahaan mempunyai hak dan tanggung jawab hukum juga mempunyai tanggung jawab moral, dimana tanggung jawab moral ini dapat menjadi cerminan dari perusahaan tersebut.
Dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis itu sendiri, diyakini bahwa tidak benar kalau para manajer perusahaan hanya punya tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer perusahaan sebagai manusia dan sebagai manajer sekaligus mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral kepada orang banyak dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur masyarakat setempat dan seterusnya.Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer
perusahaan tidak hanya tertuju kepada shareholders (pemegang saham) tetapi juga kepada stakeholders pada umumnya.
Selain itu perusahaan sebagai subjek hukum seyogyanya juga menjadi mahluk sosial yang pemperhatikan lingkungan sosialnya sehingga perusahaan itu tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing di lingkungannya. Hal ini sangat penting, terutama jika kita berbicara tentang perusahaan raksasa yang terkadang merupakan "negara dalam negara" karena besarnya. Banyak perusahaan raksasa yang justru berprilaku sebagai penguasa daerah dan mendikte pemerintah daerah. Satu dan lain hal karena pemerintahan daerah sangat bergantung pada perusahaan raksasa tersebut, baik itu pajak, retribusi, lapangan kerja, realisasi maupun pembangunan masyarakat (Community Development).
Mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial di dalam pengertian good governance, yang subtansi dan pelaksanaanya menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat yang utama efisiensi dan pemerataan. Dalam pelaksanaannya, good governance mengandalkan rule of law terutama yang mencakup bidang ekonomi dan politik, penentuan kebijakan yang transparan, pelaksanaan kebijakan yang accountable, birokrasi yang berkualitas dan juga masyarakat yang capable.
Mochtar Kusumaatmadja mencatat bahwa hukum sebagai sarana pembangunan bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Dalam konteks perusahaan, berarti hukum berperan penting tidak hanya terhadap pemegang saham (shareholders), tapi juga mengatur berbagai pihak (stakeholders) dalam kegiatan korporasi agar berjalan sesuai dengan koridor keadilan sosial, selain untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi secara teratur.
Harapan adanya peraturan yang baik serta dijalankannya law enforcement. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat (living law). Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Beberapa korporasi mulai sadar akan pentingnya menjalankan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, tapi lebih banyak lagi korporasi yang mangkir dari kewajibannya itu. Karena itu perlu suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep dan jenis CSR dalam rangka law enforcement dan peningkatan ekonomi lokal dan nasional. 17
Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun XXXX Tentang Perseroan Terbatas. Sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Dalam Undang-undang PT Nomor 40 Tahun XXXX, pasal 74 ayat (1) menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tangung jawab sosial dan lingkungannya. Ayat (2) berbunyi tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat (3) menyatakan perseroan yang tidak melaksanaan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa CSR, sangat dipandang perlu dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari korporasi.
Diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun XXXX tentang Perseroan Terbatas ini, mengisyaratkan bahwa CSR awalnya bersifat sukarela menjadi sebuah tanggung jawab yang diwajibkan. Namun Undang-undang Perseroan Terbatas secara eksplisit tidak mengatur berapa jumlah nominal dan atau berapa besaran persen laba bersih dari suatu perusahaan yang harus disumbangkan. Karena, pengaturan lebih lanjut merupakan domain daripada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai manifestasi dari Undang-undang, dan saat ini Peraturan Pemerintah tersebut masih dibahas oleh pemerintah.18
Jauh Sebelum Undang-undang Nomor 40 Tahun XXXX Tentang Perseroan Terbatas ini diundangkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah menerapkan CSR yang diwajibkan oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun XXXX tentang BUMN, lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Sebagai manipestasinya telah dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-236/MBU/XXXX tanggal 17 Juni XXXX dan Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-433/MBU/XXXX tanggal 16 September XXXX. Dengan demikian BUMN dapat dikatakan telah jelas aturan mainnya karena sudah ada Undang-undang tersendiri. BUMN merupakan perusahaan yang dimiliki oleh negara, bahkan pola CSR mereka sudah rinci aturan pelaksananya.
Praktik CSR oleh BUMN ini menarik untuk dikaji disebabkan oleh faktor pembeda yang secara normatif mendukung kegiatan kedermawanan sosial BUMN ini seharusnya dapat berkembang, Pertama, karena sifat dan statusnya sebagai perusahaan milik negara, BUMN tidak terkendala oleh motif pengurangan pajak (tax deduction) sebagaimana menjadi pengharapan perusahaan-perusahaan swasta. Kendati pajak tetap merupakan kewajiban bagi BUMN, kewajiban ini tidak serta merta mempengaruhi kelancaran kegiatan atau operasi BUMN.Kedua, terdapat instrumen "pemaksa" berupa kebijakan pemerintah; dimana melalui Kepmen BUMN Nomor: Kep-236/MBU/XXXX, perusahaan BUMN menjalankan Program Bina Lingkungan (PKBL). Sehingga dengan praktik derma yang imperatif tersebut dimungkinkan bahwa potensi rata-rata sumbangan sosial perusahaan-perusahaan BUMN lebih besar dari perusahaan-perusahaan swasta.
BUMN merupakan salah satu elemen utama kebijakan ekonomi strategis negara-negara berkembang. Keberadaan BUMN mempunyai pengaruh utama dalam pembangunan negara-negara dunia ketiga. Setidaknya, BUMN diperlukan dalam pengaturan infrastruktur dan public utilities, dan menempatkan dirinya untuk berperan pada hampir seluruh sektor aktivitas ekonomi.
Berdasarkan uraian-uraian diatas penulis tertarik menganalisis Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap masyarakat di lingkungan PTPN IV (Studi pada Unit X di Kabupaten X).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan Corporate Social Responsibility di lingkungan BUMN?
2. Bagaimanakah implementasi Corporate Social Responsibility yang dilaksanakan PTPN IV Unit X Kabupaten X?
3. Bagaimanakah dampak implementasi Corporate Social Responsibility terhadap masyarakat lingkungan PTPN IV Unit X Kabupaten X?

C. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, penelitian mengenai Implementasi Corporate Social Responsibility terhadap masyarakat lingkungan PTPN IV Unit X belum pernah dilakukan. Namun penelitian yang membahas tentang Corporate Social Responsibility sudah pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Adapun yang membedakan penelitian penulis dengan peneliti sebelumya, adalah sebagai berikut :
1. Corporate Social Responsibility yang dianalisa dari Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun XXXX, selanjutnya:
2. Corporate Social Responsibility, dengan landasan hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun XXXX, Tentang Penanaman Modal.
Secara subtansial yang membedakan penelitian penulis dengan peneliti terdahulu adalah sebagai berikut :
1. penelitian ini difokuskan pada BUMN, dengan landasan yuridis Undang-undang Nomor 19 Tahun XXXX, Tentang Badan Usaha Milik Negara dan Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep.236/MBU/XXXX, tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang wajib dilaksanakan oleh BUMN.
2. penelitian menitik beratkan pada aspek implementasi
Dengan demikian penelitian ini merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun terkait dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui peraturan-peraturan mengenai Corporate Social Responsibility
yang berlaku pada BUMN.
2. Untuk mengetahui implementasi Corporate Social Responsibility dalam permberdayaan ekonomi masyarakat dan bina lingkungan PTPN IV Unit X Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui dampak implementasi Corporate Social Responsibility pada masyarakat dan lingkungan PTPN IV Unit X di Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum perusahaan dan hukum bisnis di Indonesia. Diharapkan juga penelitian ini dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai CSR khususnya badan usaha yang berbentuk BUMN, umumnya dan bentuk badan usaha perseroan lainnya.
Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada kalangan pelaku bisnis di semua sektor usaha untuk dapat lebih membuka cakrawala berpikir berkaitan dengan CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan bina lingkungan.

