download makalah, skripsi, tesis dll. |
- SKRIPSI EFEKTIVITAS MATH MANIPULATIVE TERHADAP KEMAMPUAN OPERASI PENJUMLAHAN BILANGAN ANAK USIA TK
- SKRIPSI EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN MAKRO TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA SUNDA ANAK USIA TK
- SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN BEYOND CENTERS AND CIRCLES TIME (BCCT) TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DI PLAY GROUP PLUS X
- SKRIPSI PENGARUH METODE CANTOL ROUDHOH TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TK
- SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN EKSPERIMEN TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS ANAK
| SKRIPSI EFEKTIVITAS MATH MANIPULATIVE TERHADAP KEMAMPUAN OPERASI PENJUMLAHAN BILANGAN ANAK USIA TK Posted: 02 Feb 2012 06:23 PM PST (KODE : PG-PAUD-0011) : SKRIPSI EFEKTIVITAS MATH MANIPULATIVE TERHADAP KEMAMPUAN OPERASI PENJUMLAHAN BILANGAN ANAK USIA TK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran pada anak usia dini khususnya Taman Kanak-Kanak (TK) merupakan wahana untuk mengembangkan potensi seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat masing-masing anak. Anderson (1993) mengemukakan bahwa pendidikan TK memberikan kesempatan untuk mengembangkan kepribadian anak, oleh karena itu pendidikan untuk anak TK perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi : aspek kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik, dan motorik. Pada kenyataannya, proses pembelajaran anak TK masih menjadi permasalahan di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena pola pembelajaran yang dilaksanakan cenderung berorientasi akademik dan menganggap bahwa konsep-konsep yang ada pada diri anak tidak berkembang secara spontan melainkan harus ditanamkan dan diserap oleh anak melalui perlakuan orang dewasa. Paulo Freire (Faizah : 2006) mengemukakan bahwa sekolah telah melakukan "pedagogy of the oppressed" terhadap anak-anak didiknya. Dimana guru mengajar, anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplinkan dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran. Hal ini tentu saja bertentangan dengan hakikat pembelajaran di TK yang menekankan anak sebagai pembelajar yang aktif. Apabila anak TK diajarkan dan bukannya dibelajarkan, maka pengembangan berbagai potensi anak secara optimal tidak akan tercapai. Rachmawati (2005) mengemukakan bahwa memberikan kegiatan belajar pada anak didik harus memperhatikan kematangan atau tahap perkembangan anak didik, alat bermain, metode yang digunakan, waktu, serta tempat bermain. Undang undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 14, menyatakan bahwa : Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dengan demikian, anak usia TK perlu diberikan suatu program atau kegiatan yang didasarkan pada prinsip tumbuh kembang anak dimana program yang diberikan adalah berupa pengasuhan dan pendidikan yang dapat memberikan rangsangan perkembangan fisik (motorik kasar dan halus), kognitif, bahasa, sosial-emosional, pemahaman moral dan agama secara proporsional dan terintegrasi. Hal ini berarti, tingkat perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada usia TK bukanlah merupakan suatu tingkat pencapaian kecakapan akademik (calistung), tetapi lebih merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan. Direktur Jendral Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Nasional, Ace Suryadi dalam Pujiati (2007) mengemukakan bahwa pembelajaran membaca, menulis dan berhitung pada anak usia dini/TK merupakan salah satu kesalahan terbesar dan berdampak negatif pada perkembangan anak. Selaras dengan hal tersebut, Solehuddin dalam Sriningsih (2008 : 3) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang hanya menitikberatkan kepada penguasaan baca, tulis dan hitung merupakan sesuatu yang tidak lengkap dan berdampak negatif terhadap perkembangan anak karena hanya akan mengembangkan sebagian aspek dari kecakapan individu sambil "mematikan" pengembangan kecakapan lainnya. Dengan demikian yang lebih dikehendaki adalah suatu pendekatan dan strategi pendidikan bagi anak yang lebih integratif dan comprehensif serta sesuai dengan dunia dan kebutuhannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, tentu tidak bijaksana jika anak usia TK sudah diberi 'beban' untuk cakap dalam calistung yang bersifat akademik. Namun demikian, bukan berarti anak usia TK tidak boleh diajarkan calistung khususnya berhitung. Yang perlu ditekankan adalah pendidik perlu memperhatikan tahapan-tahapan anak dalam belajar berhitung permulaan. Ini berarti kegiatan yang diberikan di TK diharapkan lebih menunjang anak untuk memiliki kesiapan berhitung. Pada dasarnya pembelajaran matematika untuk anak usia dini bertujuan untuk menstimulasi kemampuan berfikir anak agar memiliki kesiapan untuk belajar matematika pada tahap selanjutnya (Sriningsih, 2008 : 1). Pembelajaran matematika untuk anak usia dini lebih menekankan pada pengenalan konsep matematika dasar, salah satunya yaitu konsep aritmatika atau berhitung. Aritmatika atau berhitung merupakan salah satu bagian dari kemampuan matematika, sebab salah satu syarat untuk belajar matematika adalah belajar berhitung yang keduanya saling mendukung. Berdasarkan standar NCTM {National Council of Teacher Mathematics) aritmatika merupakan bagian dari standar isi bilangan dan operasi bilangan. Pada bilangan dan operasi bilangan ini anak-anak dapat memecahkan konsep dasar aritmatika dalam memecahkan masalah (Sriningsih, 2008 : 62). Aritmatika adalah bidang yang berkenaan dengan sifat hubungan bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian (Mulyono, 2003 : 253). Untuk meningkatkan kemampuan penguasaan operasi penjumlahan bilangan pada anak Taman Kanak-kanak diperlukan pembelajaran yang melibatkan anak secara aktif untuk berinteraksi dalam proses pembelajarannya, salah satunya melalui permainan matematika. Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini adalah bermain. Bermain merupakan pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak usia TK. Untuk itu dalam memberikan pendidikan pada anak usia TK harus dilakukan dalam situasi yang menyenangkan sehingga anak tidak merasa bosan dalam mengikuti pelajaran. Selain menyenangkan, metode, materi dan media yang digunakan harus menarik perhatian serta mudah diikuti sehingga anak akan termotivasi untuk belajar. Melalui kegiatan bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengannya, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Bermain bagi anak juga merupakan suatu proses kreatif untuk bereksplorasi, mempelajari keterampilan yang baru dan dapat menggunakan simbol untuk menggambarkan dunianya. Menurut Sudono (2000 : 1) Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak. Sedangkan menurut Hildebrand (Setianingsih, 2007 : 10) mengungkapkan bahwa bermain berarti berlatih, mengeksploitasi, merekayasa, mengulang latihan apapun yang dapat dilakukan untuk menstransformasi secara imajinatif hal-hal yang sama dengan dunia orang dewasa. Kemudian Dopyera (Sriningsih, 2008) mendefinisikan bahwa kegiatan bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela oleh anak. Bermain timbul dari dorongan yang ada dalam diri anak itu sendiri, sehingga memungkinkan keterlibatan anak dalam setiap permainan secara aktif dan bermakna. Mayke dalam Sudono (2000 : 3) mengemukakan bahwa belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktikkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Disinilah