TESIS DETERMINAN PARTISIPASI KELUARGA DALAM TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE

Posted: 24 Apr 2010 02:47 AM PDT


(KODE : PASCSARJ-0031) : TESIS DETERMINAN PARTISIPASI KELUARGA DALAM TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (PRODI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Denque Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menyerang penduduk dunia sampai saat ini. Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa daerah tropis. Di Asia virus Dengue endemis di daerah China Selatan, Hainan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Negara dengan endemisitas rendah di Papua New Guinea, Bangladesh, Nepal, Taiwan dan sebagian besar negara pasifik (Depkes, XXXX).
Menurut WHO (XXXX) jumlah penduduk dunia yang beresiko terinfeksi DBD lebih dari 2,5 sampai 3 milyar orang terutama penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Diperkirakan setiap tahunnya ada 300 juta kasus di Indonesia, dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan minimal 12.000 diantaranya meninggal dunia, terutama anak-anak (Depkes RI, XXXX).
Di Indonesia, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi (Hindra, XXXX). Penyakit DBD bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Depkes, XXXX).
Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR 41,5%). Sejak itu penyakit DBD tersebar di berbagai daerah, dan angka kejadian penyakit DBD meningkat. Pada tahun 1972 ditemukan DBD di luar Jawa yaitu X, X, dan X. Kejadian Luar Biasa penyakit DBD terjadi di sebagian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan, di mana sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah perdesaan. Sampai dengan bulan November XXXX, kasus DBD di Indonesia telah mencapai 124,811 (IR: 57,51/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%) (Depkes, XXXX).
Secara teoritis peningkatan jumlah penderita DBD dipengaruhi oleh adanya mobilitas penduduk dan arus urbanisasi yang tidak terkendali, kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola program DBD di setiap jenjang administrasi, kurangnya kerjasama serta komitmen lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian DBD, sistim pelaporan dan penanggulangan DBD yang terlambat dan tidak sesuai dengan standar, perubahan iklim yang cenderung menambah jumlah habitat vektor DBD, infrastruktur penyediaan air bersih yang tidak memadai, serta letak geografis Indonesia di daerah tropik mendukung perkembangbiakan vector dan pertumbuhan virus serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan DBD (Depkes RI, XXXX).
Berdasarkan kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD, maka Departemen Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam pengendalian penyakit DBD, yaitu menemukan kasus secepatnya dan mengobati sesuai prosedur tetap, memutuskan mata rantai penularan dengan pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik-jentiknya), kemitraan dengan wadah Kelompok Kerja Operasional DBD (POKJANAL DBD), pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan peningkatan profesionalisme pelaksana program (Depkes XXXX).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya peningkatan kasus, salah satu diantaranya adalah dengan memberdayakan masyarakat dalam kegiatan PSN melalui gerakan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada tahun XXXX dikembangkan menjadi 3M plus, yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan, abatisasi, menggunakan kelambu dan menggunakan penolak nyamuk. Sampai saat ini upaya tersebut belum menampakkan hasil yang diinginkan, karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kematian (Depkes, XXXXb).
Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan peran serta masyarakat yang belum optimal. Meskipun telah disadari bahwa peran serta masyarakat sangat berperan besar dalam penanggulangan penyakit DBD, namun masyarakat masih sering dijadikan objek yang akan diintervensi, bukan sebagai subjek yang mampu untuk melakukan intervensi untuk dirinya sendiri. Tingkat partisipasi yang dapat diterjemahkan sebagai kemauan dan kemampuan belum sepenuhnya dioptimalkan. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, adanya perbedaan status dan lain-lain (Siswono, XXXX).