proses pembelajaran terjadi, melalui permainan memberikan pengalaman belajar pada peserta didik. Berdasarkan definisi bermain di atas, bermain merupakan suatu sarana bagi anak untuk berlatih, mengeksploitasi dan merekayasa yang dilakukan secara berulang-ulang dengan menggunakan atau tanpa menggunakan alat untuk memperoleh informasi, kesenangan dan mengembangkan daya imajinasinya. Dengan demikian, banyak konsep dasar yang dapat dipelajari anak melalui aktivitas bemain. Salah satunya adalah konsep matematika. Pada kenyataannya yang kerap terjadi dilapangan pola pembelajaran matematika untuk anak usia dini dilaksanakan cenderung berorientasi akademik. Solehuddin (2000 : 9) mengemukakan bahwa : Pendekatan pendidikan prasekolah yang berorientasi akademik dicirikan dengan dominasi guru dikelas, kurikulum dan kegiatan belajar yang terstruktur, serta penekanan akan segi penguasaan materi yang diajarkan sesuai dengan yang diharapkan guru. Hasil belajar dalam bentuk prestasi akademik adalah sasaran utama dari pendekatan ini. Sejalan dengan apa yang di kemukakan diatas, dalam penelitiannya Rachmawati (2008) mengemukakan bahwa "Praktek pelaksanaan operasi angka di Taman Kanak-kanak lebih bersifat akademik seperti layaknya anak usia SD. Sebagian besar langsung menggunakan soal-soal latihan yang bersifat abstrak berupa penjumlahan angka, pengurangan angka, bahkan kombinasi dari penjumlahan dan pengurangan, tanpa menggunakan lat bentu media". Adanya kecenderungan proses pembelajaran matematika yang berorientasi akademik ini dialami di TK X. Selama ini, pembelajaran matematika di TK X menggunakan metode drill yang dilakukan setiap hari sebelum anak-anak memulai kegiatan di sekolah, anak menyebutkan urutan bilangan satu sampai sepuluh sambil melihat gambar angka/ bilangan yang tertempel pada dinding kelas. Selain itu pengajaran konsep matematika di TK X ini sering menggunakan lembar kerja atau lebih sering di sebut LK yang merupakan bagian dari praktek paper-pencil. Sehingga anak kurang bisa mengaitkan antara apa yang dipelajarinya dengan lingkungan sekitarnya. Anak cenderung menghafal angka yang terdapat pada gambar dan kurang mengkaitkan dengan penerapan angka-angka itu untuk menerangkan orang atau benda yang sering ditemuinya sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran yang terjadi kurang menjembatani apa yang diperoleh anak di TK dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki anak untuk menghadapi lingkungannya. Berdasarkan gambaran tersebut, peranan guru sebagai fasilitator sangat dibutuhkan. Guru dituntut untuk lebih kreatif dalam memanipulasi obyek-obyek atau alat dalam bentuk permainan yang dilaksanakan dalam pembelajaran matematika di Taman Kanak-kanak. Permainan berhitung merupakan bagian dari matematika, permainan ini diperlukan untuk menumbuhkembangkan keterampilan berhitung yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan matematika maupun kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar. Salah satu permainan matematika adalah permainan Math Manipulative. Permainan Math Manipulative merupakan salah satu dari permainan Whole math. Whole math merupakan pendekatan pembelajaran matematika untuk anak usia dini yang menghubungkan pelajaran matematika dengan kehidupan nyata atau kehidupan sehari-hari (Moomaw and Hironymus, 1995 : 2). Menurut Clements dalam Bennett L Tisha (2000) menyatakan bahwa manipulatif yang baik adalah yang dapat membantu anak dalam membangun, memperkuat, dan menghubungkan berbagai representasi ide matematika. Sedangkan menurut James (1997 : 06) media manipulatif adalah model konkrit yang dapat disentuh, digerakan oleh anak yang berfungsi untuk membantu anak memahami berbagai konsep yang berhubungan dengan matematika. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dapat ditemukan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan media manipulatif seperti bola, biji-bijian, kelereng, jepitan jemuran dan lain-lain. Permainan math manipulative ini menggunakan material yang dekat dengan keseharian anak, seperti boneka, kelereng sebagai alat permainannya, kelereng merupakan salah satu benda yang familiar atau dekat dengan anak. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penelitian ini memfokuskan pada kajian "Efektivitas Math Manipulative terhadap Kemampuan Operasi Penjumlahan Bilangan Anak Usia Taman Kanak-kanak". B. Rumusan Masalah Permasalahan utama dalam penelitian ini difokuskan pada pembahasan "Efektivitas Math Manipulatif Terhadap Kemampuan Operasi Penjumlahan Bilangan Anak Usia TK". Permasalahan tersebut diuraikan ke dalam bentuk rincian pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kemampuan awal operasi penjumlahan bilangan anak usia TK pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sebelum diterapkan permainan math manipulative ? 2. Bagaimana kemampuan akhir operasi penjumlahan bilangan anak usia TK pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sesudah diterapkan permainan math manipulative ? 3. Apakah permainan Math Manipulatif efektif untuk meningkatkan kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak TK? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai efektivitas Math Manipulative terhadap kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak usia Taman Kanak-kanak. Adapun secara lebih khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Memperoleh gambaran tentang kondisi awal kemampuan operasi penjumlahan bilangan di kelompok kontrol dan kelompok eksperimen di TK X. 2. Memperoleh gambaran tentang kondisi akhir kemampuan operasi penjumlahan bilangan di kelompok kontrol dan kelompok eksperimen di TK X. 3. Sejauh mana efektivitas permainan Math Manipulative dalam meningkatkan kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak di TK X. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, peningkatan mutu pendidikan, dan untuk menambah keilmuan tentang efektifitas Math Manipulative terhadap kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak usia Taman Kanak-kanak. 2. Secara Praktis : Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah : a. Bagi Peneliti Memberikan pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan penelitian mengenai efektifitas Math Manipulative terhadap kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak usia Taman Kanak-kanak. b. Bagi Guru Meningkatkan pemahaman guru tentang permainan matematika khususnya Math Manipulative serta menjadi acuan bagi guru dalam menggunakan metode bermain sebagai upaya mengembangkan kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak TK. c. Bagi Lembaga Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih kepada Lembaga penyelenggara pendidikan pada umumnya dan khususnya untuk TK X, dalam menciptakan pembelajaran matematika yang menyenangkan bagi anak, serta dapat meningkatkan kemampuan anak dalam memahami operasi penjumlahan bilangan. d. Bagi Peneliti Selanjutnya Dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnnya mengenai hal yang lebih mendalam. |