Untuk meningkatkan daya dan hasil guna upaya pemberantasan penyakit DBD di tingkat desa/kelurahan dibentuk Kelompok Kerja Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (POKJA DBD) melalui Surat Keputusan Lurah/Kepala Desa dan Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL DBD) pada tingkat yang lebih tinggi. Ini merupakan forum koordinasi kegiataan pemberantasan DBD dalam wadah LKMD dan tujuan program adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata.
Pengumpulan data program P2 DBD untuk memperoleh gambaran tentang besarnya permasalahan DBD dan besarnya masalah diketahui dari jumlah desa/ endemis dan sporadis, jumlah penderita dan kematian penyakit DBD. Upaya penanggulangannya diketahui dari jumlah desa/kelurahan yang dilakukan tindakan pengasapan/fogging, abatisasi serta keberadaan Pokja DBD yang mengorganisasikan penggerakan masyarakat dalam PSN (Depkes RI, XXXX).
Di Provinsi X jumlah penderita penyakit DBD sudah melebihi indikator nasional sebesar 5 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD pada tahun XXXX dilaporkan sebanyak 795 kasus dengan angka kesakitan/Incidence Rate (IR = 18,5 per 100.000 penduduk) dan kematian sebanyak 13 orang (CFR = 1,7%) (Profil Dinas Kesehatan Provinsi X, XXXX).
Kota X terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan, salah satu kecamatan adalah X. Pada tahun XXXX di Kecamatan X terjadi KLB DBD dengan kasus 138 orang dan 2 kematian (CFR = 1,51%). Pada tahun XXXX jumlah penderita DBD sebesar 52 orang dan pada tahun XXXX di Kecamatan X jumlah kasus DBD sebanyak 57 orang. CFR di Kecamatan X adalah 2,35% dan IR = 87,66 sedangkan Kecamatan Sukajadi IR = 47,61, Senapelan IR = 24,09, X Kota IR = 31,78, Rumbai Pesisir IR = 29,78, Rumbai IR = 31,03, Sail IR = 73,68, Limapuluh IR = 45,34, Tenayan IR = 40,38, X IR = 87,66, Marpoyan Damai IR = 35,62, Tampan IR = 55,70, Payung Sekaki IR = 50,31 (IR per 100.000 penduduk) (Profil Dinas Kesehatan Kota X, XXXX)
Upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota X berupa abatisasi dan pengasapan untuk memutuskan rantai penyebaran dan perkembangbiakan vektor. Namun karena tingginya biaya dan keterbatasan anggaran maka upaya tersebut kurang berkesinambungan. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam upaya penanggulangan DBD tanpa biaya mahal adalah dengan PSN antara lain gerakan 3 M (menguras, menutup dan mengubur) yang berupa pengurasan dan penutupan tempat-tempat penampungan air, dan menimbun barang-barang tempat perkembangbiakan vektor di mana kegiatan ini merupakan tindakan yang praktis, murah, dan dapat dilakukan oleh siapapun dan di manapun (Depkes RI, XXXX).
Upaya meningkatkan peran serta masyarakat agar ikut berpartisipasi merupakan upaya pemberdayaan masyarakat khususnya keluarga. Partisipasi masyarakat menjadi faktor yang menentukan dalam pemberantasan DBD. Keberhasilan ini ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam menyumbangkan masukan (input) maupun dalam menikmati hasilnya.
Kenyataan di lapangan, program pemberantasan DBD kurang memperoleh parti sipasi masyarakat khususnya keluarga karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat. Di lain pihak juga dirasakan kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan, dan dalam bentuk apa mereka dapat untuk berpartisipasi dalam pemberantasan DBD (Depkes, XXXX).
Dengan demikian diperlukan upaya pencegahan DBD melibatkan partisipasi keluarga. Keluarga adalah satu kesatuan unit terkecil dari masyarakat sehingga dengan tingginya kesehatan keluarga maka semakin baik kesehatan keluarga. Selain itu keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah dalam kelompoknya. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. Dalam kehidupan sosial keluarga merupakan cara hidup yang didukung oleh masyarakat, jadi pembentukan keluarga tidak terlepas dari kondisi dan lingkungan yang terdapat di sekitarnya. Keluarga mempunyai fungsi di mana individu-individu itu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya (Friedman, 1998).
Dari uraian di atas, maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.