| Posted: 02 Feb 2012 06:22 PM PST (KODE : PG-PAUD-0010) : SKRIPSI EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN MAKRO TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA SUNDA ANAK USIA TK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan anak, dengan bahasa anak dapat berinteraksi dengan orang lain dan menemukan banyak hal baru dalam lingkungan tersebut. Dengan bahasa juga anak mampu menuangkan suatu ide atau gagasan terhadap keinginannya tersebut. Menurut (Mossofa, 2008 : 14) Bahasa adalah segala bentuk komunikasi dimana pikiran dan perasaan seseorang disimbolisasikan agar dapat menyampaikan arti kepada orang lain. Oleh karena itu perkembangan bahasa dimulai dari tangisan pertama sampai anak mampu bertutur kata. Hartini (Cahyaningsih, 2009 : 2) mengemukakan bahwa bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan anak. Komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi lisan yang tepat guna, artinya bahasa itu harus dapat dipahami oleh orang lain. Kemampuan bahasa anak usia 4-5 tahun berada dalam fase perkembangan bahasa secara ekspresif. Hal ini berarti bahwa anak lebih dapat mengungkapkan keinginannya, penolakannya, maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan sebagai alat berkomunikasi. Anak usia tersebut dapat mengucapkan kata-kata yang mereka gunakan, dapat menggabungkan beberapa kata menjadi kalimat yang berarti, namun menurut Hurlock (1990 : 190) "kemampuan berkomunikasi pada anak usia prasekolah dengan orang lain masih dalam taraf rendah. Masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat menggunakan bahasanya dengan baik. Pembendaharaan kosakata berperan penting dalam pengembangan bahasa. Menurut Hurlock (1990 : 113) usia 4-5 tahun, merupakan saat berkembang pesatnya penguasaan tugas pokok dalam berbicara, yaitu menambah kosakata, menguasai pengucapan kata dan menggabungkan kata menjadi kalimat sedangkan menurut Hurlock (1990 : 151) mengemukakan bahwa salah satu tugas utama dalam belajar berbicara ialah anak harus dapat meningkatkan jumlah kosakata, anak harus belajar mengaitkan arti dengan bunyi karena banyak kata yang memiliki arti lebih dari satu dan sebagian kata bunyinya hampir sama, tetapi memiliki arti yang berbeda, maka meningkatkan kosakata jauh lebih sulit dari pada mengucapkannya sehingga diperlukan adanya suatu peningkatan kosakata pada anak yang dapat menunjang pada perkembangan berbicara. Menurut Dhieni dkk (2005 : 3.1) anak usia 4-5 tahun dapat mengembangkan kosakata secara mengagurukan. Sedangkan menurut Owens (Dhieni, 2005 : 3.1), anak pada usia tersebut memperkaya kosakatanya melalui pengulangan. Dalam menggunakan kosakata tersebut, anak menggunakan fast mapping atau suatu proses dimana anak menyerap arti kata baru setelah mendengarnya sekali atau dua kali dalam percakapan. Pada masa kanak-kanak awal inilah anak mulai mengkombinasikan suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat. Selain itu, Dhieni dkk (2005 : 3.1) juga mengungkapkan bahwa anak usia 4-5 tahun rata-rata dapat menggunakan 900 sampai 1000 kosakata yang berbeda. Mereka menggunakan 4-5 kata dalam satu kalimat yang dapat membentuk kalimat pernyataan, tanya, dan perintah. Pada usia 5 tahun pembicaraan anak mulai berkembang dimana kosakata yang digunakan lebih banyak dan rumit. (Dhieni dkk, 2005 : 3.1) Dalam hal ini peningkatan kosakata Anak Usia Dini khususnya kosakata Bahasa Indonesia sangat penting, namun bukan hanya kosakata Bahasa Indonesia saja yang harus dikuasai dan terus ditingkatkan oleh anak, kosakata Bahasa Daerah pun, khususnya kosakata Bahasa Sunda perlu ditingkatkan dan dikuasai oleh Anak Usia Dini. Hal ini dikarenakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda yang harus diperkenalkan kepada anak. Bahasa Sunda merupakan alat komunikasi etnik sunda. selain itu bahasa Sunda juga sebagai alat pengembang dan pendukung kebudayaan Sunda. Para ahli bahasa telah banyak meneliti dan membuktikan bahwa bahasa Sunda disamping sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia, juga menjadi pendukung bahasa nasional. Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu hingga kini dijadikan sebagai bahasa pengantar disekolah dasar dijabar pada tingkat permulaan. Namun pada kenyataannya di Taman Kanak-Kanak penggunaan Bahasa Sunda jarang sekali digunakan. Begitupun dengan masyarakat, sebagian masyarakat belum sadar akan pentingnya bahasa sunda, para Orang Tua lebih senang apabila anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Hal ini menyebabkan banyak anak yang belum bisa menggunakan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan rumah maupun dilingkungan sekolah. Hal ini diperkuat oleh Ajip Rosidi (Harian Umum Pikiran Rakyat) dalam Martini (2009 : 7) yang mengemukakan bahwa : "....bahasa Sunda sekarang sedang dalam proses kematian, karena kita saksikan orang Sunda secara perlahan-lahan sedang menjalankan pembunuhan terhadap bahasa Sunda sebagai bahasa Ibunya. Kita saksikan kian banyak orang Sunda yang tidak mau bercakap-cakap dengan bahasa Sunda, walaupun sesama orang Sunda. Kita juga saksikan umumnya orang Sunda kalau mau bercakap-cakap tentang hal tertentu lalu beralih kode ke bahasa Indonesia atau bahasa lain. Bahasa Sunda dianggap tidak cukup terhormat untuk menyampaikan pikirannya." Selain itu Koran Harian Kompas Bandar Lampung dalam Martini (2009 : 7) melaporkan bahwa sebanyak 726 dari 746 bahasa Daerah di Indonesia terancam punah karena generasi muda tidak mau memakai bahasa tersebut. Bahkan kini hanya tersisa 13 bahasa Daerah yang memiliki jumlah penutur diatas 1 juta orang, itupun sebagian besar generasi tua. Mengingat bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda yang harus diperkenalkan kepada anak, maka pendidikan TK sebagai lembaga pendidikan awal bagi anak harus berupaya untuk membangkitkan kembali minat terhadap penggunaan bahasa Sunda. Saat Ini di TK, bahasa Sunda kurang menjadi perhatian guru dan dalam pelaksanaan pembelajarannya kurang optimal, hal tersebut dapat terlihat dari jarangnya penggunaan media yang kurang bervariasi yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa Sunda anak dan kurangnya kesadaran dari guru akan pentingnya bahasa daerah. Seperti yang terjadi di TK X, berdasarkan hasil observasi sebelumnya masih banyak anak yang pasif dan diam ketika diajak bicara menggunakan bahasa sunda, bahkan kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Sunda. Salah satu upaya yang dapat dilakukan di TK dalam mengembangkan bahasa daerah salah satunya dengan mengoptimalkan penggunaan metode pembelajaran. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Sunda khususnya dalam penguasaan kosakata adalah metode bermain peran. Bermain peran ini diambil karena dalam metode bermain peran ada interaksi yang melibatkan anak dengan teman sebayanya. Dengan metode ini anak-anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan bertukar ide, hingga meningkatkan kelancaran berbicara dan memperkaya kosakatanya. Seperti penelitian yang dilakukan Arixs, (Cahyaningsih, 2009 : 5) tentang penerapan metode belajar sosiodrama atau bermain peran terhadap siswa PAUD di Denpasar Bali, menyimpulkan bahwa sekitar 90% materi pembelajaran dapat diserap anak-anak dengan menggunakan metode belajar sosiodrama, dan 65% maateri pelajaran dapat diserap oleh anak-anak dengan metode belajar konvensional. Hamalik (Cahyaningsih, 2009 : 5) juga menyatakan bahwa metode bermain peran dapat mendorong siswa untuk mempelajari masalah-masalah sosial yang dapat memupuk komunikasi antar insani dikalangan siswa di kelas. Melalui kegiatan bermain peran siswa akan aktif membicarakan masala-masalah yang ditemuinya, menginformasikan hasil pengalaman melalui kegiatan berbicara. Begitu pula dikemukakan oleh Delpie (Cahyaningsih, 2009 : 5) tentang bentuk-bentuk permainan yang dapat dipakai sebagai intervensi pembelajaran salah satunya yaitu bermain pura-pura