1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, DBD merupakan masalah kesehatan yang masih memerlukan perhatian dan penanganan khususnya Kecamatan X di Kota X mengingat daerah ini merupakan daerah endemis, maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X.

1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.

1.4. Hipotesis Penelitian
Ada determinan partisipasi keluarga (kesempatan, kemampuan dan kemauan berpartisipasi) dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.

1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota X sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan penyusunan program pengendalian DBD.
2. Bagi Puskesmas dan lintas sektor di Kecamatan X sebagai bahan pertimbangan untuk kebutuhan masyarakat setempat.

TESIS ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DALAM KAITANNYA DENGAN LOYALITAS PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT X

Posted: 24 Apr 2010 02:46 AM PDT


(KODE : PASCSARJ-0030) : TESIS ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DALAM KAITANNYA DENGAN LOYALITAS PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT X (PRODI : ILMU MANAJEMEN)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu upaya dalam mewujudkan Indonesia Sehat 2010, adalah meningkatkan kualitas pelayanan oleh pelaksana pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas dan Rumah Sakit. Rumah Sakit sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan, hendaknya dikelola dengan baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan jumlah pasien.
Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin membaik sehingga menimbulkan kecederungan untuk menuntut pelayanan umum yang lebih baik dan lebih cepat. Keberadaan Rumah Sakit baik swasta maupun milik pemerintah serta munculnya klinik-klinik kesehatan di kota besar menyebabkan terjadi persaingan yang ketat dalam menyediakan jasa pelayanan kesehatan. Salah satu strategi yang digunakan oleh pengelola Rumah Sakit pada umumnya adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas.
Kondisi sosial masyarakat yang semakin meningkat meyebabkan masyarakat semakin sadar akan kualitas. Peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan yang lebih berorientasi pada kepuasan pasien. Di dalam mencapai tujuan yang berorientasi pada kepuasan pasien yang meliputi aspek fasilitas rumah sakit, peranan dokter, perawat dan staf non medis Rumah Sakit menjadi sangat penting karena kinerja mereka akan menentukan persepsi pasien terhadap pelayanan yang diberikan.
Rumah Sakit (RS) X, merupakan Rumah Sakit yang memiliki VISI "Meningkatkan Mutu Pelayanan Rumah Sakit X yang unggul dan bernuansa Islami". Pada awalnya sistem nilai Rumah Sakit terutama berfungsi sosial, kemudian terjadi perubahan nilai-nilai tersebut dari fungsi sosial menjadi usaha bisnis yang surplus, "profit making" sehingga dari operasionalnya dapat dilakukan renovasi, reinvestasi, pengadaan peralatan modern, pengembangan sumber daya manusia secara berkesinambungan.
Rumah Sakit X adalah salah satu karya monumental masyarakat di X yang sangat bernilai dari segi material dan moral. Rumah Sakit X merupakan sebuah lembaga bisnis yang bergerak dibidang jasa pelayanan kesehatan dengan kriteria rumah sakit tipe C, berlokasi di Jalan Diponegoro No 4 X yang merupakan lokasi yang cukup strategis, dan dekat dengan daerah perkantoran dan pertokoan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES) No. 262 tahun 1979 dengan standard rumah sakit tipe C sebagai berikut : tenaga medis sebanyak 20 orang, tenaga para medis perawatan sebanyak 95 orang, tenaga para medis non perawatan sebanyak 96 orang, tenaga non medis 140 orang. Berikut ini adalah perbandingan total tenaga pada rumah sakit tipe C :