atau bermain peran adalah suatu bentuk permainan yang dilakukan oleh anak dengan menggunakan imajinasi agar membantu dalam pengembnagan daya berpikir dan kemampuan berbahasa. Menurut Masitoh (Cahyaningsih,2009 : 5) bermain peran adalah salah satu metode pembelajaran yang bertujuan untuk mendorong anak berkomunikasi walaupun dengan bahasa yang terbatas menggunakan komunikasi verbal, seperti gerakan tubuh dan ekspresi muka juga melibatkan anak dari berbagai tingkatan melalui anggota tubuh mereka, pikiran, emosi, interaksi social dan bahasa. Masitoh (Cahyaningsih, 2009 : 5) juga menjelaskan bahwa melalui bermain peran anak memperoleh kesempatan untuk berbagi peran-peran interaktif. Misalnya guru-murid, pedagang-pembeli, dokter-pasien. Selain itu juga anak dituntut untuk mampu beradaptasi dengan peran yang dimainkannya, responsif terhadap akting temannya, terampil berkomunikasi secara efektif mampu menerima kritik bila respon yang diberikan tidak sesuai dengan ekspektasi temannya. Dalam kehidupan anak TK bermain peran atau bermain pura-pura mempunyai beberapa fungsi, antara lain untuk : menghindari keterbatasan kemampuan yang ada. Mengatasi larangan-larangan, dan menjadi pengganti berbagai hal yang tidak terpenuhi, menghindarkan diri dari hal-hal yang menyakitkan hati, menyalurkan perasaan negatif yang tidak mungkin dapat ditampilkan. Menurut Moeslichatoen (Cahyaningsih, 2009 : 6) bermain peran atau bermain pura-pura lebih banyak dilakukan oleh anak yang kurang pandai menyesuaikan diri daripada oleh anak yang pandai menyesuaikan diri. Bermain pura-pura sendiri dapat dibedakan dalam bentuk : a. minat pada personifikasi, misalnya berbicara pada boneka atau benda-benda mati b. bermain pura-pura dengan menggunakan peralatan, misalnya minum dengan menggunakan cangkir kosong c. bermain pura-pura dalam situasi tertentu, misalnya situasi kehidupan sehari-hari dalam keluarga, situasi di tempat praktek dokter yang mengobati anak sakit, dan sebagainya. Bentuk kegiatan bermain peran atau bermain pura-pura merupakan cermin masyarakat disekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang dilihat dan didengar akan terulang dalam kegiatan bermain pura-pura tersebut. Kegiatan bermain peran ini terbagi dalam dua jenis kegiatan bermain. Pertama bermain peran besar (Makro) yang memerlukan kostum dan perlengkapan sesuai yang diperankan anak. Kedua, bermain peran kecil (Mikro) yang memerlukan peralatan tiruan (mainan). Hal ini sesuai dengan pendapat Erickson (Ryolitta,2009 : 8) bahwa "teori bermain peran terbagi menjadi dua jenis, yaitu bermain peran mikro atau ukuran kecil dan bermain peran makro atau ukuran sesungguhnya". Selain itu menurut Khoirudin (2010) bermain peran mikro adalah kegitan bermain peran atau roleplay dengan menggunakan bahan-bahan main berukuran kecil seperti rumah boneka lengkap dengan perabotannya dan orang-orangan sehingga anak dapat memainkannya, atau rangkaian kereta api dengan rel dan jalan, dengan mobil, lapangan pesawat udara, kebun binatang, kemudian anak memainkanya lengkap dengan skenario yang biasanya disusun seketika dan dimainkannya bersama teman-temanya. Sedangkan bermain peran makro adalah main peran seasungguhnya dengan alat-alat main berukuran sesungguhnya dan anak dapat menggunakannya untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, misalnya main dokter-dokteran maka alat permainan yang digunakan antara lain stetoskop mainan ukuran besar, replica jarum suntik, buku resep dan ball point, meja pendaftaran, petugas pendaftaran, perawat yang membantu dokter, kamar periksa dan sebagainya yang semuanya dalam ukuran besar dan dapat dipergunakan seperti kegiatan sesungguhnya. dalam skala besar misalnya kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, meja belajar, garasi, dan sebagainya dan anak-anak ada yang berperan sebagai bapak, ibu, kakak, adik, dan sebagainya. Kegiatan bermain peran yang akan dilaksanakan di TK X adalah kegiatan bermain peran makro, dimana anak akan memerankan sebagai tokoh-tokoh tertentu, seperti pedagang, guru, dokter, dan lain-lain. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini untuk meneliti mengenai "Efektivitas Penggunaan Metode Bermain Peran Makro terhadap Peningkatan Penguasaan Kosakata Bahasa Sunda Anak Usia Taman Kanak-kanak" Penelitian ini akan dilakukan di TK X dengan pertimbangan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti masih ditemukannya anak yang kosakata Bahasa Sundanya terbatas. B. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagi berikut : 1. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Sunda anak sebelum diberikan metode pembelajaran bermain peran di TK X? 2. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Sunda anak sesudah diberikan metode pembelajaran bermain peran di TK X? 3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kosakata Bahasa Sunda anak sebelum dan sesudah diberikannya metode bermain peran? C. Tujuan Penelitian a. Tujuan umum Memperoleh informasi yang empiris tentang pengaruh penggunaan metode bermain peran terhadap peningkatan kosakata bahasa Sunda anak. b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui kosakata bahasa Sunda anak sebelum diberikannya metode bermain peran. 2. Untuk mengetahui kosakata bahasa Sunda anak sesudah diberikannya metode bermain peran. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada kosakata bahasa Sunda anak sebelum dan sesudah diberikan metode bermain peran. |
| Posted: 02 Feb 2012 06:19 PM PST (KODE : PG-PAUD-0009) : SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN BEYOND CENTERS AND CIRCLES TIME (BCCT) TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DI PLAY GROUP PLUS X BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan periode keemasan pada masa usia dini, di mana semua potensi anak berkembang paling cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, dan masa bermain. Konsep tersebut diperkuat oleh fakta yang ditemukan oleh ahli-ahli Neurologi (ilmu tentang susunana dan fungsi saraf) yang menyatakan bahwa pada saat lahir otak bayi mengandung 100 sampai 200 milyar neuron atau sel syaraf yang siap melakukan sambungan antar sel. Sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak berusia 8 sampai 18 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel syaraf tersebut membutuhkan berbagai situasi pendidikan yang mendukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Para ahli pendidikan sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa betapa meruginya suatu keluarga, masyarakat dan bangsa jika mengabaikan masa-masa penting yang berlangsung pada anak usia dini. Ada beberapa pendapat mengenai batasan masa anak. Batasan yang digunakan oleh The National Association For The Education Of Young Children (NAEYC) adalah yang dimaksud dengan Early chilhood (anak masa awal) yaitu anak yang sejak lahir sampai dengan usia delapan tahun, preschol adalah anak antara usia 1-3 tahun dan usia masuk kelas satu biasanya antara usia 3-5 tahun. sementara pengertian toddler (masih pendapatnya NAEYC) ialah anak yang mulai berjalan sendiri sampai dengan usia tiga tahun. Sedangkan Kindergarten secara perkembangannya meliputi anak usia 4-6 tahun. Menurut Biecheler dan Snowman bahwa anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun yang biasanya mengikuti program prasekolah dan Kindergarten. Dalam pandangan mutakhir di negara maju, istilah anak usia dini (Early Chilhood) adalah anak yang berkisar antara usia 0-8 