- Tenaga medis dengan perbandingan 9: 1,
- Tenaga para medis perawatan dengan perbandingan 1: 1
- Tenaga para medis non perawatan dengan perbandingan 5: 1
- Tenaga non medis dengan perbandingan 4:3
Rumah Sakit ini mempekerjakan 145 karyawan tetap dengan rincian sebagai berikut: tenaga medis sebanyak 10 orang, tenaga para medis perawatan sebanyak 83 orang, tenaga para medis non perawatan sebanyak 11 orang, dan tenaga non medis sebanyak 54 orang. Berarti kriteria tenaga medis dan non medis masih belum memenuhi standar sebagai Rumah Sakit tipe C. Fasilitas pelayanan yang disediakan antara lain dokter Spesialis, Instalasi Gawat Darurat (IGD) 24 jam, Poli umum, Instalasi Rawat Inap, Rawat Inap Khusus (ICU), Persalinan 24 jam, KIA/KB, Laboratorium, Tindakan Medis Operatif, Radiologi, Elektro Medis, Rawat Jalan, Ambulance, Haemodialise (HD), Apotik.
Sarana dan prasarana Rumah Sakit X saat ini dari berbagai informasi masih dinilai sederhana dan pelayanannya sering terganggu karena pemeliharaan sarana yang kurang memadai, proporsi antara tenaga dan peralatan masih kurang seimbang, begitu juga dengan penempatan tenaga yang kurang sesuai. Catatan rekam medik pasien rawat inap masih sederhana.
Data pasien Rawat Inap yaitu BOR (Bed Occupancy Rate) tahun XXXX (39,50%), tahun XXXX (48,2 %), dan tahun XXXX (39,60%), ini menunjukkan bahwa jumlah setiap bulannya mengalami fluktuasi, kadang-kadang naik atau sebaliknya. Berdasarkan data tersebut di duga bahwa fluktuasinya BOR dari tahun ke tahun disebabkan oleh permasalahan adanya kemungkinan ketidakpuasan pasien dengan pelayanan yang diberikan.
Data pasien yang Rawat Inap di Rumah Sakit X menunjukkan masih kurangnya loyalitas pasien terhadap penampilan Rumah Sakit X secara keseluruhan. Mengembangkan loyalitas pasien Rawat Inap membutuhkan tantangan yang tidak terbatas, apalagi saat ini pasien dan keluarga pasien sudah lebih kritis dalam memilih Rumah Sakit sebagai fasilitas berobat, antara lain dapat membandingkan pelayanan Rumah Sakit satu dengan yang lainnya terutama dalam kualitas pelayanan.
Dalam kualitas pelayanan di Rumah Sakit X, diperoleh informasi dari beberapa pasien, bahwa Rumah Sakit X pelayanan yang diberikan masih kurang memuaskan dalam bidang pelayanan medis, para medis, kelengkapan peralatan dan kebersihannya.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
a. Sejauhmana pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
b. Sejauhmana hubungan kepuasan pasien terhadap loyalitas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
b. Untuk menganalisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
c. Untuk mengetahui hubungan kepuasan pasien dengan loyalitas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Bagi Sekolah Pascasarjana X, sebagai informasi dan menambah khasanah keilmuan untuk lembaga akademis sehingga dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
b. Yayasan Rumah Sakit X, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan mengenai pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit X sehingga kepuasan pelanggan tercapai.
c. Peneliti, sebagai pengembangan pengetahuan yang diperoleh penulis selama dibangku perkuliahan khususnya dibidang pemasaran.
d. Sebagai referensi bagi peneliti berikutnya dalam meneliti dan mengkaji masalah yang sejenis.

1.5 Kerangka Pemikiran
Menjadi organisasi yang fokus pada konsumen adalah pilihan strategis bagi industri Rumah Sakit dan dunia usaha umumnya agar mampu bertahan ditengah situasi lingkungan ekonomi yang memperlihatkan kecenderungan fluktuasi dan semakin meningkatnya kualitas hidup. Salah satu cara adalah dengan menciptakan kepuasan pelanggan melalui peningkatan kualitas, karena pelanggan adalah fokus utama.
Kualitas pelayanan yang prima akan memberikan dampak terhadap kepuasan pelanggan yang dapat menguntungkan perusahaan dan dapat membentuk hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan dan pelanggan
Menurut Lupiyoadi (XXXX) dalam menentukan tingkat kepuasan, seorang pelanggan seringkali melihat dari nilai lebih suatu produk maupun kinerja pelayanan yang diterima dari suatu proses pembelian produk atau jasa. Pencarian nilai oleh pelanggan terhadap produk (jasa) perusahaan, kemudian menimbulkan teori yang disebut dengan customer delivered value (nilai yang diterima oleh pelanggan) yaitu besarnya selisih nilai yang diberikan oleh pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan yang ditawarkan kepadanya dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelanggan untuk memperoleh produk tersebut.
Sedangkan menurut Groonroos dalam Ratminto dan Winarsih (XXXX) pelayanan adalah aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan, atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen/ pelanggan.
Pengukuran terhadap produk jasa yang sifatnya intangible. Menurut para peneliti, didapati bahwasanya para konsumen memiliki beberapa kriteria yang digunakan sebagai tolok ukurnya pengevaluasian dan pengukuran produk jasa tersebut, yaitu :
Bukti Langsung (tangibles) yang meliputi fasilitas fisik sarana prasarana, perlengkapan utama dan pendukung, pegawai internal (kantor) dan eksternal (dilapangan) serta sarana komunikasi.
Kehandalan (reliability) yang memberikan jasa pelayanan serta informasi seakurat dan sesegera mungkin dengan tingkat hasil memuaskan,
Daya Tanggap/Daya Serap (responsiveness) yang secara tanggap dan cepat memberikan pelayanan kepada pelanggannya serta dengan tingkat serap yang baik atas informasi yang diberikan,
Jaminan (assurance) yang mencakup lingkup dasar pengetahuan, kemampuan, kesopanan serta sifat pegawai/staf yang dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan dalam melaksanakan tugas serta tanggungjawab tanpa dengan adanya pengawasan yang sangat ketat, tetapi berdasarkan sadar disiplin,
Empati (emphaty) yang meliputi karakter personal yang dapat memudahkan melakukan hubungan atau komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan, dan keperluan pelanggan dipenuhi, suatu pelayanan dinilai memuaskan bila ia dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelangganya. Ada beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menilai suatu pelayanan, yaitu : ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan teknis, diharapkan berkualitas dan harga yang sepadan (Sugito, XXXX).
Menurut Kotler (XXXX) bahwa orang yang sangat puas dan senang akan memiliki ikatan emosional dengan mereknya, bukan hanya preferensi rasional dan hal ini menyebabkan loyalitas pelanggan. Loyalitas memiliki dimensi yang berbeda dengan kepuasan. Kepuasan menunjukkan bagaimana suatu produk memenuhi tujuan pelanggan (Oliver, 1999). Kepuasan pelanggan senantiasa merupakan penyebab utama timbulnya loyalitas.
Loyalitas adalah respon perilaku/pembelian yang yang bersifat bias dan terungkap secara terus menerus oleh pengambil keputusan dengan memperhatikan satu atau lebih merek alternatif dari sejumlah merek sejenis dan merupakan fungsi proses psikologis. Orientasi perusahaan masa depan mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional ke arah pendekatan kontemporer (Bhote,1996).
Menurut Schnaars dalam Tjiptono (XXXX), ada empat macam kemungkinan hubungan antara kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan : failures, forced loyalty, defectors, dan successes, sehingga kepuasan tidak lagi menjadi variabel intervening terhadap loyalitas pelanggan.
Untuk memperjelas teori dan dimensi yang dikemukakan diatas maka dibuat kerangka pikir sebagai berikut:

** GRAFIK SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

1.6 Hipotesis
- Semakin baik kualitas pelayanan di Rumah Sakit X maka akan semakin puas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X.
- Semakin puas pasien Rawat Inap di Rumah Sakit X maka pasien akan semakin loyal.

Related Posts



0 komentar:

Cari Skripsi | Artikel | Makalah | Panduan Bisnis Internet Disini

Custom Search
 

Mybloglog

blogcatalog

Alphainventions.com

Followers

TUGAS KAMPUS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template