tahun. Bila dilihat dari jenjang pendidikan yang berlaku di Indonesia, maka yang termasuk dalam kelompok anak usia dini adalah anak SD kelas rendah (1-3), taman kanak-kanak (kindergarten), kelompok bermain (play Group), dan anak masa bayi. Masa kanak-kanak dalam hal ini dipandang sebagai masa anak usia 4-6 tahun. Sedangkan berdasarkan UU No. 22 Tahun 2003 Pasal 28 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Anak usia dini adalah kelompok manusia yang berumur 0-6 tahun. UU No.20 Tahun 2003 pasal itu juga menyebutkan bahwa, (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal; (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal berbentuk Play Group (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; dan (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi memandang periode usia dini merupakan periode yang perlu mendapatkan penanganan sedini mugkin. Maria montessori berpendapat bahwa usia 3-6 tahun merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Erik H. Erikson juga memandang periode usia 4-6 tahun sebagai fase sense of initiative yang mana pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan prakarsa, seperti kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Mansyur juga berpendapat bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir sampai enam tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik dan non fisik dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual), motorik, akal pikir, emosional, dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembangan secara optimal. Ditinjau dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada usia dini menempati posisi yang paling vital, yakni meliputi 80% perkembangan otak. Masa anak-anak pun sangat identik dengan masa bermain. Bermain bagi anak-anak merupakan suatu hal yang tidak bisa dilewatkan, tetapi pada dasarnya dengan bermainan anak mengembangkan segala kemampuan yang dimilikinya. Selain itu, anak memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap teman sebaya sebagai teman bagi dia dalam melakukan suatu permainan. Pada saat ini pula anak bersifat aktif dan energik seolah tidak pernah merasa lelah, bersifat ekploratif dan berjiwa petualang. Pada umur anak usia dini merupakan masa dimana mulai tumbuh rasa agama dalam kepribadian anak dan terbentuknya dasar nilai moral yang baik serta mulai terbinanya sikap positif pada agama. Sehinga dengan ini pengenalan dan penanaman konsep aqidah, ibadah dan intelektual yang sesuai dengan ajaran agama Islam yang fitri pada anak usia dini ini akan menjadi pondasi dan pembimbing baginya untuk menghadapi kehidupannya kelak. Ajaran agama Islam bukan suatu pengetahuan yang cukup hanya diketahui dan dihafal, tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, karena pada dasarnya setiap agama mengajak umatnya untuk memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ciri khusus tumbuh kembang anak pada usia dini ini memiliki efek yang sangat besar terhadap cara mendidik anak pada usia ini. Sedangkan pada realitanya, saat ini program pendidikan anak usia dini hanya terfokus pada peningkatan akademik, baik dalam hafalan-hafalan maupun kemampuan baca, tulis, dan hitung, yang pada pelaksanaannya seringkali mengabaikan tahap perkembangan anak. Banyaknya pelangaran hukum, pelangaran norma masyarakat dan agama, aksi anarkisme, penyimpangan sek, banyaknya siswa-siswa sekolah yang susah diajak belajar, dan lain sebagainya bisa diakibatkan oleh penyelenggaraan pendidikan yang kurang memperhatikan tahapan perkembangan anak, sehingga proses belajar yang dirasakan oleh anak adalah di bawah tekanan bukan sesuatu yang menarik dan penting bagi dirinya. Padahal yang terpenting pada pendidikan anak usia dini ini adalah memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai, agar anak pada saatnya memiliki kesiapan baik secara fisik, mental, maupun sosial/emosionalnya dalam melaksanakan proses pendidikan selanjutnya. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Maka dari itu Pendidikan anak harus selalu dikedepankan jika memang sebuah bangsa mau menjadikan bangsanya lebih maju dari sebelumnya, atau minimal mempertahankan segi positip dari apa yang sudah ada sebelumnya. Disini, peranan orang tua, guru, dan masyarakat umumnya, harus mulai memikirkan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak tersebut. Pembentukan karakter bangsa dan kehandalan sumber daya manusia ditentukan oleh bagaimana memberikan perlakuan yang tepat kepada anak. Stimulasi yang diberikan pada anak usia dini akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan anak serta sikap dan perilaku sepanjang rentang kehidupannya. Salah satu usaha untuk mencetak generasi yang selalu mau belajar dan mengembangkan segala kemampuan yang ada pada diri dan sesuai dengan perkembangannya adalah dengan pendekatan beyond centers and circle time. Pendekatan Beyond Centers And Circle Time (BCCT) atau pendekatan "sentra dan lingkungan" merupakan pendekatan penyelengaraan PAUD yang diadopsi dari Cretive Center for Chilhood Reasearch and Training (CCCRT) yang berkedudukan di Florida, Amerika Serikat. CCCRT meramu kajian teoritik dan pengalaman empirik dari berbagai pendekatan. Dari Montessori, Highscope, Head Start, dan Reggio Emilia. CCCRT dalam kajiannya telah diterapkan di Creative Pre School selama lebih dari 33 tahun. Di Indonesia, BCCT kali pertama diadaptasi oleh TK Istiqlal Jakarta berlatar belakang Islam yang dipimpin oleh Nibras binti Nor Salim. Beliau pernah terbang langsung ke CCCRT Florida melakukan riset selama tiga bulan. Pendekatan ini terfokus pada anak yang pada proses pembejarannya berpusat di sentra main. Pembelajaran disini dilakukan dengan prinsip bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain. Salah satu lembaga pendidikan anak usia dini yang mengalami pertumbuhan dengan pesat adalah Play Group Plus dengan berbagai sebutan lain seperti Taman Bermain atau Play Group. Play Group sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (pasal 28) merupakan salah satu lembaga pendidikan anak usia dini yang terdapat di jalur pendidikan non formal yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak usia 3 tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Aturan yuridis ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan Play Group kedudukannya setara dengan penyelenggaraan Taman Kanak-Kanak yang juga mengelola anak usia 4 tahun sampai usia 6 tahun dan berada dalam jalur pendidikan formal. Diantara berbagai lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia yaitu Play Group Plus X yang merupakan salah satu lembaga pendidikan penyelengara PAUD yang telah menerapkan metode Beyond Centres And Cilcles Time (BCCT). Dari uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengambil judul "Pengaruh Metode Pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) Terhadap Perkembangan Anak Usia Dini di Play Group Plus X". B. Rumusan Masalah Mengacu pada penjelasan dalam latar bclakang diatas, maka penelitian memerlukan rumusan masalah sebagai acuan dalam meneliti, untuk menentukan sasaran dalam penelitian. Dalam penelitian kami merumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) di Play Group Plus X Kecamatan X ? 2. Bagaimana perkembangan anak usia dini di Play Group Plus X Kecamatan X? 3. Apakah metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) berpengaruh terhadap perkembangan anak usia dini di Play Group Plus X ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pelaksanaan metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) di Play Group Plus X Kecamatan X. 2. Untuk mengetahui perkembangan anak usia dini di Play Group Plus X. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) terhadap perkembangan anak usia dini di Play Group Plus X. D. Manfaat Penelitian Adapun kegunaan penelitian dalam skripsi ini adalah : 1. Bagi peneliti : a. Sebagai bahan pembelajaran bagi peneliti serta tambahan pengetahuan sekaligus untuk mengembangkan pengetahuan penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih diri dalam research ilmiah. b. Untuk memenuhi beban SKS dan sebagai bahan penyusunan skripsi serta ujian munaqosah yang merupakan tugas akhir penulis untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada jurusan Pendidikan Agama Islam. 2. Bagi Obyek Penelitian a. Untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan memberikan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak usia dini sehingga anak dapat mencapai perkembangan yang ideal. b. Membantu guru dalam mengefektifkan pembelajaran di Play Group Plus khususnya di Play Group Plus X. c. Sebagai sumbangan khasanah keilmuan dalam bidang pendidikan dan khususnya pendidikan anak usia dini. 3. Sebagai sumbangan kepada IAIN X khususnya kepada perpustakaan sebagai bahan bacaan yang bersifat ilmiah dan sebagai kontribusi hasanah intelektual pendidikan. E. Sistematika Pembahasan BAB I : Membahas tentang : Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, hipotesis, batasan masalah, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan. BAB II : Membahas tentang : Kajian Teoritis Metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time, Perkembangan anak usia dini, serta Pengaruh metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time terhadap perkembangan anak usia dini. BAB III : Membahas Laporan Penelitian yang meliputi : Gambaran umum obyek penelitian, Penyajian data dan analisis data terkait Play Group Plus X. BAB IV : Kesimpulan, saran-saran serta penutup. |
| SKRIPSI PENGARUH METODE CANTOL ROUDHOH TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TK Posted: 02 Feb 2012 06:18 PM PST (KODE : PG-PAUD-0008) : SKRIPSI PENGARUH METODE CANTOL ROUDHOH TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan seseorang untuk mengutarakan perasaan yang sedang dialaminya, sehingga beban hidupnya dapat terasa lebih ringan. Bahasa juga dapat merupakan beberapa simbol baik verbal maupun visual yang dapat anak gunakan untuk mendapatkan pemahaman suatu informasi bam. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membaca informasi tersebut di buku atau majalah dan dapat didengar melalui radio atau media elektronik. Menurut Yunus (2005 : 118) Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang biasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan orang lain. Dhieni et al (2005 : 1.8) menyatakan bahwa bahasa mencakup cara berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dapat diekspresikan melalui simbol seperti tulisan, lisan, lukisan, isyarat maupun mimik wajah atau body language yang dapat menggambarkan perasaan seseorang. Sejalan dengan itu, Sofa (2008 : 1) menyatakan bahasa mencakup segala bentuk komunikasi, baik yang diutarakan dalam bentuk lisan, tulisan, bahasa isyarat, bahasa gerak tubuh, ekspresi wajah pantomim atau seni. Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh DEPDIKBUD (1996 : 3) bahwa bahasa berfungsi sebagai, (1) Alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan (2) Alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak (3) Alat untuk mengembangkan ekspresi anak (4) Alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikiran kepada orang lain. Anak usia dini sebenarnya belum mampu menguasai kata-kata, dengan kemampuannya yang sedang berkembang pesat, anak usia dini mulai mengerti dan memahami satu per satu makna kata, dan apa yang dikatakan oleh orang dewasa. Selain dapat berkomunikasi dengan orang dewasa, anak dapat berinteraksi dengan teman sebayanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hurlock (1993 : 192) bahwa hal-hal yang dibicarakan oleh anak sangat dipengaruhi oleh umur, luas pengalaman, dan pola kepribadian mereka. Anak terutama membicarakan mengenai dirinya sendiri, kegiatan, dan keluarga mereka, serta hubungan mereka dengan keluarga lain. Dalam suatu lingkungan sekolah maupun masyarakat, bila ada satu orang anak yang sudah mampu untuk mengucapkan huruf "R" dengan jelas, pasti akan ada anak yang belum mampu mengucapkan huruf "R" seperti anak yang pertama. Menurut Handayani (2004 : 11.1) setiap anak itu berbeda, dalam satu sekolah ada beberapa orang anak yang berada pada rentang usia yang sama tetapi tahapan perkembangan mereka berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan berbahasa anak. Menurut Petty dan Jensen (Handayani, 2004 : 11.8) ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan berbahasa anak, yaitu : (1) berbedanya cara anak mempelajari bahasa tersebut (2) berbedanya jenis bahasa yang dipelajari anak (3) berbedanya karakteristik anak (4) berbedanya lingkungan tempat proses pembelajaran bahasa itu terjadi. Salah satu perkembangan bahasa yang harus dikuasai oleh anak adalah membaca. Pratiwi (2007 : 1.27) menyatakan perkembangan bahasa khususnya membaca merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh anak dengan baik. Membaca itu sangat penting untuk pengembangan dan pemeliharaan kehidupan suatu masyarakat. Membaca merupakan dasar bagi manusia untuk mencapai puncak suatu kesuksesan. Hal ini sejalan dengan pendapat Leonhardt (Dhieni et al, 2005 : 5.2) bahwa membaca sangat penting bagi anak. Anak yang gemar membaca akan memiliki rasa kebahasaan yang tinggi sehingga perkembangannya dalam berbicara, menulis dan memahami gagasan-gagasan yang rumit dapat lebih baik. Menurut Yunus (2007 : 1.5) Membaca adalah kegiatan berbahasa yang secara aktif menyerap informasi atau pesan yang disampaikan melalui media tulis seperti buku, artikel, modul, surat kabar, atau media tulis lainnya. Membaca itu bukan sekadar memahami simbol-simbol tulisan, tetapi juga harus membangun makna, memahami tulisan, gambar dan maknanya. Oleh karena itu membaca disebut kegiatan aktif. Sependapat dengan Yunus, Goodman (Setiawan & Budi, 2006 : 7.2) menyatakan bahwa membaca bukan hanya sekedar membunyikan huruf-huruf tetapi memberi makna pada tulisan. Kegemaran membaca harus dikembangkan sejak dini, karena bila anak gemar membaca itu akan membawa pengaruh yang positif bagi kehidupannya di masa depan. Anak usia Taman Kanak-kanak sesungguhnya sudah dapat diajarkan untuk membaca. Membaca dan menulis itu seperti permainan yang sangat menyenangkan bagi anak, dan penerapan membaca dini sangat cocok diterapkan pada anak usia prasekolah. Tetapi orang tua maupun pendidik harus dapat melihat karakteristik dan kesiapan anak untuk diajarkan membaca. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tom dan Sobol (2003 : 26) bahwa anak yang sudah memiliki kesiapan membaca di Taman Kanak-kanak akan lebih percaya diri dan penuh kegembiraan. Membaca dini merupakan salah satu persiapan bagi anak Taman Kanak-kanak agar dapat membaca kata-kata sederhana, mengetahui tulisan, dan makna katanya. Membaca dini dapat menimbulkan dampak positif bagi perkembangan bahasa anak untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Soutgate : 1972, Steinberg : 1982, Smith : 1990, dan Tampubolon : 1993 (Ruspitasari, 2006 : 2) mengemukakan bahwa "membaca dini adalah membaca yang diajarkan secara terprogram kepada anak prasekolah". Program ini menumpukan perhatian pada perkataan-perkataan utuh dan bermakna dalam konteks pribadi anak-anak. Bahan yang diajarkan diberikan melalui permainan dan kegiatan yang menarik sebagai perantara pembelajaran. Pada dasarnya pelajaran membaca tidak diperkenankan di tingkat Taman Kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan kata dasar yang dikenalkan setelah anak berada di kelompok B. Akan tetapi, pada saat ini hal tersebut menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran membaca. Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca dini bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran membaca dini bagi anak Taman Kanak-kanak dapat diberikan melalui permainan, dan banyak cara yang dapat dilakukan oleh pendidik maupun orang tua untuk mengembangkan kemampuan membaca dini bagi anak usia prasekolah. Berbagai metode banyak dikembangkan di Taman Kanak-kanak dan salah satunya adalah metode cantol roudhoh. Metode cantol roudhoh salah satu metode yang dikembangkan untuk mengajarkan anak membaca melalui lagu, dengan begitu anak lebih mudah untuk mengingat berbagai macam simbol huruf. Anak-anak cukup mengenal dan mengingat 21 nama cantolan, dalam metode cantol roudhoh terdapat berberapa media untuk anak belajar membaca, seperti VCD lagu yang berisi tentang cantolan dengan suku katanya, VCD penuntun yang memperkenalkan anak pada 19 kelompok barisan, lingkaran cantol adalah media untuk mengevaluasi anak terhadap penguasaan kelompok suku kata, dan kartu bacaan sebagai penguasaan akhir anak membaca. Rinta (2009 : 1) Metode cantol roudhoh merupakan salah satu teknik yang dikembangkan "Quantum Learning' dalam penerapannya, metode ini bersosialisasi dalam persamaan bunyi dan bentuk visual. Dalam mengajarkan membaca teknik-teknik tersebut sangat diperlukan untuk mempermudah anak dalam mengingat simbol-simbol huruf. Pengenalan membaca yang efektif adalah mengenalkan seluruh bunyi suku kata dasar yang menjadi pembentukan kata dalam bahasa Indonesia dan tahap selanjutnya adalah "kata" yang dikenalkan kepada anak. Menurut Dian Rinta (2009 : 2) Metode membaca cantol roudhoh adalah sebuah metode membaca yang berpegang pada prinsip dengan mengembangkan aspek visual, auditurial dan kinestetik yang didalamnya terdapat unsur warna, gambar, nada, irama, dan rasa nyaman. Lagu merupakan salah satu unsur didalamnya. Metode ini mempermudah anak hanya dengan mengingat 21 cantolan beserta kelompok suku katanya yang mudah dihafal dalam bentuk lagu, sehingga metode ini sangat mudah sekali diserap oleh anak-anak prasekolah. Penerapan metode cantol roudhoh dalam pembelajaran dapat membuat anak tertarik dan anak mau berlama-lama untuk belajar membaca, serta dapat menciptakan suasana yang menarik dan menyenangkan. Sebagaimana yang dikemukakan Budi (2008 : 1) yaitu belajar dengan metode "Cantol Roudhoh" membuat anak-anak usia tiga hingga delapan tahun menjadi betah berlama-lama belajar membaca, sebab tidak ada paksaan ataupun hukuman. Metode ini hanya memerlukan gambar-gambar yang menarik perhatian anak dan yang paling penting menciptakan suasana nyaman serta menyenangkan bagi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2009) untuk meningkatkan kemampuan membaca anak dengan menggunakan metode cantol roudhoh terhadap anak kelompok A1 Taman Kanak-kanak TK ABA. Membuktikan bahwa : (1) Penerapan metode cantol roudhoh dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa kelas A1 TK ABA. Pada saat sebelum dikenai tindakan, sebagian besar siswa tidak mengalami kemajuan, tetapi mereka mengalami kemajuan pesat setelah dikenai tindakan dengan metode cantol roudhoh. Hal ini terbukti adanya peningkatan keterampilan membaca siswa setelah dilakukan tindakan. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui peningkatan keterampilan membaca siswa adalah tes membaca; (2) Penerapan metode cantol roudhoh dapat meningkatkan motivasi, perhatian, dan keaktifan siswa kelas A1 di TK ABA. Berdasarkan hasil observasi awal terhadap guru di Taman Kanak-kanak Islam X Kota X, metode cantol roudhoh belum pernah digunakan dalam aktivitas pembelajaran perkembangan bahasa anak, khususnya dalam meningkatkan kemampuan membaca dini. Metode yang digunakan untuk pembelajaran membaca di Taman Kanak-kanak tersebut hanya menggunakan metode konvensional berupa buku paket membaca, majalah, dan pengenalan huruf secara terpisah, sehingga anak merasa aktivitas membaca sangat membosankan dan terkesan "dipaksakan". Kondisi akhir-akhir ini, orang tua mengharapkan anak usia prasekolah itu sudah dapat membaca, menulis dan berhitung atau yang lebih dikenal dengan "CaLisTung". Seperti yang dikatakan oleh Teale dan Sulzby (Setiawan & Budi, 2006 : 7.2) bahwa mereka mengatakan kita tidak dapat menerapkan metode baca-tulis untuk anak SD di Taman Kanak-kanak karena pembelajaran tradisional yang biasa digunakan di kelas satu, tidak sesuai untuk anak kecil (anak di bawah kelas satu SD). Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian difokuskan pada "Pengaruh Metode Cantol Roudhoh Terhadap Kemampuan Membaca Dini Anak TK". B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "pengaruh metode cantol roudhoh terhadap kemampuan membaca dini anak" dan secara lebih rinci, rumusan masalah akan diuraikan sebagai berikut : 1. Bagaimana profil awal kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol di Taman Kanak-kanak Islam X ? 2. Bagaimana profil akhir kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol Taman Kanak-kanak Islam X ? 3. Apakah terdapat pengaruh dari penggunaan metode Cantol Roudhoh terhadap kemampuan membaca dini anak ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian Dengan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran secara umum tentang penggunaan metode Cantol Roudhoh terhadap kemampuan membaca dini anak di TKI X. 2. Tujuan Khusus Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mengetahui profil awal kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol TK Islam X. 2. Mengetahui profil akhir kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol TK Islam X. 3. Mengetahui pengaruh dari penggunaan metode Cantol Roudhoh terhadap kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol TK Islam X. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Bagi bidang keilmuan pendidikan anak usia dini, dapat memberikan sumbangan ilmiah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak terutama dalam kemampuan membaca dini melalui metode Cantol Roudhoh. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Peneliti memperoleh pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan program pengembangan bahasa, khususnya kemampuan membaca dini pada anak usia dini. b. Bagi Guru 1) Penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan membaca dini bagi anak usia dini. 2) Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dalam melakukan pengkajian lebih lanjut melalui kegiatan penelitian kemampuan membaca dini pada anak usia dini. c. Bagi Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Lembaga mendapatkan kontribusi yang dapat meningkatkan dan mengembangkan program pembelajaran, khususnya dalam pengembangan kemampuan membaca dini pada anak usia dini. E. Sampel Penelitian Sampel menurut Riyanto (2001 : 52) adalah bagian dari populasi. Jenis sampel yang diambil harus mencerminkan populasi. Sampel dapat didefinisikan sebagai sembarang himpunan yang merupakan bagian dari populasi. Arikunto (Muharromi, 2009 : 12) menyatakan penentuan sampel dengan jumlah populasi yang kurang dari seratus dapat digunakan teknik total sampling, artinya seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Dengan pertimbangan TK Islam X merupakan salah satu Taman Kanak-kanak yang belum menggunakan metode Cantol Roudhoh dalam kegiatan pembelajarannya dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak dalam hal membaca dini. Sementara itu, objek penelitian dari populasi di atas ditujukan kepada kelompok B1 dan B2 di TK Islam X dengan jumlah murid masing-masing kelas 10 orang. |
| SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN EKSPERIMEN TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS ANAK Posted: 02 Feb 2012 06:17 PM PST (KODE : PG-PAUD-0007) : SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN EKSPERIMEN TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS ANAK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran di Taman Kanak-Kanak, terkadang tidak sesuai dengan anak yang aktif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Pembelajaran di TK lebih banyak merupakan transfer pengetahuan dan berupa hafalan. Hal itu tidaklah sepenuhnya salah karena ada beberapa materi pembelajaran yang harus disampaikan secara langsung dan harus dihafalkan oleh anak-anak. Bredekamp & Copple, (Masitoh, 2005 : 21) mengatakan bahwa anak usia TK memiliki sifat relatif spontan dalam mengekspresikan perilakunya, bersifat aktif dan energik, memiliki rasa ingin tahu dan antusias yang tinggi terhadap berbagai objek, bersifat eksploratif dan berjiwa petualang, kaya akan imajinasi, serta merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya. Sains adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan. Oleh karena itu, guru harus mengenalkan sains dalam pembelajaran di TK. Pada masa kanak-kanak belum dapat secara efektif berpikir parsial, spesifik, dan terkotak-kotak. Berdasarkan itu maka pembelajaran sains di TK semestinya disajikan dalam bentuk yang holistik terpaut dengan dunia nyata anak dan mata pelajaran yang lain. Perlu juga diperhatikan bahwa kemampuan persepsi anak terhadap informasi dalam pembelajaran sains turut dipengaruhi oleh tingkat atensi (perhatian)nya terhadap obyek-obyek yang diobservasi, gerakan, intensitas stimuli, kebaruan (novelty), dan faktor-faktor yang dapat dimanipulasi guru untuk meningkatkan keinginan anak untuk mempelajari sains. Permasalahan yang muncul adalah apabila pembelajaran yang berorientasi pada sains, dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada hasil. Pembelajaran ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan sains sebaiknya menggunakan metode pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk aktif dalam mengeksplorasi berbagai ide-ide mereka dan tidak terlalu menekan anak untuk belajar secara akademis. Abrucato (Nugraha, 2008 : 45) mengungkapkan bahwa Pembelajaran sains akan diwujudkan secara nyata dalam bentuk menemukan konsep baru, mengkreasi keterampilan yang bersifat orisinil dari anak. Apabila dihubungkan dengan kedudukan sains yang menjungjung tinggi orisinalitas maka kreativitas merupakan tujuan alamiah dari pembelajaran sains di TK, serta makna nilai pembelajaran sains di TK adalah untuk perkembangan dan pertumbuhan daya pikir serta daya imajinasi anak. Kegiatan pengenalan sains untuk anak TK sebaiknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Guru hendaknya tidak memberikan konsep sains kepada anak, tetapi memberikan kegiatan pembelajaran yang memungkinkan anak menemukan sendiri fakta dan konsep sederhana tersebut. Teori Experimental Learning dari Carl Roger (elearn.bpplsp-reg5.go.id) mengisyaratkan pentingnya pembelajaran yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan anak. Dalam pembelajaran sains di TK seyogyanya lebih mementingkan proses daripada hasil, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran sains lebih menekankan pada hasil. Praktek pembelajaran sains di lapangan masih menggunakan metode-metode konvensional dimana guru menggunakan metode berceramah, diskusi, yang membuat anak banyak mendengar, duduk, dan diam, padahal hakikat pembelajaran sains adalah memberikan pengalaman yang menantang sehingga memfasilitasi rasa ingin tahu anak dengan menyuguhkan pembelajaran yang variatif, menyenangkan, menantang anak untuk mengobservasi dan mengeksplorasi berbagai macam objek fisik dan alam, serta kejadian-kejadian yang ada di lingkungan anak. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas dan permasalahan yang ditemukan di lapangan, maka studi ini terarah pada pengujian pengaruh metode pembelajaran eksperimen terhadap keterampilan proses sains anak usia taman kanak-kanak. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas secara umum permasalahan pokok penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan, "Apakah metode pembelajaran eksperimen lebih berpengaruh positif terhadap keterampilan proses sains anak daripada pembelajaran kovensional ?". Secara rinci rumusan masalah di atas dijabarkan ke dalam rumusan pertanyaan penelitian berikut. 1. Bagaimana keterampilan proses sains anak pada saat pembelajaran dengan metode konvensional? 2. Bagaimana keterampilan proses sains anak pada saat pembelajaran dengan metode eksperimen? 3. Apakah terjadi perbedaan yang signifikan terhadap keterampilan proses sains pada kelompok kontrol (metode konvensional) dan kelompok eksperimen (metode eksperimen)? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran eksperimen pada keterampilan proses sains pada anak. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui keterampilan proses sains anak pada pembelajaran dengan metode konvensional (kelompok kontrol). 2. Untuk mengetahui keterampilan proses sains anak pada pembelajaran dengan metode eksperimen (kelompok eksperimen). 3. Untuk mengetahui signifikasi perbedaan keterampilan proses sains anak pada pembelajaran dengan metode konvensional dan pembelajaran dengan metode eksperimen. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut : 1. Untuk mengukur keterampilan proses sains anak di TK X dengan menggunakan metode konvensional dan meode eksperimen. 2. Pembuktian pengaruh pembelajaran eksperimen terhadap keterampilan proses sains anak di TK X. E. Sistematika Penulisan Skripsi ini, disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis, defmisi operasional variabel, asumsi penelitian, metode penelitian, sampel penelitian dan sumber data, teknik pengurupulan data, teknik pengolahan data, serta sistematika penulisan. Bab II Eksperimen sebagai Salah Satu Metode yang Efektif dalam Meningkatkan Keterampilan Proses Sains berisi penjelasan tentang, keterampilan proses sains dalam pembelajaran eksperimen. Bab III Prosedur Penelitian berisi tentang metode dan desain penelitian, prosedur penelitian, variabel penelitian, defmisi operasional variabel, instrumen, teknik analisis, serta populasi dan sampel penelitian Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, memuat deskripsi hasil penelitian dan analisis hasil penelitian. Bab V Simpulan dan Rekomendasi, berisi simpulan dan rekomendasi yang diperoleh penulis setelah melakukan penelitian. |
| You are subscribed to email updates from gudang makalah, skripsi dan tesis To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
| Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 | |








0 komentar:
Post a Comment